Tionghoa

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tionghoa as PDF for free.

More details

  • Words: 4,428
  • Pages: 11
ETNIK TIONGHOA DI DALAM PUSARAN PERUBAHAN INKLUSIF Faisal Basri (Jakarta)

Kebebasan. Itulah barangkali satu kata yang bisa menggambarkan suasana kehidupan berbangsa pascareformasi. Kejatuhan rezim otoriter Soeharto melahirkan tiga perubahan besar yang berlangsung secara simultan: sistem politik, sistem pemerintahan, dan corak perekonomian. Di antara negara-negara yang mengalami krisis tahun 1997/1998, Indonesialah yang paling mengalami perubahan besar dan mendasar. Mengingat magnitude perubahan yang sangat besar, bisa dipahami kalau perjalanan reformasi di Indonesia terkesan lamban, bahkan ada yang mengatakan sedang mengalami mati suri. Namun, kelompok yang lebih optimistik meyakini bahwa proses menuju bentuk yang baru membutuhkan waktu yang lebih lama daripada yang dibayangkan di awal reformasi. Harus diingat bahwa reformasi tidak dikuti oleh perubahan rezim sebagaimana yang terjadi di Korea. Anasir-anasir Orde Baru masih menancapkan kukunya di berbagai aspek kedidupan. Kelompok reformis lekas puas dengan sekedar menumbangkan Soeharto. Momentum yang tercipta pada tahun 1998 untuk menyingkirkan rezim Orde Baru menjadi sirna karena kaum reformis tak bersatu. Masing-masing kelompok lebih mengedepankan ambisi kekuasaan dan untuk itu bersikap kompromistik terhadap anasir-anasir kekuasaan lama. Hal ini pulalah yang membuat agenda penegakan hak asasi manusia (HAM) dan korupsi tersendat-sendat.[1] Big Bang Sistem politik berubah drastik, dari yang bergaya oligarki di bawah dominasi Golkar—dengan pusat grafitasi pada sosok Soeharto—dan dua partai politik sebagai “pemanis” menjadi sistem multipartai. Berbagai spektrum masyarakat bermunculan, mencoba peruntungan dalam persaingan di pasar politik. Namun, secara garis besar, pengelompokan politik tak banyak berbeda dengan yang terjadi pada pemilihan umum tahun 1955, yakni: partai kiri, partai kanan, dan partai tengah. Komposisi di antara ketiga kekuatan politik ini pun menyerupai pengelompokan pada tahun 1955, walau tampak ada kecenderungan konvergensi atau membesar ke arah tengah (kiri-tengah, tengah, dan kanan-tengah). Perubahan mendasar di bidang politik terlihat pula pada pergeseran kekuatan dari yang tadinya berat ke eksekutif menjadi lebih berimbang antara eksekutif dan legislatif. Penyebab utama dari pergeseran ini adalah karena tak ada lagi satu partai yang dominan di parlemen dan masih belum tumbuhnya budaya oposisi sehingga tidak menghasilkan pengelompokan politik yang solid. Perubahan mendasar di bidang pemerintahan ditandai oleh penerapan otonomi daerah. Prinsip dasar yang menjadi acuan ialah federalisme, dalam artian semua kewenangan pada

