Jakarta, Kompas - Muhammadiyah dituntut merumuskan kembali posisi teologi tentang Islam dan kemodernan mengingat tantangan zaman yang kian jauh berbeda dan semakin kompleks. Ke depan, persyarikatan Muhammadiyah tidak perlu gamang menghadapi tawaran teologis yang bermunculan, baik dari spektrum kanan maupun kiri. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin di Jakarta, Rabu (30/3). Kepada Din ditanyakan tentang perkembangan wacana keislaman di Muhammadiyah menjelang muktamar Muhammadiyah. Menurut Din, karena tidak kunjung memunculkan tawaran teologis baru sesuai dengan perkembangan, maka tidak sedikit anak muda Muhammadiyah yang memilih keluar. Tren tersebut melanda generasi muda persyarikatan di semua tingkatan secara umum. "Ini ditandai dengan banyaknya pentolan mudanya yang lari ke spektrum kanan dengan mendirikan lembaga atau organisasi yang beberapa di antaranya diberi predikat garis keras. Bagi mereka, Muhammadiyah dianggap kurang keras atau lembek secara teologis," ujarnya. Di samping itu, menurut Din, tidak sedikit anak muda Muhammadiyah yang lari ke spektrum kiri atau liberal seperti masuk Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah atau aktif di Jaringan Islam Liberal. "Langkah demikian, idealnya dipahami sebagai munculnya ketidakpuasan terhadap Muhammadiyah, atau bisa juga karena ketidakpahaman dengan teologi yang diusung Muhammadiyah," ujarnya. Menurut Din, ekspresi ketidakpuasan sebenarnya bagus-bagus saja. Kondisi ini justru membuktikan adanya dinamisasi di Muhammadiyah. Sayangnya, persyarikatan ini tidak menyiapkan lahan untuk tumbuhnya perkembangan pemikiran anak muda. Itu sebabnya, agenda penting ke depan bagi Muhammadiyah adalah memperjelas bagaimana teologi Muhammadiyah agar tidak mengalami pembekuan. (mam) Miskin atau kemiskinan dipahami sebagai ketiadaan harta atau ketidakberdayaan yang membuat seorang tak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Dalam bahasa Arab, kata miskin berakar dari kata sakana, yaskun, sukun, yang secara harfiah berarti diam, tak bergerak. Jadi, miskin menunjuk pada kondisi diam, tanpa aktivisme dan dinamisme dalam hidup. Kemiskinan dalam semua bentuknya harus dicegah. Dalam Islam, kemiskinan dipandang sebagai dharar, yaitu sesuatu yang membahayakan. Setiap yang membahayakan tentu harus dicegah dan dihilangkan sesuai kaidah fikih, al-dharar yuzalu. Karena itu, bagi kaum Muslim, menghilangkan kemiskinan adalah wajib kifayah hukumnya. Untuk mencegah dan mengatasi problem kemiskinan, kaum Muslim perlu memperhatikan paling tidak tiga hal ini. Pertama, memahami dengan benar sikap dan pandangan Alquran tentang kemiskinan itu sendiri. Dalam Alquran, Allah justru memberi pujian pada kehidupan yang berkecukupan. Pujian itu, misalnya, diberikan dalam konteks pemberian aneka macam kenikmatan kepada Nabi Muhammad SAW. ''Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang miskin (berkekurangan), lalu Dia memberikanmu kecukupan.'' (QS Dhuha [93]: 8). Kedua, melepaskan diri dari teologi jabariyah yang fatalistik. Sebagian kaum Muslim masih ada yang berpandangan miskin adalah takdir dalam arti nasib yang tidak dapat diubah. Sebagian yang lain berpandangan
miskin adalah sesuatu yang mulia dan dipandang sebagai syarat mencapai derajat takwa. Pandangan seperti ini tentu tidak sebangun dengan semangat dan upaya pengentasan kemiskinan. Ketiga, membangun etos kerja yang kuat. Dalam Islam, kerja dinamakan amal, dan amal adalah ibadah (berpahala). Tanpa kerja (amal), ajaran apa pun, termasuk agama, tentu kurang berguna. Iman sejatinya menjadi fungsional dalam kehidupan hanya dengan amal. Bahkan amal dapat dipandang sebagai cara berada manusia (mode of existence). Ia dianggap ada bila ia bekerja dan berbuat untuk kemajuan dirinya, keluarga, masyarakat dan bangsa. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW berpesan agar kaum Muslim rajin dan giat bekerja, tanpa bermalas-malas, serta menjauhkan diri dari sikap minta-minta. Sabdanya, ''Sekiranya salah seorang dari kamu mengambil tali, lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya lalu menjualnya, hal itu lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada orang, baik ia diberi atau ditolak.'' (HR Bukhari). Wallahu a'lam bish-shawab. pemahaman Muhammadiyah tentang teologi Al-Maun sebagai sumber inspirasi dan spirit gerakan menuju kemajuan yang adaptif terhadap tuntutan sosio-tekno-kultural. Banyak tokoh-tokoh Islam mulai menyadari bahwa organisasi besar Islam dan pergerakan berbasis agama menghadapi tantangan kuat di penghujung abad-21 ini. Beberapa terminologi yang berkaitan dengan kehidupan nyata masyarakat dan pergerakan yang terorganisir, pergerakan-pergerakan relatif kecil tapi berbasis agama dan ideologi tertentu dihadapkan pada fenomena praksis the end of ideology yang mengasumsikan berakhirnya sebuah ideologi dalam masyarakat dan mengindikasikan tampilnya mozaik individual. Situasi ini akan berpengaruh terhadap eksistensi kehidupan gerakan namun banyak kelompok masyarakat atau bangsa yang masih tetap memerlukan seperangkat ideologi selonggar apapun lebih-lebih bagi sebuah gerakan islam yang sedikit atau banyak bersentuhan dengan aspek keterkaitan Islam dengan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, yang memerlukan sistem ideologi yang diyakini oleh banyak pengikutnya sebagai faktor determinan keteguhan berpandangan dan bersikap menghadapi interfensi dan infiltrasi dari sistem ideologi yang datang dari luar kerangka kebenaran yang diyakininya. Selain itu terminologi lain yang terasa mengganggu adalah conflict of civilization yaitu perbenturan peradaban yang sebagian dihadapkan kepada perbenturan peradaban barat dengan peradaban islam. Kondisi seperti ini harus dipahami oleh tokohtokoh masyarakat Islam sebagai tantangan sosio kultural dan harus mampu mencari pijakan yang pasti dan kokoh serta mempunyai argumentasi yang cerdas dalam kedudukan yang berimbang dan terhormat. Di sinilah letak strategis peranan tokoh-tokoh besar islam abad modern ini yang berwajah cerdas, adaptif dan berkemajuan serta penuh senyum dan berwajah modern, yang direpresentasikan oleh Dr. Abdullah Ahmad Badawi dan Prof. Dr. Din Syamsuddin. Untuk menggapai posisi tawar Islam yang begitu bermartabat perlu pemahaman yang hakiki sebagaimana menurut Haedar Nasir agama Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa untuk memahami sesuatu secara benar dan mendalam. Kata-kata afala
tatafakkarun, afala tatadzakkarun, afala tatadabbarun, afala ta’lamun, dan berbagai kalimat dan sighat lainnya yang senapas mengandung arti agar setiap muslim atau manusia harus memahami sesuatu secara benar dan mendalam untuk mencegah kekeliruan, kesalahan, dan kesesatan. Maka orang Islam dituntut untuk menjadi ulinuha, ulil albab, ulil abshar, memahami teks dan konteks serta hal esensial lainnya dalam horizon yang luas yang dalam dunia filsafat kita kenal dengan istilah verstehen, yaitu cara berpikir filosofis untuk memahami secara mendalam dan menangkap makna mendalam dibalik gambaran fisik dari sesuatu, agar siapapun tidak gegabah atau gampang menyimpulkan sesuatu. Dalam hal ini sikap adaptif Muhammadiyah terhadap sosio-tekno-kultural (baca: peradaban) terlihat dari cara penentuan jatuhnya satu Syawal dari menggunakan metode ruhyat ke penggunaan metode hisab dengan kemampuan melakukan perhitungan matematis pergerakan bulan, bumi dan matahari. Ada kebiasaan dalam domain pergerakan di dunia bahwa setiap seratus tahun selalu diadakan reuni dan perenungan yang umumnya melakukan ritual kesejarahan untuk mengenang masa lampau dan berharap bisa menerobos ke masa depan dalam semangat revitalisasi sekaligus menjadikan semangat ini sebagai centennial revitalizing, dimana kurun waktu seratus tahun yang akan ditinggalkan dijadikan momentum untuk kebangkitan kembali yang sering kita dengar setiap pergantian abad selalu ada semangat yang menggelora yang kadang cenderung hanya bersifat sloganisme belaka yang disampaikan tanpa adanya pemahaman afala tatafakkarun. Seperti halnya Muhammadiyah hampir satu abad ini harus melakukan ikhtiar merancang bangun kembali kebangkitannya melalui revitalisasi terutama terhadap konsep teologis yang mendasarinya sebagai komitmen ketuhanan dalam bentuk merekonstruksi pemikiranpemikiran dasar ke-Muhammadiyahan yang tonggaknya ada dalam surat Ali Imran 104 sebagai dasar komitmen teologi Al-Maun yang oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin dikenalkan sebagai Islam yang berkemajuan. Sementara kita pahami komitmen ialah perjanjian atau ikrar kesetiaan yang mengikat seseorang pada sesuatu yang menjadi kesepakatan dan dianggap penting dalam hidup. Secara teologis, manusia hidup memiliki komitmen yang hakiki yang dijadikan kontrak oleh ruh-nya yakni komitmen bertuhan. Dilain pihak secara sosiologis, manusia memiliki komitmen diri dalam relasi kehidupan sekitarnya yang disebut kontrak sosial. Dari dua komitmen dasar inilah manusia tidak bisa lepas dari keterikatan transendental dengan Tuhannya dan diikuti keterikatan sosial dalam kehidupan dalam masyarakat. Berdasarkan komitmen ada sesuatu yang menjadi dasar ikatan yang menjadi acuan sekaligus janji batin untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan niat dan kesepakatan awal baik dalam bentuk perorangan atau bersama-sama dalam persyarikatan. Di sinilah makna revitalisasi teologis dapat memperbaharui, mencerahkan pemikiran dalam bentuk merekonstruksi pemikiran-pemikiran, aliran-aliran, ideologi semua pergerakan dengan semangat revitalisasi dan sinergitas sesama organisasi-organisasi berbasis agama. Apabila semua gerakan dengan metode dakwah Islamiyah dibiarkan berkembang tanpa ada ikhtiar revitalisasi teologis pasti akan muncul dakwah-dakwah
