Ulasan Novel Bumi Manusia Judul: Bumi Manusia Penulis: Pramoedya Ananta Toer Subyek: kolonial Kota penerbit: Jakarta Penerbit: Hasta Mitra Tahun terbit: 2000 Tipe buku: roman Sejarah Buku ini adalah salah satu buku yang sangat terlaris yang ada di terbitkan oleh penulis Indonesia, dimana buku ini telah diterbitkan di 4 benua dengan sampai lebih dari 20 terjemahan bahasa diluar bahasa Indonesia. Buku Bumi Manusia adalah salah satu buku yang di lahirkan dari penderitaan Pramoedya Ananta Toer di sekap oleh hukum diktator dibawah rezim jendral Soeharto. Buku ini awalnya diceritakan kepada rekanrekan di kamp penahanan orang-orang di pulau buru. Lalu setelah itu buku ini diterbitkan pada tahun 80’an tapi sayang hanya tahan beberapa lama di toko buku karena cepat dibredel oleh mentri kehakiman. Tapi setelah runtuhnya rezim dictator Orde Baru, buku ini kembali diterbitkan pada tahun 2000 oleh penerbit Hasta Mitra yang mencoba menerbitkan kembali karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
Secara garis besar buku roman sejarah ini menggambarkan seorang anak pribumi atau inlandeer yang mencoba membangun kembali rakyat dan tanah airnya akibat ketimpangan politik diskriminasi dan perbedaan ras serta kasta dan berbagai hak-hak azasi manusia yang dikesampingkan. Nama tokoh ini adalah Mingke seorang anak bangsawan Jawa yang kepribadiannya diasah oleh mental colonial di mana sejak dari E.L.S samai H. B. S. ia dididik oleh berbagai macam rasa diskriminasi dan perbedaan hak terhadap anak-anak pribumi. Seorang Mingke pada awalnya akibat didikan Belanda dan pengaruh dari lingkungannya yang Belanda mengakibatkan dirinya memandang pada awalnya selalu kepada pemikiran a la barat dan cenderung masih bersifat koorperasi terhadap Belanda. Menariknya dari perkenalannya kepada pemikiran barat membuat mingke yang ‘hijau’ kepada desakan kepada kembali ke bawah yaitu kepada awal keperluan tanah airnya sendiri. Setelah berkenalan dengan Nyai Ontorosoh atau orang-orang di Booerderij Buitenzorg Mingke mulai menunjukkan kedekatannya kepada pergerakan melawan rezim kolonial dengan cara-cara politik dan bukannya fisik.
Sesuatu yang jelas kita lihat disini adalah Mingke dalam tatanan masyarakat Jawa yang masih kolot dan terbelakang Mingke melihat ini harus di hentikan dengan ia berpendapat tidak ada cara lain selain mulai dengan menulis. Dan dengan menulislah kegiatan awal Mingke untuk terjun secara praktis kepada sistem poliltik Belanda. Tapi
lagi-lagi sayangnya ia terbentur dengan masalah oraganisasi yang nyata dan teroganisir dan sifatnya loyal serta melatih para kader. Pelajaran yang bisa dilihat dari pergerakan nasional dan kehidpan politik di Indonesia adalah tidak adanya berbagai usaha dari berbagai para bangsawan khususnya masyatakat pendukung feodalisme di tanah Jawa. Kehidpan pergereakan yang di idamkan oleh Mingke banyak sekali terbentur kendala mulai dari berbagai maslaah salah satunya tentang menguatnya berbagai hak-hak pelarangan dan keterkendalaan terhadap kebebasan tehadap kebebeasan berbicara dan menulis.
Sekiranya bisa kita lihat bahwa pergerakan nasional pada awal abd ke 20 di Indonesia tidak terlepas dari ekses dan bantuan dari orang-orang dari partai liberal di Belanda, dimana mereka dengan kekuatan politik dan kebangkitan untuk pendidikan ethic serta menguatnya partai Kristen dan liberal itu sendiri di meja parlemen. Hal itu bisa dilihat dengan banyaknya orang-orang baik itu dari orang politikus ataupun dari orang-orang pers mencoba untuk menceritakan kepada Mingke bahwa apa saja kebiadaban dan apa saja konspirasi di dalam masyarakat dan system hukum Belanda. Inilah sebenarnya menjadi satu bantuan yang implicit dari kekuatan mingke untuk mencoba dan mendobrak kekuatan Belanda dengan satu tujuan sama rata sama rasa. Kondisi pelik yang bisa kita liihat dari kehidpan Mingke adalah saat dia berlawanan dengan hukum Belanda yang sangat diskriminasi dan tidak demokratis kisah ini berawal mulai dari kehidupan percintaan Mingke dengan Annelies yang pada awalnya hanya perkenalan seorang polyghinic Mingke. Tapi mereka menikah dan saat mereka setelah menikah, ayah Annelies yang Belanda totok meninggal karena ibu Annelies seorang gundik bernama Nyai Ontosoroh atau Saniem yang seorang pribumi ia tidak bisa dirawat oleh ibunya sendiri yang karena system itulah yang merentangkan kehidupan antara Annelies dengan Mingke. Dan kepastian hukum itu menyebabkan Annelies harus berpisah dengan Mingke karena Annelies harus diasuh oleh keluarga ayahnya yang asli Belanda, inilah kenyataan pahit yang harus diterima oleh Mingke sehubungan dengan kebejatan dan kediskriminasian dari sistem hukum colonial. Akhirnya mengke secara pasti berpisah dengan Annelies, dan Annelies dikirim ke Belanda untuk dil asuh oleh keluarga Mallema.
Sesuatu yang harus kita lihat dari roman sejarah ini adalah bahwa pergerakan untuk menuju kemerdekaan untuk berkumpul, berserikat, berbicara, dan berpikir pada dasarnya mengalami berbagai masalah dan kendala yang sangat bertubi-tubi. Di mana kadang-kadang teori terhadap perubahan sebuah bangsa untuk meredeka tidak semata-mata mudah untuk didapatkan dan susahnya mendapatkan kesan reaksioner dari masyarakatnya itu sendiri. Sumber: https://hendrikofirman.wordpress.com/2009/01/10/ulasan-bumi-manusia/