Tugas Ilmu Kesehatan Masyarakat “Pembiayaan Kesehatan”
Oleh : Mei Liadiana (1808020266) Sitti Fatimah Sintiya Mamonto (1808020338)
A. Pengertian Pembiayaan Kesehatan Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan pelayanan kesehatan promotif dan preventif. Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dan yang preventif mencegah agar masyarakat tidak jatuh sakit agar terhindar dari penyakit. Sebab itu pelayanan kesehatan masyarakat itu tidak hanya tertuju pada pengobatan individu yang sedang sakit saja, tetapi yang lebih penting adalah upaya-upaya pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Sehingga, bentuk pelayanan kesehatan bukan hanya puskesmas atau balkesmas saja, tetapi juga bentukbentuk kegiatan lain, baik yang langsung kepada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, maupun yang secara tidak langsung berpengaruh kepada peningkatan kesehatan. (Juanita, 2002). Proses pelayanan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan pembiayaan kesehatan. Biaya kesehatan merupakan besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggrakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat (Febri Endra, 2015) Berdasarkan pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu berdasarkan: 1.
Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan, maka dilihat pengertian ini bahwa biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah dan ataupun pihak swasta, yakni pihakpihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya investasi (investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost).
2.
Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya kesehatan menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan, namun dalam batas-batas tertentu pemerintah juga turut serta, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya. Besarnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya kesehatan. (Azwar, A. 1999).
Sisi provider
Biaya kesehatan: besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan secara paripurna. Provider = pemerintah, swasta Sisi konsumen Biaya kesehatan: besarnya dana yang harus disediakan untuk memanfaatkan upaya kesehatan. Konsumen= masyarakat pengguna pelayanan B. Perkembangan pembiayaan (Notoatmodjo, 2005) a. Zaman penjajah -
1807-1930 (masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendles) Pembiayaan kesehatan dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, pada waktu itu dilakukan pelatihan dukun bayi dalam praktik persalinan
-
1851 Didirikan sekolah Java (sekarang dikenal dengan fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) di Jakarta yang dikepalai oleh orang Belanda yang kemudian dienal dengan nama STOVIA (School totplending Van Indische Arsten)
-
1888 Pemerintah Hindia belanda mendirikan berbagai fasilitas kesehatan seperti Laboratorium EIJkman di Bandung, Medan, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta
-
1913 Didirikan sekolah disurabaya dengan nama NIAS (Nederland indische Arsten School).
-
1922-1937 (wabah penyakit) 1922 (terutama 1933-1935 di pulau jawa) terjadi wabah pes, kemudian pemerintah Hindia Belanda melakukan penanggulangan dengan melakukan penyemprotan DDT terhadap semua rumah penduduk dan vaksinasi massal.Begitupun saat terjadi wabah penyakit kolera pada tahun 1927 dan 1937.
b. Setelah Indonesia merdeka -
1945
Bangsa Indonesia menaruh harapan besar bagi segenap warga Negara dalam semua aspek kehidupan menjadi lebih baik. Terutama aspek kesehatan. -
1956 (DR. J. Sulisanti) Dr. J. Sulianti mengembangkan konsep baru dalam upaya pengembangan kesehatan masyarakat yaitu model pelayanan bagi masyarakat pedesaan (puskesmas).
-
1967 (Masa Peralihan Kepemimpinan Dari Soekarno Ke Soeharto) Seminar yang membahas dan merumuskan program kesehatan masyarakat terpadu sesuai dengan kondisi dan kemampuan rakyat Indonesia. Dengan mengacu bandung plan (DR. Ahmad Dipodilogo) menyepakati Puskesmas tipe A, B dan C.
-
1968 Rapat kerja kesehatan nasional memutuskan bahwa puskesmas merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu yang kemudian dikembangkan menjadi pusat pelayanan kesehatan.