simbolis, romantisme dan berbau popularitas perorangan tanpa semangat pembaharuan. Simbolisme dakwah yang berkembang saat ini dimotori oleh figur perorangan yang nasibnya sangat ditentukan popularitas figur tersebut yang jatuh bangun seperti nasib Aa Gym pada sisi romantismenya dan Ustad Abu Bakar Ba’asyir pada sisi yang paling ekstrem sampai dianggap tokoh terorisme. Bahkan berkembang pula dakwah eksklusif di hotel-hotel berbintang dengan bayaran jutaan rupiah yang cenderung menimbulkan kesan komersialisasi dakwah yang jauh dari nilai-nilai luhur dakwah itu sendiri. Pada situasi lain terlihat pula maraknya pengajian yang dilaksanakan di ruang publik oleh beberapa selebritis dakwah yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat golongan tertentu. Realitas masyarakat kita yang sedang mengalami euforia reformasi sampai kepada struktur terbawah dalam masyarakat membawa konsekuensi perubahan kehidupan keberagamaan. Oleh sebab itu perlu sinergitas antara metode dakwah Islamiyah yang ada berbasis konsep revitalisasi teologis yang bisa mengakomodir perubahan-perubahan cara berpikir dan berorientasi adaptif terhadap tuntutan sosio-tekno-kultural yang mungkin bisa membawa masyarakat islam Indonesia ke peradaban dunia yang harmonis. Dr. Anis Malik Thoha –anggota Syuriah NU Istimewa Malaysia-- menerbitkan buku "Tren Pluralisme Agama": Tinjauan Kritis". Semoga buku ini bisa menyadarkan penganut "Sipilis". Pada tanggal 3 September 2005 yang lalu, ada peristiwa bersejarah dalam pemikiran Islam di Indonesia. Hari itu, Dr. Anis Malik Thoha – dosen ilmu perbandingan agama di Universitas Islam Internasional Malaysia – meluncurkan bukunya yang berjudul “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” (Jakarta: GIP, 2005). Peluncuran dilakukan di Gedung Menara Dakwah-Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ratusan hadirin berjubel menghadiri acara tersebut. Mengapa peristiwa tersebut kita katakan sebagai peristiwa bersejarah? Pertama, buku itu merupakan terjemahan disertasi doktornya di Universitas Islam Internasional Islamabad, dimana Dr. Anis akhirnya meraih ‘Gold Medal’, karena disertasinya dinyatakan sebagai disertasi terbaik. Kedua, materi pembahasan dalam buku ini merupakan tema penting dalam isu pemikiran Islam yang telah berpuluh tahun menjadi perdebatan hangat diantara para pemikir bidang keagamaan, baik di dunia Islam, dunia Barat, maupun di Indonesia sendiri. Dan ketiga, buku ini hadir tepat waktu, ketika kritikan dan hujatan terhadap fatwa MUI tentang sipilis (Sekularisme, Pluralisme Agama, dan Liberalisme) masih terus berlangsung. Sebagai buku berkualitas ilmiah tinggi, buku ini bukan buku populer, sehingga biasanya kurang luas peredarannya. Tetapi, mengingat materinya yang sangat penting, maka buku ini perlu dijadikan bahan kajian di kalangan akademisi Muslim, para ulama, cendekiawan, dan para peminat pemikiran Islam. Judul asli buku ini dalam bahasa Arab: “Ittijaahaat al-Ta’addudiyah al-
Diniyah
wa
al-Mawqif
al-Islami
minha”.
Isu Pluralisme Agama masih terus menjadi perbincangan di tengah masyarakat luas. Jumat (9/9/2005) kemarin pagi, dalam acara dialog interaktif dengan sebuah radio di Solo, seorang Ibu menceritakan pengalamannya, sejak kecil dia dididik oleh orang tuanya untuk berpikir dan bersikap bahwa semua agama itu baik. Jadi, jangan merasa yang paling benar atau paling baik. Akibatnya, ia tidak terdorong untuk mengamalkan agamanya dengan baik. Syukurlah akhirnya ia mengakui kekeliruan paham semacam itu, dan mengakui besarnya manfaat fatwa MUI yang mengharamkan paham Pluralisme Agama. Dalam bukunya, Anis mengutip definisi populer dari Pluralisme Agama yang dirumuskan John Hick: “...pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara ertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masingmasing pranata kultural manusia tersebut –dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.” Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Sangat jelas, rumusan Hick tentang pluralisme agama di atas adalah berangkat dari pendekatan substantif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Dengan demikian telah terjadi proses pengebirian dan “reduksi” pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang merupakan “pangkal permasalahan” sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan “agama” itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak reduksionistik. Tetapi sungguh mengejutkan, menurut Anis, ternyata “pemahaman reduksionistik” inilah justru yang semakin populer dan bahkan diterima di kalangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan pemikiran yang berbeda, hingga menjadi sebuah fenomena baru dalam dunia pemikiran manusia yang secara diametral berbeda dengan apa yang sudah dikenali secara umum.
Yang unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran “persamaan” agama (religious equality) ini, tidak saja dalam memandang eksistensi riil agama-agama (equality on existence), namun juga dalam memandang aspek esensi dan ajarannya (syariat), sehingga dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu kehidupan bersama antar agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai (mutual respect) atau apa yang diimpikan oleh para “pluralis” sebagai "Pluralisme Agama". Namun, alih-alih menciptakan kerukunan dan toleransi, paham Pluralisme Agama itu sendiri sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter, dan kejam, karena menafikan kebenaran semua agama, meskipun dengan jargon menerima kebenaran semua agama. Sebagai agama, kata Anis, Pluralisme Agama memiliki ciri-ciri, watak-watak, karakteristik yang khas yang terdapat pada semua agama pada umumnya. Ia memiliki tuhannya sendiri, nabi-nabinya sendiri, ritus-ritus dan ritual-ritualnya sendiri dsb. Tuhan agama ini, sebagaimana dikatakan “nabi”nya, John Hick, adalah “The Real” yang mengatasi semua tuhan yang diyakini agama-agama. Jadi pada dasarnya, agama baru ini juga tidak lepas dari “klaim absolut”. Bahkan sebetulnya agama baru ini lebih eksklusif dari agama-agama yang ada, khususnya Islam. Sebab Islam secara ontologis mengakui dan menghargai “klaim-klaim absolut” yang dibuat agama-agama lain, serta memberikan hak untuk berbeda, juga membiarkan mereka untuk menjadi dirinya masing-masing (to let the others to be others), tanpa berusaha sedikitpun untuk mereduksi atau merelativisasi mereka. Sebagai konsekwensinya, pada tataran praktis Islam menawarkan “plurality of laws” kepada semua pengikut agama untuk mengatur kehidupan mereka masing-masing sesuai dengan hukum atau syari’at yang mereka yakini. Apa ada sistem modern (yang paling demokratis, sekalipun) yang berani menawarkan demikian?. Inilah, yang menurut bahasa Isma’il al-Faruqi, the best gift of Islam to humankind. Sikap Islam ini sungguh sangat elegan, lugas dan apa adanya. Namun sebaliknya, agama baru (Pluralisme Agama) ini “memaksa” agama-agama lain untuk meyakini atau mengimani keunggulan tuhannya, yaitu “The Real” tadi. Bahwa tuhan-tuhan semua agama itu hanyalah manifestasi “The Real” ini. Ditambah lagi, pada tataran praktis, legal dan formal, agama baru ini memaksakan syari’at atau seperangkat hukumnya kepada semua agama. Maka, agama baru ini sebetulnya (tanpa disadari) inkonsisten dengan semboyansemboyannya yang muluk dan memikat lagi mempesona, yang moderat-lah, toleran-lah, kesetaraan-lah, kebebasan-lah dsb. “Semua itu semboyan kosong!” tegas Anis, yang kini memimpin Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia. Dalam bukunya, Anis menjelaskan adanya empat tren dalam paham Pluralisme Agama,
yaitu tren humanisme sekuler, tren teologi global, tren sinkretisme, dan tren hikmah abadi (sophia perennis). Dalam tren teologi global, dikupas pemikiran dua tokoh perumusnya yang terkenal, yaitu Wilfred Cantwell Smith dan John Hick. Pemikiran Smith penting untuk dicermati, sebab pemikiran inilah yang kemudian banyak diikuti pemikir di Indonesia. Ide dekonstruksi makna Islam – yang hanya merujuk pada makna generiknya sebagai “sikap pasrah” -- yang diajukan Nurcholis Madjid pada 21 Oktober 1992, misalnya, sejalan dengan ide Cantwell Smith tentang makna agamaagama. Dalam bukunya, Dr. Anis Malik juga menguraikan secara cukup rinci ide Cantwell Smith yang mengusulkan penggantian terminologi “agama” sebagai kata benda, dan bukan sebagai kata sifat. Sebagai gantinya, dia mengusulkan terminologi baru, yaitu “faith” atau “cumulative tradition”. Istilah terakhir ini dimaknainya dengan: “tradisi-tradisi yang terhimpun dari anasir keagamaan dan budaya yang hidup – seperti keyakinan, ritus, ritual, teks suci dan tafsirnya, mitos, seni, dan sebagainya – sehingga membentuk suatu sistem tersendiri yang memiliki karakteristik tersendiri, yang kemudian disebut tradisi Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Muslim, dan lain sebagainya. Teori ini, menurut Smith juga berlaku untuk Islam. Islam sebagai kata benda pun harus dilepaskan, sebab Islam juga seperti agama lain. Meskipun Islam memiliki satu kekhususan dan keistimewaan, menurutnya ia juga mengalami proses reifikasi baru saja pada masa modern. Ia mengajukan makna Islam sebagai “kata sifat”. Ide inilah yang kemudian diikuti oleh Nurcholish Madjid. Dalam buku Teologi Inklusif Cak Nur, ditulis: "Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur, menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah world view Al Quran, bahwa semua agama yang benar adalah al-islam, yakni sikap berserah diri kehadirat Tuhan (QS 29:46)." Selanjutnya dikatakan: "Dalam konteks inilah, sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi "muslim" itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain, khususnya para penganut kitab suci, baik Yahudi maupun Kristen. Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapa pun di antara kita - baik sebagai orang Islam, Yahudi, Kristen, maupun shabi'in --, yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan ... (QS 2:62, 5:69).
Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologis bagi umat beragama, apa pun "agama"-nya, untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan. Bayangkan betapa inklusifnya pemikiran teologi Cak Nur ini." (Lihat, Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), hal. 21-22). Konsep “Islam” Cantwell Smith dan Nurcholish sangat berbeda dengan pandangan Prof. Naquib al-Attas. Ia katakan bahwa hanya ada satu agama wahyu yang otentik, dan namanya sudah diberikan oleh Allah, yaitu Islam. Islam bukanlah sekedar kata kerja yang berarti pasrah atau tunduk (submission), tetapi juga nama sebuah agama yang menjelaskan cara submission yang benar. (Naquib alAttas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995). Walhasil, kita ucapkan selamat datang untuk buku “Tren Pluralisme Agama” karya Dr. Anis Malik Thoha. Buku ini patut disambut gembira oleh kaum Muslim yang merindukan tumbuhnya tradisi ilmu dan intelektual sejati dalam masyarakat Muslim. Dengan terbitnya buku ini, kita juga mengharapkan para penyebar paham Pluralisme Agama bersedia membacanya, bertobat, menyadari kekeliruannya, dan segera menghentikan propagandanya, meskipun dengan resiko tidak lagi dikucuri dana para cukong asing. Wallahu a’lam. http://www.abim.org.my/minda_madani/images/islam liberal.jpg"align="left" vspace="5" hspace="15">`Islam liberal’ ialah istilah baru dalam dunia pemikiran Islam semasa. Kemunculannya dilihat sebagai sebahagian dari produk pemikiran yang diasaskan dari kerangka modenisme. Islam sebagai satu tema pemikiran diperdebatkan menerusi perspektif moden berasaskan dasar dan kerangka berfikir modenisme yang tersendiri. Natijahnya ialah, kelahiran satu citra berfikir baru yang berusaha untuk menyesuaikan Islam dengan realiti kehidupan moden yang sedang berkembang hari ini. Untuk memahami `Islam liberal’, masyarakat harus memahami latar dan dasar modernisme terlebih dahulu. Aliran modenisme sebagai satu kerangka berfikir muncul dari latar sejarah yang kompleks dan tersendiri yang dialami oleh masyarakat Barat sekitar abad ke 16 hingga I8 masihi. Ia adalah natijah dari reaksi penentangan sekelompok manusia di Barat terhadap sistem budaya dan struktur berfikir masyarakatnya yang dianggap mengongkong. Institusi gereja yang mewakili kelompok penguasa dianggap sebagai penghalang kepada kemajuan hidup dan kebejatan masyarakat. Tafsiran – tafsiran sempit penguasa agama tentang realiti, hukum dan kebenaran mengekang perkembangan ilmu dan kreativiti manusia. Untuk itu, masyarakat perlu dibebaskan dari tradisi ini iaitu monopoli satu kelompok masyarakat (penguasa agama dari institusi gereja) dalam menentukan kebenaran.
Di sinilah bermulanya idea dan gerakan modenisme. Ia adalah satu kepercayaan bahawa untuk mencapai kemajuan hidup, masyarakat harus dibebaskan dari tradisinya. Dari asas kepercayaan ini, ia berkembang sebagai satu gerakan intelektual dan kebudayaan berusaha merombak segala sistem kepercayaan dan struktur sosial yang dianuti dan diamalkan oleh tradisi. Secara khusus, aliran modenisme ialah gerakan protes yang berasa kecewa dengan kongkongan, monopoli dan manipulasi kelompok agama terhadap kebebasan dan hak-hak asasi individu dan masyarakat. Apakah bentuk kepercayaan baru yang cuba untuk digantikan oleh aliran modenisme setelah mereka menolak tradisinya ? Kepercayaan baru itu dikenali sebagai `sekularisme’. Bagi golongan modenis, sekularisme dianggap sebagai `agama’nya. Antara ajaran utama `agama’ ini ialah bahawa `kebenaran bukan suatu yang mutlak’. Dalam kata lain, kebenaran bersifat relatif atau nisbi iaitu boleh berubah-ubah mengikut keperluan dan tuntutan. Apakah alat yang akan menentukan `keperluan’ dan `tuntutan’ tentang makna kebenaran tersebut?. Alat tersebut menurut faham sekularisme ialah `rasional’. Ia beerti, sesuatu realiti, hukum atau kepercayaan yang wujud dalam persekitaran manusia adalah benar apabila ia boleh dibuktikan oleh rasional atau akal manusia. Dalam maksud lain, akal ialah sumber kebenaran mutlak menurut kepercayaan aliran modenisme. Gerakan modenisme ini sepanjang sejarahnya telah berjaya merombak sistem tradisi masyarakat Barat dalam segenap aspek kehidupannya meliputi bidang pemerintahan, keilmuan, perundanngan, seni, hiburan dan tatacara moral. Menerusi faham sekularisme, gerakan modenisme menentukan tafsiran baru terhadap dimensi-dimensi ini menerusi kerangka rasionalisme. Peranan ajaran agama tidak lagi menjadi faktor penentu terhadap makna sesuatu kebenaran. Aliran ini kini bertapak kukuh tidak sahaja dalam konteks masyarakat Barat malah juga di kalangan masyarakat Timur. Ia telah dikembangkan oleh penjajah-penjajah menerusi sistem pendidikan yang ditubuhkan ditanah-tanah jajahan. Aliran modenisme ini juga berkembang menerusi intekasi kebudayaan terutama apabila negara – negara bekas jajahan – setelah memperoleh kemerdekaan, telah menghantar sejumlah besar anak warganya ke negara Barat bagi mendapatkan latihan dan pendidikan. Di negara ini secara khusus tidak terkecuali dari mendapat pengaruh aliran modenisme ini. Salah satu dari kesan pengaruh modenisme ialah perspektif dan kefahaman terhadap agama Islam. Perspektif ini pada hari ini dikenal sebagai `Islam liberal’ di mana pandangan atau tasawwurnya terhadap agama bercorak liberal atau tidak terikat dengan dasar-dasar tradisi yang diamalkan atau dianuti oleh masyarakat terbanyak. Ini dapat dilihat menerusi beberapa isu agama yang sedang rancak dibahaskan semenjak akhirakhir ini yang meliputi perundangan, gender, poligami dan amalan sosial agama seperti aurat. Sejak beberapa bulan yang lalu, dua isu dibahaskan aliran ini yang dianggap agak `kontroversi’ oleh masyarakat terbanyak. Pertama ialah cadangan bagi penubuhan
`Suruhanjaya Antara Agama’ atau Interfaith Comission of Malaysia (ICM) Kedua ialah memorandum oleh 50 badan bukan kerajaan serta sejumlah individu-individu supaya kerajaan tidak mencampuri urusan atau tatacara moral penganutnya terutama orang-orang Islam memandangkan isu moral ialah hak peribadi individu. Dari satu sudut, kedua-dua tuntutan ini dilihat suatu yang mempunyai `tarikan’nya yang tersendiri. Ini kerana cadangan-cadangan tersebut dikatakan bagi `memberikan hak asasi individu dan menegakkan prinsip kesamarataan untuk seluruh warga negara’. Namun, sekiranya di nilai dari satu sudut yang lain, usaha ini adalah satu `protes’ terhadap monopoli kerajaan (dalam konteks khusus ialah pemimpin agama ) yang menyekat kebebasan individu menerusi saluran perundangan. Dalam dua isu ini, wujud pertembungan yang jelas tentang makna dan pengertian `agama’ pada pandangan kelompok modenis dengan kepercayaan tradisi. Bagi kelompok Islam liberal, agama seolah dilihat sebagai natijah dari himpunan konsep-konsep yang terhasil dari perkembangan pemikiran manusia. Oleh kerana itu, urusannya boleh dicampuri oleh semua peringkat golongan walaupun oleh orang tersebut bukan ahlinya atau sehinggakan oleh orang yang bukan menganut ajaran agama tersebut. Dalam kata lain, agama ialah suatu bahan yang boleh dirasionalkan mengikut keperluan dan tuntutan kehidupan manusia. Inilah yang boleh difahami apabila dicadangkan satu suruhanjaya khusus ditubuhkan bagi mentadbir hal ehwal agama-agama di negara ini. Secara jangka panjang, ia dilihat satu bentuk mekanisme alternatif terhadap struktur pentadbiran agama di negara ini di mana ia ditadbir oleh ahli-ahlinya yang berautoriti. Bagi aliran Islam liberal, tidak ada autoriti dalam beragama kerana agama suatu yang bersifat rasional. Kebenaran agama bukan suatu yang mutlak. Untuk merasionalkan agama, maka langkah pertama ialah membentuk mekanisme baru bagi menghilangkan autoriti ahli agama yang selama ini dianggap memonopoli tafisran tentang kebenaran ajaran agama. Begitu juga apabila dipersoalkan tentang hak negara dalam mengawal moral warganya. Ia dengan jelas menghuraikan ciri aliran Islam liberal yang menganut fahaman tentang kenisbian moral. Dalam kata lain, aliran ini menganggap bahawa moral bersifat relatif serta milik mutlak individu. Secara langsung ia menafikan hak agama dalam mengawal moral penganutnya atau dalam maksud lain, agama dan moral adalah suatu yang berlainan sama sekali. Kepercayaan ini jelas bertentangan dengan kepercayaan tradisi iaitu walaupun individu berhak dan bebas melakukan apa sahaja tindak tanduk moral, namun agama juga memberi hak kepada individu, kumpulan penganut atau penguasa (kerajaan dan pemerintah) mengawal tindak laku moral penganutnya. Ini adalah perintah agama dan ia bersifat mutlak. Ini kerana agama mengutamakan kepentingan awam dan kesejahteraan penganutnya dari didorong dan dirosakkan oleh dorongan diri yang tidak terbatas.
