KATA PENGANTAR Dengan penuh suka cita saya mengucap syukur atas rakhmat yang telah dilimpahkan-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara langsung dan tidak . Terima kasih kepada Yth. Dosen Kepala Prodi Sastra Indonesia untuk membaca dan perhatikan skripsi saya, Yth. Dosen Ibu Tjandra untuk revisi dan bantuannya dari awal saya kerjakan skripsi ini, teman-teman kelas saya untuk dukungan mereka ketika saya kerjakan skripsi ini, pendiri website Wikipedia untuk informasi yang bisa diakses secara gratis dan langsung. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan semua orang yang bantu saya dan menceritakan pengalaman mereka pada saat rezim Suharto dan kekacauan yang terjadi pada bulan Mei 1998, dan juga kepada pihak-pihak lain yang membantu saya selama proses penyusunan tugas ini. I would like to give a big thank you to my family back in Canada, especially my mother Diane Marie Boismier and my mémé Sarah Whitehead, who have supported me in all of my endeavours thusfar and will likely support me in all of my future endeavours. Atas perhatian pembaca, saya juga berterima kasih.
Yogyakarta, 05 Nopember, 2008
Dengan hormat saya, penulis tugas ini:
Christopher Allen Woodrich
-1-
PENDAHULUAN DAN TUJUAN PENULISAN Sejarah orang keturunan China di Indonesia (selanjutnya disebut orang Tionghoa) adalah sejarah yang sangat berwarnai dan bermakna. Walaupun orang Tionghoa termasuk sebagian kecil penduduk Indonesia (menurut Sensus Nasional RI 2000, penduduk Tionghoa di Indonesia berjumlah 1.739.000 jiwa (Chinese, 2008)), sebagian besar perusahan di Indonesia dimilik mereka dan bukan orang “pribumi,” yaitu orang yang tidak ada keturunan dari negara selain Indonesia; kata pribumi berarti ”lahir dari bumi” dan suku ”pribumi” di antara lain termasuk orang Jawa, orang Sunda, orang Papua, dan sebagainya (Lanti, 2006). Oleh sebab itu, pernah ada banyak kasus diskriminasi lawan orang Tionghoa, baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah. Terjadinya akte-akte diskriminatif lawan orang Tionghoa paling banyak pada saat rezim Suharto di antara tahun 1966 dan tahun 1998; pada saat itu, banyak peraturan yang menggusur orang Tionghoa ditentukan sebagai undang-undang (Indonsian, 2008). Akhirnya pada tahun 1998 sekaligus revolusi lawan Suharto terjadi sebuah huru hara penuh dengan kekerasan dan kejahatan kepada orang Tionghoa; kekerasan dan kejahatan seperti perkosaan, perbunuhan, pencurian, dan sebagainya. Sebenarnya sampai sekarang masih ada banyak kasus diskriminasi terhadap orang Tionghoa, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat secara umum; sampai sekarang beberapa peraturan yang disebut dalam skripsi ini masih berlaku dan banyak orang ”pribumi” Oleh sebab itu, pelajaran tentang hal-hal yang terjadi pada saat rezim Suharto itu sangat penting dipelajari supaya keadaan seperti itu bisa dihindari sebelum itu menjadi sekeras dulu di masa-masa depan. Penulisan ini ada dua tujuan utama, yaitu: 1: Menggambarkan diskriminasi lawan orang Tionghoa oleh pemerintah RI pada saat rezim Suharto dengan cara menjelaskan beberapa peraturan diskriminatif dan mendeskripsikan kekacauan di Indonesia pada bulan Mei 1998 berdasarkan sejarah dengan penelitian primer (yaitu wawancara) dan sekunder (yaitu menggunakan sebagai sumber buku-buku dan hasil penelitian orang lain), dan 2: Menganalisa peraturan-peraturan dan kekacauan tersebut dari aspek kemanusiaan yang adil dan terhadap menurut beberapa definisi ”kemanusiaan,” di
-2-
antara lain Pernyataan Umum Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan BangsaBangsa dan Pancasila. Menurut saya kedua tujuan ini sangat berhubung dengan fakultas sastra karena hal-hal yang terjadi pada saat itu adalah hal yang sangat berpengaruh sampai sekarang baik dalam hidup sehari-hari dan pola pikir masyarakat Tionghoa maupun dalam karya sastra yang mencerminkan rasa takut orang-orang pada saat itu. Penulisan ini termasuk sumber primer dari wanwancara beberapa orang dan juga dari sumber sekunder dari internet, buku, dan hasil penelitian orang lain lain.. Terlampir dengan penulisan ini adalah catatan lengkap wawancara dengan Tabitha Sri Jeany SH, MKn, seorang notaris Tionghoa, dan Wahyu Apri Wulan Sari, ST, seorang Jawa yang kelihatan Tionghoa (Keterampilan I dan Keterampilan II). Web address atau judul / pengarangnya sumber sekunder terlampir di Daftar Perpustakaan. Skripsi ini sebenarnya jauh dari sempurna; demikian, saya mohon maaf apabila terjadi kekurangan atau kalimat-kalimat yang tidak jelas. Demi perhatian pembaca, saya ucap terima kasih.
