TUGAS 5 STRATEGI PEMBELAJARAN FISIKA “ MENJELASKAN KONSEP DASAR TEORI BELAJAR “
NAMA
: DINDA LARA PUTRI
NIM
: 17033008
PRODI
: PENDIDIKAN FISIKA B
DOSEN
: Drs.HUFRI,M.Si
JADWAL
: SENIN 07:00-09:40 FMA02212
JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2018
1. Teori belajar behavioristik Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan pada tingkah lakunya. Menurut teori ini hal yang paling penting adalah input (masukan) yang berupa stimulus dan output (keluaran) yang berupa respon. Menurut toeri ini, apa yang tejadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini lebih mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadinya perubahan tungkah laku tersebut. Faktor lain yang juga dianggap penting adalah faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan diitambahkan maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi maka responpun akan dikuatkan. Jadi, penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respon. Tokoh-tokoh aliran behavioristik diantaranya: 1. Thorndike Menurut thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Dan perubahan tingkah laku merupakan akibat dari kegiatan belajar yang berwujud konkrit yaitu dapat diamati atau berwujud tidak konkrit yaitu tidak dapat diamati. Teori ini juga disebut sebagai aliran koneksionisme (connectinism). 2. Watson Menurut Watson, belajar merpakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Dengan kata lain, meskipun ia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam bentuk benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati. 3. Clark Hull Clark Hull juga menggunakan variable hubangan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Baginya, seperti teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori ini mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh bagian manusia, sehingga stimulus
dalam
belajarpun
hampir
selalu
dikaitkan
dengan
kebutuhan
biologis,walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. 4. Edwin Guthrie Demikian juga Edwin, ia juga menggunakan variabel stimulus dan respon. Namun ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana Clark Hull. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. 5. Skinner Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif. Menurutnya, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya : 1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike. Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukumhukum belajar, diantaranya: 1. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons. 2. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. 3. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukumhukum belajar, diantaranya : 1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. 2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
3. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat. 4. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah. Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social Learning menurut Albert Bandura Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
Dari beberapa tokoh teori behavioristik Skinner merupaka tokoh yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori behavioristik. Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Karena aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan faktorfaktor penguat (reinforcement), dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktik pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti Kelompok Belajar, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan. Teori ini memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata telah terstruktur rapi dan teratur, sehingga siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Berdasarkan uraian di atas, Inti dari teori belajar behavioristik, adalah a)
Belajar adalah perubahan tingkah laku.
b)
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan
perubahan tingkah laku. c)
Pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran yang berupa
respon . d)
sesuatu yang terjadi diantara stimulus dan respon tidak dianggap penting sebab
tidak bisa diukur dan diamati. e)
Yang bisa di amati dan diukur hanya stimulus dan respon.
f)
Penguatan adalah faktor penting dalam belajar.
g)
Bila penguatan ditambah maka respon akan semakin kuat , demikian juga jika
respon dikurangi maka respon juga menguat.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas
“mimetic”
yang menuntut
siswa
untuk
mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban yang benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.
2. Teori belajar kongnitivistik 1. Pengertian Kognitivisme Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat” penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya. Di samping itu, teori ini pun mengenal konsep bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara individu dan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Teori kognitivisme mengungkapkan bahwa belajar yang dilakukan individu adalah hasil interaksi mentalnya dengan lingkungan sekitar sehingga menghasilkan perubahan pengetahuan atau tingkah laku. Dalam pembelajaran pada teori ini dianjurkan untuk menggunakan media yang konkret karena anak-anak belum dapat berfikir secara abstrak. Dalam teori ini ada dua bidang kajian yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar, yaitu: 1. Belajar tidak sekedar melibatkan stimulus dan respon tetapi juga melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks (Budiningsih, 2005:34)1[1][1] 2. Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Menurut psikologi kognitivistik, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti sesuatu dengan jalan mengaitkan pengetahuan baru kedalam struktur berfikir yang sudah ada. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempraktekkan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sehingga, pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukkan keberhasilan mempelajari informasi pengetahuan yang baru.