Begitu juga dalam hal memberi tafsiran terhadap ajaran agama. Dalam konteks Islam, tradisi yang ketat bersumberkan pedoman wahyu dan pandangan ahli agama yang terdahulu diambilkira dalam menentukan sesuatu bentuk ajaran dan tafsiran. Ia bertujuan bagi memastikan ajaran agama tidak diselewengkan oleh individu atau kelompok tertentu yang mentafsirkan agama begi tujuan dan kepentingan dirinya. Dengan demikiran, keaslian ajaran agama dapat dipertahankan. Kedua-dua isu yang dikemukakan oleh sebahagian ahli masyarakat di negara ini memperlihat secara jelas bagaimana pengaruh faham modenisme dalam membentuk perspektif mereka terhadap fungsi dan peranan agama, dalam konteks ini agama Islam. Usaha-usaha ini adalah antara manifestasi pengaruh fahaman tersebut yang kini telah terbentuk dalam satu perencanaan yang tersusun. Ia menjelaskan tentang langkah gerakan aliran Islam liberal bagi menstrukturkan semula cara berfikir masyarakat negara ini terutama orang Islam menerusi kerangka berfikir yang dianutinya. Aliran Islam liberal mempercayai bahawa kerukunan hidup masyarakat negara ini yang berbilang bangsa dan budaya hanya boleh dijelmakan menerusi asas sekularisme. Asas agama yang menjadi tunjang pembentukan negara ini dilihat sebagai penghalang kepada kerukukan dan kemajuan hidup warganegaranya. Untuk itu, agenda pensekularan masyarakat harus menjadi rancangan utama dalam rangka membina sebuah bangsa Malaysia yang harmoni. Alliran ini yang kini sedang mendapat tempat dan dokongan dari pertubuhan bukan kerajaan dan individu-individu yang sebahagiaanya agak berpengaruh merupakan satu cabaran baru kepada umat Islam negara ini secara khusus. Cabaran ini, sekiranya tidak ditangani secara berhemat akan menjadi ancaman kepada kerukunan dan keharmonian hidup beragama di kalangan masyarakat berbilang bangsa. Dengan tindakan yang cuba mencabar institusi pemerintah dan kepimpinan agama dalam sebuah negara yang menjadikan agama Islam sebagai agama rasmi dan majoriti penduduknya komited dengan ajaran agama yang diasaskan berdasarkan tradisi ajarannya yang tersendiri, ia adalah suatu langkah yang tidak begitu bijak walaupun atas alasan dan cita-cita yang sungguh murni kerana bakal mengundang `ketidaktentuan’. Adalah suatu kesilapan besar bagi aliran Islam liberal menyamakan suasana kehidupan beragama di negara ini kini seperti keadaan kehidupan agama masyarakat Barat dalam abad ke 16 hingga 18 masihi yang lalu. Penyamaan latar sejarah ini merupakan kesalahan perspektif yang paling tragis sekiranya ia diteruskan dengan protes-protes lain di masa hadapan. Ini kerana, dalam konteks negara ini, faktor ajaran Islamlah, terutama prinsip toleransi, keterbukaan sikap, semangat ukhwah keinsanan dan kecintaan kepada keamanan dan perdamaian yang terhayat dengan cukup mendalam di dalam sanubari orang-orang Islam yang memungkinkan penganut-penganut agama lain dapat hidup dengan bebas mengamalkan ajaran agama dan kebudayaan tradisi yang diwarisi dari negara asal masing-masing.
[email protected]
Filsafat dan Gairah Pemikiran di Dunia Islam di Indonesia Era globalisasi telah membawa manusia pada babak baru, dimana pada era ini banyak ditandai dengan penemuan-penemuan dan kemajuan diberbagai bidang. Secara praktis manusia telah dipermudah oleh temuan-temuan modern, menciptakan banyak kemungkinan bagi taraf kehidupan manusia. Era ini telah menghilangkan sekat (pemisah) antar manusia, tidak ada lagi gap (jurang) antara Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Penemuan ilmu pengetahuan bergerak dengan cepatnya dari harikehari (lihat M. Hamdi Zaqzug, Reposisi Islam di Era Globalisasi (terj. oleh Abdullah Khakam Shah, pada bagian pengantar) , 2004; v). Berbagai bentuk perubahan sosial yang menyertai era globalisasi pada gilirannya mempengaruhi cara pandang manusia terhadap kehidupan dan alam.pada era global, nilai, norma dan cara hidup berganti begitu cepat menjadi tatanan baru. Tatanan baru ini semakin menjauhkan manusia dari kepastian moral dan nilai luhur yang dipegang sebelumnya. Namun disisi lain, melawan arus perubahan yang sedang belangsung merupakan satu hal yang muskil. Perkembangan yang saat ini berlangsung juga memiliki nilai positif bagi kemajuan manusia. Hal inilah yang harus kembali disadarkan dalam kehidupan umat Islam. Sebagian umat Islam secara terang-terang menunjukan ketakutan dan kehawatiran dalam merespon setiap perubahan, terutama dalam hal pemikiran yang masuk ke dunia Islam. Hal ini menimbulkan sikap resisten yang tinggi demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat Islam. Bahkan pada tingkat tertentu, mereka berkeyakinan bahwa semua hal yang baru tersebut merupakan bentuk perang atau konspirasi terencana untuk menghancurkan Islam dan identitas kaum muslimin. Namun disisi lain kita juga melihat sebagian muslim lainnya justru menerima apa yang datang dari Barat, tanpa reserve (penyaringan). Mereka mengeluk-elukan hal tersebut dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok yang bodoh, konservatif dan terbelakang (M. Hamdi Zagzug, 2004; 4). Dalam perspektif yang berjauhan, baik kelompok yang menolak maupun yang menerima, cendrung menggunakan cara pandang yang parsial dan tidak mengkaji permasalahanpermasalahan yang ada secara objektif. Idealnya kita umat muslim tidak mengambil posisi sebagai pendukung maupun penentang, namun kita harus menyikapinya secara kritis. Saya sendiri melihat hal ini terjadi karena kekeringan dialetika filsafat dikalangan umat muslim. Kita sering memandang sesuatu secara hitam dan putih tanpa ada proses pemahaman yang mendalam, kita sering melupakan khasanah para pemikir Islam masa lampau yang kritis namun tetap mampu bersikaf objektif. Filsafat sebagai pisau bedah digunakan secara dinamis dengan tetap memperhatikan khasanah keislaman. Inilah yang saat ini menjadi problematika umat Islam. Iqbal mengatakan umat Islam saat ini tidak termotivasi dan terinspirasi oleh para pemikir-pemikir Islam masa lampau, umat Islam saat ini cendrung berdiam diri untuk mengikuti arus utama (Ashif Iqbal Khan, 2002; 5). Hal inipun terjadi di Indonesia. Para
pemikir Islam di Indoensia-pun terjebak dalam dua kutub yang berseberangan antara yang melakukan resistensi dan menerima secara penuh tanpa reserve (penyaringan). Dialetika filsafat yang dinamis sebagai instrumen analisis sepertinya menghilang. Hal ini membuat khasanah pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia menjadi sempit dan cendrung menjadi alat propaganda golongan-golongan yang saling berseberangan. Pemikiran Islam cendrung menjadi jalan di tempat, hanya melakukan pengulanganpengulangan. Khasana pemikiran Islam menjadi miskin dialetika baru. Menarik apa yang di ungkap oleh M. Hamzi Zagzug dalam bukunya Al- Islam fi ‘Ashr al-Aulamah (edisi Indonesia menjadi Reposisi Islam di Era Globalisasi oleh Abdulah Khakam Syah), dalam rangka merubah paradigma yang ada saat ini. Bahwa pada titik singgung antara penolakan dan penerimaan ada beberapa catatan yang perlu di garis bawahi, pertama, Islam sebagai agama-bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporer belaka- seharusnya tidak perlu mencemaskan aliran-aliran baru dari luar, karena Islam memiliki basis sejarah yang kokoh dan landasan yang kuat yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran baru. Kedua, harus disadari bahwa globalisasi merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin ditolak. Ketiga, kita tidak bisa terus berpura-pura tidak tahu bahwa kita hidup bersama komunitas-komunitas lain di dunia yang beraneka ragam. Tiga hal diatas merupakan dasar pijakan kita untuk berpikir ulang. Hal terpenting lainnya yang harus kita sadari adalah globalisasi menjadi seruan tidak langsung bagi kita untuk sesegera mungkin melakukan introspeksi diri dan menata kembali bangunan rumah kita. Mungkin apa yang dilakukan oleh Mukti Ali, Harun Nasution, Kuntowijoyo, Azyumardi Azra dan beberapa pemikir Islam ditanah air menjadi bagian ini. Khasanah keilmuan Islam harus kembali dibangkitkan dengan menggairahkan kembali dialetika filsafat dalam tatanan pemikiran. Kita tidak harus zumud (mandek), namun kita-pun tidak harus berlari tanpa aturan yang perlu ditaati. Tentunya peran kelompok-kelompok diskusi (creative minority), kajian-kajian penelitian dan kelas-kelas filsafat dalam studi Islam di kampus-kampus yang memiliki jurusan dalam Islam Studies menjadi salah bentuk-bentuk yang patut dikembangkan dalam rangka menggairahkah kembali dialetika filsafat dalam khasanah pemikiran Islam di Indonesia.
SEMANGAT PEMIKIRAN ISLAM Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu."[1] Mengenang Pemikir Muhammad Iqbal Topik kajian yang sebelumnya telah saya siapkan untuk pertemuan ini, yang bertepatan dengan hari Arbain (peringatan 40 hari syahadahnya Imam Husain as) adalah "berhubungan dengan para syuhada". Penyajian hal ini juga saya pikir sangat mengena mengingat pada hari ini telah terjadi dua peristiwa penting dalam sejarah. Dua buah peristiwa yang menjadi penyebab terjadinya acara peringatan Arbain. Salah satunya adalah sejarah masuknya penziarah resmi pertama ke makam Imam Husain as, Karbala, yang datang dari Madinah, yakni Jabir bin Abdullah al Anshori. Dan peristiwa lainnya yang berkenaan dengan diresmikannya ziarah kepada Imam Husain pada hari ini. Banyak riwayat yang menganjurkan untuk berziarah ke makam Imam Husain pada hari Arbain. Hari Arbain merupakan hari yang dikhususkan untuk berziarah kepada Imam Husain as.