LATAR BELAKANG Analisis PERATURAN DAN KEKERASAN ANTI-TIONGHOA PADA SAAT REZIM SUHARTO DAN HUBUNGANNYA DENGAN PANCASILA didasarkan fakta-fakta berikut. Fakta-fakta ini tentang Pancasila, orang-orang Tionghoa, peraturanperaturan yang mengusur orang Tionghoa dari zaman rezim Suharto, dan Revolusi 1998, khususnya huru hara yang terjadi pada saat itu. Pancasila Pancasila (berarti lima sila) adalah sebuah ideologi yang menjadi dasar hukum Indonesia yang sangat penting. Pertama-tama digambarkan Suharto dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 saat BPUPKI (Badan Penyeledik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI (Penelitian Persiapan Konstitusi Indonesia) pada tanggal 17 Agustus 1945 (Saafroedin,
-3-
63-84), Pancasila dianggap dasar-dasar hukum yang tertinggi (staatfundamentalnorm) oleh filsofat dan ahli hukum Notonagoro dan menggambarkan bentuk ideal negara Indonesia (Notonagoro). Kelima Pancasila yang menjadi staatfundamentalnorm berikut: Sila 1: Ketuhanan yang Maha-Esa Sila 2: Kemanusiaan yang adil dan beradab Sila 3: Persatuan Negara Indonesia Sila 4: Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan / perwakilan, dan Sila 5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pancasila, 2008) Oleh sebab Pancasila adalah dasar hukum tertinggi di Indonesia dan dituangkan dalam Konstitusi RI (UUD 1945), semua peraturan dan undang-undang harus sesuai dengan itu. Apabila sebuah undang-undang yang lebih rendah daripada Pancasila melanggar apa yang ditentukan dalam Pancasila, undang-undang yang lebih rendah itu harus diganti supaya undang-undang tersebut bisa sesuai dengan Pancasila; jika misalnya undang-undang tersebut tidak diganti, itu dianggap tidak konstitusional (ilegal) dan seharusnya segera dibatalkan oleh Mahkamah Agung Indonesia. Inilah informasi yang sangat penting ketika kita menganalisis peraturan-peraturan yang ditentukan dalam undang-undang oleh Suharto. Orang Tionghoa di Indonesia Orang Tionghoa adalah orang yang tinggal di Indonesia yang keturunan Cina. Saat ini, sebagian besar orang Tionghoa tinggal di kota-kota berikut: Jakarta, Surabaya, Medan, Pekan Baru, Semarang, Pontianak, Makassar, Palembang, dan Bandung. Kebanyakan warga Tionghoa ikut agama Buddha, tetapi juga ada orang Tionghoa yang beragama lain. Walaupun hanya sebagian kecil penduduk Indonesia adalah orang Tionghoa (Menurut Sensus Nasional RI 2000, orang Tionghoa berjumlah 1.739.000 jiwa), mereka punya dampak besar di ekonomi Indonesia (Chinese, 2008). Pada tengah abad ke-20, sebagian besar perusahaan dimiliki oleh orang Tionghoa (Indonesian, 2008). Oleh sebab itu, Orang Tionghoa dapat sering didiskriminasikan. Sebagian besar orang Tionghoa imigrasi ke Indonesia pada tiga saat, yaitu pada abad ke-15, pada tengah abad ke-19, dan pada awal abad ke-20. Sebelum Zheng He datang ke Indonesia pada awal abad ke-15, belum ada banyak orang Tionghoa ; namun
-4-
demikian, pernah ada beberapa duta besar dari Cina (Chinese, 2008), termasuk beberapa yang mengajar agama Islam ke orang Indonesia. Ada kemungkinan sekurang-kurangnya empat dari sembilan Wali Sanga berasal dari Cina (Wali Sanga, 2008). Pada awal abad ke-15, Zheng He, seorang maritim dari Cina, telah sampai ke Jawa dan turunkan beberapa anggota awak kapalnya di daerah yang sekarang kota Semarang, termasuk wakil kaptennya Wang Jing Hong. Mereka membangun rumah di Indonesia dan menikah dengan orang pribumi, dan mulai membangun koloni yang sekarang menjadi Semarang. Itu mulanya sejarah tertulis orang Tionghoa di Indonesia (Yayasan, 57 - 59). Sebagian besar imigrasi dari Cina terjadi pada awal zaman kolonial Belanda di antara abad ke-17 dan ke-19. Pada saat itu, banyak orang asli Cina imigrasi ke Indonesia untuk mencari kemungkinan untuk perdagangan. Kolonis Belanda merupakan orang Tionghoa sebagai pemimpin rakyat pribumi dan anggap mereka “lebih pintar, rajin, dan mampu memimpin perkebunan Belanda;” orang Tionghoa diberi keistimewaan yang banyak. Souw Beng Kong, yang juga disebut Kapitan Cina dan berasal dari Banten, telah memulai program imigrasi untuk orang-orang dari Cina ke daerah Batavia. Itu membantu Belanda menang atas kerajaan Banten (Chinese, 2008). Walaupun orang Tionghoa telah diberi keistimewaan oleh orang Belanda, hubungan antara rakyat mereka tidak selalu bagus. Pada tahun 1740, banyak orang Tionghoa dibunuh oleh kolonis Belanda di Batavia karena kolonis Belanda curiga penduduk-penduduk Tionghoa di Batavia ada rencana untuk mengikuti huru hara yang berada di sekitara Jawa. Setelah itu, pemerintah Belanda semakin lama menjadi semakin kasar kepada orang Tionghoa; oleh sebab itu banyak orang Tionghoa, contohnya Siauw Giok Tjhan dan Liem Koen Hian, mulai mendukung gerakan merdeka Indonesia (Chinese, 2008). Orang Tionghoa juga berpengaruh pada saat perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Lima anggota BPUPKI adalah orang Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs. Yap Tjwan Bing. Apalagi, pada saat Perang Merdeka Indonesia banyak orang Tionghoa berperang lawan Belanda sebagai anggota korp-korp lokal (BPUPKI, 2008).
-5-