Teori ini juga menganggap bahwa belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh pemahaman. Dalam model ini, tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya. Sedangkan situasi yang berhubungan dengan tujuan dan perubahan tingkah laku sangat ditentukan oleh proses berfikir internal yang terjadi selama proses belajar. Pada prinsipnya, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat dilihat sebagai tingkah laku (tidak selalu dapat diamati)2[3][3]. Dalam teori ini menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian dari situasi yang terjadi dalam proses belajar saling berhubungan secara keseluruhan. Sehingga jika keseluruhan situasi tersebut dibagi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah, maka sama halnya dengan kehilangan sesuatu (reilly dan lewis, 1983)3[4][4]. Sehingga dalam aliran kognitivistik ini terdapat ciri-ciri pokok. Adapun ciri-ciri dari aliran kognitivistik yang dapat dilihat adalah sebagai berikut: a) Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia b) Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian c) Mementingkan peranan kognitif d) Mementingkan kondisi waktu sekarang e) Mementingkan pembentukan struktur kognitif Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentukbentuk representatif yang mewakili obyek-obyek itu di representasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali kenegerinya sendiri. Tempat-tempat yang dikunjuginya selama berada di lain negara tidak dapat dibawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semua tanggapantanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya. 2. Tokoh-tokoh kognitivisme Tokoh dari teori tersebut antara lain Jean Peaget, Bruner, dan Ausebel, Robert M. Gagne. a. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget. Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya ialah Jean Piaget, yang pernah mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak yang terdiri atas beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu (B1) Piaget mengatakan bahwa (i) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan kreatif dalam menguasai bahasa ibunya; (ii) kemampuan untuk menguasai bahasa itu didasari oleh adanya kognisi; (iii) kognisi itu memiliki struktur dan fungsi. Fungsi itu bersifat genetif, dibawa sejak lahir, sedangkan struktur kognisi bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan. Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari
guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah : Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan sebaik-baiknya. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetic, artinya proses yang didasarkan atas mekenisme biologis dari perkembangan system syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, makin komplek susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya (Travers, 1976). Sehingga ketika dewasa seseorang akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif didalam struktur kognitifnya. Piaget membagi proses belajar kedalam tiga tahapan yaitu : a) Asimilasi Proses pengintgrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Contoh : seorang siswa yang mengetahui prinsip-prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka terjadilah proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dipahami oleh anak) dengan prinsip perkalian (informasi baru yang akan dipahami anak). b) Akomodasi Proses penyesuaian antara struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Penerapan proses perkalian dalam situasi yang lebih spesifik. Contohnya : siswa ditelah mengetahui prinsip perkalian dan gurunya memberikan sebuah soal perkalian. c) Equilibrasi Proses penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Hal ini sebagai penyeimbang agar siswa dapat terus berkembang dan menambah ilmunya. Tetapi sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan roses penyeimbang. Tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur, sedangkan dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai informasi yang diterima dengan urutan yang baik, jernih, dan logis. Piaget berpendapat bahwa belajar merupakan proses penyesuaian, pengembangan dan pengintegrasian pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang sebelumnya. Inilah yang disebut dengan konsep schema/skema (jamak = schemata/schemata). Sehingga hasil belajar/ struktur kognitif yang baru tersebut akan menjadi dasar untuk kegiatan belajar berikutnya.4[6][6] Proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui oleh siswa yang terbagi kedalam empat tahap, yaitu : 1) Tahap sensorimotor (anak usia lahir – 2 tahun) 2) Tahap preoperational (anak usia 2 – 8 tahun) 3) Tahap operational konkret (anak usia 7/8 – 12/14 tahun) 4) Tahap operational formal (anak usia 14 tahun lebih)
Secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin teratur dan juga semakin abstrak cara berfikirnya. Karena itu guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif aak didiknya, serta memberikan isi, metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut. Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Proses belajar yang dialami seorang anak berbeda pada tahap-tahap lainnya. Oleh karena itu guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya serta memberikan isi, metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahapannya. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jarome Bruner. Berbeda dengan Piaget, Burner melihat perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Bruner, perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya digunakan. Sehingga, perkembangan bahasa memberi pengaruh besar dalam perkembangan kognitif (Hilgard dan Bower, 1981). Menurut Bruner untuk mengajarkan sesuatu tidak usah menunggu sampai anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan kata lain, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi, tetapi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif mereka, artinya menuntut adanya pengulangan-pengulangan. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan (Free Discovery Learning). Dengan kata lain, belajar dengan menemukan. Implikasi Teori Bruner dalam Proses Pembelajaran adalah menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah; anak akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang telah dimilikinya; dan dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan di dalam benaknya. Dari implikasi ini dapat diketahui bahwa asumsi dasar dari teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman didalam dirinya yang tertata dalam bentuk struktur kognitif, yang kemudian mengalami tahap belajar sebagai perubahan persepsi dan pemahaman dari apa yang aia temukan. Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan ( termasuk konsep, teori, definisi, dsb) melalui contoh-contoh yang menggambarkan ( mewakili ) aturan yang menjadi sumber . Dari pendekatan ini “belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan). Siswa diberikan suatu informasi umum dan diminta untuk mencari contoh-contoh khusus dan konkrit . Menurut bruner ada 3 tahap dalam perkembangan kognitif, yaitu:5[8][8] 1. Enaktif : usaha/kegiatan untuk mengenali dan memahami lingkungan dengan observasi, pengalaman terhadap suatu realita.