Kedatangan Jabir bin Hayyan untuk berziarah ke pusara suci Imam Husain as, ataupun berziarah kepada beliau as dari jarak jauh dengan membaca doa ziarah sebagaimana yang dianjurkan dalam berbagai riwayat, bertujuan untuk "menjalin hubungan" dengan para syuhada. Sebenarnya saya ingin menjelaskan makna filosofis dari pergi berziarah dan membaca doa ziarah dari jarak jauh. Namun kajian ini akan saya sampaikan pada kesempatan lain. Dikarenakan sebelumnya telah diadakan tiga kali pertemuan yang membahas topik tentang "menghidupkan pemikiran agama" dan dalam rangka mengenang tokoh besar reformis Islam asal Pakistan, Muhammad Iqbal, saya akan menentukan topik pertemuan kita kali ini yakni "Muhammad Iqbal dan menghidupkan pemikiran agama". Pembahasan ini akan saya uraikan selama setengah jam. Mengingat waktunya sudah lewat, saya mengusulkan untuk membahas masalah filsafat ziarah pada lain kesempatan. Dari sisi lain, pembahasan tentang "Muhammad Iqbal dan menghidupkan pemikiran Islam" merupakan pembahasan yang tidak akan tuntas dikaji dalam setengah jam. Pengalaman membuktikan, setiap kali masalah seperti ini dibicarakan dalam waktu singkat, akan timbul ketidakjelasan, kesamar-samaran, dan sulit dimengerti. Oleh sebab itu, saya ingin mengatakan bahwa untuk membicarakan topik "menghidupkan pemikiran Islam", perlu kiranya diadakan pertemuan yang intens. Topik ini juga mendapat sambutan hangat dalam konferensi di Pakistan. Suatu konferensi yang benar-benar bernuansa ilmiah dan sosial. Saya pun berniat membicarakan topik ini. Intelektual Pakistan ini telah menerbitkan sebuah buku yang merangkum tujuh konferensi yang dihadirinya di Pakistan, yang nampaknya kentudian diintroduksikan ke dalam lingkungan universitas. Karena bobot konferensi ini sangat tinggi, tentunya hasil-hasilnya tak mungkin diintroduksikan ke kalangan masyarakat umum. Seluruh rangkuman hasil konferensi tersebut hanya mungkin diintroduksikan ke dalam lingkungan masyarakat ilmiah dan terpelajar. Isi rangkuman tersebut berbicara tentang "Menyambut dan Menghidupkan Pemikiran Agama". Setiap konferensi yang dimaksud memiliki topik pembahasan masing-masing. Seperti topik "Eksperimen Agama", "Pembahasan-pembahasan Filsafat dalam Eksperimen Agama", "Kebebasan dan Keakuan Manusia", "Inti Tradisi dan Peradaban Islam", "Asas Gerakan Islam", "Apakah Agama sesuatu yang Mungkin?", serta "Pemahaman tentang Tuhan dan Pengertian Ibadah". Semua topik tersebut ditelaah di bawah judul besar "Menghidupkan Pemikiran Agama". Saya tidak ingin mengatakan bahwa semua pendapat yang disampaikan sekaitan dengan topik tersebut bebas dari kritik, atau membenarkan semua pendapat yang telah dipaparkan penulis asal Pakistan ini. Pendapat yang disampaikan merupakan hasil dari upaya pemikir Islam yang mengkaji masalah tersebut dan sangat layak mendapatkan pujian dan sanjungan. Dalam hal ini, pembicaraan saya akan banyak berkisar pada upaya menanggapi berbagai pendapat yang dilontarkan intelektual Islam Pakistan ini. Mudah-mudahan pembahasan ini akan ditindaklanjuti dengan kajian yang lebih mendalam. Barangkali saya juga akan mencari kesempatan untuk membahas tema "Menghidupkan Pemikiran Islam" dalam pertemuanpertemuan selanjumya. Namun pertama-tama, saya ingin menyampaikan sejumlah hal penting yang berkenaan dengan pemikiran tokoh Islam ini. Muhammad Iqbal, yang pernah pergi ke Eropa dan mengenal persis seluk beluk benua itu, adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. la dikenal oleh bangsa Eropa sebagai pemikir, tokoh, dan pakar agama. Iqbal bukanlah tipe laki-laki yang duduk mengasingkan diri di sudut dan lorong-lorong India, yang memandang Eropa dari kejauhan dan setelah itu menyampaikan kritik terhadap dunia barat. la melihat Eropa, memahami, menyelidiki, dan menganalisanya dari dekat. la sangat menggemari ilmu-ilmu baru dan mendorong para pemuda muslim untuk mempelajarinya juga. Dirinya tidak menentang ilmu-ilmu baru atau melarang kaum muslimin mempelajarinya. Muhammad Iqbal telah memperoleh pendidikan tinggi di Eropa. la benar-benar mengenali dunia barat dan mengakui pentingnya mempelajari ilmu-ilmu baru. Hal pertama yang menarik perhatian sekaitan dengan ucapan tokoh ini adalah slogan yang dikemasnya dalam bentuk puisi. Slogan
tersebut, dewasa ini dikenal dengan sebutan "Peradaban Eropa", yang berarti sekumpulan urusan kehidupan ala Eropa, yaitu idealisme yang menciptakan peradaban Eropa pada masa kini. Jalan yang diajarkan dunia barat kepada umat manusia, serta nilai moral dan budaya bangsa tersebut yang merupakan hasil dari perjalanan hidupnya, bukan saja tidak memberikan manfaat sama sekali, lebih dari itu menjadi sesuatu yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan masyarakat Eropa itu sendiri. Iqbal pernah mengunjungi Eropa dan memiliki pemahaman tentangnya. Menurutnya, gambaran masa depan Eropa sangat mengerikan dan berbahaya. Ucapan-ucapan ini acapkali diungkapkan dalam berbagai ceramahnya. Saya ingin membacakan untuk Anda beberapa bagian dari tulisan Iqbal. Darinya Anda bisa melihat bagaimana pandangan tokoh ini berkenaan dengan peradaban Eropa masa kini dan terhadap berbagai keburukan yang terkandung dalam pandangan Barat. Selain itu, Anda juga dapat mengetahui, sejauh mana pemikirannya berpengaruh terhadap masyarakat di belahan Timur, khususnya kaum muslimin, hingga mereka tidak terpengaruh oleh peradaban Eropa. Salah satunya, Iqbal pernah mengatakan: "Mata mereka telah dibutakan sikap mengikuti sehingga mereka tidak mampu memahami kebenaran. Budaya dan peradaban Eropa yang hampir mati bagaimana mungkin bisa memberikan kehidupan baru kepada bangsa Iran dan Arab, sementara mereka berada di ambang kematian". la juga mengatakan: "Sejarah baru, sangat cepat datangnya. Islam dengan perubahan cepat dari sisi spiritual tengah bergerak menuju belahan bumi bagian Barat". Selanjutnya, diungkapkan: "Sejarah baru negara-negara ini merupakan perjalanan yang sangat cepat yang tengah bergerak menuju belahan bumi barat". Kemudian untuk memisahkan antara pengetahuan dan peradaban Barat, Iqbal mengatakan: "Dalam gerakan ini, sama sekali tidak terdapat kebatilan dan kesesatan. Budaya Eropa dari sisi rasional (yaitu sisi pengetahuan dan pemikiran), mengambil dari beberapa tahapan budaya Islam". Maksudnya, jika kita memperhatikan sisi pemikiran dan pengetahuan Barat, dan melangkah jauh kepadanya, tidak akan berbahaya bagi kita karena yang diperoleh darinya tak lebih dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, ilmu adalah ilmu. Di dunia barat, ilmu yang dihasilkan banyak bersumber dari pengetahuan-pengetahuan Islam. Budaya barat —tepatnya, ilmu pengetahuan barat— diilhami dari budaya Islam. "Ketakutan kita muncul dari fenomena budaya barat yang membingungkan yang menghalangi langkah kita dan kita takut jikalau budaya barat akan mencapai tujuannya". Iqbal berpendapat, kita merasa takut tatkala menyaksikan fenomena kemajuan barat dalam banyak bidang. Kita menyaksikan kemajuan mereka dalam bidang industri dan pengetahuan biologi. Adapun aspek batin yang mengantarkan manusia ke arah kemajuan tidak kita saksikan sama sekali. Kita harus mampu meneliti dan menganalisis hal tersebut. Dalam bukunya yang lain lain, Iqbal mengatakan: "Akal dengan sendirinya tidak mampu menyelamatkan manusia. Kekurangan budaya Barat yang terbesar adalah keinginannya untuk menggunakan akal secara otonom tanpa bantuan kekuatan jiwa, perasaan, dan iman. Hanya mengandalkan kekuatan akal, tentu tidak akan bisa menyelamatkan bahtera kemanusiaan dari kehancuran". la juga mengatakan: "Idealisme Barat sama sekali bukan menjadi faktor utama dalam kehidupan mereka." Misâligari Barat memiliki arti "idealisme Barat". Semua tuntutan serta ajaran-ajaran yang diberikan budaya barat bagi manusia, dan berbagai aliran yang terdapat di sana, muncul lantaran didorong oleh anggapan bahwa dirinya (dunia barat) mampu menyelamatkan umat manusia. Iqbal mengatakan bahwa aliran-aliran tersebut pada kenyataannya tidak mampu menguraikan hakikat (orang) Barat, terlebih menjadikannya manusiawi. Dengan ungkapan lebih jelas lagi, orang Barat dan dunia Barat banyak melakukan kebaikan dan tindakan kemanusiaan sebatas dalam pembicaraan, tulisan, dan slogan-slogan retorik belaka. Disebabkan ide-ide mereka semata-mata bersumber dari pemikiran akal dan tidak melalui kekuatan jiwa, maka apapun yang mereka katakan tak akan pernah berpengaruh dalam jiwa mereka sendiri. Orang Barat
