Tugas 10 Kasus Terbanyak Dokter Benyamin.docx

  • Uploaded by: Nur Amira Amalina
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas 10 Kasus Terbanyak Dokter Benyamin.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,552
  • Pages: 10
DISPEPSIA Definisi Dispepsia Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan). Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambar keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, termasuk juga didalamnya penyakit yang mengenai lambung atau yang dikenal sebagai penyakit maag (Djojodiningrat, 2006).

Klasifikasi Dispepsia Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu: 1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis, stomach cancer, Gastro-Esophageal reflux disease, hiperacidity. 2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan) (Mansjoer, 2000).

Jenis-jenis dispepsia organik a. Tukak Pada Saluran Cerna Atas Tukak dapat ditemukan pada saluran cerna bagian atas yaitu pada mukosa, submukosa dan lapisan muskularis, pada distal esophagus, lambung dan duodenum. Keluhan yang sering terjadi adalah nyeri epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat atau tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeri epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan atau setelah minum antasida. Gejala lain seperti mual, muntah, kembung, bersendawa dan kurang nafsu makan (Hadi S, 2002). b. Gastritis Gastritis adalah peradangan/inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung. Penyebabnya oleh makanan atau obat-obatan yang mengiritasi mukosa lambung dan adanya pengeluaran asam lambung yang berlebihan. Gejala yang timbul seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan menurun dan kadang terjadi perdarahan (Sutanto, 2007). c. Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD)

Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah kelainan yang menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir balik) ke kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa panas terbakar di dada (hearthburn), kadang disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta kesulitan menelan. Belum ada tes standar untuk mendiagnosa GERD, kejadiannya diperkirakan dari gejala-gejala penyakit lain atau dari ditemukannya radang pada esofagus seperti esofagitis (Berdanier, 2008). d. Karsinoma Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas, kolon) sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri perut, bertambah dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang menyebabkan berat badan turun (Hadi S, 2002). e. Pankreatitis Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri hebat di epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti ditusuk-tusuk dan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum kemudian menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke seluruh perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut yang tegang menyebabkan mual dan kadangkadang muntah. Rasa nyeri di perut bagian atas juga terjadi pada penderita pankreatitis kronik. Nyeri yang timbul seperti ditusuk-tusuk, menjalar ke punggung, mual dan muntah hilang dan timbul. Pada pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa pedih, melainkan disertai tanda-tanda diabetes melitus atau keluhan steatorrrhoe (Hadi, 2002). f. Dispepsia pada Sindrom Malabsorbsi Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses absorbsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Penderita ini mengalami keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung dan timbulnya diare berlendir (Sudoyo, 2009). g. Gangguan Metabolisme Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual dan muntah. Definisi gastroparesis yaitu ketidakmampuan lambung untuk mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila makanan berbentuk padat tertahan di lambung. Gangguan metabolik lain seperti hipertiroid yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus (Hadi, 2002). h. Dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter pylori Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih Nobel dari Australia, Barry Marshall dan Robin Warre yang menemukan adanya bakteri yang bisa hidup dalam lambung manusia. Penemuan ini mengubah cara pandang ahli dalam mengobati penyakit lambung. Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori pada lambung dapat menyebabkan peradangan mukosa lambung yang disebut gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau tukak bahkan dapat menjadi kanker (Rani, 2007).

Dispepsia Fungsional Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang terjadi pada kondisi perut bagian atas seperti rasa tidak nyaman, mual, muntah, rasa penuh setelah makan yang menunjukkan perubahan sensitivitas syaraf di sekeliling abdomen dan kontraksi otot yang tidak terkoordinasi di dalam perut. Penyebab ini secara umum tidak sama walaupun beberapa kasus berhubungan dengan stress, kecemasan, infeksi, obat-obatan dan ada beberapa berhubungan dengan IBS (irritable bowel syndrome) (Desai, 2012). Kriteria Rome III menetapkan dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 1. Postprandial distress syndrome a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu. b. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu. Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan dan dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrum.

2.