dasarnya ada di tangan daerah (kabupaten/kota dan propinsi), kecuali untuk bidang-bidang yang karena karakteristiknya yang khas harus berada di bawah kendali pemerintah pusat. Konstatasi ini diperkuat oleh kenyataan telah hadirnya embrio “negara bagian” Aceh dan Papua. Kedua propinsi ini memiliki undang-undang khusus sehingga dalam beberapa hal tidak tunduk pada undang-undang nasional. Hanya saja, perwujudan federalisme tampaknya masih sangat jauh karena beberapa faktor. Pertama, otonomi daerah tidak diimbangi oleh perubahan mendasar dalam hubungan keuangan pusat-daerah. Hingga kini, tak satu jenis pajak pusat pun yang dialihkan ke daerah. Bahkan, sebagian besar daerah masih sangat bergantung pada kucuran dana pusat, karena basis penerimaan asli daerah masih sangat terbatas. Kedua, belum muncul kesadaran yang kuat pada daerah untuk memperjuangkan status keistimewaan atau setidaknya kekhususan, padahal setiap daerah pada galibnya memiliki beragam kekhususan sebagaimana yang dimiliki Aceh dan Papua. Ketiga, federalisme merupakan istilah yang “tabu” dan kerap disalahartikan seolah-olah lawan antitesa dari negara kesatuan. Yang tak kalah mendasar ialah perubahan di bidang ekonomi. Perekonomian Indonesia turut menghirup udara kebebasan yang dihembuskan oleh reformasi. Memang tidak sebebas negara-negara penganut aliran Neoklasik atau Neoliberal. Tapi, setidaknya, kesumpekan akibat monopoli dan kartel terang-terangan yang diabsahkan pemerintah bisa dikatakan sudah nyaris sirna. Kendali pemerintah pusat atas daerah sudah jauh berkurang. Pemerintah tak bisa lagi mendikte DPR untuk mengesahkan anggaran pendapatan dan belanja negara tanpa perubahan satu sen pun. Bank Indonesia tak lagi di bawah ketiak pemerintah. Penguasaan negara di sektor produksi sudah jauh berkurang. Di sektor telekomunikasi, penerbangan, perbankan, dan perkebunan, peran badan usaha milik negara tak lagi dominan, digantikan oleh swasta domestik maupun asing. Fungsi ganda negara sebagai pelaku dan pengatur sudah banyak dipereteli. Muncul lembaga-lembaga independen ataupun semi-independen yang khusus mengatur dan mengawasi bidang-bidang tertentu, misalnya: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Badan Pengelola Migas (BP-Migas), dan masih banyak lagi lainnya. Perlindungan terhadap industri atau usaha dalam negeri dikikis oleh liberalisasi perdagangan. Proteksi dipangkas hingga tingkat yang sangat rendah, sebagaimana tercermin dari tarif bea masuk rata-rata yang sudah di bawah sepuluh persen. Tidak terkecuali terhadap produk-produk pertanian yang dihasilkan oleh hampir separuh penduduk yang taraf kehidupannya terbilang masih sangat memprihatinkan. Posisi Etnik Tionghoa Semua kelompok masyarakat memiliki tanggung jawab dan peluang yang sama untuk turut mewarnai perjalanan bangsa ke depan. Perjuangan untuk mewujudkan cita-cita proklamasi masih panjang. Salah satu tujuan akhir dari pembangunan ialah mewujudkan kemakmuran rakyat yang berkeadilan sosial. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat mencantumkan salah satu tujuan kemerdekaan ialah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara itu, Bung Karno menjabarkan tujuan bernegara adalah: mengenyahkan kemiskinan dari bumi Indonesia merdeka, menangkal dominasi kaum kapitalis dalam kehidupan perekonomian, dan kesejahteraan yang merata ke seluruh rakyatnya. Bertolak dari landasan idial di atas, agaknya tak berlebihan untuk mengatakan bahwa

kendaraan yang harus kita gunakan untuk menuju cita-cita kemerdekaan ialah sistem ekonomi pasar sosial atau welfare state.[2] Selama ini, kita selalu menghindar untuk memilih kendaraan ini, apalagi mendefinisikan secara lugas dan menyusun perangkat operasionalisasinya. Kita tak boleh mendefinisikan kendaraan kita “bukan ini dan bukan itu” dengan mengatakan tak mau free fight liberalism dan juga tidak untuk etatisme. Di tengah arus yang berputar-putar inilah kita harus menghimpun segala kekuatan untuk keluar darinya, untuk kemudian mengarungi lautan menuju pantai tujuan. Kalangan etnik Tionghoa harus mulai aktif keluar pusaran arus tersebut. Dengan begitu, maka stigma bahwa etnis Tionghoa hanya peduli pada hal-hal yang bersifat materialistik belaka atau “bisnis untuk bisnis” lambat laun akan bisa pupus. Lebih jauh lagi, kalangan etnik Tionghoa tertantang untuk memasuki tataran implementasi dari gagasan ekonomi pasar sosial, yakni dengan lebih aktif membangun basisbasis kekuatan ekonomi di tingkat lokal. Di tengah ancaman krisis pangan, kekuatan ekonomi etnik Tionghoa akan sangat berarti untuk menggerakkan potensi kekayaan alam kita yang terbilang sangat melimpah dan beraneka. Salah satu kekuatan pengusaha etnik Tionghoa adalah pada jaringan perdagangan dan distribusi. Dalam aspek inilah potensi kekuatan ekonomi pedesaan dan ekonomi rakyat justru sangat lemah. Jika kedua kekuatan ini saling berpadu dan bersinergi, terbuka peluang besar untuk mewujudkan Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi masa depan, tak saja di Asia melainkan juga di dunia, yang berbasis pada pertanian dalam artian luas. Inilah barangkali sumbangsih kita dalam memperingati 100 tahun kebangkitan nasional. *** Setelah Pembauran, "What’s Next"? Oleh: Rebeka Harsono