-
1984 Tanggung jawab puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat di daerah mulai ditingkatkan terutama untuk pelayanan ibu dan anak, keluarga berencana, gizi, penanggulangan diare dan imunisasi. Pada masa orde baru kondisi perekonomian negara mulai menigkat, pada masa ini tercetus pelayanan di posyandu.
-
1998 Sektor privat atau swasta mulai mengalami perkembangan pesat termasuk didalamnya perngelolaan rumah sakit. Rencana pembangunan dibidang kesehatan ditetapkan dengan pembangunan lima tahunan yang dikenal dengan REPELITA I sampai REPELITA VI. Pada masa ini dilakukan Program Kompnasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak-Jaringan Pengaman Sosial (PKPS BBM-JPS BK) bertujuan untuk meemberikan pelayanan kesehatan gratis. Pada masa ini pembiayaan kesehatan sepenuhnya bersumber dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
-
1998-1999 (Krisis Moneter)
Setelah krisis, Bidang kesehatan masyarakat tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah pusat tetapi diserahkan pada pemerintah daerah. Pada masa ini pemerintah sudah bisa menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bias memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik. -
2004-2014 (pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono) Pada tahun 2006 Departemn Kesehatan mengeluarkan konsp pembangunan kesehatan berkelanjutan yang kemudian dikenal sebagai visi Indonesia Sehat 2010. Konsep Visi Indonesia Sehat 2010 paada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan. Pada masa ini pembiayaan kesehatan tidak hanya bersumber dari pemerintah namun juga dari sector swasta yang ditandai dengan didirikannya rumah sakit swasta diberbagai wilayah.
C. Model Sistem Pembiayaan Kesehatan Managed care adalah suatu system pembiayaan pelayanan kesehatan yang disusun berdasarkan jumlah anggota yang terdaftar dengan kontrol mulai dari perencanaan pelayanan serta meliputi kontrak dengan penyelenggara pelayanan kesehatan untuk pelayanan yang komprehensif, penekanan agar peserta tetap sehat sehingga utilisasi berkurang, unit layanan harus memenuhi standar yang telah ditetapkan dan terdapat program peningkatan mutu pelayanan (Henni, D. 2007). Menurut Sekhri (2000), managed care secara umum dapat diartikan sebagai pengaturan finansial dan pelayanan kesehatan yang teritegrasi dan berkesinambungan (Sekhri NK, 2000) Managed care dibagi manjadi beberapa bentuk, yaitu: a. HMO (Health Maintanance Organization) HMO pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1970-an, yang menjelaskan tentang organisasi spesifik, dimana jaminan kesehatan, dokter dan rumah sakit berada dalam satu organisasi. Dokter biasanya bekerja di satu gedung rumah sakit tersebut. Dalam bentuk ini, dokter mendapatkan gaji, perencana yang memiliki rumah sakit, pasien (kecuali pasien emergensi) harus menggunakan pembiayaan kesehatan sesuai peraturan rumah sakit. HMO adalah satu bentuk managed care yang mempunyai ciri sebagai berikut (Heni, 2000): 1. Pembayaran premi didasarkan pada perhitungan kapitasi.
Kapitasi adalah pembayaran terhadap penyelenggara pelayanan kesehatan berdasarkan jumlah sasaran anggota, biasanya didasarkan atas konsep wilayah dan bukan berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikan. Dulu (HMO tradisional) dibayar reimburse berdasarkan fee for service.