Namun demikian, pada saat rezim Sukarno dan Suharto peraturan Indonesia menjadi sangat diskriminatif lawan orang Tionghoa. Beberapa peraturan pemerintah ditentukan sebagai undang-undang, seperti PP 10/1959, yang melarang orang Tionghoa dari punya perusahaan di luar kota. Orang Tionghoa tidak diterima di tenaga kerja selain yang berhubungan dengan ekonomi, pahlawan-pahlawan Tionghoa dari masa Perang Merdeka diekseskusi, dan yang protes dibunuh secara diam. Hal-hal buruk ini akhirnya berklimaks dengan huru hara seluas Indonesia pada bulan Mei 1998 (Chinese, 2008). Setelah keturunan Suharto sebagai Presiden RI, sebagian besar peraturan yang mendiskriminasikan orang Tionghoa dibatalkan oleh Presiden Abdurahamman Wahid; beliau juga menentukan Tahun Baru Cina sebagai hari raya nasional (Chinese, 2008). Juga ada seorang Tionghoa, yaitu Kwik Kian Gie, yang menjadi Menteri Koordinator Ekonomi dari 1999 sampai 2000 dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional & Ketua Bappenas dari 2001 sampai 2004 (Kwik, 2008). Peraturan-Peraturan Anti-Tionghoa Berikut ada delapan contoh peraturan yang mendiskriminasikan orang Tionghoa dari zaman rezim Suharto. Peraturan-peraturan berikut ada dampak masing-masing, seperti Peraturan Pemerintah 127/U/Kep/12/1966, yang mewajibkan orang Tionghoa memilih nama yang kedengaran seperti nama Indonesia. Peraturan yang dibatalkan setelah keturunan Suharto pada tahun 1998 akan ditentukan di penjelasannya (Indonesian, 2008). 127/U/Kep/12/1966 Peraturan Pemerintah 127/U/Kep/12/1966 adalah sebuah peraturan dari rezim Suharto yang mewajibkan orang Tionghoa menggunakan nama yang kedengaran Indonesia (Indonesia, 2008). Karena orang Tionghoa tidak mampu melawan peraturan ini, mereka langsung pilih nama yang kedengaran Indonesia, seringnya didasarkan nama Tionghoanya. Beberapa contoh nama Indonesia yang digunakan oleh orang Tionghoa berikut: Nama Keluarga (Pinyin)
Nama Keluarga (Hokkien)
Contoh nama Indonesia yang digunakan
-6-
陈 (Chen)
Tan, Tjhin
Tandubuana, Tanto, Hertanto, Hartanto
黄 (Huang)
Oei, Oey
Wibowo, Wijaya, Winata, Widagdo, Winoto
韩 (Han)
Han
Handjojo, Handaya
江 (Jiang)
Kang, Kong
Kangean
李 (Li)
Li, Lie, Lee
Lijanto, Liman, Liedarto, Rusli, Lika
林 (Lin)
Liem, Lim
Halim, Salim, Limanto, Limantoro
劉/刘 (Liu)
Lau, Lauw
Mulawarman, Lawang, Lauwita
吕 (Lü)
Loe, Lu
Loekito, Luna, Lukas
王 (Wang)
Ong, Wong
Onggo, Ongko, Wangsadinata, Wangsa
杨 (Yang)
Njoo, Nyoo, Jo, Yong Yongki, Yoso, Yohan (Indonesian-sounding, 2008)
Setelah 127/U/Kep/12/1966 ditentukan sebagai hukum, nama Tionghoa tidak boleh dinamakan dalam akte kelahiran. Oleh sebab itu, banyak orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 1966 langsung diberi nama yang kedengaran Indonesia; namun demikian, mereka tetap juga diberi nama Tionghoa yang hanya digunakan sebagai nama panggilan di rumah atau sehari-hari. Oleh sebab itu, orang yang paling dipengaruhi oleh 127/U/Kep/12/1966 adalah orang dari generasi lama (Keterampilan I). 37/U/IN/6/1967 Instruksi Kabinet Presendium 37/U/IN/6/1967 adalah sebuah peraturan yang melarang izin tinggal atau bekerja untuk imigran Cina baru, isteri, dan anak mereka. Instruksi Kabinet Presendium 37/U/IN/6/1967 Inpres No. 14/1967 juga membeku modal yang didapat oleh orang “asing,” menutup sekolah “asing” kecuali sekolah untuk keluarga diplomat, dan mengatur bahwa setiap sekolah harus ada mayoritas siswa-siswi pribumi dengan proporsi tertentu. Instruksi Kabinet Presendium 37/U/IN/6/1967 juga menentukan bahwa semua urusan Tionghoa akan ditanggungjawabkan oleh Menteri Urusan Politik (Indonesia, 2008). TAP MPRS No. 32/1966 TAP MP RS No. 32/1966 adalah sebuah peraturan dari yang melarang pergunaan huruf-huruf Mandarin dalam koran dan majalah (Indonesia, 2008) Perturan TAP MP RS No. 32/1966 dibatalkan setelah turunnya Suharto. -7-
Inpres No. 240/1967 Perintah Presiden ini menyuruh para orang “asing” sesuai dengan budaya Indonesia dan mendukung 127/U/Kep/12/1966 (Indonesia, 2008). Peraturan Menteri Perumahan No.455.2-360/1988 Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988 membuat perbaikan dan perbangunan kelenteng-kelenteng di Inonesia sangat sulit (Indonesia, 2008). Penjelesan berikut: “Dampak dari peraturan tersebut adalah mempersulit atau menghambat berkembangnya kelenteng-kelenteng di Indonesia, karena pada saat itu (di masa pemerintahan Soeharto) kelenteng-kelenteng tidak dianggap sebagai suatu agama melainkan hanya suatu kepercayaan yang berhubungan dengan tradisi orang Tionghoa yang harus dihilangkan bahkan dibasmikan (Keterampilan I).” Peraturan Menteri Perumahan ini dibatalkan setelah turunnya Suharto (Yayasan, 2008). 02/SE/Ditjen-PPGK/1988 Edaran Direktur Jenderal untuk Bimbingan Pers dan Gambar No. 02/SE/DitjenPPGK/1988 lebih membatasi pergunaan huruf Mandarin di umum (Indonesia, 2008) Edaran Direktur Jenderal ini dibatalkan setelah turunnya Suharto. Instruksi Menteri Dalam Negeri X01/1977 Instruksi Menteri Dalam Negeri X01/1977 memberi hak ke pemerintah untuk memberi kode istimewa kepada orang Tionghoa di KTP dan kartu identitas lain, yaitu “A01” (Indonesia, 2008). SE-06/Pres-Kab/6/1967 Surat Edaran Kabinet Presedium SE-06/Pres-Kab/6/1967 mewajibkan pergunaan kata “Cina” (yang dianggap kata rasis oleh warga Tionghoa karena konotosinya tidak bagus (Keterampilan I)) untuk mendeskripsikan orang dan budaya Tionghoa (Indonesia,
-8-
2008). Bagian yang menyaran perubahan kata “Tionghoa” ke kata “Cina” dalam semua tugas pemerintah berikut: “Maka untuk mencapai uniformitas dari efektivitas, begitu pula untuk menghindari dualisme di dalam peristilahan di segenap aparat Pemerintah, baik sipil maupun militer, ditingkat Pusat maupun Daerah kami harap agar istilah ‘Cina’ tetap dipergunakan terus, sedang istilah ‘Tionghoa / Tiongkok’ ditinggalkan.” Kekerasan Lawan Orang Tionghoa Pada Revolusi 1998 Pada bulan Mei 1998 suasana Indonesia menjadi sangat kacau. Ekonominya hancur; harga Rupiah turun, orang penganggur menjadi semakin banyak, dan penyediaan makanan semakin sedikit. Oleh sebab itu, mahasiswa-mahasiswi mulai protes rezim Suharto. Pada tanggal 12 Mei 1998, empat mahasiswa dari Universitas Trisakti yang memprotes rezim Suharto telah ditembak mati saat demo. Huru hara mulai di luar Universitas Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998 setelah pemakaman empat-empat mahasiswa tersebut. Pengacau-pengacau menarget kantor dan mobil polici dan militer (Jakarta, 2008). Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1998 kekacauan tersebut menjadi semakin luas dan cepat menjadi sebuah pogrom (kekaucauan yang menarget sebuah suku atau bangsa tertentu). Orang Tionghoa dijadikan kambing hitam oleh masyarakat dengan dorongan dari militer; kemudian perusahaan dan rumah warga Tionghoa dibakar atau dihancurkan dengan cara lain. Apa lagi, orang-orang Tionghoa ditarget untuk perbunuhan dan kekerasan/kejahatan lain (Jakarta, 2008). Dalam laporan mereka tentang kekacauan di Indonesia pada tahun 1998, Deparlu AS menyatakan ini: “Setelah huru hara tersebut, pernyataan tanpa bukti telah dinyatakan oleh wanita-wanita Tionghoa bahwa mereka diperkosa en masse. Itu telah menyeruh pemerintah RI mendirikan sebuah tim untuk cari fakta tentang huru huru dan perkosaan tersebut. Pendapat tim tersebut adalah ada anggota-anggota tentara yang dilibatkan, dan anggota-anggota tentara tersebut kadang-kadang memprovokasikan huru hara secara sengaja. Apa lagi, tim tersebut telah membuktikan 66 kasus perkosaan wanita, dengan
-9-
sebagian besar korban perkosaan wanita Tionghoa. Banyak akte-akte kekerasan lawan wanita lain juga dibuktikan (State, 1999).” Oleh sebab ketakutan kekerasan yang terjadi kepada mereka, banyak orang Tionghoa larikan diri dan imigrasi ke negara-negara lain. Untuk menghindari kekacauan, pemilik toko-toko menggunakan plakart yang menyatakan bahwa toko mereka “Milik Pribumi” atau “Pro-Reformasi” (Jakarta, 2008). Kekacauan tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta. Di kota masing-masing, di antara lain Surakarta, Surabaya, dan Semarang kekacauan juga terjadi. Akan tetapi, di beberapa daerah (seperti di DIY) pemimpin daerahnya bisa meyakinkan keamanan masyarakat (Keterampilan I). Berikut adalah naratif dari Wahyu Apri Wulan Sari, seorang orang Jawa dengan keturunan Jepang yang tinggal di Surakarta pada saat kekacauan Mei 1998. “Saya melihat banyak sekali pertokoan, mall, pasar, semuanya di bakar. Banyak bangkai mobil dan kendaraan bermotor lainnya yang menjadi bangkai di jalan raya pada saat itu. Penjarahan juga ada di manamana. Banyak rumah-rumah penduduk di Surakarta, khususnya penduduk Tionghoa yang dijarah, dan dibakar. Bahkan ada banyak juga wanita yang diperkosa; tapi tidak sebanyak di Jakarta. Salah satu teman saya yang terkena serangan itu, Lina (dia adalah warga keturunan Tionghoa yang memiliki toko buku terkenal di Solo, namanya Toko Buku Sekawan. Tokonya dijarah), dia sendiri diperkosa, dan orang tuanya dibuang keluar. Seisi tokonya dijarah penduduk. Walaupun penjagaan dari para penduduk setempat sudah banyak membantu, tapi ternyata itu semuanya tidak berhasil. Akhirnya Toko Sekawan tersebut terbakar, seisinya. Dan Lina sendiri menjadi
stress
berat, sampai saat ini. Dia sekarang masih berada di Rumah Sakit Jiwa Kentingan, Surakarta.. Setiap saya dan keluarga saya berjalan di jalan dengan menggunakan mobil atau kendaraan lain, dan kami hampir diserang penduduk, kami selalu berkata, “Kami orang Jawa, kami Pro- Reformasi!,” atau menyebutkan nama perusahaan kami yang dikenal dengan nama
- 10 -
Indonesianya. Rumah kami juga ditulisi dengan banner Pro-Reformasi, yang jumlahnya banyak sekali. Kami telah mencoba membantu orang Tionghoa. Dulu, sempat kami membantu orang Tionghoa, yang rumahnya kebetulan berhadapan dengan rumah tante saya di daerah Jagalan. Jagalan adalah salah satu kampung Tionghoa di Solo. Mereka satu keluarga bertempat tinggal di Vihara, walaupun mereka tidak terkena serangan apapun, tapi mereka merasa takut akan serangan yang mungkin akan tiba-tiba terjadi. Akhirnya mereka kami tampung di rumah tante selama beberapa hari, dan kebetulan saat itu, saya dan keluarga saya ikut juga. Awalnya kami semua takut untuk keluar rumah, bahkan kami berencana untuk pindah ke luar kota, dan juga pindah sekolah. Solo benar-benar seperti kota mati saat itu, tidak ada orang, cuma bangkai mobil dan motor, dan juga pecahan kaca di mana-mana. Banyak gedung yang terbakar. Sekolah-sekolah, termasuk sekolah saya pun, ditutup untuk beberapa waktu, sampai menunggu pengumuman lebih lanjut dari pihak sekolah. Lebih parahnya lagi, kami tidak bisa menemukan toko atau pasar yang terbuka, jadi kami sempat kehabisan bahan makanan selama beberapa hari. Suasana saat itu benar-benar seperti perang mendadak di kota Solo. (Keterampilan II)” Inilah keadaan yang tidak mungkin dilakukan dengan dukungan pemerintah yang taati dan menghargai HAM dan Pancasila. Terjadinya huru-hara ini telah sangat mempengaruhi orang Tionghoa. Penjelasan berikut: ”Untuk orang Tionghoa yang sudah trauma dengan kejadian di tahun 1998 dan bagi mereka belum ada perlindungan yang pasti, mereka mengharapkan bahwa mereka bisa berhasil di Indonesia dan setelah itu mereka secepatnya bisa berhasil untuk pindah dari Indonesia. Jadi, istilahnya secepatnya kita kumpulkan uang dan secepatnya kita imigrasi ke Negara lain karena Indonesia dianggap tidak aman, dan akibat dari pemikiran ini, sangat merugikan bagi Negara Indonesia (Keterampilan I).
- 11 -
Analisa dari Pandangan Pancasila Berikut adalah analisis saya tentang peraturan dan kekerasan tersebut dalam pandangan Pancasila. Oleh sebab Pancasila itu sangat luas, ada banyak interpretasi beda yang bisa didapat dari fakta-fakta tersebut. Bagian ini dibagai lima; satu bagian per sila.
Sila 1: Ketuhanan Menurut saya apa yang terjadi pada saat rezim Suharto tidak sangat melanggar Pancasilai. Alasan saya sangat simple: ketidakadilan dan kekerasan pada saat itu didasarkan ras dan bukan agama. Akan tetapi, Peraturan Menteri Perumahan No.455.2360/1988 adalah peraturan yang membuat itu sangat sulit untuk orang Tionghoa yang agamanya bukan agama Kristiani atau Islam mendapat atau membangun tempat suci baru. Walaupun sebagian besar orang Tionghoa itu orang Buddha, masalah perbedaan agama bukan alasan mengapa orang Tionghoa didiskriminasikan dalam peraturanperaturan Indonesia dan dijadikan kambing hitam pada saat huru hara.