Meskipun perayaan Imlek tahun ini merupakan yang kelima kalinya diperingati di Indonesia, signifikansinya tetap tidak hilang. Perayaan Imlek tetap signifikan, terutama karena menjadi simbol adanya perubahan politik terhadap apa yang disebut "masalah Cina". Kini masyarakat luas lebih terbuka kepada budaya Tionghoa dan mencoba melupakan memori sejarah masa lampau. Lihat saja pusat-pusat perbelanjaan yang penuh dengan dekorasi Imlek, pertunjukan barongsai, dan maraknya pemberitaan media massa. Ini hanya bisa terjadi setelah tumbangnya rezim Orde Baru (Orba) yang mengakibatkan tatanan nilai masyarakat berubah dalam memandang "masalah Cina". Di samping itu, arus globalisasi informasi yang tak terhindarkan memungkinkan masyarakat Indonesia terpapar pada budaya Cina lewat berita, film, lagu pop dan sebagainya yang mengalir dari Hongkong, Taiwan, Singapura, maupun dari Cina daratan. Simbolisasi dalam hari raya Imlek bermakna penting bagi penerimaan warga Tionghoa. Meskipun beberapa (tidak semua) peraturan-peraturan diskriminatif terhadap warga Tionghoa sudah dicabut dalam lima tahun terakhir ini, tidak berarti masalah Cina sudah berhasil diselesaikan. Secara substansial perlu didialogkan bersama, apakah pada era reformasi ini sebenarnya melanjutkan kebijakan asimilasi atau kebijakan yang mana? Dirasakan perlu adanya kebijakan yang menyeluruh terhadap nasib orang-orang Tionghoa Indonesia. Karena sejak diberlakukannya kebijakan politik Orba mengenai masalah keturunan Cina, telah mencabut hak-hak sipil dan politik warga keturunan Tionghoa. Diizinkannya hari raya Imlek baru merupakan kemajuan yang masih di tingkat permukaan, yakni kebebasan mengekspresikan budaya saja. Belum pada tingkat penyelesaian eksistensi orang-orang Tionghoa sebagai bangsa Indonesia. Perspektif "masalah Cina" Kalau kita mengevaluasi kebijakan asimilasi (pembauran) di Indonesia sebenarnya perlu menelaah potret orang

Tionghoa saat ini dalam aspek seberapa jauh sisa-sisa kecinaan orang Tionghoa, se-eksklusif apa mereka, bagaimana dampak asimilasi terhadap keluarga-keluarga Tionghoa dan apa saja kepositifan dan ketidakkonsistenannya. Untuk itu akan dijelaskan di sini latar belakang dijalankannya kebijakan asimilasi di Indonesia. Kebijakan asimilasi sebenarnya mengarahkan hubungan antar-etnis, di mana hanya satu pihak etnis yang diharapkan melebur ke dalam masyarakat lainnya. Menurut Dede Oetomo (1989:45), asumsi yang mendasari mengapa kebijakan asimilasi diberlakukan adalah karena orang-orang Tionghoa masih dianggap sebagai "masalah". Orang-orang Tionghoa dipandang sebagai "ancaman" karena pada zaman Orde Lama, orang Tionghoa memiliki kecenderungan loyalitas ke RRC. Ketika mereka diberi ruang untuk berpolitik, mereka ternyata membelokkan loyalitas mereka kepada RRC dan gerakan komunis. Selain itu, karena dipandang kurang patriotis/nasionalis, eksklusif, dan mendominasi ekonomi nasional, maka orang Tionghoa semakin sulit diterima di Indonesia. Mereka akan lebih mudah diterima apabila mau berbaur hingga mencapai hal-hal yang sebenarnya merupakan wilayah kehidupan privat mereka, antara lain memeluk agama Islam dan melakukan kawin campur dengan pribumi, di samping itu mau menunjukkan partisipasi politik (yang di masa Orde Baru lebih diartikan loyalitas orang Tionghoa kepada rezim kekuasaan). Cara pandang ini disebut Dede Oetomo sebagai perspektif "masalah Cina". Namun, dalam pelaksanaan kebijakan asimilasi ini lebih diwarnai pendekatan keamanan. Banyak studi Tionghoa Indonesia yang dilakukan untuk mencari penyelesaian masalah Cina dengan menekankan pencegahan ketidakstabilan politik. Langkahlangkah yang diambil adalah diberlakukannya kebijakan yang diskriminatif di bidang politik dan budaya agar menyeimbangi kekuatan ekonomi Tionghoa yang memang diberi kelonggaran demi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari studi-studi Tionghoa Indonesia di dalam dan di luar negeri, kita bisa melihat dua potret fakta yang berlainan tentang relasi pribumi dan nonpribumi Indonesia, yaitu dalam tingkat kebijakan nasional serta dalam tingkat komunitas. Di samping itu, ada satu hal yang bisa disoroti mengenai perlukah terjadi penyeragaman kebijakan terhadap orang Tionghoa, sementara tanpa atau dengan asimilasi pun komunitas Tionghoa Indonesia sejak dari sono-nya sangat tidak homogen. Ada variasi perbedaan marga, asal-usul etnis dari daratan Cina, generasi dan orientasi totok/peranakan. Mereka tidak bisa sekompak dan eksklusif seperti yang dibayangkan orang dari luar karena secara sosiologis maupun kepemimpinan di kalangan Tionghoa terpilah-pilah berdasarkan perbedaan di atas. Sejak Orba, heterogenitas dalam di kalangan warga Tionghoa lebih dipertajam lagi karena perbedaan agama dan orientasi asimilasi atau integrasi maupun patronase kekuasaan. Perbedaan ini sedikit banyak merupakan hambatan untuk mempersatukan kepentingan politik orang Tionghoa. Banyak tokoh Tionghoa yang memandang penyelesaian antidiskriminasi di Indonesia sebagai bagian dari penyelesaian masalah bangsa. Kalau bisa dikatakan inilah hasil dari tiga puluh dua tahun proses asimilasi, orang Tionghoa telah merasa sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Hasil asimilasi yang bisa dievaluasi lainnya adalah bagaimana identitas orang Tionghoa selama ini mengalami perubahan. Ada yang malu mengaku sebagai orang Tionghoa, ada yang tidak suka bahasa Mandarin, ada yang mengaku sebagai Tionghoa Indonesia atau takut salah kalau memberi pendapat karena adanya trauma politik. Keluarga-keluarga Tionghoa dikacaukan karena generasi yang masih bisa Mandarin dan yang tidak bisa Mandarin. Itu menyebabkan perbedaan identitas antargenerasi. Dengan diizinkannya kembali bahasa Mandarin pasca-Reformasi berarti generasi 1965- 1998 menjadi generasi yang kebarat-baratan dan modern. Tentu saja ini menimbulkan perbedaan nilai-nilai prinsip hidup antara orang tua dan anak-anaknya. Di samping mengevaluasi asimilasi dari segi kepentingan politik dan dampaknya pada keluarga, pembauran secara kultural di daerah tentu saja terjadi sebagai akibat interaksi antar-etnis. Dari penelitian yang dilakukan Lembaga Anti Diskriminasi di Indonesia (LADI) di pertokoan ITC Mangga Dua, Pasar Baru, Glodok, serta sekolah-sekolah dan di beberapa daerah lainnya menunjukkan orang Tionghoa dan pribumi saling bergurau tentang artis dangdut sampai artis Taiwan. Kampung-kampung Pecinan di Jakarta juga dipadati pedagang kaki lima pribumi yang pembelinya adalah orang- orang Tionghoa. Jadi, apa yang dari luar tidak tampak terjadi perubahan pada orang Tionghoa, sebenarnya mereka makin merasakan terjadinya perubahan yang signifikan dalam identitas ketionghoaan mereka. Mereka lebih terbuka dalam interaksi etnis dan agama. Justru hubungan antar-etnis tingkat menengah ke bawah itu sendiri menunjukkan interchanging (tukar- menukar) nilai antar-etnis yang secara natural menghasilkan konstruksi baru "ketionghoaan" warga Tionghoa Indonesia.