2. Terikat pada lokasi tertentu. 3. Pembayaran out of pocket sangat minimal. 4. Ada dua bentuk HMO pertama, HMO merupakan badan penyelenggara merangkap sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan sehingga kontrol lebih baik dan mengurangi utilisasi yang berlebihan. Dan yang kedua, HMO mengontrol penyelenggara pelayanan kesehatan. 5. Pilihan PPK terbatas, perlu waktu untuk menukar PPK. 6. Ada pembagian risiko dengan PPK. 7. Kendali biaya dan pemanfaatan tinggi. 8. Ada kemungkinan mutu pelayanan rendah. Ada beberapa tipe HMOs, yaitu : - Staff-model yaitu dokter secara langsung menjadi pegawai HMO dan diberikan imbalan dengan sistem gaji. - Group-model yaitu HMO mengontrak dokter secara kelompok dan biasanya didasarkan atas kapitasi. - Network-model yaitu HMO mengontrak lebih dari satu grup dokter. - Individual Practice Assosiation (IPA) yaitu HMO mengontrak sejumlah dokter dari beberapa jenis praktek dan biasanya didasarkan pada fee for service. b. PPO (Preferred Provider Organization) PPO memiliki kesamaan dengan IPA, tetapi lebih kepada memilih salah satu dari provider yang ada dan membuat persetujuan kontrak yang terfokus kepada harga. PPO dapat menarik lebih banyak pasien karena premi yang ditawarkan lebih rendah. Dokter dibayar dengan sistem fee for service, dengan negosiasi sebelumnya mengenai setiap pelayanan yang ditawarkan. c. POS (Point of Service) Sering disebut dengan HMO tanpa pembatas. POS memiliki sistem kapitasi untuk setiap pendaftar. Kompensasi POS adalah per pasien per tahun. PPO dan POS merupakan bentuk managed care yang memberikan pilihan PPK yang lebih luas kepada konsumen yaitu provider yang termasuk dalam jaringan dan provider yang
tidak termasuk dalam jaringan pelayanan sehingga harus dibayar penuh. Ciri-cirinya sebagai berikut : 1. Pelayanan bersifat komprehensif. 2. Kebebasan memilih PPK. 3. Insentif untuk menggunakan PPK murah. 4. Pembayaran PPK berdsarkan fee for service dengan potongan harga. 5. Pengeluaran out of pocket sedang. 6. Inflasi biaya relatif masih tinggi. 7. Ada kendali utilitas dan mutu. 8. Tumbuh paling cepat. Berikut ini merupakan flow-chart yang menggambarkan sistem managed care horizontal
Berikut ini merupakan hal yang paling sering dikomplein dari sistem managed care, yaitu (Sekhri NK, 2000): 1. Cost savings (penghematan biaya) Penghematan biaya yang diklaim oleh managed care dianggap tidak benar atau tidak berkelanjutan. 2. Provider reimbursement Reimbursement rumah sakit dan kompensasi untuk dokter terlalu rendah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik 3. Quality of care (kualitas pelayanan) Kualitas pelayanan yang diberikan oleh organisasi managed care di bawah standar, termasuk penolakan pelayanan, akses yang sulit untuk konsultasi dengan dokter spesialis dan batas waktu untuk rawat inap. Secara keseluruhan manage care menimbulkan reaksi positif dalam mengontrol pertumbuhan biaya pelayanan kesehatan tanpa menimbulkan efek negatif terhadap kualitas
pelayanan rumah sakit. Berikut keuntungan dari sistem managed care, yaitu (Sekhri NK, 2000): a. Manajemen penyakit Dengan sistem manage care, sistem pembiayaan fee for service dimana provider membayar untuk suatu penyakit, berubah ke sistem kapitasi dimana keuntungan dapat diperoleh jika penduduk dalam keadaan sehat. Pengobatan juga semakin efektif dengan melibatkan pasien dan keluarga pasien dalam menangani penyakit kronik dan melakukan promosi manfaat dari regimen obat yang digunakan. Selain itu, target utama lainnya adalah program manajemen penyakit seperti asma pada anak, diabetes, cedera tulang belakang, nyeri tulang belakang, penyakit ginjal kronik dan kesehatan mental dengan biaya yang masuk akal. b. Pengukuran kualitas Beberapa teknik digunakan dalam managed care, salah satunya adalah guideline yang berdasarkan praktik klinik terbaik, buku laporan yang berkualitas yang berisikan informasi mengenai provider dan