- 12 -
Sila 2: Kemanusiaan Menurut saya, sila kedua itu sangat dilanggar pada saat rezim Suharto. Oleh sebab pemerintah Republik Indonesia mendiskriminasikan orang Tionghoa dengan cara mementingkan orang “pribumi” maka pemerintah Indonesia tidak memberi keadilan kepada orang Tionghoa. Dalam Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Pasal 1 dan 2, dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu: “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.” dan “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Di samping itu, tidak diperbolehkan melakukan perbedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.” sudah dijelaskan bahwa sebuah pemerintah yang mengakui kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai dasar negara harus memberi keseimbangan kepada semua orang, baik warga negara negara tersebut maupun warga negara asing. Apabila sebuah pemerintah tidak memberi keseimbangan kepada semua orang itu bukan kemansusiaan. Sila 3: Persatuan Apakah peraturan-peraturan dan kekacauan pada orang Tionghoa pada saat rezim Suharto
melanggar
Sila
Tiga
sangat
tergantung
interpretasinya
orang
yang
menganalisisnya. Menurut saya, ketidakseimbangan yang dicerminkan dalam peraturanperaturan tersebut sudah jelas tidak sesuai dengan Sila Tiga. Akan tetapi, ada kemungkinan orang lain anggap tujuan utama peraturan-peraturan tersebut, yaitu asimilasi orang, budaya, bangsa, dsb. Tionghoa sebagai tujuan yang didasarkan Sila Tiga.
- 13 -
Contohnya, Instruksi Kabinet Presendium 37/U/IN/6/1967 adalah sebuah Instruksi yang mewajibkan semua sekolah khusus orang asing ditutup (kecuali sekolah untuk diplomat dan anaknya diplomat) dan siswa-siswi sekolah ditermasuk dalam sekolah biasa dengan proporsi yang tertentu. Menurut saya, karena orang Tionghoa termasuk definisi “orang asing” dalam Instruksi tersebut maka Instruksi ini tidak mempersatukan Indonesia; sebenarnya Instruksi ini lebih memisah bangsa Indonesia. Akan tetapi, karena tujuan utamanya asimilasi orang asing dalam budaya Indonesia Instruksi ini bisa dianggap sebagai cara untuk mempersamakan masyarakat; demikian tujuan utamanya bisa dianggap mengembangkan persatuan Indonesia. Menurut saya, tujuan itu bukan yang utama untuk menilai apabila sebuah peraturan melanggar Pancasila atau apabila peraturan itu adalah peraturan yang baik; yang penting itu bagaimana cara peraturan tersebut coba sampai ke tujuannya. Marilah kita lihat contoh lain: Adolf Hitler, seorang pemimpin Jerman dari tahun 1933 sampai tahun 1945, sekarang dianggap penjahat paling buruk sedunia walaupun tujuannya tidak jahat; tujuan utamanya mempersatukan Jerman dan membuat Jerman menjadi salah satu negara yang paling mampu sedunia. Akan tetapi, caranya untuk lakukan itu adalah pembunuhan orang-orang yang dianggap untermensch, atau orang yang tidak diinginkan; akhirnya rezimnya telah membunuh sekitar 43 juta orang se-Eropa (Adolf, 2008). Walaupun caranya rezim Suharto untuk mempersatukan Indonesia tidak seburuk itu rezim Suharto masih menggunakan ketidakadilan untuk memaksa bangsa-bangsa Indonesia menjadi satu. Menurut saya ini sudah jelas melanggar Sila Tiga karena ini tidak menghargai perbedaan yang selalu ada dalam persatuan. Sila 4: Demokrasi Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilanya; itu juga dianggap pemerintahan rakyat (Kamus, hal. 249). Dalam Sila Empat, demokrasi didefinisikan sebagai ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.” Oleh sebab demokrasi adalah pemerintahan rakyat, menurut saya rezim Suharto sangat melanggar Sila Empat dengan perilakunya, seperti pembunuhannya orang yang protes peraturanperaturan yang mereka anggap tidak adil. Salah satu dasar demokrasi adalah kebebasan
- 14 -
untuk punya pendapat, seperti yang dituangkan dalam Pernyataan Umum tentang HakHak Asasi Manusia, Pasal 19, yaitu: ”Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).” Walaupun setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat mereka, pada saat rezim Suharto orang yang mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan atau kritis pemerintah Republik Indonesia ditangkap dan sering dieksekusi. Menurut saya, kesulitan untuk orang Tionghoa dapat pekerjaan di tenaga kerja selain yang berhubungan dengan ekonomi juga melanggar Sila Empat. Oleh sebab demokrasi adalah sistem pemerintahan rakyat, semua orang harus punya kemampuan untuk coba menjadi pemimpin atau wakil rakyat, bukan hanya ”pribumi;” karena pada saat rezim Suharto orang Tionghoa tidak ada kemampuan itu, Sila Empat sangat dilanggar. Sila 5: Keadilan Menurut saya, Sila Lima adalah sila yang paling dilanggar pada saat rezim Suharto. diskriminasi secara umum sudah melanggar Pancasila karena diskriminasi merendahkan sebuah budaya, bangsa, suku, ras, dsb.; apabila sebuah budaya, bangsa, suku, ras, dan sebagainya dianggap lebih rendah daripada budaya, bangsa, suku, ras, dan sebagainya lain itu tidak adil. Sudah sangat jelas bahwa rezim Suharto telah lakukan ini kepada masyarakat Tionghoa. Tidak ada satu pun peraturan yang melarang pergunaan huruf Sunda dalam koran atau majalah, tidak ada satu pun peraturan yang membuat kesulitan untuk bangun atau memperbaiki gereja, tidak ada satu pun peraturan yang menyuruh orang Lamaholot menjawakan nama mereka, dan tidak ada satu pun peraturan yang menyuruh orang Papua punya nomor identifikasi istimewa di KTP mereka. Akan tetapi, semua ketidakadilanketidakadilan tersebut telah terjadi kepada orang Tionghoa, yaitu dalam peraturan TAP
- 15 -
MPRS No. 32/1966, Peraturan Menteri Perumahan No.455.2-360/1988, Peraturan Pemerintah 127/U/Kep/12/1966, dan Instruksi Menteri Dalam Negeri X01/1977.
