TINJAUAN SOSIOLOGIS & POLITIS TERHADAP PERKELAHIAN REMAJA/PELAJAR Oleh: Sigit Suryawan
BAB I
Ada
sebuah
gurauan
PENDAHULUAN
sinis
di
masyarakat
pendidikan
untuk
menggambarkan bagaimana ’populernya’ perkelahian pelajar sekolah di Jakarta. Bagi anak-anak sekolah di Jakarta muatan lokal salah satu pelajarannya adalah Tawuran. Padahal seperti kita ketahui muaan lokal bagi anak-anak daerah umumnya adalah yang menjadi keunikan daerah tersebut, misalnya bahasa daerah/kesenian daerah. Dan untuk kasus tersebut kota metropolitan seperti Jakarta sepertinya tidak ada unsur khusus yang bisa diberikan kepada anak didik di sekolah sebagai modal lokal, sehingga tawuran mungkin adalah pilihannya. Mereka lebih suka berlari ke jalan dan bergerilya di jalan diaripada masuk kelas atau berolahraga di lapangan, maka tidak heranlah
bila
selanjutnya terbentuk apa yang disebut ‘budaya tawuran’, yang terus diwariskan secara turun temurun di sekolah-sekolah. Banyak hal yang menyebabkan hal itu terjadi, pada makalah ini akan coba diuraikan dalam sudut pandang sosiologis dan politis; secara sosiologis penulis
akan
mencoba
menempatkan
tawuran
sebagai
deviant
(penyimpangan) dalam segmen akan ditarik relevansi teori Durkheim tentang ‘deviant’ dalam kasus tawuran pelajar di ibukota, sedangkan secara politis dan tindakan hukumnya penulis akan melihat relevansi teori Durkheim untuk dikaitkan dengan unsur politis yang mencoba mengangkat tawuran dalam proses penangannya sebagai tindak pidana perkelahian pelajar dan mengkaitkan tawuran pelajar dalam proses politis. Pada bab III akan dilanjutkan dengan keterkaitan antara unsur
1
sosiologis dan politis dalam upaya mengatasi perkelahian pelajar di ibukota dan bab IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan intisari makalah ini.
BAB II
2.1
PERMASALAHAN
PERMASALAHAN PERKELAHIAN PELAJAR DI IBUKOTA Perkelahian pelajar bukanlah fenomena baru di beberapa kota besar di
Indonesia, khususnya Jakarta, karena peristiwa tersebut sudah berlangsung cukup lama dan secara sporadis terjadi di beberapa wilayah seolah tiada hentinya (contohnya kawasan jalan Cempaka Putih dan Jalan Raya Bogor). Perkelahian pelajar walaupun secara fisik dilakukan oleh anak-anak (remaja), namun secara kualitas sudah bisa disebut sebagai tindakan kriminal,
seperti
layaknya
dilakukan
oleh
orang-orang
dewasa.
Efek
kerusakan yang ditimbulkan tidak jarang menimbulkan kerugian yang cukup besar, baik kerugian yang bersifat fisik berupa bangunan, maupun jatuhnya korban luka-luka maupun korban jiwa yang menimpa pihak-pihak yang berkelahi. Kenakalan remaja yang termanifestasikan dalam tindakan tawuran dari waktu ke waktu makin kas jangkauannya, yaitu dari hanya sekedar perkelahian antar sekolah terus berkembang menjadi pemerasan , bahkan mereka
sudah
berani
melakukan
pembajakan
angkutan
umum
dan
penodongan terhadap masyarakat. Apabila dilihat dari tindakan yang mereka lakukan tersebut di sini kita dapat menggolongkan bahwa perbuatan mereka telah mencapai tingkat yang meresahkan masyarakat yang dalam teori sosiologis oleh Durkheim dianggap sebagai penyimpangan (deviance). Deviance terjadi apabila tingkat penyimpangan yang diasosiasikan terhadap keinginan atau kondisi masyarakat rata-rata telah melanggar batas-batas tertentu yang dapat ditolerir sebagai masalah gangguan keamanan dan kenyamanan
masyarakat.