kinerja rencana kesehatan dan evidencebasedmedicines yang berhubungan dengan penemuan kedokteran mutakhir serta data efektivitas biaya. Protokol klinis yang dikembangkan oleh HMOs memiliki efek positif untuk memperpaiki kualitas. Evidence-based-medicines memerlukan hal tersebut untuk mempromosikan kualitas pelayanan, baik dokter dan pasien dapat melakukan diskusi untuk meningkatkan kualitas dalam menentukan pengobatan yang akan dilakukan. c. Penyelarasan insentif Managed care melakukan beberapa cara untuk membayar provider dengan harga terbaik dan membuat kerangka agar pembiayaan kesehatan menjadi efektif, produktif dan berkualitas. Biaya juga dibatasi dengan cara mengeliminasi hal-hal yang tidak sesuai dan tidak penting dalam sistem pelayanan kesehatan. D. Bentuk Pembayaran Fasilitas Kesehatan (FFS, capitation system, budget tariff, INA DRG’s)
Sistem FFS (Fee For Service) Sistem Pembayaran Retrospektif merupakan metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien berdasar pada setiap aktifitas layanan yang diberikan, semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan semakin besar biaya yang harus dibayarkan. Contoh pola pembayaran retrospektif adalah Fee For Services (FFS). Selama ini yang terjadi dalam pembiayaan kesehatan pasien di sarana pelayanan kesehatan adalah dengan fee for service (FFS), Tarif ditentukan setelah pelayanan dilakukan. Dengan sistem fee for
service kemungkinan moral hazard oleh pihak rumah sakit relatif besar, karena tidak ada perjanjian dari awal antara pihak rumah sakit dengan pasien, tentang standar biaya maupun standar lama waktu hari perawatan (length of stay) (Gustini, 2011).
Capytation System (Laela Indawati, 2018) Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya dengan menempatkan fasilitas kesehatan pada posisi menanggung risiko, seluruhnya atau sebagian, dengan cara menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Dalam situasi dimana pembayaran kapitasi sudah diberlakukan secara luas, fasilitas kesehatan yang bersifat memksimalkan laba dapat melakukan hal-hal sebagai berikut (Thabrany, 2001). Metode pembayaran Kapitasi diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan Dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah. Pada BAB II PEMANFAATAN DANA KAPITASI JKN Pasal 3 ayat 1 menyebutkan bahwa Dana Kapitasi yang diterima oleh FKTP dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan; dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan.
Dampak Positif Kapitasi Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan diagnosis yang tepat dan memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat.
Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan promotif dan preventif untuk mencegah insiden kesakitan Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak kurang, untuk mempertahankan efisien operasi dan tetap memegang jumlah pasien jaminan kesehatan sebagai income security. Dampak Negatif Kapitasi Jika kapitasi yang dibayarkan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat jalan primer, rawat jalan rujukan dan rawat inap rujukan dan tanpa diimbangi dengan insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan, fasilitas kesehatan akan dengan mudah merujuk pasiennya ke spesialis atau merawat di rumah sakit. Fasilitas kesehatan dapat mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih banyak untuk melayani pasien non jaminan atau yang membayar dengan JPP yang dinilai membayar lebih banyak. Fasilitas kesehatan dapat tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien kapitasi tidak cukup banyak. Budget Tariff (Murti, 2010) Merupakan cara pembayaran kepada PKK berdasarkan anggaran atau jumlah biaya yang tetap yang telah disepakati bersama antara PKK deengan badan pegelola asuransi. Dasar perhitungan biaya dapat melalui mekanisme penyususan anggaran biaya secara riil diperlukn atau berdasarkan jumlah peserta. Pembayaan dilakukan dimuka