Kesimpulan dan Saran Walaupun orang Tionghoa sangat berpengaruh dalam sejarah Indonesia orang Tionghoa sering didiskriminasikan oleh orang-orang yang dianggap ”pribumi,” yaitu orang dari suku yang sudah berribu-ribu tahun tinggal di Indonesia seperti orang Jawa dan orang Sunda. Walaupun orang Tionghoa telah sangat membantu membentuk negara Republik Indonesia dari zaman Wali Sanga sampai masa ketika lima orang Tionghoa menjadi anggota BPUPKI orang Tionghoa sering dapat ketidakadilan dari pemerintah. Kala paling buruk untuk orang Tionghoa itu saat rezim Suharto di antara tahun 1966 dan 1998; sekurang-kurangnya sembilan peraturan yang mendiskriminasikan orang Tionghoa dijadikan hukum. Karena Pancasila adalah staatfundamentalnorm, seharusnya peraturan-peraturan tersebut dibatalkan segara atau diganti supaya tidak melanggar Pancasila. Ketidakadilan dan diskriminasi ini berakhir dengan orang Tionghoa dijadikan kambing hitam pada saat kekacauan di bulan Mei 1998. - 16 -
Kemudian, menurut saya setiap sila dilanggar oleh rezim Suharto dalam hubunagnnya dengan orang Tionghoa, dengan Sila Lima yang paling sering dilanggar dan Sila Satu yang paling jarang dilanggar. Inilah bukti bahwa rezim Suharto itu bukan pemerintah yang tulus; menurut saya itu sangat munafik apabila sebuah pemerintah atau rezim anggap Pancasila sebagai dasar negara tertinggi tetapi melanggarnya dengan peraturan-peraturan yang sangat rendah. Seharusnya pemerintah Indonesia minta maaf dari rakyat Tionghoa dan membayar ganti rugi pada orang Tionghoa yang dipengaruhi oleh peraturan diskriminatif. Pahlawan-pahlawati Tionghoa seperti Siauw Giok Tjhan harus diakui dalam buku sejarah dan diberi hormat sebagai bangsawan oleh pemerintah RI. Semua peraturan tentang orang Tionghoa yang melanggar HAM dan Pancasila seharusnya segera dibatalkan. Menurut saya, seharusnya sebuah komite yang bukan sebagian pemerintah RI harus dibuat supaya HAM warga-warga Indonesia, baik Tionghoa maupun pribumi, bisa dijaga dan kelanggaran HAM dan Pancasila seperti apa yang telah terjadi saat rezim Suharto tidak diulangi. Penjahat-penjahat dari kekacauaan 1998 harus ditangkap dan dihukum sejauh-jauhnya. Orang ”pribumi” harus belajar lebih memahami dan menghargai orang dengan keturuan yang beda dari mereka. Di dunia ini semakin sering ada imigran ke negaranegara lain; imigran-imigran biasanya coba dapat kesempatan untuk mulai hidup baru yang lebih memuaskan. Menurut saya, apabila orang yang sudah tinggal di sebuah negara tidak bisa menerima imigran-imigran seharusnya mereka tidak boleh pindah ke negara lain; itulah keadilan. Bagi orang Tionghoa, mereka harus bisa memaafkan orang-orang lain dan dapat semangat cinta tanah air lagi. Rezim Suharto sudah tidak ada kekuasan lagi, dan presiden-presiden post-reformasi lebih adil. Akan tetapi, mereka tetap harus menjaga diri dan selalu ingat apa yang pernah terjadi kepada mereka supaya mereka bisa mengerti bahwa kebebeasan itu tidak bisa didapat secara mudah.
- 17 -
Daftar Perpustakaan ”Adolf Hitler.” Wikipedia, The Free Encyclopedia. 19 Okt 2008, 22:13 UTC. 21 Okt 2008. . "Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia." Wikipedia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia 12 Jul 2008, 05:02 UTC. 16 Okt 2008. . “Chinese Indonesian.” Wikipedia, The Free Encyclopedia. 13 Okt 2008, 13:56 UTC. 15 Okt 2008. . Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. “Indonesian laws concerning Chinese-Indonesians.” Wikipedia, The Free Encyclopedia. 10 Sep 2008, 18:58 UTC. 15 Okt 2008. .
- 18 -
“Indonesian-sounding names adopted by Chinese Indonesians.” Wikipedia, The Free Encyclopedia. 15 Okt 2008, 00:32 UTC. 19 Okt 2008 . “Jakarta riots of May 1998.” Wikipedia, the Free Encyclopedia. 24 Agu 2008, 06:09 UTC. 19 Okt 2008. . “Kwik Kian Gie.” Wikipedia, The Free Encyclopedia. 29 Agu 2008, 15:09 UTC. 16 Okt 2008. . Lanti, Irman G. "Pribumi". November 12 2008. . Notonagoro. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun. “Pancasila (politics).” Wikipedia, The Free Encyclopedia. 13 Sep 2008, 17:35 UTC. 16 Okt 2008. . Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB. Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia. 1948. Saafroedin Bahar et al (eds), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995 State, U.S. Department of. Indonesia Country Report on Human Rights Practices for 1998. Federation of American Scientists. 26 Feb 1999. United Stated Department of State. 19 Oct 2008 . "Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967." Wikisource, . 16 Sep 2008, 03:21 UTC. 21 Okt 2008, 01:09 . “Wali Sanga.” Wikipedia, The Free Encyclopedia. 16 Okt 2008, 06:26 UTC. 16 Okt 2008. . Yayasan Sam Poo Kong, Klenteng Sam Poo Kong: A Brief History’s of Great Temple. Semarang, 2008 Hal. 57 – 59.
- 19 -
Keterampilan I: Catatan Wawancara Tabitha Sri Jeany, SH, MKn Tanya: Selemat Siang, Bu. Bolehkah saya minta nama lengkap Ibu dan curriculum vitae, misalnya umur, tempat dan tanggal lahir, dan pekerjaan? Jawab: Nama saya Tabitha Sri Jeany. Umur saya 30 tahun, dan saya lahir di Medan tanggal 25 Desember, 1977. Pekerjaan saya sebagai Notaris dan PPAT di Kota Yogyakarta. Tanya: Oke, terima kasih Ibu. Apakah Ibu sadar bahwa dan setuju dengan kita sekarang difilm? Filmnya hanya sebagai sumber, dan tidak akan digunakan sebagai bagian tugas saya kecuali dengan izin tertulis dari Ibu. Jawab: Boleh, silakan. Tanya: Terima kasih Ibu. Saya sekarang membuat tugas tentang Peraturan dan Kekerasan Anti-Tionghoa Pada Saat Rezim Suharto dan Hubungannya dengan - 20 -
Pancasila. Saya ada beberapa pertanyaan untuk Ibu. Pertama-tama, bisakah Ibu ceritakan pengalaman Ibu pada saat hura-hara lawan orang Tionghoa di Indonesia pada tahun 1998? Jawab: Sebenarnya kalau huru-hara lawan orang Tionghoa, bahasanya tidak benar. Hurahara itu adalah huru-hara kekerasan yang dilakukan terhadap warga Tionghoa yang hidup di Indonesia, khususnya di Jakarta dan Solo, di mana kerusuhan itu sangat terasa dan mengancam jiwa para warga Tionghoa. Tanya: Dan bagaimanakah itu mempengaruhi Ibu sampai zaman sekarang? Jawab: Seharusnya bukan mempengaruhi saya, tapi mempengaruhi pikiran warga Tionghoa di Indonesia sampai zaman sekarang. Kalau dari saya sendiri, saya harapkan bahwa kita bisa tinggal di Indonesia sampai selama-lamanya, sampai cucu bahkan cicit kita, sampai kita meninggal pun dan dikubur di Indonesia. Tapi untuk orang Tionghoa yang sudah trauma dengan kejadian di tahun 1998 dan bagi mereka belum ada perlindungan yang pasti, mereka mengharapkan bahwa mereka bisa berhasil di Indonesia dan setelah itu mereka secepatnya bisa berhasil untuk pindah dari Indonesia. Jadi, istilahnya secepatnya kita kumpulkan uang dan secepatnya kita imigrasi ke Negara lain karena Indonesia dianggap tidak aman, dan akibat dari pemikiran ini, sangat merugikan bagi Negara Indonesia. Tanya: Terus, Ibu bekerja sebagai Notaris sekarang. Apa spesialisasi Ibu? Jawab: Notaris sebagai pejabat umum Negara, tugas utamanya adalah membuat perjanjian pihak-pihak yang menghadap kepada saya, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kerjasama juga pendirian badan usaha dan badan hukum lainnya. Tanya: Maka Ibu bisa menjelaskan sedikit tentang peraturan-peraturan pemerintah yang berhubungan dengan orang Tionghoa? Jawab: Salah satu peraturan yang berhubungan dengan orang Tionghoa terasa bersifat diskriminatif adalah seperti peraturan tentang keharusan bagi warga Tionghoa memiliki Surat Keterangan Kewarganegaraan atau SKBRI, dan ini hanya berlaku bagi orang Tionghoa yang lahir di Indonesia; sedangkan, untuk warga negara yang dianggap pribumi itu tidak diperlukan.