mengatakan bahwa dirinya adalah manusia. Namun secara praktis mereka tidak memiliki perikemanusiaan. Barat sangat getol menggembar-gemborkan hak asasi manusia. Namun dalam praktik dan kenyataannya, mereka tak pernah menghargai manusia beserta segenap hak asasinya. Melalui aliran budayanya, orang Barat meneriakkan suara kebebasan. Tapi pada kedalaman jiwanya, ia tidak meyakini adanya kebebasan. Mereka meneriakkan persamaan hak dan keadilan, namun dalam lubuk jiwanya, semua itu sama sekali ditolaknya. Iqbal mengatakan: "Hasil semua itu adalah "keakuan" yang gamang (yaitu jiwa yang bimbang) yang mana di tengah-tengah alam demokrasi tidak terdapat solidaritas satu sama lain untuk mencari jati diri. "Keakuan" yang gamang yang disebarkan oleh orang-orang Darwis, kelak menguntungkan kaum kapitalis. Dihasilkan dari apakah seluruh suara keadilan yang digaungkan, serta seluruh aliran yang timbul di Eropa yang saling berkontradiksi satu sama lain? Kepentingan kaum kapitalis untuk mengambil keuntungan dari segenap upaya yang dilakukan kaum Darwis. Dan pada saat bersamaan, kaum kapitalis tersebut juga mengambil keuntungan dari bentuk aliran lainnya. Kemudian Iqbal menambahkan: "Percayalah dengan ucapan saya, Eropa pada masa sekarang merupakan penghalang besar bagi kemajuan moral umat manusia." Pendapat semacam ini acapkali disampaikan dalam berbagai kesempatan. la memiliki hubungan yang kuat dengan kaum muslimin, khususnya pemuda-pemudi muslim. Orang yang sedikit banyak mengenal fenomena budaya barat, pasti mengetahui padangan Iqbal tersebut. Segenap kelemahan yang terdapat dalam budaya dan peradaban Eropa, tidak terdapat dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai kritikan tajam dan mendasar, yang ditujukan kepada budaya Eropa, tidak bisa ditujukan kepada Islam. Atas dasar itu, dalam pembicaraan lain, Iqbal berupaya keras mengintroduksikan fondasi-fondasi dan aspek-aspek kebudayaan serta peradaban Islam. Saya ingin menelaah sebagian pembicaan Iqbal yang berkenaan dengan hal tersebut. Setelahnya, saya akan mengkaji masalah yang berkenaan dengan upaya menghidupkan pemikiran Islam. Iqbal mengatakan: "Kaum muslimin memiliki pemikiran yang berdasarkan wahyu Illahi yang merupakan kesempurnaan mutlak, karena Islam menjelaskan sisi paling subtil dari intisari kehidupan yang menampilkan sebuah warna spiritual. Garis spiritual kehidupan bagi kaum muslimin merupakan perkara keyakinan (akidah). Dan untuk membela akidah ini, muslimin siap mengorbankan jiwa dan raganya." Saya ingin menjelaskan ringkasan dari ucapan Iqbal. Beliau mengatakan bahwa ajaran Islam berpijak di atas keimanan. Ajaran Islam bersumber dari Wahyu Illahi, sehingga mampu menembus sisi batin manusia. Bukti tentangnya telah eksis di masa lalu dan akan tetap terbukti pada masa sekarang; bahwa ajaran Islam memiliki kekuatan ajaran yang mampu menembus sisi batin manusia. Islam mengajarkan kebebasan, keadilan, mencintai sesama manusia, dan hak-hak asasi manusia. Ajaran-ajaran ini juga sekaligus memberikan jaminan dalam jiwa manusia bahwa ia bisa diterapkan dalam kehidupan ini. Akan tetapi, ajaran-ajaran yang disampaikan dunia barat tidaklah demikian. Semua ajaran tersebut tidak memiliki garansi untuk bisa diterapkan secara konkret. Pada masa kini, manusia membutuhkan tiga hal: 1. Memandang dunia dari sisi metafisikal. Hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal, bukan dari sisi material. Aliran yang mengakibatkan pemikiran dan akidah tidak termanifestasi dalam bentuk keimanan dan kenyataan adalah idealisme. Aliran ini memandang keberadaan dunia hanya terbatas pada aspek materialnya belaka. Segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah materi. Dunia ini buta, tidak berperasaan, bodoh, dungu, dan tidak bertujuan. Dunia tidak memahami kebaikan dan kebatilan. Dunia tidak memahami kebenaran dan kekeliruan. Di jagat semesta, kebenaran dan kebatilan tak bisa diukur dan ditimbang. Tak ada sesuatupun di dunia ini yang memiliki tujuan.
Kita diciptakan secara sia-sia. Iqbal mengatakan bahwa pemikiran semacam ini menyesatkan dan menghancurkan norma peradaban kemanusiaan. Jadi, hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal (bahwa dunia diciptakan dengan tujuan). Dalam sebuah ayat disebutkan: "Apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia?"[2] Tak ada kesia-siaan dalan penciptaan alam semesta. Segala apa yang ada di jagat raya ini harus mempunyai pemilik yang disebut dengan Tuhan. Dunia diciptakan di atas prinsip kebenaran. Dunia diciptakan di atas prinsip keadilan. Di alam semesta ini terdapat kebaikan dan keburukan. Keberadaan alam semesta ini diciptakan Tuhan yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. "Allah tidak pernah lupa dan tidak tidur,"[3] Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Berilmu. Namun, keberadaan dunia ini tidak cukup hanya dipandang dari sisi metafisikal semata. Untuk itu, kita perlu melengkapinya dengan beberapa faktor lain. 2. Kebebasan spritual individu Kebebasan spiritual individu bertentangan dengan ajaran kristen. Kebebasan individual berarti meyakini bahwa seseorang memiliki kepribadian yang unik. Jika seseorang tidak memandang dunia dari sisi metafisikal serta tidak meyakini adanya kepribadian yang khas dari masing-masing individu, maka potensi-potensi yang terkandung dalam diri manusia tidak akan pernah nampak. Terdapat beberapa kaidah yang memiliki pengaruh universal dan sanggup mengarahkan manusia pada kesempurnaan masyarakat yang berdasarkan pada prinsip spiritual. Yang dimaksud dengan kaidah tersebut adalah berbagai ketetapan dasar dari ajaran Islam. Dalam pembahasan kali ini, saya tidak akan memaparkan ucapari-ucapan Iqbal lebih jauh lagi. Apakah seperti kebanyakan kita, kajian yang dilakukan Iqbal hanya berhenti sampai di sini? Maksudnya, apakah setelah melihat berbagai kekurangan peradaban Eropa dan kemudian melihat Islam sebagai bentuk alternatif yang hidup, ia kemudian mengatakan: "Pembahasan sudah selesai"? Tidak. Justru Iqbal menguraikan bagian ketiga tersebut secara lebih mendalam dalam risalahnya sendiri, risalah setiap muslim, dan risalah para cendikiawan mukmin. Tujuh rangkuman yang ditulis Iqbal di bawah topik "Menghidupkan Pemikiran Agama dalam Islam", ditujukan tak lain untuk menopang persoalan yang terdapat pada bagian yang ketiga tersebut. Dalam sejumlah slogan yang disampaikan Iqbal, sedikit banyaknya disampaikan tujuan dari bagian yang ketiga ini, sembari pula sedikit menyinggung tujuan dari bagian yang pertama. Matinya Semangat Islam Dalam slogan-slogan yang diserukan Muhammad Iqbal, terkandung berbagai kecaman keras terhadap sikap kaum muslimin yang mengikuti peradaban Barat secara membabi buta. Sementara dalam slogannya yang lain, Iqbal juga menyampaikan keharusan untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Bagian ketiga yang dibutuhkan kaum muslimin adalah: Sesungguhnya, Islam macam apakah yang dewasa ini ada di tengah-tengah kaum muslimin? Iqbal memperlihatkan sebuah noktah yang terbilang penting bahwasanya Islam (yang sebenarnya) ternyata eksis, namun tidak berada di tengah-tengah kaum muslimin. Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin hanyalah Islam yang ditampilkan dalam bentuk sloganslogan, gema suara azan, dan perginya kaum muslimin ke masjid-masjid di waktu sholat. Hanya simbol keislaman belaka yang tampil ke permukaan. Untuk menunjukan citra keislaman, mereka biasanya menggunakan nama-nama Islami seperti: Muhammad, Hasan, Husain, Abdurrahim, Abdurrahman, dan sejenisnya. Namun, pada hakikamya, intisari Islam yang sebenarnya tidak terdapat dalam masyarakat. Intisari Islam dalam masyarakat yang Islami sesungguhnya telah mati. Kita membutuhkan kehidupan Islam yang baru. Kehidupan Islam harus diperbaharui. Dan itu mungkin saja terjadi, mengingat pada hakikatnya Islam tidak pernah mati, melainkan kaum musliminlah yang mati. Islam tidak akan pernah mati, mengapa? Karena di sana terdapat Kitab langit (al-Quran) dan sunah (hadis) Nabi. Keduanya tampil dalam bentuk yang hidup. Dunia tak akan mampu memberikan sesuatu yang lebih baik dari al-Quran dan sunnah Nabi. Ajaran alQuran tidak seperti teori Ptolomeus yang bisa dipatahkan teori lain. Islam itu sendiri hidup dan berpijak di atas pada landasan yang hidup pula. Lantas, di manakah letak kekurangannya?
