Selasa, 2009 April 28
TAWURAN PELAJAR M. Didik Suryadi
Banyaknya aksi tawuran yang dilakukan oleh siswa-siswa dikota besar sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Di Jakarta misalnya, hampir tiap bulan terjadi aksi tawuran yang hampir kesemuanya dilakukan oleh siswa-siswa yang seharusnya mereka berada disekolah untuk menuntut ilmu. Bahkan aksi tawuran ini tidak jarang memakan korban, baik korban jiwa maupun luka-luka. Sebenarnya aksi tawuran ini tidak hanya terjadi di perkotaan, akan tetapi budaya tawuran ini sudah mulai masuk dan ditiru oleh pelajar yang ada di daerah pedesaan. Terkadang penyebab aksi tawuran ini sangatlah sederhana dan terjadi akibat hal-hal yang sangat sepele. Bahkan aksi tawuran inipun bisa terjadi akibat salah satu dari siswa saling memandang dengan siswa lain, yang kemudian salah satu dari mereka menganggap pandangan yang ditujukannya mengarah pada hal negatif, misalnya mengartikan pandangan itu adalah suatu penghinaan atau suatu tantangan, yang kemudian memunculkan rasa emosi yang mengarah pada terjadinya aksi tawuran. Seperti kita tau, masa remaja adalah masa-masa mencari jati diri. Secara sosio-psikologis masa remaja merupakan masa pencarian jati diri sekaligus eksistensinya ingin diakui. Namun sayangnya apa yang mereka
persepsikan
eksistensi
tersebut
tidak
selamanya
merupakan hal-hal yang positif. Sebaliknya justru hal-hal yang negatif (karena hal yang semacam itu lebih mudah mendapatkan perhatian). Salah satu di antaranya yakni aksi tawuran itu. 1
Sedangkan
dilihat
dari
sosio-kriminologis
terjadinya
budaya
destruktif tersebut sebagai dampak dari semakin meruncingnya budaya kekerasan yang melanda masyarakat kita, baik pada kalangan masyarakat bawah (secara fisik) maupun pada kalangan masyarakat atas atau elit politik kita. Kebrutalan para pelajar ini tentu saja sangat memilukan. Semestinya mereka menjadi generasi harapan negeri, namun malah menjadi generasi yang brutal. Lalu di mana pendidikan kita saat ini? Wajar ini terjadi, ketika pendidikan yang diterapkan adalah sekularisme, memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga pelajar bisa dengan mudah berbuat apa saja tanpa ada bimbingan ajaran agama. Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam dari para siswa didiknya. Dunia pendidikan di Indonesia sebagian besar adalah pendidikan secara
umum.
Sehingga
pemahaman
tentang
dunia
agama
sangatlah kurang. Dalam satu minggu pelajaran hanya satu jam saja pendidikan tentang agama disampaikan. Hal ini sangat ironis, karena sebagai pembentuk mental dan kepribadian seseorang terutama remaja adalah harus diperbanyak pemahaman tentang ajaran-ajaran agama. Dengan cukupnya bekal mereka tentang pemahaman agama pastilah akidah ataupun tingkah laku seorang siswa itu akan mencerminkan kepribadian yang baik pula. Sehingga budaya tawuran
yang sering terjadi dikalangan pelajar saat ini
akan lebih dapat diminimalisir.
2