TEKNIK BUDIDAYA Teknologi pemeliharaan bandeng dapat dilakukan secara tradisional, semi intensif dan intensif. Sementara pola pemeliharaannya bisa monokultur dan polikultur. Terkait dengan tahap budidaya, teknologi yang digunakan dan pola pemeliharaannya maka terdapat berbagai variasi budidaya yang dapat dipilih Tambak bandeng bukanlah usaha yang banyak menyerap tenaga kerja. Dalam 5 ha tambak hanya diperlukan 2 orang penjaga dan 5-10 orang untuk melakukan panen. Namun demikian tambak setidaknya menjadi sumber penghidupan bagi ribuan keluarga Indonesia, tahun 2000, 186.485 keluarga hidup dari tambak. Angka ini merupakan 14,73% dari seluruh keluarga perikanan (lihat tabel 6.1). Jumlah petambak dari tahun ke tahun terus meningkat demikian juga dengan perannya terhadap total rumah tangga perikanan. Dengan melihat rata-rata luas tambak per keluarga dapat dilihat bahwa peningkatan rumah tangga petambak tidak menyebabkan terpecahnya pemilikan tambak. Pada periode 1995-2000 rata-rata pemikilan tambak berkisar pada angka 2 ha. Dalam kegiatan budidaya terutama kegiatan pembesaran ikan bandeng terdapat berbagai macam cara diantaranya adalah dengan cara tradisional, semi intensif dan intensif. Menurut Anonymousc (2001) berdasarkan tingkat teknologi, budidaya bandeng di Indonesia terbagi menjadi tiga metode, yaitu: • Tambak tradisional/ekstensif. Tambak tradisional tidak menggunakan kincir karena kepadatan sebar berkisar 0,5-1 ekor/m2 luas lahan. Pakan yang diberikan sebagian besar berasal dari sumber alami; • Tambak semi intensif. Padat penebaran pada tambak semi intensif berkisar antara 2-3 ekor/m2. Peralatan kincir dipergunakan untuk teknologi ini sebanyak 1-2 kincir per petak lahan (0,5 ha). Pakan yang diberikan berupa pellet dengan kualitas yang baik; • Tambak intensif. Padat penebaran bibit pada tambak intensif sekitar 5 ekor/m2 dilengkapi kincir 3 buah untuk setiap petak (0,5 ha). Pakan yang digunakan berupa pellet yang telah teruji. Pada UPTPBAP Bangil terdapat dua sistem budidaya yaitu polikultur dan monokultur. polikultur adalah sistem budidaya dalam 1 kolam terdapat lebih dari 1 jenis ikan yang dibudidayakan sedangkan monokultur adalah sistem budidaya dalam 1 kolam hanya terdapat satu jenis ikan saja. Di UPTPBAP Bangil dalam proses kegiatan pembesaran ikan bandeng menggunakan tambak tradisional dan menggunkan metode monokultur sehingga dalam proses pembesarannya dalam 1 tambak hanya menggunakan 1 jenis ikan saja yaitu ikan bandeng dan sumber pakan berasal dari pakan alami dan tidak menggunakan pakan tambahan.Bandeng konsumsi pada dasarnya dihasilkan melalui tiga tahap budidaya yakni pembenihan, pendederan dan pembesaran.
Gambar 4.1 Tahapan Budidaya Bandeng Konsumsi
Bandeng konsumsi dihasilkan dari tambak pembesaran. Bibit tambak pembesaran adalah glondongan yang dihasilkan dari tambak pendederan. Tambak pendederan memelihara nener yang dihasilkan oleh pembenihan. LOKASI BUDIDAYA Kabupaten Sidoarjo secara geografis terletak 112,5 – 112,9 Bujur Timur dan 7,3 – 7,5 Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Sidoarjo di sebelah utara berbatasan dengan Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik, sebelah timur berbatasan dengan Selat Madura sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan. Luas wilayah Kabupaten Sidoarjo 634,38 Km2 yang terbagi menjadi delapan belas kecamatan dengan jumlah penduduk 1.682.000 jiwa. Perikanan, industri dan jasa merupakan sektor perekonomian utama Sidoarjo. Selat Madura di sebelah Timur merupakan daerah penghasil perikanan, diantaranya ikan bandeng, udang, dan kepiting.Maka dengan seperti itu di kabupaten sidoarjo perlu dikembangkan usaha budidaya bandeng 2.6
ANGGARAN AWAL BUDIDAYA