- 21 -
Tanya: Terima kasih Ibu. Menurut saya, peraturan yang paling melanggar HAM orang Tionghoa
itulah
127/U/KEP/12/1966,
yang
menyuruh
orang
Tionghoa
mengindonesiakan nama mereka. Menurut Ibu, apa maksud utama peraturan tersebut, dan bagaimanakah peraturan tersebut mempengaruhi Ibu? Jawab: Terhadap saya sendiri, karena saya lahir tahun 1977, dan kedua orang tua saya sebagai warga yang sadar dan taat hukum, maka mereka secara langsung telah memberikan nama Indonesia pada saya, jadi tidak ada pengaruh harus ganti nama. Tetapi hal tersebut bukan berarti saya tidak diberikan nama Tionghoa lagi, nama Tionghoa diberikan sebagai nama panggilan sehari-hari di rumah atau dalam hubungannya di dalam keluarga dan dengan sesame saudara. Namun kenyataanya Peraturan ini sangat terasa bagi mereka yang awalnya menggunakan nama Tionghoa, kemudian di haruskan merubah atau menganti nama mereka menjadi nama yang dianggap lebih Indonesia. Nah kemudian, untuk nama Tionghoa yang sebelumnya digunakan itu, hanya sebatas nama panggilan yang dipergunakan untuk sehari-hari. Tanya: Maka PP itu masih berlaku? Jawab: Berlaku. Sebagaian peraturan yang bersifat diskrimitatif telah dicabut semasa Gus Dur menjadi President. Tanya: Ah, saya paham. Terus, karena Ibu berspesialisasi dengan hukum hak atas tanah saya merasa bahwa Ibu akan bisa menjelaskan apa maksudnya Peraturan Menteri
Perumahan
No.455.2-360/1988
tentang
kelenteng-kelenteng
di
Indonesia. Benar, kah? Apa maksud dan dampak dari peraturan tersebut? Jawab: Dampak dari peraturan tersebut adalah mempersulit atau menghambat berkembangnya kelenteng-kelenteng di Indonesia, karena pada saat itu, di masa pemerintahan Soeharto, kelenteng-kelenteng tidak dianggap sebagai suatu agama melainkan hanya suatu kepercayaan yang berhubungan dengan tradisi orang tionghoa yang harus dihilangkan bahkan dibasmikan. Tanya: Sebenarnya saya ingin minta penjelasan tentang beberapa peraturan lain, tapi waktu kita terbatas. Demikian, saya akan tanya hanya satu pertanyaan lagi: bagaimana pendapat Ibu tentang Keputusan Kabinet Presidium SE-06/PresKab/6/1967, yang mewajibkan pergunaan kata “Cina” sebagai ganti
- 22 -
“Tionghoa” untuk mendeskripsikan orang dan budaya Tionghoa? Saya tahu kini kata “Cina” dianggap diskriminatif dan rasis oleh orang Tionghoa. Jawab: Kabinet presedium tersebut itu sangat tidak adil. Peraturan itu kita bisa lihat dalam buku ini (menunjukkan buku). Perubahan kata tionghoa menjadi kata “Cina” ini sebenarnya ada tujuan untuk mendiskriminasi, yaitu untuk menghina. Malahan, kata “Tionghoa” adalah kata untuk menghormati, karena konotasinya orang yang bisa dipercaya, jauh dengan arti kata “Cina” yang mengandung konotasi negatif. Tanya: Terima kasih atas bantuan Ibu. Terakhir, saya minta Ibu menandatangani catatan wawancara ini ketika sudah diprint. Tanda tangan Ibu akan menyatakan bahwa semua hal yang tertulis di sini benar-benar berasil dari Ibu, dan bukan rekaan.