Dampak
terlanggarnya
keamanan
dan 2
kenyamanan masyarakat dapat dilihat dalam contoh diatas. Sebuah contoh yang konkret dapat dikemukakan disini : Salah seorang anggota satpam terkena lemparan batu pada saat terjadi tawuran pada tanggal 01 desember 1999 di jalan raya Bogor. Pak Sarya (42 tahun) petugas keamanan sekolah PB Sudirman yang telah bekerja selama empat tahun di sekolah tersebut. Akibat kejadian ini mata kanan bapak dua anak ini mengalami cacat dan tidak bisa sembuh sedia kala, hal ini merupakan kejadian kedua kalinya setelah tangan kanannya terluka oleh senjata tajam akibat melerai tawuran di tempat yang sama beberapa bulan yang lalu (Lentera Sudirman). Contoh ini sudah cukup membuktikan bahwa tawuran tersebut harus segera diatasi dan dicari solusinya secepat mungkin untuk menghindari adanya korban yang tidak perlu.
2.2 PERMASALAHAN PERKELAHIAN PELAJAR DI IBUKOTA DALAM TINJAUAN SOSIOLOGIS Sosiologi
adalah
ilmu
yang
mempelajari
mesyarakat
termasuk
dinamika dan gejala-gejala yang terjadi didalamnya yang dapat ditangkap dan dianalisis. Tindakan perkelahian remaha/pelajar yang terus mengalami ekspansi menjadi tindakan kejahatan adalah sebuah gejala sosiologis yang dapat dipelajari dan ditelusuri sebabnya. Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa kejahatan adalah gejala sosiologis yang senantiasa dihadapi oleh setiap masyarakat. Usaha manusia untuk menghapuskan kejahatan adalah tidak mungkin, karena kejahatan hanya dapat dikurangi intensitas dan kualitasnya. Karena itu kejahatan dapat disebabkan oleh masalah sosial, seperti kecemburuan soasial atau sebab lain. Kondisi ini dapat merupakan pemicu bagi seseorang atau kelompok orang yang melakukan tindakan kejahatan seperti perampokan, penodongan, penculikan, penipuan, dan lain-lain. Hal ini pulalah yang terjadi sekarang di kalangan remaja dan para pelajar yang cenderung makin meningkat intensitas dan kualitasnya, dari 3
kenakalan menjadi tindak kejahatan. Dimana tindakan kejahatan dalam pendapat
E.
Durkheim
merupakan
‘penyimpangan’
(deviance).
Penyimpangan berhubungan erat dengan organisasi sosial masuyarakat dimana
penyimpangan
tersebut
terjadi.