2. Ikonik :siswa melihat dunia dengan melalui gambar-gambar dan visualaisasi verbal. 3. Simbolik : siswa mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika dan penggunaan symbol. Keuntungan belajar menemukan (Free Discovery Learning): a. Menimbulkan rasa ingin tahu siswa sehingga dapat memotivasi siswa untuk menemukan jawabannya. b. Menimbulkan keterampilan memecahkan masalahnya secara mandiri dan mengharuskan siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Ausebel. Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru (belajar menjadi bermakna/ meaning full learning). Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap: 1) Memperhatikan stimulus yang diberikan. 2) Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami. Meaning full learning adalah suatu proses dikaitkannya Menurut Ausebel siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (Advanced Organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa. Advanced organizer adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi seluruh isi pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa. Advanced organizer memberikan tiga manfaat yaitu : 1. Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi yang akan dipelajari. 2. Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari. 3. Dapat membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah. Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran harus sangat baik, dengan demikian ia akan mampu menemukan informasi yang sangat abstrak, umum dan inklusif yang mewadahi apa yang akan diajarkan. Guru juga harus memiliki logika berfikir yang baik, agar dapat memilah-milah materi pembelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat, serta mengurutkan materi tersebut dalam struktur yang logis dan mudah dipahami. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Robert M. Gagne Menurut gagne belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Pengolahan otak manusia : a) Reseptor b) Sensory register c) Short-term memory d) Long-term memory e) Response generator Salah satu teori yang berasal dari psikolog kognitiv adalah teori pemrosesan informasi yang dikemukakan oleh Robert M. Gagne. Menurut teori ini belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Reseptor (alat indera) : menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya menjadi rangsaangan neural, memberikan symbol informasi yang diterimanya dan kemudian di teruskan. b. Sensory register (penempungan kesan-kesan sensoris) : yang terdapat pada syaraf pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensoris dan mengadakan seleksi sehingga terbentuk
suatu kebulatan perceptual. Informasi yang masuk sebagian masuk ke dalam memori jangka pendek dan sebagian hilang dalam system. c. Short term memory ( memory jangka pendek ) : menampung hasil pengolahan perceptual dan menyimpannya. Informasi tertentu disimpan untuk menentukan maknanya. Memori jangka pendek dikenal juga dengan informasi memori kerja, kapasitasnya sangat terbatas, waktu penyimpananya juga pendek. Informasi dalam memori ini dapat di transformasi dalam bentuk kode-kode dan selanjutnya diteruskan ke memori jangka panjang. d. Long Term memory (memori jangka panjang) :menampung hasil pengolahan yang ada di memori jangka pendek. Informasi yang disimpan dalam jangka panjang, bertahan lama, dan siap untuk dipakai kapan saja. e. Response generator (pencipta respon) : menampung informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang dan mengubahnya menjadi reaksi jawaban. 3. Aplikasi teori Kognitivisme Aplikasi teori belajar kognitivisme dalam pembelajaran yaitu guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana kekompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa. Berdasarkan prinsip teori pemrosesan informasi dirumuskan beberapa petunjuk aplikasi teori pemrosesan informasi, yaitu (a) guru hendaknya yakin bahwa setiap siswa memiliki perhatian terhadap apa yang dipelajari. Karena itu untuk menarik perhatian siswa, guru dapat melakukan tindakan dengan memberikan tanda tertentu misalnya tepuk tangan atau menghentakkan papan tulis, berkeliling ruangan atau berbicara dengan irama, memulai pelajaran dengan mengajukan pertanyaan yang membangkitkan