TUGAS KELOMPOK FILSAFAT DAN LOGIKA POST - TRUTH
OLEH I MADE GDE PUTRA ARYA GUNAKSA
185059086
DIAN AGUSTIN
185059072
PIPIT LANI
185059050
Prodi Kesmas Tahun Akademik 2019 - 2020 Universitas Respati Indonesia Jl. Bambu Apus I No.3 Cipayung Jakarta Timur 13890 Telp. 021-845 7627 – Faks 021-8459 2049 Email :
[email protected] – Web : www.urindo.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Perkembangan era digital dewasa ini ditandai dengan semakin masifnya penetrasi media social dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan, fenomena ini merupakan konsekuensi perubahan pola komunikasi, dari cara – cara dan media konvensional menuju digitalisasi komunikasi dengan menggunakan berbagai kanal media sosial kekinian. Era digital yang ditandai dengan perkembangan Teknologi Informasi Komunikasi terus berlangsung dan berkembang begitu cepat dan semakin canggih, dimulai antara lain dari penemuan bluetooth (2001), Mozilla (2002), Skype (2003), MySpace (2003), Facebook (2004), Youtube (2005), Twitter (2006), Apple iPhone (2007), Google Android (2008), Apple iPad (2010), Instagram (2010), Google Glass (2012), Google Driverless Car (2012), Sophia the artificial intelligence robot (2015), Tesla Model 3(2016), ke depan diprediksi akan terus berkembang inovasi teknologi baru lainnya. Inovasi teknologi dengan pemanfaatan media sosial menjadikan arus informasi mengalir dengan deras dan cepat, pola-pola komunikasi linier mulai digantikan dengan pola-pola komunikasi simetris, real time melintas batas ruang dan waktu, dengan mengedepankan kecepatan, sekaligus menandakan pola komunikasi dewasa ini sesungguhnya telah memasuki fase interactive communication era, sebagaimana katagorisasi Everett M Rogers,
fase
lebih
lanjut
dari
pengembangan
era
telekomunikasi
dengan
menjadikan penggunaan internet sebagai media baru (new media). Perkembangan era digital dengan masifnya penggunaan internet sebagai media baru (new media),
membawa
konsekuensi
pergeseran
karakter
khalayak
menjadi
audience, khalayak tidak lagi obyek pasif, namun dapat berperan menjadi produsen informasi (Prosumer), masyarakat sebagai khalayak tidak lagi pada posisi obyek yang dideterminasi media massa arus utama, tetapi lebih jauh dapat berperan memproduksi berita dan membentuk opini publik via platform media sosial.
Melalui media sosial memungkinkan pengguna berinteraksi, berbagi dan berkomunikasi yang membentuk ikatan sosial secara virtual dalam masyarakat jejaring (networking society)
yang
ditandai
dengan
munculnya
jurnalisme
warga
(citizen
journalism), fenomena ini menempatkan media sosial sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru sekaligus berperan membentuk opini publik. Dalam perkembangannya, penggunaan media sosial sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru, tidak lagi hanya sekedar berperan sebagai kanal menyampaikan pesan dan menyerap informasi, tetapi lebih jauh berperan dalam mempengaruhi persepsi dan perilaku publik, mempengaruhi pengambilan keputusan institusi, kelompok masyarakat dan turut andil dalam pengembangan kesadaran kolektif opini publik. Lebih ektrim Aylin Manduric dalam tulisannya “Sosial Media as a tool for information warfare” menyatakan bahwa media sosial sebagai senjata pemusnah massal dan pemicu timbulnya konflik, berperan sebagai senjata kata-kata yang mempengaruhi hati dan pikiran audiens yang ditargetkan. Melalui media sosial, berbagai informasi membanjiri ruang publik media sosial , arus informasi yang deras tanpa batas tersebut , ibarat sekeping mata uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda, media sosial satu sisi dapat bersifat positip apabila dimanfaatkan secara benar,
untuk mengedukasi masyarakat dan mengoptimalkan manfaat praktis
media sosial, bagi peningkatan pembangunan bangsa. Pemanfaatan media sosial berperan dalam mengoptimalkan nilai tambah ekonomi dan membangun sinergi antar segenap komponen bangsa, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, ditengah persaingan antara bangsa yang semakin tajam, dampak positip media sosial, antara lain terlihat dari bergeraknya aktivitas ekonomi rakyat, disektor pariwisata tidak lagi didominasi oleh koorporasi besar, namun berkembang desa wisata yang dikelola oleh masyarakat lokal, home stay dll. Dampak
positip
pemenfaatan
berkembangnya marketplace yang
media
sosial
mempertemukan
juga penjual
ditandai dan
dengan
pembeli,
e-
comerce, UMKM yang memanfaatkan toko online, gojek, rental mobil rumahan dan
berkembangnya economic up bisnis,
sharing
resources sehingga
yang membuka peluang usaha baru,
semakin
masifnya start-
menciptakan pasar baru dan
