Terapi Obat Epilepsi.docx

  • Uploaded by: NurylLatyfiani
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Terapi Obat Epilepsi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,789
  • Pages: 6
Terapi obat Epilepsi Penggolongan obat epilepsi (1) Hidantoin Fenitoin Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf (11). Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah (12). Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) (13) yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang (11). dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam (10). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia (14). (2) Barbiturat Fenobarbital Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik (11). Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama (15). Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABAA (7) dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition (16). Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari (14). Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome (10). (3) Deoksibarbiturat Primidon Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik (4). Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori (11). Efek anti kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA) (4). PEMA dapat

meningkatkan aktifitas fenobarbotal (11). Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari (7). Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi (11). (4) Iminostilben (a) Karbamazepin Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik (4). Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik (11). Karbamazepin menghambat kanal Na+ (7), yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang (11) dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari (8). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia (10). (b) Okskarbazepin Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan 10monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal (4). Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial (10). Mekanisme aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin (4). Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 810mg/kg 2 kali sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari (11). Efek samping penggunaan okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi, dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin (10). Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450 (4). (5) Suksimid Etosuksimid Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens (11). Kanal kalsium merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens (4). Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari (11). Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan (10). (6) Asam valproat

Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik (11). Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium (10). Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari (11). Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik. Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati (10). Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut (12). (7) Benzodiazepin Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang (11). Benzodiazepin merupakan agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA (7). Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 611 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg (11), dan dewasa 4-40 mg/hari (7). Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual (11). (8) Obat antiepilepsi lain (a) Gabapentin Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati (12). Uji double-blind dengan kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari) (15). Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan potensial aksi berulang terusmenerus (4). Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 512 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari (11). Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan

ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan (10). (b) Lamotrigin Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum (10). Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari (11). Penggunaan lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. StevensJohnson syndrome juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin (10). (c)

Levetirasetam

Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxopyrrolidine acetamide) (31). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik (10). Mekanisme levetirasetam dalam mengobati epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat menghambat kanal Ca2+ tipe N (11) dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan eksitatori (atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari (7). Efek samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan levetirasetam (10). (d) Topiramat Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati kejang dengan menghambat kanal sodium (Na+), meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat karbonat anhidrase yang lemah (11). Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari (7). Efek samping utama yang mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi, sulit mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa tidak enak atau abnormal). Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan penurunan berat badan (10). (e) Tiagabin Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak ≥16 tahun. Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA (11), antagonis neuron atau menghambat reuptake GABA (7). Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari (11). Efek samping yang sering terjadi adalah pusing, asthenia (kekurangan atau kehilangan energi), kecemasan, tremor, diare dan depresi (17). Penggunaan tiagabin bersamaan dengan makanan dapat mengurangi efek samping SSP (10). (f)

Felbamat

Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya digunakan bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang mempunyai resiko anemia aplastik (11). Mekanisme aksi felbamat menghambat kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA (4). Dosis felbamat untuk anak usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali sehari (11). Efek samping yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat adalah anorexia, mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat badan. Anorexia dan penurunan berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan konsumsi kalori yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat pada wanita yang mempunyai riwayat penyakit cytopenia (10). (g) Zonisamid Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid (4) yang digunakan sebagai terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa (11). Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan menghambat kanal kalsium (Ca2+) tipe T. Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari (7). Efek samping yang umum terjadi adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual, dan agitasi. Di United Stated 26% pasien mengalami gejala batu ginjal (10). Tabel II. Pilihan obat untuk gangguan kejang spesifik (10) Tipe seizure Seizure parsial

Terapi pilihan pertama Karbamazepin

Obat alternatif

Fenitoin

Topiramat

Lamotrigin

Levetiracetam

Asam valproat

Zonisamid

Gabapentin

okskarbanzepin Tiagabin Primidon Fenobarbital

kejang umum

absens

Asam valproat

Felbamat Lamotrigin

Mioklonik

Etosuksimid Asam valproat

Levetiracetam Lamotrigin,

Klonazepam

topiramat, felbamat, zonisamid,

Tonik-klonik

Fenitoin

levetiracetam Lamotrigin,

Karbamazepin

topiramat, primidon,

Asam valproat fenobarbital, okskarbanzepin, Levetiracetam

Related Documents


More Documents from "Hikari Sota"