Asimilasi telah membawa dampak pada identitas dan kepentingan Tionghoa Indonesia serta hubungan antaretnis, namun mengapa orang-orang Tionghoa tetap tidak bisa diterima hingga kini? Kerusuhan Mei dan antiCina yang setiap waktu menjadi ancaman pada komunitas Cina menunjukkan bagaimana politik asimilasi tidak mampu menyelesaikan "masalah Cina". Ini terjadi karena ketidakkonsistenan penerapan asimilasi di bidang politik dan budaya yang tidak diikuti dengan asimilasi di bidang ekonomi. Misalnya, Keppres 14 Tahun 1979, mengenai kebijakan ekonomi kuat dan lemah, mengatur bahwa asimilasi ekonomi diharuskan hanya pada kalangan pemodal menengah bawah. Akibatnya, hanya Tionghoa lemah dengan pribumi lemah saja yang berasimilasi. Pemodal kuat diharuskan "bermitra" dengan negara yang pada intinya menyebabkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) antara pengusaha Tionghoa dan birokrat. Asimilasi budaya yang tidak diikuti dengan ekonomi ini menimbulkan tercerabutnya akar budaya Tionghoa. Akibatnya malah counter- productive terhadap cita-cita penerimaan masyarakat terhadap orang Tionghoa. Sementara kita ketahui segregasi sosial warisan kolonial yang ditandai kuat oleh kecemburuan ekonomi harus mampu menjawab penyelesaian ekonomi pribumi dan nonpribumi. Mempertimbangkan ketidakkonsistenan penerapan asimilasi ini, akan lebih baik kalau politik "masalah Tionghoa" ini diakhiri. Pascadikotomi asimilasi vs integrasi Yang justru perlu dipikirkan adalah terobosan baru yang menyeluruh dalam perspektif kebangsaan dan meninggalkan perdebatan asimilasi versus integrasi. Seperti telah disampaikan, banyak pejuang antidiskriminasi, sejak negeri ini didirikan warga Tionghoa memang kerap kali disebut warga negara keturunan, jadi dianggap tidak memiliki hak penuh. Undang- Undang Kewarganegaraan dan catatan sipil hingga kini masih bersemangatkan diskriminasi dan peraturan di bawahnya perlu dicabut karena telah melanggar hak-hak sipil dan politik warga negara Tionghoa. Bahkan sejak politik etis sebenarnya hak-hak sipil dan politik orang-orang Tionghoa secara sistematis sudah dibedakan dari pribumi. Pada rezim Orde Baru, orang-orang Tionghoa semakin dijadikan warga negara kelas dua. Sekarang kita perlu memperkenalkan ide "orang Tionghoa jangan merasa lebih superior, sebaliknya orang pribumi bukan yang paling berhak". Dengan demikian, benar-benar bisa terjadi dialog bersama. Penyelesaian masalah Tionghoa tampaknya tidak cukup hanya menggunakan treatment politik etnis seperti yang didengungdengungkan dalam wacana multikulturalisme akhir-akhir ini. Kalau melihat sejarah kelahiran multikulturalisme di negara-negara kulit putih yang terjadi bukan kebijakan anti- rasisme pada imigran kulit berwarna yang berbondong-bondong memadati negeri-negeri maju. Namun, sekadar "penjinakan" ala teori Kapitalis Liberalis untuk mengharmoniskan hubungan antar-etnis sebatas pada ekspresi budaya (Rattansi: 1992). Padahal, eksistensi budaya itu memerlukan akar kuat untuk bisa setara dengan etnis-etnis mayoritas lainnya. Untuk bisa tercapai hal tersebut, orang-orang Tionghoa perlu mendukung terciptanya masyarakat plural karena dengan sistem demokrasi inilah hak-hak hidup bisa terjamin. Seperti dikatakan di atas, sebagian besar orang Tionghoa mengutamakan kepentingan bangsa daripada golongan. Karena itu, orang Tionghoa perlu diajak berdialog di kala bangsa ini mengalami transformasi nilai yang penting akhir-akhir ini. Hal ini dilakukan supaya mereka mengetahui bagaimana harus bersikap dalam segenap reformasi bangsa mulai dari Amandemen UUD 45, penegakan hak-hak asasi manusia, dan transformasi nilai-nilai sosial lainnya. Mereka perlu diajak berkonsultasi dalam setiap aspek pembangunan nasional dan daerah. Bukan hanya melulu dimintai partisipasinya. Dari situ mungkin bisa dihasilkan kebijakan yang menyeluruh yang memasukkan aspirasi Tionghoa dalam menentukan nasibnya di tanah air mereka ini. Rebeka Harsono Direktur

