Terlahir Dari Kehidupan Yang Sederhana

  • Uploaded by: dozi suanto
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Terlahir Dari Kehidupan Yang Sederhana as PDF for free.

More details

  • Words: 596
  • Pages: 3
1

Terlahir dari kehidupan yang sederhana, akupun tumbuh , butiran pasir dan desiran ombak mengiringi pertumbuhanku, masa kecil kecil yang bebas tanpa beban, bersekolah dan bermain. Senja diufuk barat tangisan seorang bayi kecil terlahir kedunia, dengan penuh tanda tanya akan jadi apa, dan bagaimana harus bertahan, jadi anak yang baikkah atau anak durhaka, masih tanda tanya . Detik demi detik mulai menunjukkan wajah sebenarnya, aku mulai melihat permain sandiwara di muka bumi, saat kecil terpisah dari orang orang tua, dengan alasan himpitan ekonomi, aku tinggal bersama nenekku, sosok yang kuat jujur tiada tanding, melihat hidup selalu penuh harapan, ditengah hinaan dan cemoohan orang akan kemiskinan kami, namun nenekku selalu bersabar dan tabah, dia tak pernah mengeluh, dia selalu menjadikan sesuatu menjadi indah dan sempurna, ketika beras yang kami miliki tinggal sedikit,nenek memasaknya sedikit dengan terus menambahkan air seraya berkata” cu dah lamakan tak makan bubur, dengan bubur dan pemanis gula tapak (gula aren), dengan riang kusambut suapan demi suapan bubur itu dengan penuh gembira, setiap hariku aku selalu bermain dan selalu membayangkan seperti apakah dunia disebelah sana. “Ah embah pulang”, dengan gembira kau menantinya didepan pintu, wajah lelahnya kusambut dengan snyum ceria, sambil menarik-narik tas hitamnya, lalu nenek tersenyum dan memberikan tasnya, didalamnya ketmukan kerupuk, dengan gembira kerupuk itu aku ambil, embahpun tersenyum. Secara perlahan, hari,bulan tahun silih berganti, aku mulai tumbuh namun ekonomi keluarga masih belum bertunas, ya tapi kami tak pernah berhenti berharap, aku mulai remaja aku sudah bisa membaca dan menulis dengan baik, dan akupun sudah mulai mengerti dan berkomunikasi

2

dalam bahasa inggris, itu semua kudapat dengan berlagak sok akrab dengan bule-bule yang menjadi turis dikampungku. Selembar surat kuterima dari Ibu, beliau bertanya bagaimana kabarku disani, beliau mengabarkan bahwa disana kehidupan sudah mulai membaik, aku senang, akupun berhayal dapat berkumpul bersama mereka, tapi bagaimana dengan “embah”, ketika ku utarakan itu embah terlihat sedih, beliau sangat menyayangiku, ya namanya juga anak kecil aku masih larut dalam kegembiraan, karena ibuku mengirimkan sepatu baru, kau ingin segera memakainya untuk dibawa kesekolah, nenek bilang simpan dulu untuk lebaran. Umurku bertambah, kau telah selesai di sekolah menengah pertama, orang tuaku meminta agar aku sekolah di kota mereka biar bisa berkumpul, ya nenekku pun sedih, tapi beliau rela demi masa depanku. Dengan penuh imajinasi akau berhayal tentang kota ku yang baru, aku membayangkan bagaimana enaknya perjalan dengan kapal laut, melihat kota, mobil-mobil dan banyak hal lain. Hari-hariku di kota yang baru dimulai, sebagai orang baru aku tentu ingin mendukumentasikan tempat yang aku kunjungi, biar nanti bisa kukirim kekampung. Namun kota ku yang baru ternyata tak seramah yang aku bayangkan, aku mulai berfoto de monumen-munumen, namun kami dimaki oleh seorang petugas pamong praja karena kami berfoto didekat pagar kantor gubernur (maklum jaman itu pejabat dan aparat seperti tuhan), kami pun di usir, hati kecilku berkata” suatu saat nanti akau akan datang kesini dengan bersendal jepit, tanpa mandi dan bercelana pendek dan kaos oblong dan kau kan akan menyambutku dengan penuh hormat, tunggu aja masanya ( aku berhasil mewujudkan itu setelah aku menjadi mahasiswa dimana aku dan beberapa temanku diundang gubernur dalam suatu pertemuan yang

3

mana kau dan tetman-temanku mewakili masyarakat yang bersengketa dengan salah satu perusahaa perkebunan, pertama masuk sih ditanya, tapi saat itu aku langsung menelpon ajudan gubernur, bahwa aku terhambat di pintu masuk “mas aku dak boleh masuk sama satpol pp mas” telpon di pos penjagaan berbunyi sepertinya dia dimarahi, selesai itu aku bilang sama dia, bukan aku yang pengen ketemu gubernur tapi gubernur yang pengen ketemu sama kau”sombong kali aku saat itu..he..he..”). Aku masuk kesekolah baru ya sebuah sma pavorit no 3 dikotaku yang baru

Related Documents


More Documents from ""