Biaya investasi adalah biaya tetap yang harus dikeluarkan oleh petambak untuk memulai usahanya. Biaya investasi meliputi biaya perijinan, sewa tambak dan pengolahan tambak serta pembelian peralatan (Tabel 5.2). Biaya perijinan bernilai nol sebab biaya itu telah dibayar pemilik pada saat membuat tambak. Total biaya investasi yang diperlukan untuk tambak seluas 2 ha sekitar Rp 8 juta dengan biaya terbesar pelengkapan tambak. Biaya perlengkapan tambak adalah biaya untuk membeli pompa air dan membuat rumah pandega. Rumah pandega diperlukan sebab tambak berada di lokasi yang relatif jauh dari pemukiman sehingga diperlukan tempat untuk penunggu tambak. Tambak disewa selama 4 tahun, tetapi pembayaran sewa dilakukan setiap tahun. Sewa tambak saat penelitian adalah Rp 1.250.000 per ha per tahun. Pengolahan tambak memerlukan biaya yang besar terutama untuk biaya tenaga kerja. Peralatan antara lain adalah jaring, ember dan serok. Tabel 1. Biaya Investasi Pendederan dan Pembesaran Bandeng No 1 2 3 4 5
Jenis Biaya Perijinan Sewa tambak Pembenahan tambak Peralatan tambak Perlengkapan tambak Jumlah biaya investasi
Nilai (Rp) 0 2.500.000 2.135.000 507.000 3.180.000 8.322.000
Penyusutan (Rp) 0 2.500.000 427.000 262.000 1.288.250 4.477.250
SPESIKASI LOKASI TAMBAK Kontruksi tambak dalam tambak pembesaran kontruksi tambak yang digunakan terdapat 2 tipe yaitu tambak tanah dan tambak semi beton. Terdapat 5 tambak yang berkontruksi dinding dan berdasar tanah dan terdapat 6 tambak berdinding beton tetapi menggunakan dasar tanah. Untuk kontruksi tanah digunakan dalam pembesaran bandeng ini dikarenakan akan mempermudah menumbuhkan pakan alami selain itu bandeng memiliki tingkah laku mencari makanan diantara lumpur serta ikan bandeng lebih suka mencari makanan di dasar maupun di dinding tambak sehingga tambak yang digunakan menggunakan kontruksi tanah.
Menurut Prahasta dan Hasanawi (2009) pada tanah di dasar tambak dibuat saluran dasar yang disebut kamalir dan sumur tambak atau kubangan tambak yang dibuat di dasar tambak untuk berkumpulnya ikan pada saat panen. Kamalir dan kubangan berguna untuk memudahkan penangkapan ikan bandeng dipanen. Untuk dasar tambak, tanah di dasar tambak harus miring atau tumpah kearah pembuangan air. Untuk pembesaran bandeng lebih sering menggunakan tambak tanah ini dikarenakan untuk mendukung proses pertumbuhan pakan alami. Selain itu bandeng lebih suka pada wilayah yang berlumpur dikarenakan bandeng memiliki sifat ikan yang mencari makanannya di dasar lumpur ataupun dasar tanah. Untuk penyediaan air ke tambak-tambak disediakan kanal atau serupa dengan sungai kecil yang memiliki kelebaran 2 meter, dengan menggunakan kanal maka sumber air payau yang berasal dari sungai akan masuk melaui kanal dan dari kanal akan menuju ke pintu-pintu masuk tambak. Dengan demikian, masuknya air ke tambak ini mengandalkan air pasang dari laut yang melewati sungai. 3.4 MONITORING Kualitas air memiliki peranan penting dalam proses kegiatan budidaya. Pada saat penebaran benih perlu dilakukan perendaman benih ke dalam tambak agar kondisi suhu air dalam plastik dan tambak tidak terjadi perbedaan suhu yang menyebabkan kematian pada benih bandeng. pengontrolan kualitas air dilakukan 2 kali dalam 1 minggu dengan tujuan untuk mengetahui kualitas air di tambak sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan apabila terjadi penurunan kualitas air. selama kegiatan pembesaran bandeng tidak mengalami penurunan kualitas air, komdisi perairan yang baik dapat dikontrol apabila kondisi tanah baik dan selain itu dengan jumlah padat tebar yang sedikit maka dapat menjaga kualitas air karena feses dari sisa pencernaan sedikit sehingga dapat terurai secara maksimal di dasar tambak. Alat yang digunakan untuk mengukur kualitas air diantaranya adalah thermometer untuk mengukur suhu air, refraktometer digunakan untuk mengukur salinitas air tambak, DO meter untuk mengukur kandungan oksigen terlarut dalam air tambak dan pH meter untuk mengukur kesadahan air tambak
Gambar 3. Alat Ukur Kualitas Air
Kisaran kualitas air pada tambak tradisional pembesaran bandeng di UPTPBAP Bangil adalah sebagai berikut: • pH tanah 4,8 – 6,8 • salinitas 5 – 11 ppt • DO 3,3 – 4,6 ml/L • Suhu 25 – 300C • pH air 7,5 – 8,8 • NH3 (amonia) 0,05 – 0,22 ppm • H2S (asam belerang) 0,024 – 0,05 ppm • Fe 0,04 – 0,63 ppm Warna air pada tambak pembesaran bandeng secara tradisional di UPTPBAP Bangil yaitu berwarna coklat kehijauan ini menunjukkan adanya kelekap dan fitoplakton yang tumbuh dalam tambak. Menurut Kordi dan Andi (2007), kualitas yang optimal untuk budidaya bandeng yaitu dengan kisaran pH 7 – 9, suhu 23 – 320, DO 4 – 7 ppm, dan salinitas 0 – 35 ppt. Untuk tumbuh optimal, biota budidaya membutuhkan lingkungan hidup yang optimal pula. Kualitas air dan pengaruhnya terhadap biota budidaya sangat penting diketahui oleh pembudidaya. Kualitas air dapat diketahui dari beberapa parameternya. Sebagai parameter untuk budidaya biota air adalah karakter fisik dan kimia. 