Epigastric pain syndrome

a. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrum dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu b. Nyeri timbul berulang c. Tidak menjalar atau terlokalisai di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium d. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin e. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfinger oddi. Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah a. Nyeri epigastrum dapat berupa rasa terbakar, tetapi tanpa menjalar ke daerah retrosternal

b. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, tetapi mungkin timbul saat puasa c. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distress setelah makan (Abdulah dan Gunawan, 2012).

Patofisiologi Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stress, pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung. Kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam lambung, sehingga rangsangan di medula oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan (Anonim, 2010). Lambung mempunyai fungsi yaitu fungsi motorik dan fungsi pencernaan dan sekresi. Fungsi motorik lambung dibagi menjadi a.

Fungsi menampung

Menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedikit demi sedikit dicerna dan bergerak pada saluran cerna. Menyesuaikan peningkatan volume tanpa menambah tekanan dengan relaksasi reseptif otot polos diperantarai oleh nervus vagus dan dirangsang oleh gastrin. b.

Fungsi mencampur

Memecahkan makanan menjadi partikel-partikel kecil dan mencampurnya dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang mengelilingi lambung. Kontraksi peristaltik diatur oleh suatu irama listrik intrinsik dasar. c.

Fungsi pengosongan lambung

Diatur oleh pembukaan sfinger pilorus yang dipengaruhi oleh viskositas, volume, keasaman, aktivitas osmotik, keadaan fisik, serta oleh emosi, obat-obatan dan olah raga. Pengosongan lambung diatur oleh faktor saraf dan hormonal seperti kolesistokinin. Fungsi pencernaan dan sekresi antara lain a. Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL, pencernaan karbohidrat dan lemak oleh amilase dan lipase dalam lambung kecil peranannya. b. Sintesa dan pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan, peregangan antrum, alkalinisasi antrum dan rangsangan vagus. c. Sekresi faktor intrinsik memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus halus bagian distal d. Sekresi mukus membentuk selubung yang melindungi lambung serta berfungsi sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut e. Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi gel mukus, berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin (Price dan Wilson, 2006)

Asam klorida (HCL) di dalam lambung mempunyai fungsi sebagai berikut

a. Menggiatkan enzim-enzim pepsinogen yang dihasilkan getah lambung menjadi pepsin yang berfungsi memecah protein menjadi pepton b.

Sebagai desinfektan atau pembunuh kuman (bibit penyakit) yang masuk lambung.

c. Membantu dalam membuka dan menutup klep yang terdapat diantara pilorus dan duodenum. d.

Merangsang pengeluaran (sekresi) getah usus.

Getah lambung yang dimaksud diatas (gastric juice) sekresinya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor psikis dan hormonal. a.

Faktor psikis

Faktor ini sama dengan yang mempengaruhi kerja glandula saliva (kelenjar ludah) yaitu reflek pikir, melihat atau mencium makanan yang dapat merangsang keluarnya getah lambung. b.

Faktor hormonal

Ada dua tahapan yaitu 1. Tahapan gastrium, berdasarkan pada timbulnya rangsangan setelah makanan masuk ke lambung, hormon gastrin terproduksi yang berfungsi merangsang keluarnya getah lambung. 2. Tahapan intestinal berdasarkan timbulnya rangsangan chyme memasuki mukosa duodenal akan mengeluarkan sekresi hormon ini berfungsi merangsang keluarnya getah pankreatik dan empedu. Bila terdapat lemak dalam makanan yang masuk ke usus maka akan keluar hormon enterogaster yang berfungsi menghambat keluarnya cairan lambung (HCL). Selain untuk dapat menghambat berlangsungnya motilitas Gastro Intestinal Tract dengan demikian makanan yang telah tercerna akan tertahan lebih lama dalam lambung dan usus (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2005).

Gejala yang ditimbulkan oleh dispepsia antara lain berupa mual, muntah, anoreksia dan diare. Mual merupakan sensasi subjektif yang tidak menyenangkan dan sering mendahului muntah. Terjadinya muntah diawali dengan berjalannya impuls-impuls aferen ke pusat muntah sebagai aferen vagus dan simpatis. Impuls aferen ini berasal dari lambung atau duodenum yang muncul sebagai respon terhadap stimulasi kimiawi oleh emetik (bahan penyebab muntah). Apabila refleks muntah terjadi pada pusat muntah, terjadi melalui aktifitas beberapa syaraf kranialis ke wajah dan kerongkongan serta neuron motorik spinalis ke otot abdomen dan diaframa. Gejala-gejala yang dapat terjadi sebelum muntah adalah mual, takikardi dan berkeringat (Corwin, 2009).