Untuk
kasus
perkelahian
pelajar/remaja, organisasi sosial yang berkaitan erat adalah lembaga pendidikan , lembaga masyarakat setempat dan lingkungan keluarga. Tiga komponen ini erat hubungannya dalam pembentukan deviance tadi. Sebagai
contoh
perkelahian
remaja
di
menggunakan atribut sekolahnya, jarang sekali
Indonesia
cenderung
intensitas perkelahian
remaja (yang sebaya) di luar atribut itu. Sedangkan pada remaja Amerika perkelahian remaja banyak terjadi pada kelompok gank-gank di luar lembaga pendidikan. Hal ini mengisayrakatkan ada yang tidak beres dalam pendidikan tersebut. Kurikulum yang sering berubah, arogansi guru dan murid menciptakan suatu ‘batasan’ formil yang mengakibatkan murid terisolasi dalam sebuah penjara akademis yang tidak mendewasakannya. Pendidikan hanyalah sekumpulan rumus, teori, beban pekerjaan rumah, ujian tidak lebih dari itu. Para pelajar terikat dalam kewajiban yang tidak dapat
di
tawar
dan
akhirnya
menciptakan
kondisi
senasib
dan
sepenanggungan (dalam artian tersendiri) diantara pelajar tersebut dan mulailah terciptanya ikatan kelompok yang cukup kuat, sehingga mendorong sikap altruistik di kalangan pelajar. Sikap altruistik menunjukkan ikatan yang terlalu kuat dengan kehidupan kolektif. Bayangkan rata-rata 12 tahun dalam lingkungan pendidikan yang cukup membosankan dengan teman yang sama di sekolah, akan mampu membentuk ikatan altruistik ini dengan mudah, sehingga
kita
sering
mendengar
istilah
solidaritas
dalam
kelompok
pelajar/remaja dalam urusan baik maupun buruk. Dikelompok ini tawuran bisa terjadi oleh faktor spontanitas kolektif untuk membela ikatan mereka ataupun paksaan dikarenakan seorang pelajar dianggap sebagai pengecut oleh rekan-rekannya dalam lingkungan tersebut. Kedua, pola kolektivitas (paguyuban) dalam masyarakat yang smekin mengkerut akibat proses mondernisasi dan globalisasi. Nilai paguyuban 4
bergeser kepada nilai patembayan. Pada pola paguyuban terdapat nilai represif yang dapat menata dan menertibkan masyarakat yang diakitkan dengan masyarakat homogen yang didasarkan pada solidaritas mekanis1. Oleh karena itu tak ada pengkhususan, maka setiap warga hampir memiliki pandangan hidup yang sama dan bahkan nilai-nilai yang hampir bersamaan. Di dalam masyarakat seperti, maka hampir tidak mungkin terjadi ‘deviance’. Sutau penyimpangan akan menimbulkan kemarahan kolektif yang akan menghukum pelanggar secara spontan. Semakin modern maka masyarakat mulai
berkembang
berkembang
pula
diferensiasi semangat
dalam
pembagian
indiviualisme
dan
kerja.
Semakin
mengerutkan
nilai
kolektivitas, sehingga memperlemah kontrol sosial dalam masyarakat tersebut sehingga penyimpangan mulai marak dan tinggi intensitasnya. Ketiga, dari diferensiasi kerja tadi menimbulkan jenjang karir yang memungkinkan manusia (individu) mengembangkan karirnya untuk mencari kekayaan yang sebesar-besarnya, akibatnya suamu istri sibuk bekerja dan anak-anak terlantar dalam proses perkembangannya karena tidak terjadi transformasi
dan
komunikasi
dalam
lingkungan
internal
keluarganya
sehingga remaja cenderung mengambil keputusan berdasarkan dimana kepuasan sosial dapat tercapai (sekolah, teman baik, teman gank, dll).
2.3 PERMASALAHAN PERKELAHIAN REMAJA DI IBUKOTA DALAM TINJAUAN POLITIS Pada tinjauan politis masalah perkelahian pelajar di ibukota ini akan cukup pelik diuraikakan, salah satunya adalah keterbatasan data yang mengulas relevansi tawuran (perkelahian) remaja/pelajar dalam tinjauan politis. Dalam kesempatan ini hal yang akan diuraikan adalah bagaimana secara politis tawuran dapat diminimalisir. Kita melihat tawuran/perkelahian pelajar lebih marak terjadi di ibukota, khususnya Jakarta . Secara pesimis penulis berasumsi apakah tawuran yang 1 Solidaritas mekanis: 5