Eksekutif Lembaga Anti Diskriminasi di Indonesia (LADI), Jakarta

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0401/21/opini/813260.htm

Etnis Tionghoa dan Kebijakan Politik Diskriminatif Oleh Imam Cahyono Harmonisasi hubungan pribumi dan nonpribumi pasca-reformasi 1998, dapat diartikan sebagai perubahan kebijakan politik pemerintah terhadap etnis minoritas Tionghoa. Naiknya Habibie membawa perubahan positif dengan menelurkan Instruksi Presiden No 26/1998, berisi penghapusan istilah pribumi dan non pribumi. Selang beberapa waktu, muncul fenomena baru yang tak akan terjadi sepanjang Orde Baru, yaitu menjamurnya seni budaya Cina. Atraksi seni barongsai ramai dipertu jukkan di mal-mal, alun-alun, gedung pertunjukan serta acara resmi pemerintah, setelah selama tiga dasawarsa "terkubur". Di era Gus Dur, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Presiden No 6/2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No 14/1967. Dengan dicabutnya peraturan tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat Cina, maka etnis Tionghoa di Indonesia dipe bo-lehkan kembali mela sa-nakan ibadah dan adatistiadat di muka umum. Tahun 2001, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan No 13 Tahun 2001 yang menetapkan Hari Raya dan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur fakultatif, membolehkan libur bagi pelajar dan etnis Tionghoa yang sedang merayakan Imlek. Yang menjadi pertanyaan, apakah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini benar-benar dilandaskan ketulusan, atas dasar kemanusiaan? Atau, ini sekadar "periode bulan madu" sebelum datangnya penguasa baru yang akan kembali mengerdilkan tanah yang subur bagi kehidupan kaum keturunan? Tionghoa dalam Kemelut Sejarah Sejarah mencatat, betapa lamanya etnik ini menerima perlakuan diskriminatifmelalui bermacam kebijakan politik. Politik diskriminasi yang dikukuhkan VOC pada tahun 1717 dan 1766 lewat peraturan pemilahan ruang hidup dan budaya orang Tionghoa, terus menerus diperkuat dengan bermacam aturan pada periode-periode berikutnya yang makin mengasingkan etnik ini dari etnik Indonesia lainnya. Bahkan, periode setelah kemerdekaan Indonesia, sikap diskriminatif pemerintah yang berkuasa terhadap kelompok ini makin tegas saja. "Surat jalan" tetap menjadi ciri khas, sekalipun kekuasaan VOC telah mengakhirinya pada tahun 1918. Sejarah juga mencatat, setiap upaya politis dan pe lawanan kepada penguasa hanya menambah beban penderitaan kelompok etnis ini semata. Perlawanan yang paling tragis terjadi pada tahun 1740 ketika dua pertiga penduduk Tionghoa di Batavia atau sekitar 10.000 jiwa tewas mengenaskan dan ratusan rumah terbakar akibat melawan Belanda. Bahkan ketika bersikap netral dalam konflik bersenjata antara pasukan Republik dengan Belanda pada tahun 1946, tidak juga me-nguntungkan. Seringkali mereka menjadi sasaran kemarahan padahal mereka tak melakukan kesalahan.