minat siswa terhadap topik yang dibicarakan, (b) membantu siswa membedakan iinformasi yang penting dengan informasi yang tidak penting untul memusatkan perhatian misalnya dengan menuliskan tujuan pembelajaran, waktu menjelaskan berhenti sejenak dan mengulangi lagi atau meminta siswa mengulangi apa yang dijelaskan, (c) membantu siswa menghubungkan informasi yang baru dengan apa yang diketahui misalnya dengan mengulangi hal-hal yang diketahui siswa untuk mengingat kembali dan menghubungkan dengan informasi baru, menggunakan diagram atau garis untuk menunnjukkan hubungan informasi baru dengan informasi yang dimiliki, (d) sediakan waktu untuk mengulang dan memeriksa kembali informasi dengan memulai pelajaran meninjau ulang pekerjaan rumah, mengadakan tes-tes pendek yang sering, membuat permainan atau siswa saling berpasangan bertanya jawab, (e) sajikan pelajaran secara tersusun dan jelas misalnya menjelaskan tujuan pembelajaran, membuat ikhtisar atau rangkuman, dan (f) utamakan pembelajaran bermakna bukan ingatan misalnya dengan mengajarkan perbendaharaan kata-kata baru dan mengaitkannya dengan kata-kata yang sudah dimiliki. Strategi mengingat atau menyimpan informasi dalam ingatan dan mengingatnya kembali bila dibutuhkan dapat dilakukan (a) untuk menghafal informasi yang tidak membutuhkan pemahaman, gunakan meneumonic (pembantu ingatan, kiat, atau jembatan keledai). Misalnya untuk menghafal kata-kata ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, nasional dengan mneumonic IPOLEKSOSBUD HANKAMNAS, (b) rumusan kembali dengan kalimat sendiri apa yang telah dipelajari, dan (c) untuk mengatasi inhibisi retroaktif dapat dilakukan berbagai cara misalnya mengajarkan konsep serupa tidak dalam waktu yang bersamaan atau mengajarkan materi serupa dengan metode yang berbeda. Dalam proses pembelajaran kita jumpai serial learning dan free recall learning, yaitu belajar fakta menurut urutan tertentu, misalnya urutan rukun iman, rukun islam, atau berwudlu serta
urutan warna, urutan peristiwa dalam sejarah. Sedangkan free recall learning ialah mempelajari daftar yang tidak perlu diurut, misalnya nama-nama nabi atau rasul, nama tumbuhan, nama organ tubuh dan sebagainya. Dalam praktiknya serial learning dan free recall learning terdapat beberapa cara (a) organisasi atau penyusunan misalnya dengan menyusun daftar informasi yang akan dipelajari menjadi kategori yang mempunyai arti dan mudah diingat, (b) metode loci, artinya tempat. Ialah metode alat bantu mengingat dimana seorang membuat gambaran pikiran yang berkaitan dengan tempat-tempat tertentu, (c) irama, metode mengingat dalam bentuk nyanyian. Misalnya untuk mengenalkan urutan rukun Islam atau rukun iman dengan nyanyian. 4. Kelebihan dan kelemahan teori Kognitivisme a) Kelebihannya yaitu : menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri; membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah. b) Kekurangannya yaitu : teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan; sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut; beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas. 5. Pandangan Teori Kognitif Tentang Belajar Menurut teori kognitif, belajar ialah proses internal yanh tidak dapat diamati langsung. Perubahan terjadi dalam kemampuan seseorang untuk bertingkah laku dan berbuat dalam situasi tertentu. Perubahan dalam tingkah laku adalah refleksi dari perubahan internal. Seperti halnya teori behavioristik, teori kognitif berpendapat bahwa reinforcement dalam sangat penting. Hanya saja reinforcement dalam teori behavioristik berfungsi memperkuat respon atau tingkah laku, sementara dalam teori kognitif berfungsi sebagai sumber umpan balik. Umpan balik ini memberi tahu tentang apa yang mungkin terjadi kalau tingkah laku diulang-ulang. Dalam teori ini reinforcement juga berfungsi untuk mengurangi ketidakpastian yang mengarah ke pemahaman dan penguasaan.
Sumber: https://sites.google.com/site/mulyanabanten/home/teori-belajar-behavioristik http://cikguanashazana.blogspot.com/2009/08/teori-belajar-behavioristik.html https://cecepkustandi.wordpress.com/2015/06/29/teori-belajar-kognitivistik/ http://muhardin1995.blogspot.com/2015/05/teori-belajar-kognitivisme.html