terjadi di Jakarta merupakan rekayasa politik untuk menumpulkan kekuatan pelajar/remaja sebagai eksponen perubah (agent of reform) terhadap status quo yang hal ini pernah marak pada tahun 1965-1966 yang pada waktu itu pelajar SMP pun sudah memahami politik melalui lembaga pendidikan dan lingkungan masyarakat sehingga mereka ikut aktif untuk melakukan demonstrasi dan kegiatan politik praktis. Hal tersebut adalah asumsi, tapi jika melihat keseriusan pemerintah dalam melihat kasus ini baik dalam proses peredaman dan proses penanggulangan (prefentif-kuratifnya) tidak terlihat cukup memiliki dampak dan terkesan setengah hati dalam mensikapi kondisi pelajar kita, kiranya bukan sesuatu hal yang berlebihan. Kalaupun asumsi ini akan saya tindak lanjuti menjadi teori dan tesis maka akan diperlukan kerja besar dalam membuktikannya. Oleh karena itu asumsi di atas tidak akan dibahas secara mendalam tapi cukup penting untuk direnungkan dan difikirkan. Secara politis kondisi perkelahian pelajar merupakan trackle down effect dari kebijakan pemerintah terhadap lembaga pendidikan, organisasi masyarakat
dan
kurikulumketika
keluarga. terjadi
Lembaga
pergantian
---
pendidikan Menteri
senantiasa Pendidikan,
berganti sehingga
mempersulit pembentukan karakter dasar dari para pelajar (remaja) kita, dana pendidikan yang minim yaitu ratio anggaran pendidikan terhadap APBN tidak pernah melebihi 10%, cukup kecil jika dibandingkan dengan negara miskin seperti Ghana dengan ratio anggaran pendidikannya sebesar 25% dan Malaysia yang tidak pernah kurang dari 20% (Sayidiman, Suryohadirojo, Kondisi Politik yang Memungkinkan Perbaikan Pendidikan Nasional, makalah, hal.2), dan anehnya ketika Indonesia untuk pertama kalinya mempunyai presiden yang ‘legitimate’ dalam pemilu yang demokratis, ratio anggaran pendidikan itu menjadi turun ke angka 6%. Kecilnya anggaran pendidikan mengakibatkan proses pengembangan dan penerapan teknologi pendidikan menjadi sangat lambat, sarana dan prasarana sekolah ala kadarnya sehingga sekolah tidak dapat menjadi tempat pembentuan potensial terhadap remaja/pelajar Indonesia. 6
Sistem sosial masyarakat menjadi kaku akibat masyarakat dibenturkan kepada keran politik lewat partai politik yang ada dan sngat memprihatinkan kondisi lembaga pendidikan yang ada di sekitarnya, harusnya sistem sosial tersebut saling mengadakan interaksi positip yang mampu mengasuh lembaga
pendidikan
agar
dapat
menghasilkan
pelajar/remaja
yang
bertanggung jawab dalam memahami problematika sosial masyarakatnya. Sehingga pelajar/remaja tersebut merasa mendapat peran dan tanggung jawab dengan cara menempuh pendidikan mereka. Link and match adalah konsep yang cocok dan konsep link and macth yang saya ajukan tersebut adalah bagaimana menghubungkan antara lembaga pendidikan dengan realitas yang ada di masyarakatnya sehingga pelajar/remaja menjadi terbuka dan siap menghadapi realitas sosialnya kelak, seperti perkataan Mao Tse Tung dalam pembicaraannya di konferensi Hang Chow (1965) ; “It takes a total of system seventeen or twenty years for one to reach the universuty from primary school, and in this period one never has the chance to look at the five kinds of cerelas, how the workers do their works, how peasants tell their field, and how traders do business. In the mean time, one’s healt is also roined. Such an educational system is very harmful indeed”(The Educational Dilema; Policy issues of developing countries in the 1980’s, editor John Simmons, The World Bank, Perganon International Library, Oxford NewYork, 1980, preface). Secara politis sistem pendidikan Indonesia belum memperkenalkan peserta didik kepada aspek rasional dan empirisnya secara integral, maka hasil pembangunan sistem pendidikan ini hanyalah manusia-manusia yang jauh dari kondisi sosial yang harus dihadapi dan inilah yang menyebabkan terjadinya disparitas sosial2, yang kian lama kian serius, yang jika tidak disikapi dengan cepat maka perkelahian remaja/pelajar sebagai output dari disparitas-sosial tersebut akan semakin meluas dan mencekam. Link and Match merupakan solusi awal yang pernah ditawarkan oleh Menteri Pendidikan Wardiman Djoyonegoro, namun sayang hal tersebut tidak ditindaklanjuti oleh menteri pendidikan selanjutnya. Pembahasan link and 2 7
match secara lebih lanjut akan dibahas pada bab III yaitu upaya mengatasi perkelahian pelajar/remaja. Keluarga
merupakan
miniatur
negara
terkecil
tetapi
perhatian
pemerintah terhadap sektor ini sangat minim, tidak berjalan dengan secara efektif.