Selain itu, dalam UUD 1945, apabila dicermati turut memperkuat pemisahan etnis ini dari kelompok etnis lainnya, dengan menyatakan bahwa "yang menjadi warga negara ialah orang-orang Indonesia asli yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara". Konsekuensinya, dalam Undang-Undang No 3/1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Indonesia, kewarganegaraan diberikan secara otomatis kepada penduduk asli tetapi tidak demikian dengan penduduk In-donesia lainnya kecuali mereka dapat memenuhi beberapa per-syaratan tertentu. Dan satu lagi, tragedi Mei 1998. Peristiwa yang satu ini tidak saja menimbulkan luka mendalam, tetapi juga trauma berkepanjangan. Apa yang dikemukakan oleh Charles A. Coppel (Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, 1994) bisa menjadi gambaran atas sikap politik warga Tionghoa. Dalam era kebebasan pun, sikap hati-hati tehadap situasi politik masih menggurat dengan jelas. Nasib Tionghoa Indonesia ibarat buah simalakama, apalagi bila dihadapkan pada kegiatan politik. Jika mereka terlibat dalam politik kelompok oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka medukung penguasa, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhkan diri dari politik, mereka juga dicap oportunis, sebab mereka akan dicap hanya berminat cari untung. Eforia reformasi sudah berakhir dan bukan tidak mungkin orang Tionghoa akan terjebak dalam lintasan sejarah yang bisa jadi akan berulang. Sekalipun katup-katup isolasi secara politis telah mulai dibuka dengan sebuah pemilu yang cukup demokratis, namun dalam realitas keseharian hampir tidak terlihat perubahan signifikan. Diskriminasi masih melekat, stereotip masih sangat kuat. Buah dari pergumulan sejarah masa lalu tetap menyiratkan prasangka. Cinafobia, ketakutan pada semua yang berbau Cina, tak bisa dipisahkan dari peristiwa sejarah yang melahirkan Orde Baru, yaitu pemberontakan G30S-PKI. Pemberontakan ini secara tidak langsung melibatkan Baperki, organisasi nonpribumi yang berafiliasi ke golongan kiri. Tapi, fobia ini masih menjangkiti birokrat, militer dan juga warga sipil dalam waktu yang lama. Fobia ini kian pekat bercampur dengan rasa cemburu pribumi terhadap nonpribumi karena kuatnya kaum keturunan dalam menguasai sektorsektor kunci. Padahal, situasi ini muncul dari kebijakan politik rezim yang berkuasa. Soeharto memberikan ruang kepada mereka untuk berusaha semata-mata di bidang ekonomi dan menutup pintu rapat-rapat pada bidang lain. Keran-keran kebebasan untuk mengekspresikan diri bagi warga Tionghoa mulai terbuka setelah Soeharto tumbang. Mereka bebas melakukan kegiatan agama dan melangsungkan kembali adat-istiadat. Dalam bidang politik, terjadi ekskalasi kepercayaan diri yang ditandai dengan keberanian mencuatkan partai berbasis etnis minoritas, seperti Partai Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi peserta dalam Pemilu 1999.