Kekurangannya terletak pada pemikiran kaum muslimin sendiri. Pemikiran dan cara penerimaan kaum muslimin terhadap ajaran Islam bukan dalam bentuk yang hidup, melainkan dalam bentuk yang mati. Misalnya, dalam menanam benih unggul, Anda tidak menggunakan cara-cara pertanian yang benar. Akibamya, benih yang ditanam dalam tanah tidak akan membuahkan hasil apapun. Akar-akar benih tersebut tidak akan tertanam dengan kuat. Benih tersebut akan tumbuh menjadi pohon kecil yang mudah dicabut dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Pohon tersebut sekarang tumbuh dan hidup. Akan tetapi, apabila Anda mencabut dan menanamnya kembali dalam posisi terbalik (akar di atas dan daunnya di tanam), pohon tersebut tentu akan mati. Imam Ali menyampaikan kata-kata yang sangat indah sehubungan dengan masa depan Islam dan kaum muslimin. Beliau mengatakan: "Islam dikenakan baju secara terbalik." [4] Maksudnya adalah masyarakat Islam memang mengenakan baju keislaman. Namun baju yang dikenakan tersebut ternyata terbalik. Pakaian musim dingin dikenakan untuk menangkal hawa dingin. Terkadang ada juga orang yang menanggalkannya dan menghadapi musim dingin dengan tubuh tanpa pakaian. Ada juga orang yang mengenakan baju tapi tidak dengan cara yang semestinya; maksudnya mengenakan pakaian secara terbalik. Sisi pakaian yang semestinya diarahkan ke luar malah diarahkan ke dalam, sebaliknya sisi yang seharusnya diarahkan ke dalam justru diarahkan ke luar. Orang yang mengenakan pakaian secara terbalik akan nampak lucu dan bakal menjadi bahan tertawaan orang lain. Imam Ali mengatakan bahwa masyarakat mengenakan "baju" keislaman dengan cara yang terbalik. Di satu sisi, mereka memiliki baju keislaman, sementara pada sisi yang lain tidak memilikinya. Kendati memilikinya, mereka mengenakannya secara terbalik; yang semestinya di luar malah di dalam, dan yang semestinya di dalam malah di luar. Kesimpulannya, Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin adalah Islam yang tidak memiliki keutamaan dan pengaruh. Keislaman semacam itu tidak akan mampu menginspirasikan semangat, gerakan, kekuatan, dan pemahaman. Islam semacam itu lebih menyerupai pohon yang dipenuhi dengan benalu. Lantas dari mana kemunculan seluruh hal tersebut? Ini erat kaitannya dengan cara kaum muslimin menerima Islam. Yakni, bagaimana proses kepengikutan mereka terhadap agama Islam dan bagaimana pula cara mereka menganutnya. Apakah mereka mengambilnya dari kepala, dari kaki, dari tubuh, ataukah secara acak? Mereka mengambil sebagian ajaran Islam dan meninggalkan sebagian lainnya. Mereka hanya mengambil kulitnya, sementara intisarinya tidak. Atau sebaliknya, mengambil intisarinya dan meninggalkan kulitnya. Pada akhirnya, Islam yang mereka anut tampil dalam bentuk "Tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup" [5] Islam yang dipeluk tidak hidup juga tidak mati. Tidak bisa dibilang eksis juga tidak dapat dikatakan tidak eksis. Ini merupakan noktah paling mendasar yang harus dipikirkan bersama. Jika tidak dipikirkan secara mendalam, bagaimana mungkin kita bisa melakukan kritik terhadap peradaban dan budaya Eropa, sementara budaya dan saripati Islam yang kita miliki belum otentik. Jika masyarakat dunia mengikuti kita, mereka tentu tidak akan pernah maju. Apabila masyarakat dunia menjejaki langkah kita, mereka pasti akan senasib dengan kita yang kini berada dalam kondisi yang nyaris binasa. Dalam al-Quran disebutkan tentang bentuk kehidupan yang Islami, kehidupan pemikiran yang Islami. Sebagaimana dengan jelas diungkapkan dalam ayamya yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu".[6] Apakah ciri-ciri kehidupan tersebut? Apa yang dimaksud dengan "hidup"? Al-Quran menyebutkan bahwa masyarakat Jahiliyah adalah masyarakat yang mati. Dalam sebuah ayat disebutkan: "Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar."[7] Dalam Ayat lain juga dikatakan: "Dan kamu sekali'kali tidak sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar."[8]
Masyarakat Jahiliyah merupakan masyarakat yang terdiri dari orang-orang mati yang bergerak. Mereka adalah orang-orang mati yang berjalan di muka bumi. Orang-orang seperti mereka tjdak bisa disebut sebagai orang-orang yang hidup. Adapun berkenaan dengan orangorang yang beriman, al-Quran menyerukan ajakan untuk menerima ajaran yang mampu menganugerahkan kehidupan. Ajaran Islam memberikan jiwa, kekuatan, serta kehidupan kepada manusia. Apa ciri-ciri kehidupan? Saya persilahkan Anda bertanya kepada orang pandai, atau para filosof yang bisa mendefinisikan kehidupan, tentang 'bagaimana sesuatu bisa dianggap hidup'. Apa arti hidup? Tak seorangpun yang akan mengaku dirinya mampu mendefinisikan hidup. Hidup bisa diketahui melalui tanda-tanda dan dampak-dampaknya. Hidup adalah hakikat yang tidak diketahui, yang memiliki dua karakter: Pengetahuan dan gerakan. Dikarenakan memiliki pengetahuan yang lebih, manusia akan memiliki hidup yang lebih pula. Segala sesuatu yang memiliki gerakan lebih banyak, akan memiliki hidup yang lebih banyak pula. Segala sesuatu yang berpengetahuan minim akan menjadi sangat bodoh dan sangat mati. Setiap kejumudan mencirikan kematian, dan setiap kejumudan yang sangat akan menjadi kematian yang sangat pula. Segala sesuatu yang benar-benar kosong dari pengetahuan akan mengalami kematian dalam kematian. Begitu pula halnya dengan segala sesuatu yang benarbenar jumud. Sekarang coba Anda simak, apakah kaum muslimin yang ada sekarang ini merupakan masyarakat yang progresif ataukah stagnan? Kita lebih banyak diam ataukah bergerak? Maksudnya, apakah masyarakat kita lebih menghormati orang yang progresif ataukah orang yang jumud dan stagnan? Anda bisa saksikan bahwa masyarakat kita lebih menghormati orang yang stagnan ketimbang orang yang dinamis dan kritis. Ini merupakan ciri kematian suatu masyarakat, di mana setiap orang yang kosong dari pengetahuan lebih dihormati dan dikagumi. (Orang yang lebih banyak diam dan stagnan menandakan dirinya tidak memiliki banyak pengetahuan, sedangkan orang yang dinamis menunjukkan dirinya lebih banyak memiliki pengetahuan). Logika Kereta Uap Saya pernah bertanya kepada salah seorang teman tentang apakah yang dimaksud dengan logika kereta uap? Dia menjawab: "Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kereta uap dan saya memahami masyakat melalui logika tersebut." "Ketika saya masih kecil, kereta api yang ada pada waktu itu tidak seperti yang ada sekarang ini. Saya menyaksikan saat kereta api tersebut berhenti di stasiun, anak-anak kecil berlarian mendatangi dan menontonnya. Mereka memandanginya dengan penuh keheranan dan kekaguman. Nampaknya mereka mengagumi betul kereta api yang sedang berhenti tersebut. Cukup lama mereka memandangi kereta itu dengan rasa kagum hingga tiba jam pemberangkatan, dan kereta tersebut kembali bergerak. Saat kereta api mulai melaju, anak-anak itu segera mengambil batu dan melempari kereta tersebut. Saya sungguh terkejut melihat sikap mereka. Jika memang harus dilempar, mengapa mereka tidak melakukannya di saat kereta tersebut berhenti, meskipun hanya dengan batu kerikil? Jika merasa kagum melihat kereta api yang sedang diam, mereka juga semestinya lebih kagum saat melihat kereta tersebut bergerak." Inilah perkara yang membingungkan saya. Ketika saya beranjak dewasa dan terjun ke tengah-tengah masyarakat, saya menyaksikan bahwa gaya hidup masyarakat kita (orang-orang Iran) pada umumnya hanya menghormati seseorang selama ia diam. Tatkala seseorang bersifat statis, ia akan lebih dihormati dan dikagumi. Namun tatkala dirinya bergerak dan melangkah secara progresif, masyarakat pun mulai mencela dan menghinanya. Sikap seperti ini menandakan bahwa masyarakat tersebut telah mati. Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang berbicara dan bertindak kreatif, bukan orang yang hanya berdiam diri. Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang progresif, kreatif, dan berwawasan luas. Inilah tanda-tanda kehidupan dan kematian. Kedua hal ini merupakan sinyal yang paling jelas, di samping masih terdapat pula berbagai sinyal-sinyal lainnya. Keterkaitan Salah Satu Tanda Kehidupan
Salah satu tanda dari suatu masyarakat yang dinamis adalah keterkaitan antarindividu yang ada di dalamnya. Ciri-ciri masyarakat yang mati adalah tidak terdapamya keterikatan antar anggota, saling berpecah belah serta saling terpisah antara satu sama lain. Sementara ciri-ciri masyarakat yang hidup adalah adanya saling keterkaitan dan kerja sama di antara anggotanya. Masyarakat Islam pada masa sekarang merupakan masyarakat yang hidup ataukah masyarakat yang mati? Masyarakat Islam dewasa ini adalah masyarakat yang mati. Ini terbukti dengan terjadinya pembunuhan, perang saudara, dan konflik yang mencuat di kalangan internal sendiri, sehingga mengakibatkan musuh-musuh Islam mampu memanfaatkan keadaan untuk terus melemahkan kaum muslimin. Sehubungan dengan persatuan kaum muslimin, Rasulullah SAWW pernah menyampaikan ungkapan yang sangat indah: "Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan merasa demam."[9] Mereka adalah manifestasi dari ayat yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu."[10] Jika salah satu anggota tubuh terkena infeksi, dengan segera rasa demam akan menguasai seluruh badan. Tatkala terjadi peradangan di dalam usus seseorang dan dokter masih belum bisa mengetahui jenis penyakit apa yang dideritanya meskipun telah dilakukan diagnosa secara maksimal, seluruh anggota tubuhnya akan merasakan panas yang luar biasa. Reaksi tubuh semacam ini menunjukkan adanya kehidupan di dalam tubuh. Apakah kondisi kaum muslimin seperti ini? Apakah mereka akan bereaksi di saat salah seorang anggotanya merasakan sakit dan menderita? Sekitar 500 tahun silam, Andalusia yang merupakan salah satu anggota tubuh kaum muslimin yang paling penting, mengalami musibah dan penderitaan. (Lihat, Dr. Ayati, Tarikh Andalus, Tehran University). Namun, kaum muslimin di belahan dunia lain tidak memberikan perhatian sama sekali kepadanya. Bahkan banyak yang di antaranya yang sama sekali tidak mengetahui penderitaan yang mereka alami. Padahal, perkembangan peradaban Islam dan dunia amat berutang budi pada Andalusia. Pada masa itu meletus pertikaian antara kalangan Syi'ah dan Ahlusunnah. Sayang, kaum muslimin pada umumnya tidak menyadari bahwa tragedi tersebut merupakan musibah yang besar bagi dunia Islam. Iqbal menyatakan bahwa dalam sejarah, pemikiran yang Islami telah mati sejak 500 tahun lalu. Selama kurun waktu itu, kaum muslimin hanya menampilkan gaya pemikiran Islam yang kering, sembari mengubur bentuk pemikiran Islami yang hidup dan dinamis. Apakah saya dan Anda ikut menderita oleh berbagai musibah yang dialami kaum muslimin pada masa sekarang, seperti penderitaan yang dirasakan kaum muslimin di Palestina? Rasa simpati apakah yang kita berikan pada mereka? Jika kita tidak menaruh perhatian kepada mereka, kita bukanlah termasuk orang-orang Islam berdasarkan hadis Nabi yang berbunyi: "Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan merasa demam."