Lembaga BP4
(Badan Penasehat, Pembina dan Perencanaan
Perkawinan), NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) hasilnya absurd dan tak dapat diukur secara pasti sehingga sistem keluarga di Indonesia tidak dapat secara efektif menghasilkan generasi muda yang tangguh.
Untuk
lebih
jauhnya
diharapkan
pemerintah
lebih
dapat
memainkan peran tersebut dengan kalur kemitraan dengan instansi yang terkait. Kemudian
aspek
yang
lain
dari
dalam
tinjauan
politis
adalah
pembuatan hukum yang dibuat oleh pemerintah terhadap penanggulangan tawuran. Pada masalah ini mengingat efek perkelahian pelajar yang ditimbulkan cukup besar baik secara kualitas dan kuantitas, maupun secara yuridis bisa dipertanggungjawabkan, maka tepatlah bila tindakan mereka digolongkan sebagai tindak pidana. Moch. Lukman Fatullah Rais SH dalam buku ‘Tindak Pidana Perkelahian Pelajar’ mencoba melihat bagaimana tawuran pelajar/remaja dapat dimasukkan ke dalam delik pidana. Dalam teori sosiologis yang pernah dipaparkan tentang ‘deviance’ sosial dalam proses perkembangan diferensiasi dalam masyarakat, hukum represif untuk sebagian diganti dengan hukum pidana dan perdata. Durkheim menamakan sebagai hukum Restituitif (hal.75) yang ditandai dengan adanya kelompokkelompok penegak hukum yang khusus, terpisahnya hukum dengan nilainilai dan fungsinya yang primer di dalam membentuk kembali integrasi masyarakat yang kompleks, artinya secara politis penetapan tawuran pelajar dalam
tindakan/delik
pidana
dapat
memebrikan
ketegasan
untuk
mengantisipasi dan menanggulangi hukum tadi sehingga instrumen politik harus dibarengi dengan proses sosialisasi yang mantap dan tertencana antara pemerintah, sekolah/lembaga
pendidikan dan instansi kepolisian 8
yang terkait. Namun itu semua, terlepas dari perdebatan hukum dan undang-undang, adalah tetap lebih bijak bila semua pihak berfikir bahwa apapun yang terjadi seperti halnya perkelahian itu tetap merugikan anakanak/remaja itu sendiri dan selamatkan remaja dari semua kemelut yang melanda negeri ni, baik itu kemelut politik, ekonomi, sosial ataupun budaya.