Sayangnya, konstelasi politik Indonesia demikian cepat berubah, situasi kepemimpinan nasional terus berganti. Sementara kancah politik seringkali memanas dengan timbulnya friksi dari tokoh-tokoh yang semula memperjuangkan reformasi. Kondisi ini merupakan sinyal rawan dan cukup membahayakan minoritas Tionghoa. Lebih parah lagi, ditambah stagnasi dikalangan birokrasi. Tanda-tanda mencairnya ketegangan antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya, tidak didukung dengan instrumen yang memadai untuk makin menegaskan persamaan hak setiap warga negara. Diskriminasi yang paling menonjol dirasakan terutama dalam administrasi yang melibatkan birokrasi pemerintahan, seperti proses pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau surat kewarganegaraan. Tidak hanya itu, diskriminasi juga makin kental dalam pergaulan, pendidikan,agama dan perekrutan pegawai negeri maupun militer. Stereotip Tionghoa sebagai kelompok eksklusif yang sulit membaur dengan etnik lain tampak masih melekat kuat. Demikian juga dengan stereotip sebagai etnik yang memonopoli ekonomi dan perdagangan, merupakan stempel yang sulit dihilangkan. Dalam konteks ini, muncul satu gejala menarik. Terbukanya kesempatan nonekonomi sejalan dengan menurunnya konflik pri-nonpri pasca-Mei 1998. Gejala ini bisa dijelaskan melalui dua sisi. Pertama, sikap self assertive mereka di bidang ekonomi otomatis berkurang karena ada kanal-kanal baru untuk menyalurkan kemampuan mereka seperti bidang sosial, politik dan budaya. Kedua, pasca-Mei 1998 sejumlah konflik baru yang lebih besar melanda negeri ini sehingga menenggelamkan isu prinonpri. Misalnya, konflik antara pendatang dan pendatang, Madura dengan Dayak, konflik Islam dengan Kristen dan lainnya. Akahkah Sejarah Terulang ? Seluruh indikasi di atas menunjukkan Cinafobia yang pernah begitu kuat bercokol, belum pupus ke akar-akarnya. Ditambah lagi dengan bukti-bukti sejarah, bahwa kedudukan etnis minoritas amat ditentukan kebijakan rezim yang berkuasa, kondisi warga Tionghoa di negeri ini sungguh memprihatinkan. Tentunya, kita semua berharap agar kejadian buruk dimasa lalu tidak terulang kembali. Untuk mengantisipasi hal itu, kiranya diperlukan kontrol publik yang kuat agar bisa mencegah terjadinya kembali berbagai tindak diskriminasi. Perlu ditegaskan bahwa diskriminasi, apalagi te hadap sesama manusia tidak dapat dibenarkan karena menyalahi kodrat kemanusiaan. Tindak diskriminasi terhadap etnis tertentu termasuk pelanggaran HAM karena terbukti memberangus nilai-nilai kemanusiaan. Kontrol publik harus didukung dengan memupuk kesadaran akan kesetaraan hak sebagai warga negara dan kesadaran atas "ke hinekaan" di negeri ini. Konflik antaretnis bisa hilang kalau kita cukup jujur dan adil untuk membebaskan diri dari "diskriminasi ras, kebudayaan dan agama". Antara manusia satu dengan manusia yang lain pada dasarnya memiliki

kesamaan dan kesederajatan martabat luhur kemanusiaan. Sikap dasar untuk saling menerima dan menghormati, termasuk norma hakiki hidup sosial bangsa semajemuk Indonesia. Nilai kemanusiaan, kesetaraan derajat manusia, keadilan dalam penerapan hukum, kebebasan dan toleransi harus terus diperjuangkan. Nampaknya kita perlu belajar "kearifan" sejarah, agar kita tidak menjadi orang yang buta sejarah. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, yang pernah terjadi dimasa lampau. Seekor keledai saja tak mau terperosok kedua kali dalam lubang yang sama. Bagaimana dengan manusia? Penulis adalah Koordinator Forum Kajian Islam Strategis, Staff pada Institute for Critics and Transformation Global Issues. Sinar Harapan Rabu, 15 Mei 2002 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0205/15/opi01.html

Asimilasi Kebudayaan China Di Indonesia, sejak awal abad pertama Masehi, interaksi antara orang Cina dengan masyarakat pribumi berlangsung selama berabad-abad. Unsur-unsur Cina melebur dengan unsur-unsur lainnya. Mereka hidup membaur dan membawa kebudayaan masing-masing. Orang Tionghoa hidup dengan berdagang, bertani, dan menjadi tukang. Umumnya, mereka tidak membawa isteri dari Tiongkok. Mereka mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan gundik atau isteri. Pada zaman itu, ada aturan perempuan dilarang pergi ke luar Tiongkok. Sejarawan Prancis, Prof Dr Denys Lombard, dalam bukunya “Nusa Jawa: Silang Budaya” menyebut, asimilasi kebudayaan Cina dan kebudayaan-kebudayaan lain di Nusantara berlangsung sangat mulus dan alami. Jawa, sebelum masa kolonialisme Belanda, adalah ruang yang reseptif bagi terjadinya perjumpaan kebudayaan dari berbagai negeri. “Sulit menelusuri sejarah kelompok-kelompok Cina yang pertama,” tulis Lombard. Pencinaan kembali Proses asimilasi bangsa Cina dengan masyarakat setempat yang berjalan begitu natur selama berabad-abad tersendat, kalau tidak ingin dibilang putus, memasuki paruh pertama abad ke-18 dan awal abad ke-19. Pada abad ini, identitas kecinaan di tanah Jawa mulai muncul. Situasi ekonomi dan politik di daratan Tiongkok, meningkatnya arus pelayaran sebagai akibat dari dibukanya terusan Suez di pertengahan abad ke-19,dan mulai berkuasanya Belanda atas tanah Hindia membuat bangsa Cina mengalami fase pencinaan kembali. Lombard mencatat tiga peristiwa penting di atas sebagai faktor yang sangat mempengaruhi dialektika budaya masyarakat Cina di tanah Jawa. Pertama, memburuknya situasi perekonomian Cina di penghujung kekuasaan dinasti Qing pada akhir abad 19. Pertanian di Cina mandeg dan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang semakin banyak jumlahnya.