dengan besaran uang sesuai dengan yang diajukan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, keberhasilan penyelenggara asuransi sangat tergantung dari kemampuan penyelenggara pelayanan kesehatan serta kejelian dari perhitungan sendiri (owner estimate) dari badan penyelenggara sehingga kedua belah pihak sama-sama diuntungkan. INA-DRGs(Laela Indawati, 2018) Merupakan cara pembayaran dengan biaya satuan per diagnosis, bukan biaya satuan per jenis pelayanan medis maupun non medis yang diberikan kepada seorang pasien dalam rangka penyembuhan suatu penyakit. Sebagai contoh, jika seorang pasien menderita demam berdarah, maka pembayaran ke rumah sakit sama besarnya untuk setiap kasus demam berdarah, tanpa memperhatikan berapa hari pasien dirawat di sebuah rumah sakit dan jenis rumah sakitnya. Pembayaran dilakukan berdasarkan diagnosis keluar pasien. Konsep DRGs sederhana saja yaitu rumah sakit mendapat pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh berbagai rumah sakit untuk suatu diagnosis. Jika di Jakarta misalnya terdapat 10 ribu kasus demam berdarah di tahun 2017 dan dari hasil analisis biaya diperolah
rata-rata biaya per kasus adalah Rp 2 juta, maka setiap rumah sakit di Jakarta yang mengobati pasien demam berdarah akan dibayar Rp 2 juta untuk setiap pasien. Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada pasien, akan tetapi hanya menyampaikan diagnosis pasien pulang dan memasukan kode DRG untuk diagnosis tersebut. Besarnya tagihan untuk diagnosis tersebut sudah disepakati oleh seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak pembayar misalnya badan asuransi/jaminan social atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah sebelum tagihan rumah sakit dikeluarkan. Besaran pembayaran DRG per diagnosis baru dapat dilaksanakan jika system informasi di RS sudah berjalan dengan baik, sehingga tiap-tiap catatan medis sudah mencantumkan kode diagnosis yang akurat dan seluruh biaya yang harus dikeluarkan pasien/pembayar (termasuk obat-obatan) sudah terakam. Penggantian biaya per diagnosis menggunakan dasar rata-rata biaya yang dihabiskan untuk pengobatan/perawatan pasien dengan suatu diagnosis dari berbagai rumah sakit di suatu wilayah., bukan dari rata-rata biaya di suatu rumah sakit saja. Oleh karenanya, system informasi seluruh rumah sakit harus tertata terlebih dahulu, barulah besaran pembayaran DRG dapat dihitung dan diberlakukan dengan efek yang diharapkan. Pembayaran dengan cara DRGs mempunyai kelebihan sebagai berikut : Memudahkan administrasi pembayaran bagi rumah sakit dan pihak pembayar Nenudahkan pasien memahami besaran biaya yang harus dibayarnya Memudahkan penghitungan pendapatan (revenue) rumah sakit Memberikan insentif kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan untuk menggunakan sumberdaya seefisien mungkin Memudahkan pemahaman klien dalam melakukan sosialisasi/pemasaran pelayanan rumah sakit. Memberikan surplus atau laba yang lebih besar kepada rumah sakit yang lebih efisien dan menimbulkan kerugian bagi rumah sakit yang tidak efisien. Iritnya cara pembayaran DRG akan mendorong rumah sakit menjadi lebih professional dan lebih efisien.
Kelemahan pembayaran dengan cara DRGs ialah sebagai berikut : Penerapannya membutuhkan pembayar pihak ketiga yang cukup dominan, misalnya dengan system asuransi kesehatan nasional atau pemerintah yang membayar pelayanan medis bagi rakyatnya.
Penerapannya membutuhkan system informasi kesehatan, khususnya pencatatan rekam medis yang akurat dan komprehensif. System pembayaran DRG di dalam lingkungan rumah sakit yang mayoritas pasiennya membayar dari kantong sendiri sulit dilaksanakan kecuali jika ada komitmen kuat pemerintah yang diwujudkan dalam peraturan yang ditegakkan pelaksanaannya. Pasien yang tidak memiliki asuransi tidak akan sanggup membayar suatu biaya pelayanan medis untuk kasus-kasus katastrofik (yang biaya pengobatan atau perawatannya besar).