Faktor-faktor yang Menyebabkan Dispepsia Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat organik dan fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain karena terjadinya gangguan di saluran cerna atau di sekitar saluran cerna, seperti pankreas, kandung empedu dan lain-lain. Sedangkan penyakit yang bersifat fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor intoleran terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu (Abdulah dan Gunawan, 2012). Faktor-faktor yang menyebabkan dispepsia adalah: 1. Gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal dari saluran pencernaan bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas). 2. Menelan terlalu banyak udara atau mempunyai kebiasaan makan salah (mengunyah dengan mulut terbuka atau berbicara). 3. Menelan makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dapat membuat lambung terasa penuh atau bersendawa terus. 4. Mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa memicu timbulnya dispepsia, seperti minuman beralkohol, bersoda (soft drink), kopi. Minuman jenis ini dapat mengiritasi dan mengikis permukaan lambung. 5. Obat penghilang nyeri seperti Nonsteroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID) misalnya aspirin, Ibuprofen dan Naproven (Rani, 2007). 6.

Pola makan

Di pagi hari kebutuhan kalori seseorang cukup banyak sehingga bila tidak sarapan, lambung akan lebih banyak memproduksi asam. Tuntutan pekerjaan yang tinggi, padatnya lalu lintas, jarak tempuh rumah dan kantor yang jauh dan persaingan yang tinggi sering menjadi alasan para profesional untuk menunda makan (Rani, 2007). 7. Faktor stres Faktor stres erat kaitannya dengan reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Pada waktu stres akan menyebabkan otak mengaktifkan sistem hormon untuk memicu sekresinya. Proses ini memicu terjadinya penyakit psychosomatik dengan gejala dispepsia seperti mual, muntah, diare, pusing, nyeri otot dan sendi (Irawan, 2007).

Diagnosis Menurut Chang (2006), sindrom dispepsia dapat di diagnosis dengan menggunakan kriteria diagnosis Rome III. Berdasarkan kriteria diagnosis Rome III, sindroma dispepsia di diagnosis dengan gejala rasa penuh yang mengganggu, cepat kenyang, rasa tidak enak atau nyeri epigastrium, dan rasa terbakar pada epigastrium. Pada kriteria tersebut juga dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan adanya satu atau lebih dari gejala dispepsia yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal.

Dalam menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana, dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi. Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar pola dispepsia yang dikenal yaitu:

 



Dispepsia tipe seperti ulkus (nyeri di epigastrium terutama saat lapar / epigastric hunger pain yang reda dengan pemberian makanan, antasida, dan obat antisekresi asam).



Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual, kembung, dan anoreksia).



Dispepsia non spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan (Djojoningrat, 2009).

Menurut Djojoningrat (2009), terdapat batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasi kemungkinan adanya penyebab organik. Jika terdapat alarm symptoms atau alarm sign seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, muntah yang prominen, maka hal tersebut merupakan petunjuk awal akan kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya. Menurut Bytzer (2004) tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi dan banyak pasien yang dapat ditatalaksana dengan baik dan diagnosis secara klinis dengan baik kecuali bila ada alarm sign, seperti terlihat pada Tabel 3. Bila terdapat salah satu atau lebih pada tabel tersebut ada pada pasien, sebaiknya dilakukan pemeriksaan endoskopi.