Pada waktu yang bersamaan, pemerintah Hindia Belanda membuka tambang-tambang baru yang memerlukan tenaga kerja yang banyak. Memburuknya situasi ekonomi di negeri sendiri mendorong bangsa Cina berbondong-bondong datang ke Hindia Belanda. Pada awal abad 19, jumlah orang Cina yang menetap di Batavia berjumlah 100.000 dan berkembang menjadi 500.000 pada akhir abad ke 19. Bisa dipahami kemudian jika meningkatnya jumlah masyarakat Cina dan pengelompokan suku bangsa yang dilakukan Belanda meningkatkan kesadaran akan identitas mereka sebagai kelompok tersendiri. Di pihak lain, kehadiran mereka pun tidak diterima baik oleh masyarakat setempat. Mereka pun mengembangkan kebudayaan mereka sendiri sebagai sebuah bangsa. Kelenteng tumbuh berpuluh-puluh selama beberapa dasarwarsa menjadi simbol identitas budaya. Kelenteng juga menjadi tempat pertemuan atau klub. Perkembangan kedua yang menjadi faktor terjadinya pencinaan kembali, menurut Lombard, adalah dibukanya terusan Suez pada tahun 1865. Jalur baru yang dibuka ini meningkatkan emigrasi besar-besaran wanita-wanita Cina. Ada yang berlayar ke Hindia Belanda dengan paksaan. Mereka terutama gadis-gadis malang yang diculik dan dikirim ke rumah-rumah pelacuran di Laut Cina Selatan. Ada pula yang beremigrasi karena menghindari kawin paksa. Namun, dorongan utama emigrasi adalah kesulitan hidup yang mereka alami di negeri asalnya. Bisa ditebak, kehadiran wanita Cina dalam jumlah besar itu berpengaruh sangat besar dalam proses perkawinan. Lelaki-lelaki Cina yang sebelumnya tidak mempunyai pilihan lain selain mengawini wanita pribumi, kemudian cenderung mengambil wanita satu negeri sebagai isteri. Asimilasi yang sebelumnya terjadi karena proses perkawinan campur terhenti dan pencinaan terjadi melalui rumah tangga. Perkembangan ketiga, masih menurut Lombard, bersifat lebih politis, yaitu berkaitan dengan perkembangan situasi di Cina sendiri. Pergolakan anti Manchuria dan bangkitnya nasionalisme Cina membangkitkan pula semangat identitas sebagai bangsa di perantauan. Mulai meredupnya era kedinastian dan proklamasi republik yang dideklarasikan oleh Dr Sun Yat Sen menumbuhkan semangat nasionalisme kaum perantauan. Terbitnya semangat nasionalisme ini kemudian semakin dibangkitkan dengan ekspansi yang dilakukan Jepang di daratan Cina. Kegamangan dan asimilasi paksa Entitas yang mulai tumbuh sebagai sebuah bangsa mendadak menjadi gamang ketika Perang Dunia II berakhir. Berakhirnya rezim kolonial dan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sontak membuat orang bertanya tentang status kelompok masyarakat mereka yang sejak zaman kolonial terbiasa membentuk kelompok tersendiri. Dalam perkembangan republik ini, identitas Cina menjadi baju panas untuk dikenakan. Pasca kemerdekaan Indonesia, asimilasi yang tehenti di zaman kolonial coba diteruskan. Namun proses asimilasi yang dilakukan menjadi sesuatu yang dipaksakan dan banyak dirasakan sebagai pemerkosaan hak asasi. Asimilasi adalah Indonesianisasi. Atas nama asimilasi tersebut pemerintahan pertama Republik Indonesia mengeluarkan peraturan penggantian nama. Tidak hanya soal nama, pada tahun 1967 rezim Orde Baru mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina. Begitulah, selama 32 tahun identitas kecinaan menjadi sesuatu yang tabu untuk ditunjukkan. Pengakuan Jaman toh berubah, rezim Soeharto jatuh pada tahun 1998. Pasca kerusuhan Mei 1998 bermacam-macam kelonggaran diberikan kepada komunitas Cina. Seiring dengan tuntutan reformasi, mereka mulai merasakan kebebasan baik dalam soal memilih maupun mendirikan partai. Koran-koran mulai ramai dipenuhi iklan kursus bahasa Mandarin. Sejumlah lowongan kerja bahkan mencari kandidat yang menguasai bahasa Mandarin. Kesenian barongsai yang sekian lama dimainkan pada komunitas terbatas sekarang dapat tampil di depan publik, bahkan di sejumlah pusat perbelanjaan.

Barongsai yang dulu menjadi simbol represi sekarang menjadi simbol kebebasan. Eksistensi masyarakat Tionghoa semakin diakui setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967. Pengakuan bahwa masyarakat Cina adalah bagian dari bangsa ini sepertinya menjadi paripurna setelah Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Hari Raya Imlek dalam daftar tanggal merah almanak Indonesia. (Satriani)

Related Documents