Bentuk Pembiayaaan Buruknya mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS kesehatan yang diatur lewat permenkes tarif JKN dengan mengelompokkan tarif pelayanan kesehatan untuk diagnosa suatu penyakit tertentu. Pembiayaan yang dikelola kementrian kesehatan dianggap tidak mampu memberikan pelayanan terbaik bagi peserta BPJS kesehatan. Sehingga fasilitas kesehatan yang selama ini melayani peserta JPK Jamsostek dan akses enggan memberikan pelayanan. Dengan adanya permenkes dengan tarif JKN yang mengatur target biaya dalam INA-CBGs. Melalui sistem inilah kemenkes membatasi biaya pelayanan kesehatan bagi peserta. Solusi Pemerintah harus segera merealisasikan anggaran 10% dari APBD untuk pembangunan kesehatan di indonesia. Pembangunan kesehatan diprioritaskan untuk peningkatan mutu fasilitas pelayanan kesehatan, SDK, dan pemerataan tenaga kesehatan keseluruh pelosok negeri. Sehingga dengan begitu BPJS dapat berjalan dengan baik dan dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat di indonesia tanpa menguntungkan salah satu kelompok masyarakat.
Kasus II
Kabupaten Pidie jaya merupakan salah satu kabupaten termuda di Provinsi Aceh, dimana alokasi untuk belanja kesehatan Kabupaten meningkat setiap tahunnya. Seperti pada tahun 2013 belanja kesehatan mencapai 55 milyar dan 474 milyar total APBD. namun, hal ini tidak
sejalan dengan UU kesehatan nomor 36 tahun 2009 yang mengamanatkan untuk menglokasikan APBD untuk kesehatan di luar gaji. Belanja kesehatan di kabupaten Pidie jaya masih menekankan pembangunan program fisik dimana tercatat bahwa sebagian besar dan otsus kesehatan dari tahun 2009 sampai tahu 2014 teralokasi untuk belanja modal berupa pembangunan rumah sakit daerah. Salah satu akibat dari belanja kesehatan tersebut adalah tidak ada lagi dana otsus yang tersedia untuk program kegiatan non fisik. Anggaran kesehatan Pidie jaya masih terbatas dan kurang efektifnya realisasi belanja kesehatan salah satunya dikarenakan permasalahan perencanaan anggarannya.
Solusi Mengupayakan penambahan pembiayaan program/kegiatan kesehatan yaitu dengan memanfaatkan dana penimbangan dana dari pusat dan membagi alokasi dana untuk kegiatan dengan gaji pegawai kesehatan. Selain itu meningkatkan pembiayaan anggaran operasional dan pemeliharaan disbanding mata anggaran penunjang untuk meningkatkan jaminan kesehatan masyarakat di Pidie Jaya .
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, A, 1999, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara. Jakarta
Djuhaeini, Henni. 2007. Asuransi Kesehatan dan Manage Care. Program Pascasarjana Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjajaran: Bandung.
Gustini, 2011, Standar pelayanan dokter keluarga Indonesia, Jakarta : Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia. International Approaches to Health Financing and Health Insurance – Southeast Asia – 20112012 “Access to Health Care”, yang diterbitkan oleh GIZ .
Juanita, 2002, Peran Asuransi Kesehatan dalam Benchmarking Rumah Sakit dalam Menghadapi Krisis Ekonomi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Universitas Sumatera Utara, Diakses tanggal 12 Februari 2012, (www. repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/3747/1/ fkm-juanita5.pdf).
Laela Indawati, dkk, 2018. Bahan Ajar Rekam Mmedis Dan Informasi Kesehatan MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN V. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Murti,
Bhisma,
2000,
Dasar-Dasar
Asuransi
Kesehatan.
Penerbit
(www.wordpress.com/2012/9/11/budget-concept/amp/). Notoatmodjo, 2005, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta, PT. Rhineka Cipta.
kanirsius