Kami menyatakan bahwa semua hal tertulis di sini adalah hasil dari wawancara yang terjadi pada tanggal 17 Oktober, 2008 dan bukan rekaan. Kami berjanji bahwa hasil wawancara ini, yaitu film dan catatan, tidak akan digunakan oleh Pihak 1, pewawancara Christopher Allen Woodrich, untuk hal selain tugas PERATURAN DAN KEKERASAN ANTI-TIONGHOA PADA SAAT REZIM SUHARTO DAN HUBUNGANNYA DENGAN PANCASILA tanpa izin tertulis dari Pihak 2, yang diwawancara Tabitha Sri Jeany, SH,Mkn. Pihak 1
Pihak 2
Pewawancara
Yang Diwawancara
- 23 -
Christopher Allen Woodrich
Tabitha Sri Jeany, SH, MKn
Keterampilan II: Catatan Wawancara Wahyu Apri Wulan Sari, ST Tanya: Selamat Siang, Mbak. Bolehkah saya minta nama lengkap mbak dan curriculum vitae, misalnya umur, tempat dan tanggal lahir, dan pekerjaan? Jawab: Nama saya Wahyu Apri Wulan Sari. Umur saya 24 tahun, dan saya lahir di Surakarta tanggal 26 April, 1984. Saya masih belum mempunyai pekerjaan, dan saya masih mencari-cari. Tanya: Oke, terima kasih Mbak. Tolong beritahu saya apa keturunanmu. Contohnya, saya 25% German, 25% Irlandia, dan 50% Prancis. Jawab: Saya adalah seorang Warga Negara Indonesia, yang dulunya nenek moyang saya ada keturunan asal Asia Timur, yaitu Jepang, dari garis Ayah. Jadi kalau dihitung
- 24 -
dalam persen, kira-kira 25% Jepang dan 75% Jawa. Tapi nenek saya bukan keturunan Ju-Gu-Hyan-Fu. Tanya: Ah, saya bisa lihat bahwa mata Mbak agak sipit. Apakah Mbak sering dikirain orang Tionghoa oleh orang-orang “pribumi?” Jawab: Iya, tapi saya tetap enjoy dengan sebutan itu, dan saya tetap menerimanya. Ketika mereka panggil aku “Cici” atau “Ce-ce” juga saya tidak keberatan, dan menurut saya itu adalah panggilan sayang dari mereka. Dan saya menyukainya. Lagipula tidak ada bedanya antara orang Tionghoa, atau orang keturunan, dan orang pribumi asli, semuanya sama-sama Warga Negara Indonesia. Tanya: Terus, pada saat terjadinya kekacauan pada bulan Mei 1998 Mbak ada di mana? Jawab: Ketika itu, saya masih berada di sekolah saya di Surakarta; ketika itu saya masih SMP kelas II. Nama sekolah saya adalah SMP Negeri III Surakarta. Saya berasal dari kota Surakarta, di mana kota tersebut didiami oleh beberapa orang Jawa, Tionghoa, dan beberapa orang Arab dan Pakistan. Tanya: Terus, Mbak melihat dan mengalami apa saja pada saat itu? Keterjadiannya apa di Surakarta? Jawab: Saya melihat banyak sekali pertokoan, mall, pasar, semuanya di bakar. Banyak bangkai mobil dan kendaraan bermotor lainnya yang menjadi bangkai di jalan raya pada saat itu. Penjarahan juga ada di mana-mana. Banyak rumah-rumah penduduk di Surakarta, khususnya penduduk Tionghoa yang dijarah, dan dibakar. Bahkan ada banyak juga wanita yang diperkosa. Tanya: Kira-kira seberapa wanita diperkosa? Jawab: Tidak terlalu banyak, tidak sebanyak di kota Jakarta pada saat itu. Salah satu teman saya yang terkena serangan itu, Lina (dia adalah warga keturunan Tionghoa yang memiliki toko buku terkenal di Solo, namanya Toko Buku Sekawan. Tokonya dijarah), dia sendiri diperkosa, dan orang tuanya dibuang keluar. Seisi tokonya dijarah penduduk. Walaupun penjagaan dari para penduduk setempat sudah banyak membantu, tapi ternyata itu semuanya tidak berhasil. Akhirnya Toko Sekawan tersebut terbakar, seisinya. Dan Lina sendiri menjadi stress berat, sampai saat ini. Dia sekarang masih berada di Rumah Sakit Jiwa Kentingan, Surakarta.
- 25 -
Tanya: Terus, pengalaman Mbak sendiri apa pada saat itu? Jawab: Setiap saya dan keluarga saya berjalan di jalan dengan menggunakan mobil atau kendaraan lain, dan kami hampir diserang penduduk, kami selalu berkata, “Kami orang Jawa, kami Pro- Reformasi!,” atau menyebutkan nama perusahaan kami yang dikenal dengan nama Indonesianya. Rumah kami juga ditulisi dengan banner Pro-Reformasi, yang jumlahnya banyak sekali. Tanya: Terus, bagaimanakah keluarga Mbak membantu orang Tionghoa pada saat itu? Apakah keluarga Mbak membantu, atau hanya duduk diam-diam? Jawab: Dulu, sempat kami membantu orang Tionghoa, yang rumahnya kebetulan berhadapan dengan rumah tante saya di daerah Jagalan. Jagalan adalah salah satu kampung Tionghoa di Solo. Mereka satu keluarga bertempat tinggal di Vihara, walaupun mereka tidak terkena serangan apapun, tapi mereka merasa takut akan serangan yang mungkin akan tiba-tiba terjadi. Akhirnya mereka kami tampung di rumah tante selama beberapa hari, dan kebetulan saat itu, saya dan keluarga saya ikut juga. Tanya: Terus,
menurut
Mbak
bagaimana
pengalaman
orang
Tionghoa
telah
mempengaruhi mereka dan Mbak sendiri? Jawab: Awalnya kami semua takut untuk keluar rumah, bahkan kami berencana untuk pindah ke luar kota, dan juga pindah sekolah. Solo benar-benar seperti kota mati saat itu, tidak ada orang, cuma bangkai mobil dan motor, dan juga pecahan kaca di mana-mana. Banyak gedung yang terbakar. Sekolah-sekolah, termasuk sekolah saya pun, ditutup untuk beberapa waktu, sampai menunggu pengumuman lebih lanjut dari pihak sekolah. Lebih parahnya lagi, kami tidak bisa menemukan toko atau pasar yang terbuka, jadi kami sempat kehabisan bahan makanan selama beberapa hari. Suasana saat itu benar-benar seperti perang mendadak di kota Solo. Tanya: Terus bagaimana pengaruh kepada orang Tionghoa, menurut Mbak? Jawab: Mereka sempat tersingkirkan, dan dipojokkan di antara masyarakat. Semisal seperti sebuah kasta, mereka benar-benar seperti berada di kasta yang paling rendah di antara semuanya. Dan juga sempat ada gap antara tetangga. Orang Jawa dan orang Tionghoa tidak mau saling menyapa dan bicara. Demikian juga ketika di pasar tradisional, harga untuk mereka dipasang lebih tinggi dari biasanya.
- 26 -
Mereka sering dituduh kalau mereka adalah penyebab semuanya yang telah terjadi. Tanya: Terima kasih atas bantuan Mbak. Terakhir, saya minta Mbak menandatangani catatan wawancara ini ketika sudah diprint. Tanda tangan Mbak akan menyatakan bahwa semua hal yang tertulis di sini benar-benar berasil dari Mbak, dan bukan rekaan. Kami menyatakan bahwa semua hal tertulis di sini adalah hasil dari wawancara yang terjadi pada tanggal 21 Oktober, 2008 dan bukan rekaan. Kami berjanji bahwa hasil wawancara ini, yaitu catatan, tidak akan digunakan oleh Pihak 1, pewawancara Christopher Allen Woodrich, untuk hal selain tugas PERATURAN DAN KEKERASAN ANTI-TIONGHOA PADA SAAT REZIM SUHARTO DAN HUBUNGANNYA DENGAN PANCASILA tanpa izin tertulis dari Pihak 2, yang diwawancara Wahyu Apri Wulan Sari. Pihak 1
Pihak 2
Pewawancara
Yang Diwawancara
Christopher Allen Woodrich
Wahyu Apri Wulan Sari, ST
- 27 -