3.5 PEMANENAN Panen bandeng pada tambak tradisional dI UPTPBAP Bangil dilakukan pda bandeng berumur 6 – 7 bulan pada umur sekian bandeng telah cukup pada ukuran konsumsi. Pada ukuran panen dalam setiap kilogramnya berjumlah 4 – 5 ekor bandeng. Pada kegiatan pemanenan di UPTPBAP Bangil dilakukan pada pagi hari dilakukan untuk menghindari panas teriknya matahari selain itu dilakukan pada saat kondisi air surut sehingga mempermudah dalam proses pengurangan air dalam tambak. Menurut Cahyono (2007), ikan bandeng dengan berat awal atau berat saat penebaran benih pertama dengan berat 40 gram dengan lama pemeliharaan 4 – 6 bulan akan mengalami peningkatan berat tubuh sebesar 250 gram. Sedangkan di UPTPBAP Bangil menbutuhkan waktu antara 6 – 7 bulan untuk mencapai berat tubuh 250 gram. Hal ini dikarenakan dalam pembesarannya, UPTPBAP Bangil menggunakan metode tradisional sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu, dalam kegiatan budidaya secara tradisional tidak mengunakan pakan tambahan melainkan hanya mengandalkan pakan alami yang tumbuh dalam tambak. 3.4 PASCA BUDIDAYA ATAU PEMASARAN 3.6.1 Produksi dan Pendapatan
Hasil produksi usaha ini adalah bandeng bibit (glondongan) dan bandeng konsumsi. Untuk glondongan setiap semester dihasilkan 147.000 ekor bandeng. Sementara produksi bandeng konsumsi mencapai 8.400 ekor pada semester pertama tahun pertama kemudian meningkat menjadi 11.200 ekor pada semester ke dua. Dengan tingkat produksi itu usaha tambak badeng semi intensif ini menghasilkan pendapatan kotor sekitar Rp 44 juta pada tahun ke 1 semester1 dan lebih dari Rp 50 juta pada periode berikutnya (Tabel 5.6). Tabel 4 Produksi dan Pendapatan Kotor Per Semester Tahun Uraian 1. Bandeng glondongan 1-4 a. Luas tambak per panen b. Frekuensi panen c. Produksi per panen d. Total produksi - Dibesarkan sendiri - Dijual e. Pendapatan kotor 2. Bandeng konsumsi 1 a. Luas tambak per panen b. Frekuensi panen c. Produksi per panen d. Total produksi
2-4
e. Pendapatan kotor a. Frekuensi panen b. Total produksi c. Pendapatan kotor
Satuan
Semester 1
Semester 2
M2 Kali Ekor Ekor Ekor Ekor Rp
3.500 2 73.500 147.000 7.000 140.000 28.000.000
3.500 2 73.500 147.000 3.500 143.500 28.700.000
M2 Kali Ekor Ekor Kg Rp Kali Ekor Kg Rp
3.500 3 2.800 8.400 2.800 16.800.000 5 14.000 4.667 28.000.000
3.500 4 2.800 11.200 3.733 22.400.000 4 11.200 3.733 22.400.000
3.6.2 Proyeksi Laba Rugi dan BEP Studi ini menunjukkan bahwa usaha tambak bandeng semi intensif mampu menghasilkan keuntungan. Pada semester pertama mengalami kerugian sebesar Rp 8.198.427, tetapi semester berikutnya tambak telah menghasilkan keuntungan, dimulai dengan keuntungan puluhan ribu rupiah menjadi jutaan rupiah pada periode-periode berikutnya. Pada akhir periode proyek keuntungan yang diperoleh adalah Rp 17.706.739 Secara rata-rata margin yang dapat diperoleh usaha tambak bandeng adalah 4,24% per semester. Rata-rata margin yang rendah disebabkan karena margin pada semester pertama tahun pertama adalah nol dan semester 2 tahun pertama adalah Rp 15.379. Margin yang rendah pada periode awal (semester 1 sampai semester 4) terkait dengan pembayaran angsuran kredit yang harus dilakukan. Semester 5 dan seterusnya menunjukkan bahwa margin yang diperoleh cukup tinggi sebab pada periode ini petambak tidak lagi harus membayar angsuran. Dengan memperhitungkan biaya tetap dan biaya variabel serta hasil penjualan maka didapat nilai rata-rata BEP penjualan usaha ini adalah adalah Rp 37.941.305
per semester, jauh lebih rendah dari nilai penjualan per semester. Perhitungan BEP hanya meliputi BEP nilai penjualan sebab produk yang dihasilkan adalah glondongan dan bandeng konsumsi yang harga dan ukuran produknya bervariasi cukup tinggi, yakni Rp 200 per ekor untuk glondongan dan Rp 6.000 per kg untuk bandeng konsumsi. Dengan demikian perhitungan dalam bentuk rata-rata jumlah produksi dan harga per kg menjadi tidak tepat.