menggunakan sarana promosi baru yang efektif dan efesien berkat pemanfaatan positip media sosial. Namun disisi lain pemanfaatan media sosial juga dapat kontra produktif, apabila ruang publik disesaki oleh informasi yang yang berseliweran melalui media sosial dengan hoax, informasi palsu (fake news) dan informasi keliru (falsenews) yang memiliki daya rusak yang dashyat karena penyebarannya yang sangat cepat tanpa batas dan mampu membangkitkan emosi yang sangat kuat. Dengan merebaknya fenomena post – truth apabila tidak diantisipasi dangan mitigasi yang tercenana dan terukur, juga akan berpotensi mempertajam polarisasi di masyarakat, ditandai dengan semakin viralnya pemberitaan yang tendensius mengusung sentimen agama, ras dan kelompok kepentingan yang dapat menjadi tantangan dan hambatan dalam memacu keberlanjutan pembangunan nasional, merawat NKRI guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. B. Tujuan 1. Guna menyelesaikan tugas kelompok untuk mata kuliah Filsafat dan Logika 2. Untuk mengetahui tentang apa yang disebut dengan post – truth 3. Untuk mengetahui bagaimana cara untuk menyikapi fenomena post truth
BAB II LANDASAN TEORI A. Sejarah Post Truth Post – truth atau Politik Pascakebenaran atau Hoax adalah budaya politik yang perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. Selain itu, poin topik pidato ditegaskan berkali – kali tanpa mendengarkan alasan yang berbobot. Era Post – truth menurut J.A Lrorente merupakan “iklim social – politik” di mana objektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukan hal yang berbeda. Era post truth mendapat momentumnya karena massa jenuh dan membenci limpahan pesan dan rayuan semua berujung meminta untuk membeli, mengkonsumsi, memilih, memberi pendapat atau ambil bagian di kehidupan sosial. Era post – truth ini awalnya dikenal di ranah politik saat kontes politik memperebutkan kursi parlemen dan/atau tujuan politk lain, sehingga istilah ini disebut post – truth politik. Istilah post – truth pertama kali diperkenalkan oleh Steve Tesich, dramawan keturunan Amerika – Serbia, Tesich melalui esainya pada harian The Nation (1992) menunjukan kerisauannya yang mendalam terhadap fenomena post – truth “ Following the shameful truth of Watergate, more assuaging coverage of the iran – contra scandal and persian gulf war demonstrate that we, as a fress people, have freely decided thath we want to live in some post truth world (mengikuti kebenaran memalukan Watergate, liputan yang lebih menyakinkan dari skandal kontra iran dan perang teluk Persia, menunjukan bahwa kita sebagai orang bebas telah memutuskan ingin hidup di dunia pascakebenaran). Tesich tidak memberi definisi post – truth, ia seolah membebaskan penulis berikutnya untuk memberi arti istilah ini. Depalan tahun setelah kematian tesich, ralp keyes menggunakan istilah itu untuk judul bukunya : Post – truth era, menurut Keyes, di era pascakebenaran, penipuan menjadi lebih lazim di media, kebohongan tidak lagi diperlukan sebagai suatu yang termaafkan, dan mulai dipandang sebagai sesuatu yang bias diterima.
Pada 2004, tidak lama setelah keluarnya buku Ralph Keyes, jurnalis Eric Alterman menciptakan istilah presiden pascakebenaran atau post-truth president untuk menyebut George Bush dalam analisisnya terhadap pernyataan menyesatkan sang presiden terhadap peristiwa 9 september. Masih pada tahun sama, Colin Crouch dalam buku Post – democracy menulis ; pemilihan umum dapat mengubah pemerintahan, tapi debat public pemilu menjadi tontonan yang dikontrol ketat, dikelola oleh tim professional yang bersaing dengan menggunakan teknik persuasi, serta mempertimbangkan sejumlah kecil masalah menjadi pilihan. Crouch secara tidak langsung mengaitkan industry periklanan dan komunikasi politik dengan krisis kepercayaan dan tuduhan ketidakjujuran berkaitan maraknya politik pascakebenaran. Post – truth dinobatkan sebagai the word of the year pada tahun 2016 dalam versi tim Oxford Dictionaries, yang memutuskan melalui diskusi, debat, serta riset. Post truth adalah the word of the year 2016 sebagai ajektif dalam kamus oxford, post truth di definisikan sebagai “berkaitan dengan atau merujuk kepada keadaan di mana fakta – fakta objektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini public dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi”. Dalam pandangan Grayling, era post truth bukan saja penuh aroma narsistik, tapi sekaligus narsistik yang mengerikan. Ketika media apapun dapat dipakai untuk mengirim pesan yang lebih menonjolkan opini ketimbang fakta, dan setiap orang bias mempublikasikan opininya sendiri, maka fakta apapun akan tenggelam oleh kerasnya suara pengirim pesan.
B. Penyebab era Post Truth Ada tiga situasi yang menyebabkan era post truth disambut hangat oleh masyarakat, antara lain : 1. Suatu bentuk devaluasi kebenaran berlangsung sebagai dampak dari narasi politisi penebar demagogi (penghasutan terhadap orang banyak dengan kata – kata dusta untuk membangkitkan emosi rakyat) 2. Banyak orang atau kelompok merasa nyaman dengan informasi yang telah dipilih. 3. Media massa lebih menekankan sensai baru, spektakuler dan sensasional yang layak disebut worth news C. Penanda Era Post Truth Beberapa kebaruan yang menandai era post truth, antara lain : 1. Luasnya akses ke konten informasi berkat digitalisasi komunikasi. 2. Masyarakat bisa membuat informasi sendiri melalui media sosial. 3. Demokratisasi media dan jurnalisme warga mengompensasi ketidakpuasan masyarakat terhadap informasi media massa dan kekecewaan terhadap politik. 4. Masyarakat lebih rentan menerima informasi yang keliru karena berkembang komunitas – komunitas yang seideologi dan memiliki keyakinan yang sama. 5. Tekhnologi telah mengacaukan kebenaran karena viral dianggap lebih penting dari pada kualitas informasi dan etika. 6. Kebenaran tidak lagi difalsifikasikan atau dibantah, tetapi keberan menjadi nomer dua.
D. Cara Menghindari dari Post Truth Kita sebagai warga digital, harus tetap menyeleksi dan mengklarifikasi kebenaran infromasi tersebut secara individu, berikut adalah beberapa tips cerdas untuk menghindari post truth, antara lain : 1. Perhatikan sumber berita Pastikan apakah berita itu berasal dari sumber yang terpercaya atau tidak. 2. Baca Keseluruhan Berita Jangan hanya membaca judul serta paragraph pertama karena seringkali judul dan ringkasan berita dibuat provokatif oleh penulis berita untuk mendapatkan atensi pembaca. 3. Lihat Keaslian Gambar dan Video Dalam Berita Pastikan gambar dan video tersebut bukan merupakan hasil manipulasi pembuat berita. 4. Kritis Dalam Membaca Berita Harus melihat dari berbagai perspektif mengenai berita tersebut agar tidak mudah percaya berita hoax di media sosial.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan D’Ancona dalam buku “Post—Truth: the new war on truth”, menghadirkan refleksi keadaan manusia sekarang yang sementara diguncang oleh kepalsuan, kebohongan dan kecemasan total. Yang mencuri perhatian dari buku itu adalah “post-truth era – a time in which the art of lie is shaking the very foundations of democracy,” (D’Ancona, 2017). Brexit vote dan kemenangan Donald Trump seolah membentuk “penolakan masal” terhadap pengetahuan tentang perubahan iklim, isu migran, dan power yang bersembunyi dari egoisme itu telah lebih besar memproduksi perasaan emosional daripada kenyataan sebenarnya. Rationality is threatened by emotion (D’Ancona, 2017). Keselamatan fakta adalah wacana penting hari-hari ini. Perspektif itu mencoba memperlihatkan suasana lain yaitu kekuatan informasi, sehingga dengan tidak sengaja kita pun tiba pada kesimpulan: ada invisible hand, yang sengaja mencelakai kebenaran, dengan memproduksi kegaduhan dan emosi dibanding fakta. Bila masyarakat berdiri di atas fakta-fakta yang dimanipulasi, dipoles, disembunyikan, dilepaskan dari konteksnya, dan kemudian pendapat individu atau kelompok lebih ditonjolkan sebagai kebenaran, masyarakat ini sesungguhnya rapuh. Ia bagaikan bangunan kartu domino yang dengan satu sentuhan saja seluruh bangunannya runtuh. B. Saran Didalam dunia digitalisasi masyarakat haruslah pandai – pandai memilih berita yang akan dikonsumsi, pilihlah sumber yang terpercaya dan pastikan kembali kebenaran dan keakuratan akan informasi yang didapatkan.
Daftar Pustaka Alam, Syamsir. 2018. Post Truth dan Literasi Media, Jakarta : Media Indonesia Basuki, Dian. 2017. Era Post – Truth : Kebenaran jadi Komoditas, Jakarta : Harian Tempo Selasa, 24 Januari 2017 Isparmo. 2018. Data Statistik Pengguna Internet di Indonesia 2017 berdsarkan Survey APJJI, Diakses pada hari rabu, 20 maret 2019 Keyes, Ralph, 2004. The Post – Truth Era : Dishonesty and Deception in Contemporary life, Ohio Suwigyo, Agus. 2018. Post – Truth dan (Anti) Pluralisme. Jakarta : Kompas Gramedia Syuhada, Kharisma Dhimas. 2017. Etika media di Era “Post – Truth”. Jakarta : Jurnal Komunikasi Indonesia ISSN 2301-9816