Tabel 3. Alarm Sign Umur ≥ 45 tahun (onset baru) Perdarahan dari rektal atau melena Penurunan berat badan > 10% Anoreksia Muntah yang persisten Anemia atau perdarahan Massa di abdomen atau limfadenopati Disfagia yang progresif atau odinofagia Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya Riwayat ulkus peptikum Kuning (Jaundice)

Tatalaksana Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri atau distres postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi bertujuan menekan asam lambung (H2blocker, PPI). Pada tipe distres postprandial, lini pertama dengan prokinetik, seperti metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide (inhibitor asetilkolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3), tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a). Bila lini pertama gagal, PPI dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan prokinetik untuk tipe nyeri. Kombinasi obat penekan asam lambung dan prokinetik bermanfaat pada beberapa pasien. Tidak ada terapi yang efektif untuk semua pasien; berbagai terapi dapat digunakan secara berurutan ataupun kombinasi. Pada kasus yang tidak berespons terhadap obat-obat tersebut, digunakan antidepresan. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari, nortriptilin 10 mg/ hari, imipramin 50 mg/hari) selama 8-12 minggu cukup efektif untuk terapi dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak lebih efektif dari plasebo. Meskipun masih kontroversial, dapat dilakukan tes H. pylori pada kasus dispepsia fungsional mengingat infeksi tersebut umumnya asimptomatik. Terapi kondisi psikologis seperti cemas atau depresi dapat membantu pada kasus dispepsia sulit/ resisten. Terapi psikologis, akupunktur, suplemen herbal, probiotik psikologis pada dispepsia fungsional masih belum terbukti. Edukasi pasien penting untuk menghindari faktor pencetus seperti mengurangi stres/ kecemasan, memulai pola makan teratur porsi lebih sedikit dan menghindari makanan pemicu. Terapi GERD bertujuan untuk mengurangi jumlah asam lambung yang memasuki esofagus distal dengan cara menetralkan asam lambung, mengurangi produksi, dan meningkatkan pengosongan lambung ke duodenum, serta menghilangkan ketidaknyamanan akibat rasa terbakar. Terapi pilihan, yaitu PPI atau H2-blocker, 6 dapat didukung dengan pemberian antasida, agonis 5-HT4, atau analog prostaglandin (sukralfat, misoprostol). Edukasi pasien untuk mengurangi makanan/minuman pemicu gejala dispepsia (pedas, berlemak, asam, kopi, dan alkohol), membiasakan makan porsi sedikit frekuensi sering, tidak langsung berbaring setelah makan, elevasi tubuh bagian atas saat tidur dan menurunkan berat badan direkomendasikan. Terapi ulkus H. pylori bertujuan eradikasi kuman dan menyembuhkan ulkus, melalui 3 regimen, yaitu: PPI (co. omeprazole 2x20- 40 mg) atau H2-blocker (co. ranitidine 2x150 mg atau 300 mg sebelum tidur), ditambah dua antibiotik berikut: klaritomisin 2x500 mg, amoksisilin 2x1 g, atau metronidazol 2x400- 500 mg selama 7-14 hari. Jika alergi terhadap penisilin, diberikan 4 macam terapi, yaitu: PPI (co. omeprazole 2x20-40 mg), bismuth 4x120 mg, metronidazol 4x250 mg, dan tetrasiklin 4x500 mg selama 10-14 hari. Eradikasi H. pylori perlu diverifikasi dengan tes non-invasif (uji napas urea, tes antigen tinja) 4 minggu setelah selesai terapi. Terapi ulkus peptikum terkait NSAID adalah dengan menghentikan penggunaan NSAID atau mengganti dengan antinyeri inhibitor COX-2 selektif.1 Terapi dengan PPI cukup efektif pada ulkus terkait NSAID (lebih superior dibandingkan H2-blocker). Infus kontinu PPI selama 72 jam direkomendasikan pada kasus perdarahan ulkus peptikum berat, untuk mempertahankan pH lambung >6.1 Patogenesis dispepsia fungsional multifaktorial. Beberapa terapi farmakologis yang direkomendasikan sesuai patogenesis, yaitu: (1) penekan asam lambung mengontrol hipersentivitas lambung, (2) prokinetik memperbaiki gangguan motilitas lambung, (3)

antidepresan mengatasi gangguan psikologis, mempercepat pengosongan lambung dan memanipulasi persepsi nyeri. Efikasi obat penekan asam (H2-blocker, PPI) pada dispepsia fungsional adalah sedang. Antasida, bismuth, dan sukralfat tidak efektif pada dispepsia fungsional. Prokinetik lebih efektif dibandingkan plasebo

Related Documents


More Documents from "Muchtar Latif"