[11] Hadis Nabi ini menjelaskan tentang tanda-tanda kehidupan masyarakat Islam. Dalam hadis lain, beliau bersabda: "Barang siapa yang mendengar seseorang menyeru memohon pertolongan dari kaum muslimin dan yang mendengar tidak menolongnya, maka dia bukan muslim."[12] Barang siapa yang tidak memiliki keterkaitan diri dengan saudara-saudara muslim lainnya, maka dia bukanlah seorang muslim. Apabila saya utarakan seluruh persoalan ini tentu akan menyita banyak waktu. Namun yang terpenting dari semua itu adalah bahwa kita harus menampilkan pemikiran Islami dalam bentuk yang hidup dan dinamis. Telah saya jelaskan sebelumnya tentang bagaimana kekeliruan kita dalam menerima ajaran Islam. Kita harus banyak melakukan introspeksi diri, dan lihatlah,
apakah kita mengenakan pakaian (keislaman) secara terbalik. Ternyata kita memang mengenakan baju keislaman secara demikian. Kita tidak menyadari bahwa pakaian tersebut telah dikenakan secara terbalik, sampai-sampai orang lain mengingatkan kita. Kita harus benar-benar memperbaiki cara berpikir kita. Sebabnya, barangkali kita memang mengenakan baju keislaman secara terbalik sebagaimana pernah dikatakan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Teman saya pernah melontarkan kritik dengan mengatakan: "Apakah pengormatan terhadap Iqbal tidak menunjukkan penyembahan terhadap orang yang sudah mati? Apakah kita baru menghormati orang besar setelah ia mati?" Maksud dari kritiknya adalah mengapa kita tidak menghormati tokoh besar yang masih hidup, meskipun kualitas keilmuannya berada di bawah Iqbal. Bahkan banyak pula tokoh pemikir yang masih hidup yang memiliki kapasitas ilmu lebih tinggi dari Iqbal tidak kita hormati? Allamah Thabathaba'i merupakan salah seorang tokoh besar yang masih hidup. Namun mengapa kita tidak menghormatinya? Yang jelas, pertemuan kita kali ini bukan dalam rangka menentukan siapa yang layak untuk dihormati dan memperoleh hak yang semestinya. Namun lantaran masalah ini telah disinggung sebelumnya, maka saya akan memberikan sedikit penjelasan tentangnya. Allamah Thabathaba’i termasuk salah seorang tokoh yang banyak mengabdi kepada Islam. Beliau merupakan bentuk konkret dari ketakwaan dan ketinggian nilai spiritual. Beliau telah mencapai kedudukan yang tinggi dalam penyucian jiwa dan ketakwaan. Selama bertahuntahun, bahkan sampai sekarang, saya telah banyak menimba pelajaran dari tokoh besar ini. Kitab tafsir Mizan yang ditulisnya merupakan salah satu kitab tafsir al-Quran yang sangat luar biasa. Memang, al-Quran memiliki kedudukan yang tinggi dan tidak satupun kitab tafsir yang mampu memenuhi hak al-Quran dengan semestinya. Setiap ahli tafsir hanya memandang alQuran dari sisi tertentu. Sejak abad permulaan Islam sampai hari ini, kitab tafsir Mizan merupakan kitab terbaik yang pemah ditulis di kalangan Syi'ah dan Ahlussunnah. Allamah Thabathaba’i jelas merupakan tokoh besar dan agung. Merupakan tugas kita semua untuk menghormati beliau yang kini telah berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tak ada satupun orang yang sudah lanjut usia seperti beliau yang memiliki prestasi ilmiah semacam ini. Beliau menghabiskan umurnya untuk mendalami studi moral, budaya Islam, dan sastra Arab. Mengapa orang seperti ini layak dimuliakan dan dihormati? Sebabnya, beliau memiliki ilmu dan jiwa sosial yang mengagumkan. Masyarakat yang tidak pernah belajar dari orang besar ini hanya akan memperoleh sedikit manfaat. Kaum muslimin harus banyak belajar dari tokoh besar ini supaya mendapatkan banyak keuntungan. Perbedaan masa kita sekarang dengan masa silam adalah tokoh-tokoh yang muncul pada masa sekarang mudah terkenal (melalui medium percetakan buku dan sebagainya). Allamah Thabathaba’i tidak hanya dikenal di kalangan orang Iran saja. Beliau juga dikenal di seantero dunia Islam. Tafsir Mizan yang disusunnya telah berkali-kali di cetak ulang secara diam-diam di Beirut, Lebanon. Ini membuktikan bahwa pemikiran dan buku beliau sangat terbuka bagi dunia Islam. Orang-orang orientalis pun mengenal siapa tokoh ini. Amerika dan Eropa mengenal beliau sebagai seorang pemikir besar Islam. Allal al-Faasi juga termasuk salah seorang tokoh dalam dunia Islam. Ketika datang ke Iran, ia berkunjung ke kota Qom dan mendatangi rumah Allamah Thabathaba’i. Dia sangat kagum menyaksikan ketinggian kedudukan spiritual Allamah Thabathaba’i. Kepribadian Allamah Thabathaba’i tidak hanya terbatas sebagai pribadi Syi'ah semata, melainkan juga sebagai orang yang memiliki ilmu yang bersifat universal. Namun sangat disayangkan, pribadi mulia ini pernah menderita sakit jantung selama satu tahun. Saya memohon kepada Allah agar berkenan menjaga tokoh besar ini untuk kita semua. Beliau benar-benar tokoh mulia yang memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Akhir-akhir ini, beliau menunjukkan sikap ikut merasakan penderitaan saudaranya sesama muslim. Saudara-saudara muslim kita tengah menderita di Palestina, sementara Amerika tidak mampu memberikan hak yang semestinya kepada mereka. Kita harus memberikan perhatian dan bantuan kepada mereka. Allamah Thabathaba’i segera membuka rekening di bank untuk
membantu saudara-saudara muslimin di Palestina yang sedang kesusahan. Beliau membuka rekening di bank Millie Iran, bank Bozargoni, dan bank Shaderaat. Beliau juga dibantu Ayatullah Sayyid Abul Fadhl Musawi Zanjani yang merupakan tokoh mulia dan memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Beliau adalah seorang mujtahid yang adil. Saya termasuk orang ketiga yang ikut membuka rekening tersebut. Jadi rekening bantuan kemanusiaan untuk kaum muslimin di Palestina tersebut dibuka atas nama tiga orang (Allamah Thabathaba’i, Ayatullah Zanjani, Syahid Muthahari, —pent.). Program dana kemanusiaan ini tidak memandang berapa banyak uang yang terkumpul. Jika semua orang Iran mengumpulkan hartanya, barangkali tidak bisa menandingi banyaknya harta yang dimiliki dua orang Yahudi kaya raya yang tinggal di Amerika, yang meraup harta dengan jalan riba dan mencuri. Hal terpenting bagi kita adalah bagaimana jiwa kita ikut merasakan penderitaan orang lain dan memiliki keterikatan hati dengan mereka. Saya ingin memberikan sebuah contoh berkenaan dengan masalah ini. Sewaktu Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang sedang rnembara, seekor burung Bul-bul terbang mendekati tempat Nabi Ibrahim dibakar. Burung tersebut memenuhi paruhnya dengan air dan kemudian ditumpahkannya di atas kobaran api yang tengah menjilat tubuh Nabi Ibrahim. Melihat tindakan burung tersebut, Nabi Ibrahim bertanya dengan penuh rasa heran: "Wahai burung kecil! Apakah air yang kamu tumpahkan dari paruhmu berguna untuk memadamkan api yang besar ini?" Burung Bul-bul itu menjawab: "Dengan cara ini saya ingin memperlihatkan akidah, iman, dan hubungan saya dengan Nabi Ibrahim as." Kendati Anda hanya menyumbang dengan sedikit harta, namun sumbangan tersebut tetap bernilai. Dengannya, Anda telah menunjukkan perasaan dan kepedulian Anda terhadap orang lain yang tengah menderita. Melalui tindakan tersebut, Anda telah mempererat hubungan dengan Imam Husain as. Sebagaimana telah saya sampaikan pada awal pembicaraan, bahwa hari ini merupakan hari untuk "berhubungan dengan para Syuhada". Mudah-mudahan kita semua digolongkan ke dalam barisan orang-orang yang syahid. Kita harus selalu mengatakan: "Assalâmu 'alaikum ya Abâ Abdillah, ya laitanâ kunnâ ma'aka fa nafûza fauzan 'azhiman" (Salam sejahtera bagimu wahai Aba Abdillah, andai saja kami bersamamu pada saat itu, maka kami akan sangat beruntung). Andai saja kami bersamamu, wahai Husain. Imam Husain mengatakan bahwa Karbala tidak hanya terjadi dalam satu hari saja. Tragedi Karbala akan senantiasa terjadi, kapanpun, di manapun! Salah satu bukti bahwa masyarakat kita telah mati adalah pecahnya tragedi Karbala. Sekarang ini, kita tengah memperingati hari Arbain (empat puluh hari syahadahnya Imam Husain). Pada hari Arbain telah terjadi dua peristiwa penting; datangnya Jabir bin Abdullah alAnshori untuk berziarah ke makam Imam Husain serta pembacaan ziarah Arbain yang disunahkan pada hari ini. Keterangan lebih rinci tentangnya akan saya sampaikan pada lain kesempatan. Disunahkan untuk berziarah kepada Imam Husain di mana saja kita berada, sekalipun dari jarak jauh. Dalam kesempatan ini, saya akan menyampaikan suatu peristiwa yang pada dasarnya tidak termaktub dalam seluruh buku standar kesejarahan, kecuali dalam satu buku saja. Buku tersebut juga tidak bisa dikategorikan sebagai buku sejarah yang mu'tabar (otentik). Pengarangnya, yang merupakan salah seorang tokoh besar, menulis buku tersebut ketika ia masih muda. Buku tersebut mencakup sejumlah peristiwa bohong yang tidak terdapat dalam sejarah. Tak seorang pun dari kalangan sejarahwan, ahli hadis, dan penulis maqtal Islam yang menceritakan peristiwa tersebut. Mereka bahkan mengingkarinya. Terjadinya persitiwa tersebut juga tidak bisa diterima oleh akal sehat. Kejadian bohong itu berkisar tentang datangnya Ahlul Bait Nabi dan keluarga suci Imam Husain dari Syam ke gurun Karbala pada tanggal 20 Shafar 61 H. (hari Arbain).
Kita sering mendengar kisah ini. Namun saya tidak ingat rinciannya. Barangkali kita tidak pernah mendengar bahwa yang berziarah ke makam Imam
Husain pada hari Arbain hanyalah dua orang. Dalam seluruh majelis yang ada, kita pasti akan mendengar
[ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [