LAPORAN OBSERVASI DAN WAWANCARA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH LUAR BIASA ABC MANDARA KENDARI BARAT
OLEH: KELOMPOK II
DIANNISA SUHRAWARDANI
A1Q1 16 104
EGI SAPUTRA
A1Q1 16 107
ANNISA RAHMI ANUGRAH
A1Q1 16 117
GUSTI AYU PUTU WIDIA
A1Q1 16 118
ANDI ASNIAR
A1Q1 16 125
I WAYAN PASEK ARIBOWO
A1Q1 16 130
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDKAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2018
1
LAPORAN HASIL WAWANCARA DAN OBSERVASI SEKOLAH LUAR BIASA ABC MANDARA KENDARI BARAT Jl. Mayjen S. Parman, Komplek Kampus Lama Lahundape, Kota Kendari, 93127 I.
TINJAUAN PUSTAKA A.
Pengertian Permadi Somad dan Tati Hernawati (1996: 27) menyatakan tunarungu adalah seorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar, baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak secara kompleks. Tunarungu ialah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang diakibatkan karena kerusakan atau kehilangan kemampuan mendengar. (Wasito et al, 2010: 141). Tunarungu merupakan individu yang pendengarannya tidak berfungsi sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan khusus (Mangunsong, 2009). Ketunarunguan adalah kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian lain, baik dalam derajat frekuensi dan intensitas (Moores, dalam Mangunsong, 2009). Tunarungu adalah anak yang karena berbagai hal menjadikan pendengarannya mendapatkan gangguan atau mengalami kerusakan sehingga sangat mengganggu aktivitas kehidupannya (Sadjaah, 2005). Seorang
penyandang
tunarungu
memerlukan
suatu
keyakinan terhadap diri untuk menunjukkan potensi yang dimiliki.
2
Wood (dalam Santrock, 2003), mengatakan bahwa anak dan remaja penyandang cacat punya kemauan yang kuat untuk bertahan, tumbuh, dan belajar. Seorang individu yang mengalami cacat tubuh, lebih memiliki kemauan serta kemampuan yang lebih kuat dibandingkan orang normal pada umumnya. Untuk mendukung kemauan yang kuat agar tetap bertahan, tumbuh, dan belajar, diperlukan kepercayaan diri yang kuat pula. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, seorang penyandang cacat akan dapat menunjukkan kemampuannya yang mungkin melebihi orang normal pada umumnya.
B.
Klasifikasi Tunarungu
Berikut ini adalah klasifikasi tunarungu berdasarkan derajat kehilangan pendengaran. Klasifikasi menurut the comitee on conservation of hearing dari American academiy of optamology and otolaryngology (1959) dalam buku Edja Sadjaah (2005: 75) dapat penulis kemukakan sebagai berikut:
1) Non significant, berada pada derajat 0 dB-25 dB. Kehilangan pendengaran ini tidak berarti. Pada derajat ini termasuk anak normal. Dalam percakapan sehari-hari hampir tanpa kendala. 2) Slight handicap pada derajat 25 dB-40 dB. Pada tahap ini anak mengalami kesulitan dalam berbicara. 3) Mild handicap pada derajat 40 dB-55 dB. Anak memahami percakapan pada jarak 90-150 cm dari dirinya. Anak mengalami kesulitan mendengar dalam pembelajaran di kelas. Anak sudah membutuhkan alat bantu dengar. 4) Mark handicap antara 55-70 dB. Pada tahap ini mengalami lemah dalam berbicara, artikulasi tidak sempurna karena
3
terbatasnya perbendaharaan kata. Agar dimengerti anak komunikasi harus keras dan berhadapan. 5) Severe handicap antara 70-90 dB. Kemampuannya yaitu dapat mendengarkan suara yang diperkeras pada jarak 1 kaki (30 cm). Kemampuan berbicara lemah sehingga membutuhkan teknik khusus. Extreme handicap pada jarak 90 dB atau lebih. Tahap ini sering disebut tuli (the deaf). Kemampuan yang dimiliki yaitu bunyi keras yang didengar hanya getaran, pola suara kurang jelas sebagai alat komunikasi.
C.
Ciri-Ciri Anak Tunarungu
1) Tidak mampu mendengar 2) Terlambat perkembangan bahasa 3) Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi 4) Kurang / tanggap bila diajak bicara 5) Ucapan kata tidak jelas 6) Kualitas suara aneh / monoton 7) Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar 8) Banyak perhatian terhadap gerakan 9) Keluar nanah dari telinga 10) Terdapat kelainan organis telinga.
D. Karakteristik
1) Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif anak tuna rungu sangat dipengaruhi
oleh
perkembangan
bahasa.
Sehingga
hambatan pada bahasa akan menghambat intelegensi anak tuna rungu.
4
2) Perkembangan Emosi Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan sering kali menyebabkan anak tuna rungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau salah dan sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan. Anak tuna rungu bila ditegur oleh orang yang tidak dikenalnya akan tampak resah dan gelisah.
3) Perkembangan Sosial Pada umumnya lingkungan melihat mereka sebagai individu yang memiliki kekurangan dan menilainya seabagi seseorang yang kurang berkarya. Dengan penilaian lingkungan yang demikian, anak tuna rungu merasa benarbenar kurang berharga dan sangat berpengaruh besar terhadap fungsi sosialnya. Dengan adanya hambatan dalam perkembangan sosial ini mengakibatkan pula pertambahan minimnya
penguasaan
bahasa
dan
kecenderungan
menyendiri serta memiliki sifat egosentris. 4) Perkembangan perilaku Perkembangan kepribadian banyak ditentukan oleh hubungan anak dan orang tua, terutama ibunya. Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tuna rungu, yaitu ketidakmampuan
menerima
rangsang
pendengaran,
kemiskinan bahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi
dihubungkan
dengan
sikap
lingkungan
terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya
5
E.
Penyebab
1) Faktor Dalam Diri Anak Disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau kedua orangtuanya yang mengalami ketunarunguan, ibu yang sedang mengandung menderita penyakit campak Jerman (Rubella), ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah atau Toxaminia.
2) Faktor dari luar diri anak Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran. Misalnya : anak terserang herper implex, miningitis atau radang selaput otak, otitis media (radang teling bagian tengah), penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian tengah dan dalam.
II.
IDENTITAS SUBJEK A.
Subjek I Nama
: Fajrin
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Tempat, Tanggal Lahir
: Kendari, 1 Maret 2010
Agama
: Islam
Kelas
:-
Berat Badan
: 15 kg
Kelainan Pre/ Neo/ Post Natal
: Post natal/ setelah lahir
Penyakit Yang Pernah Diderita
:-
Macam Kelainan
: Belum Lancar Bicara
Bertempat Tinggal Dengan
: Orang Tua
Alamat
: Jl. Dr. Mohamad Hatta
6
B.
Subjek II
Nama
: Rara
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
:-
Agama
: Islam
Kelas
: III
Berat Badan
:-
Kelainan Pre/ Neo/ Post Natal
: Post natal/ setelah lahir
Penyakit Yang Pernah Diderita
:-
Macam Kelainan
: Tidak bisa berbicara sejak kecelakaan
III.
Bertempat Tinggal Dengan
: Orang tua
Alamat
:-
IDENTITAS NARASUMBER
A.
B.
Narasumber I Nama
: Tri Muliyanti S.Pd
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
:-
Lama Mengajar
: Sudah Lama
Narasumber II Nama
: Novita Sari S.Pdi
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
:-
Lama Mengajar
: 3 tahun
7
C.
IV.
Narasumber III Nama
: Safriana Asrawi S.Pd
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
:-
Lama Mengajar
: 3 tahun
TRANSKRIP HASIL WAWANCARA
A.
Wawancara I
Y: “Permisi bu, minta waktunya sebentar mau wawancara” X : “Iya, silahkan..” Y : “Kami dari universitas Halu Oleo jurusan Psikologi bu..” X : “Oh iya.” Y: “Dari tadi kita mengobservasi bagaimana siswa-siswi menerima pelajaran ada yang sudah mahir menulis, menjawab pertanyaan.. ada juga tadi yang duduk dibelakang seperti kurang fokus..” X : “Ada yang masih kelas satu itu yang pakai kacamata..” Y : “Kalau yang di belakang itu?” X : “Ooh kalau yang itu masih baru disini, baru dua minggu dia masih mengikut-mengikut dulu, itu hari mau dikasih masuk tapi dia tidak mau.. sekarang baru mau masuk” Y : “Yang sudah lancar itu kelas berapa?” X : “Itu sudah kelas 3, rata-rata sudah kelas tiga, yang pakai hijab juga itu dulu tidak mau menulis hanya lihat-lihat saja.. sekarang sudah mau.. kalau kita mengajar anak tuna rungu begini yang dia perhatikan itu mimik, mulut toh.. cara kita ngomong begitu.. intonasinya harus jelas, ditekan!”
8
Y : “Kalau yang sudah lama muridnya yang mana bu?” X : “Yang di depan 2 orang dan yg dibelakang satu orang..” Y : “Kalau pelajarannya disamakan dari anak baru sama yang lama?” X : “Ada yang sama, ada yang enggak.. karena kan seperti matematika itu tingkatannya juga beda, kalau seperti tadi ini mengenal benda, disamakan saja..” Y : “Berarti masa adaptasinya sama ? terus orang tuanya juga harus turut serta dalam membantu anaknya?” X : “Ya jelas beda.. tergantung anaknya.. iya orang tuanya juga harus membantu kita ajarkan apa yang kita kasih tau ke anaknya supaya sampai dirumah bisa diajarkan.. ada juga yang belum tau menulis, saya arahkan orang tuanya supaya bisa membantu.. contohnya seperti menebalkan angka satu, kalau anak begini juga harus kita becara didepannya.. tidak bisa dibelakangnya supaya dia bisa lihat kita punya mulut bergerak.. dia juga tidak dengar.. namanya juga tuli.” Y : “Kalau yang masih lama, itu kasih perhatiannya masih sama ?” X : “Kalau yang masih kecil, kasih perhatiannya masih kurang.. contohnya mau jelaskan nama-nama binatang harus disertai dengan gambarnya biar bisa mudah.. kalau kita sebut dia tidak akan mengerti kalau tidak lihat gambarnya.. kan tuli, kita gambar dan kita jelaskan ini gambar apa..” Y: “Kalau pertama masuk mereka bisa langsung berbaur?” X : “Tergantung lagi, ada yang mudah, ada yang tidak..” Y : “Kalau yang sudah lama, lihat ada anak baru langsung diajak berteman atau bagaimana?”
9
X : “Langsung akrab begitu.. kalau mereka sudah komunikasi contohnya seperti hmm.. lalu mereka ketawa-ketawa.. kalau komunikasi harus bertatap muka.. kalau ajak ngomong harus lihat kita, jangan terlalu cepat juga.” Y : “Mereka sadar dengan ketidaksempurnaanya mereka di dalam lingkungan luar?” X : “Ada juga anak yang dari kecil seperti itu, cuma belum mau masuk disini.. nanti sudah lihat lingkungan disini bagaimana baru mau soalnya sebelumnya dia malu.. sekarang sudah besar baru masuk belajar... kita kasihkan pengertian..” Y : “Kalau diluar lingkungan ini, ada yang terhambat perkembangan sosialnya?” X : “Kalau bergaul enggak, kalau dengan temannya mereka gaul juga kok..” Y : “Kalau sosialisasi dari sini mengajak ABK masuk sekolah ada?” X : “Kalau kita enggak.. kadang yang datang praktek saja seperti anak mahasiswa..” Y : “Orang tuanya stay disini?” X : “Ada yang iya, ada tidak.... tergantung orang tuanya..”
B.
Wawancara II X : Fahri Y : Fahmi? X : “Fahri, Ahmad, Adam, terus Irial yang kurus-kurus itu, yang masih baru (Y: oh yang masih kecil itu?) terus Rara dengan adam itu sudah lama.”
10
Y : “Terus kalau misalnya siswa diantara mereka yang paling menonjol itu, yang sudah lama disini.” X : “Oh..kaya mereka Adam, Fahri, Irial sama Rainal juga. Kalau Fajrin karena kebetulan juga intensitas kedatangannya juga masih kurang, kalau Rainal kan dia sering datang juga.” Y : “Kalau yang lambannya Bu’?” X : “Paling yang kemarin itu murid baru, yang lambannya juga itu Rara sama Restu. Itu yang cewe yang kecil, karena diakan juga masih baru. Istilahnya dia masih sosialisasi lah..seharusnya dia TK.” Y : “Adakah yang kaya kita tahu itu, kalau kelainannya memang dari lahir atau karena pas masa kecilnya ada gangguan begitu?” X : “Emm..kalau yang saya dengar, itu seperti Rara yang kecil itu. Itukan dia bukan dari kecil itu, katanya mamanya, cuman waktu kecil itu dia..kan bapaknya kasi panas motor, terus itu dia kena jarinya too, yang di bagian belakang itu..rantenya. dari saat itu dia nda pernah keluar lagi suaranya, keluar suaranya tapi sudah tidak bisa bicara, kaya trauma” Y : “Ohh…berarti awalnya dia normal di..” X : “Awalnya dia normal, setelah itu to..setelah kejadian itu” Y : “Kalau yang baru itu, yang apa…! Murid yang masih masuk begitu bagaimana responnya mereka ketika baru masuk?” X : “Kalau yang tuna rungu, yang pasti kalau yang setau saya too..ee pasti mereka sosialisasi dulu pertama. Awalnya itu selalu pasti tidak mau dulu masuk dalam kelas begitu, pokoknya mereka bermain dulu pikirannya..nah karena dia lihat temannya masuk, ikut mi juga dia masuk ke dalam too, dia ikuti temannya.”
11
Y : “Berapa lama waktu yang dibutuhkan kalau begitu, adaptasinya mereka?” X : “Tergantung mereka, kalau Restu dia itu, paling cepat dia dua minggu dia itu, tergantung dari anaknya, kayak Irial dia itu dua tahun, jadi dia lama, yang kecil itu, pakai jilbab, dia itu lama, pendiamm dulu, baru marah terus, tapi sekarang sudah bisami” X : “Kalian nda masuk ka kemarin di ruang sini (sambil menunjuk ruangan yang dimaksud), yang besar-besar?” Y : “Nda, cuma yang disituji yang SD, yang kelas tiga sama yang kecil itu yang baru masuk, tadi yang didepannya kacamata itu..” X : “Ajil juga itu dia murid baru, baru setahun kayanya, terus yang didepan-depan itu , yang tidak pakai baju pramuka, itu juga baru dia.” Y : “Jadi pas mereka datang begitu, mereka langsung main sama temantemannya? X : “Eee, biasanya kalau misalnya orang tuanya yang antar, satu atau dua hari hanya lihat-lihat saja..nanti lama-lama, tiga hari atau empat hari baru main-main, tapi main-main ini, belum masuk dalam kelas, main saja dulu. Nanti minggu depannya baru masuk dalam kelas, makanya biasa ada orang tua murid datang kesini bawa anaknya baru umur lima tahun, kan belum bisa masuk. Tapi yah..ada namanya, dari sekolah toleransi. Supaya mereka bisa sosialisasi, setidaknya itulah, supaya mereka bisa bergaul..itu namanya kelas persiapan. Jadi mereka itu masuknya begitu” Y : “Kalau kelas persiapannya itu umur berapa?” X : “Lima tahun, atau lima tahun delapan bulan.. yang penting sudah lima tahun lewat, dikasi masukmi disini to.. namanya kelas persiapan.” 12
Y : “Kalau dari orang tuanya begitu, ada mereka cerita kalau dia (murid) itu minder sama teman-temannya di rumah atau lingkungan rumahnya begitu, dia menutup dirilah?” X : “Kalau yang itu, yang selama ini orang tuanya bicarakan too..kalau anak-anak beginikan pasti minderkan, nda bisa bergaul sama temannya. Bagaimana caranya dia mau ngomong sama temannya too.. paling mereka sama-sama orang tuanya ji, kalau yang kecilkecil begini. mereka biasanya punya teman-teman yang sama dengan mereka” Y : “Adaka orang tuanya mendukung, misalnya kalau dia masuk disini, tapi setelah itu kayak dia malasmi anu anaknya begitu” X
:
“Antar?
Y: iaa X: eee..kalau rata-rata murid tunarungu ini, otaknya mumpuni Cuma nda bisa membaca, jadi harus diantar. Tapi orang tuanya semua mendukung ji.. Y: kalau dari segi lingkungannya bu’ ada ka yang kurang mendukung? X; kurang tau juga itu, mungkin itu kecuali diluar. Kalau di dalam sekolah itu karna otomatis mereka sudah menyesuaikan, sudah ketemu teman-temannya. Tapi kalau diluar yahh seperti yang saya bilang tadi paling sama orang tuanya ji.. Y: kalau dalam proses belajar begitu, apakah mereka mendapatkan kaya hadiah begitu yang dikasi kalau misalnya mereka cepat tanggap, atau paling umumnya saja kalau dia dapat juara satu begitu? X: kalau untuk kasi reward itu nda di biasakan, karna kalau dibiasakan itu mereka belajarnya hanya untuk mendapat hadiah. Artinya tidak mandiri kalau seperti itu, jadi kita nda biasakan seperti itu. Kecuali mungkin kalau ada lomba baru di berikan reward, kalau untuk setiap 13
pembelajaran itu dikasi reward nda bisa dibiasakan, karna itu tidak mengajarkan anak untuk mandiri. Y; jadi bagaimana kesan-kesanya ibu selama mengajar disini? X: kalau awal-awalnya, agak-agak bagaimana di..karena saya awalnya itu dapat tuna grahita. Jadi bagaimana di..beda polanya kita mengajar di umum dengan disini, ternyata kalau disini kita harus sering ulangulang. Pokoknya pelajaran yang hari ini bisa jadi kita ulang besok lagi dan besoknya lagi. Karena mereka tidak cepat merespon, tapi yah sudah disitu kita diuji kesabarannya, bagaimana caranya supaya mereka bisa paham dengan pembelajaran yang seperti itu. Terus sama juga dengan tuna rungu, kalau di tuna rungu kita bukan hanya menulis, tapi kita peragakan juga di tulis dengan mimik dan harus jelas semuanya. Y; terus kalau yang di tuna rungu itu bu’ ada yang SMA juga tuna rungunya/ X; ada. Y: itu ada yang punya bakat khsus? X: ada, kaya siapa lagi namanya itu! Ooo feni, dia itu pintar buat…….., terus linda juga dia pintar rangkau bunga, linda kalau nda salah waktu itu juara dua. Kalau feni dia juara satu dia ke Yogya. Y: jadi bakatnya anak-anak disini itu di fasilitasi begitu? X: iaa, dikembangkan disni Y; atau sama rata begitu semua? X: pokoknya disini kalau ada siswa yang punya bakat, difasilitasi. Disini kaya ada keterampilannya, belajar masak, tata boga. Kaya yang ini toos(menunjuk siswa) dia kan pintar catur, jadi catur tuna netra. Disini apalagi
anak tuna rungu too keterampilannya harus
dikembangkan, karena otaknya diakan normalji, kalau fisiknya
14
memenuhi syarat ya kita benahi. Makanya tadi saya tanya ko orang nda masuk disampingka? Karena disitu yang besar-besar. Y; kalau itu tadi yang saya tanya, adaka yang pernah dibully, misalnya dirumahnya? X: kalau diluar sekolah kita nda terlalu tau sosialisasinya. Seperti yang saya cerita tadi, kalau dari cerita orang tuanya, yahh jarang sekali dia main dirumah kecuali sesamanya ji..paling kalau bermain dirumah itu sama adenya, ataupun mau keluar di tetangga terdekat itu saja tidak. Karena sosialisasinya juga mereka merasa too. Bahkan bukan hanya dari mereka yang merasa dari anak normalnya juga Y; dari pihak sekolah adaka yang dilakukan kaya sosialisasi ke lingkungan begitu? X; karena saya baru masuk jadi agak kurang tau, tapi biasanya diadakan sosialisasi diluar biar untuk menarik siswa masuk disini. Keteranngan: X: Narasumber Y: Pewawancara
V.
DATA PENGAMATAN A.
NO
Subjek I
JENIS PERKEMBANGAN
HASIL Dari segi kelengkapan anggota tubuh, Fajrin tampak seperti anak normal pada umumnya. Namun dari
1
Fisik
keberfungsian
anggota
tubuhnya,
indra
pendengarannya kurang berfungsi dengan baik dan mengalami kesulitam dalam hal berbicara.
15
Psikologis
Menurut narasumber, Fajrin adalah seorang anak yang percaya diri , karena dengan keterbatasannya itu fajrin
2
tetap mampu menjalin koneksi dengan orang yang ada disekitarnya.
3
Sosial Emosional
Fajrin termasuk siswa yang dalam kelasnya aktif berinteraksi dengan teman-temannya.
Kognitif
Perkembangan kognitif anak tuna rungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan hambatan
4
pada
bahasa
bahasa, sehingga
akan
menghambat
perkembangan intelegensi anak tuna rungu. hingga saat ini fajrin sudah mengalami perkembangan seiring dengan proses belajarnya disekolah Tugas Perkembangan
Berdasarkan tahapan perkembangan Havighurst Fajrin sudah mampu berjalan pada umur 1 tahun, namun pada usia 2 tahun fajrin belum bisa berbicara. Ibu Fajrin menerankan mengenai riwayat fajrin jatuh ketika ia telah bisa berjalan dan posisi jatuhnya membentur kepala bagian belakang. Yang pada mulanya Fajrin tampak berespon ketika dipanggil akan tetapi setelah usia 2 tahun Fajrin menjadi kurang
5
responsif terhadap suara. Oleh karena itu, untuk berkomunikasi dengan Fajrin ibunnya menyertai dengan petunjuk isyarat. Pada tahap ini Fajrin juga tampak mandiri dalam mearwat diri walaupun masih memerlukan pendampingan dari orang tua. Fajrin juga bisa meniru dan mengikuti orang lain misalnya ketika Fajrin melihat orang bekerja atau beraktifitas maka ia juga ikut berpartisipasi.
16
6
Lingkungan Pendukung
lingkungan fajrin yang mendukung adalah Sekolah dan Keluarga
Lingkungan
Yang
Tidak Lingkungan yang tidak mendukung Fajrin adalah
Mendukung
lingkungan sosial disekitarnya. Dikarenakan Fajrin dan anak-anak normal disekitarnya merasa ada
7
perbedaan diantara mereka, sehingga Fajrin lebih menutup diri dan bermain didalam rumah bersama keluarganya.
B.
NO
Subjek II
JENIS PERKEMBANGAN
HASIL Sama halnya dengan subjek 1 fisik rara juga normal, namun ada perbedaan antara subjek 1 dan 2 pada keberfungsian indranya. Dimana pada awalnya rara
1
Fisik
terlahir dengan kondisi normal, namun sekitar umur 3 tahun terjadi insiden dimana tangan rara masuk dalam rantai motor ketika bapaknya memanaskan mesin motor sehingga rara mengalami trauma. Sejak saat itu rara tidak mengalami gangguan bicara
Psikologis 2
Setelah insiden tersebut terjadi, rara menjadi sulit mengintrol emosi seperti sering berteriak dan marahmarah.
Sosial Emosional
Pada awal masuk sekolah rara masih sulit berinteraksi dengan teman-temannya. Rara membutuhkan waktu
3
kurang lebih 2 tahun untuk beradaptasi dengan l;ingkungan sekolah.
4
Kognitif
Sama halnya dengan subjek 1, dalam hal kognitif rara juga mengalami perkembangan.
17
Tugas Perkembangan
Karena
lahir
dengan
kondisi
normal
tahapan
perkembangan rara sama dengan tahap anak normal 5
lainnya kecuali setelah insiden tersebut terjadi, rara mengalami kesulitan berbicara dan keterlambatan berbicara.
6
Lingkungan Pendukung
lingkungan rara yang mendukung adalah Sekolah dan Keluarga
Lingkungan
Yang
Tidak Lingkungan yang tidak mendukung rara adalah
Mendukung
lingkungan sosial disekitarnya. Dikarenakan rara dan
7
anak-anak normal disekitarnya merasa ada perbedaan diantara mereka, sehingga rara lebih menutup diri dan bermain didalam rumah bersama keluarganya
VI.
KESIMPULAN Tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pada organ pendengaran, baik sebagian maupun keseluruhan, sehingga organ tersebut tidak berfungsi dengan baik dan berdampak kompleks dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam segi komunikasi. Tidak Hanya mengalami gangguan pendengaran, tetapi berdampak kompleks dalam kehidupan yang mempengaruhi aspek psikologis, emosi dan sosial, akademis, komunikasi dan perkembangan bahasa, serta perkembangan fisiknya. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang kami lakukan di SLB ABC Mandara Kendari Barat, terdapat dua subjek yang menjadi fokus kami yaitu Fajrin dan Rara. Kedua subjek tersebut mengalami gangguan pendengaran setelah lahir, dimana hal tersebut mempengaruhi psikologis dan sosial emosional anak dalam berinteraksi dalam lingkungannya. Kedua subjek tersebut menarik diri dari lingkungan sosialnya, karena mereka merasa berbeda dengan anak-anak lain, sehingga ruang bermain dan sosialisasi anak menjadi terbatas.
18
Oleh karena itu orang tua subjek memasukkannya dalam SLB agar anak terbiasa bersosialisasi dengan lingkungan dan memperoleh pendidikan yang memfasilitasi anak kedepannya, baik keterampilan sosial, emosional dan keterampilan lainnya.
VII.
DAFTAR PUSTAKA
Wasito, D. R., D. S. S. dan W. Sulistiani. (2010). Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum. Insan. Vol. 12 No. (03),141 Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Depok: Lembaga pengembangan sarana pengukuran dan pendidikan psikologi UI. Sadjaah, E. (2005). Pendidikan bahasa bagi anak gangguan pendengaran dalam keluarga. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Santrock, J. W. (2003). Adolescence (Edisi 6.). Erlangga: Jakarta.
19
LAMPIRAN
20
21