BAB III
PEMECAHAN MASALAH
UPAYA MENGATASI PERKELAHIAN REMAJA/PELAJAR Dalam uraian di bab II secara panjang lebar telah dipaparkan kini mana saja yang lemah dan cukup berpengaruh terhadap timbulnya 9
perkelahian remaja/pelajar, di bab ini akan melihat upaya apa saja yang secara teoritis dan pragmatis dapat mengatasi perkelahian remaja/pelajar secara holistik (menyeluruh). Sektor Pemerintah -
Pembakuan
dan
pengkajian
kurikulum
sesuai
dengan
kapasitas budaya penduduk Indonesia, utamakan kontuinitas dan reliabilitas hukum. -
Peningkatan
anggaran
pendidikan
yang
memadai
guna
memperbanyak dan menyempurnakan sarana belajar dan mengajar di sekolah sehingga sekolah dapat menjadi tempat yang menyenangkan dan nyaman bagi pelajar. -
Pembuatan undang-undang pidana perkelahian pelajar oleh pemerintah dan program sosialisasinya dengan pendekatan yang
familiar
bekerjasama
dengan
sektor
pendidikan,
masyarakat (ormas orsospol), dan instansi kepolisian. Sektor Pendidikan -
Penerapan sistem pendidikan link and match yang dapat memebrikan remaja/pelajar memperoleh pandangan utuh terhadap
lingkungan
di
sekitarnya
dan
mampu
mengaplikasikan pengetahuan yang didapat dalam kegiatan apapun di masyarakat. Skema link and match membutuhkan kerjasama yang apik antara sektor pendidikan dan lingkungan sektor sekolah sehingga tercipta saling cocok dan terkait. -
Keseimbangan
pendidikan
jasmani
dan
intelektual;
pendidikan jasmani dan intelektual bagi para siswa di sekolah perlu diseimbangkan. Selama ini masyarakat maupun praktisi pendidikan,
cenderung
terlalu
mendewakan
intelektual,
sebaliknya pendidikan jasmani yang justru sangat berguna bagi
perkembangan
siswa
justru
diabaikan,
padahal 10
sesungguhnya pendidikan jasmani atau fisik itu pendting bagi anak-anak untuk memperkaya wawasan mereka mengenai masa depan. Pendidikan jasmani bukan hanya olahraga, tetapi
juga
kesustraan.
menyangkut Sayangnya
estetika kesadaran
seperti akan
musik
dan
pentingnya
pendidikan jasmani ini belum muncul. -
Mengefektifkan instansi BP di sekolah dengan standarisasi tertentu
yang
proses
sosialisasinya
lebih
digencarkan
terutama melalui instansi OSIS. -
Perkuat peran POMG di sekolah.
-
Buat program khusus seperti forum silahturahmi pelajar pada wilayah yang berdekatan secara kontinyu, mainkan peran OSIS dan BP.
Sektor Keluarga -
Memberikan pendidikan ‘rohaniah’ kepada anak baik secara agamis maupun kasih sayang secara periodik.
-
Membantu kesulitan anak dalam memecahkan masalahnya.
-
Komunikatif antara anak dan orang tua.
-
Memberikan peraturan keluarga yang longgar namun diikat dengan tanggung jawab.
Upaya diatas tentu saja tidak akan berhasil dalam waktu singkat dan mudah, sebab dalam mengatasi masalah perkelahian pelajar diperlukan kerja keras dari semua pihak, baik perfentif maupun kuratif dan melibatkan semua pihak yang berhubungan dengan remaja itu sendiri, keluarga, masyarakat, pemerintah, serta lembaga-lembaga yang perhatian terhadap munculnya gejala dekadensi moral anak bangsa.
11
BAB IV PENUTUP
Adalah hal yang patut dihargai dan direnungkan oleh kita kata-kata bijak yang berlaku dalam idiom kriminologi, “mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi orang baik kembali”. Sudah sepantasnyalah sekarang berkaca dan berbuat walaupun kecil nilainya untuk mencegeh remaja kita ikut terlibat dalam perkelahian, minimal ajaklah saudara, anak, atau tetangga kita untuk menghindari dari setiap perkelahian pelajar yang terjadi.
12
DAFTAR
PUSTAKA
Moch. Luckman, FR, SH, “Tindak Pidana Perkelahian Pelajar”, Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Dr. Soerjono Soekanto, SH, MA, “Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial”, Ghalia Indonesia, 1983.
Education Dillema.
Lentera Sudirman Edisi VI, 2000.
Buletin Anak, No.34 Th.IX, 1999.
Tischler/Whitten/Hunter,
“Introduction
to
Sociology,
CBS,
“Kondisi
Politik
College
Publising, 1986.
Makalah,
Sayidiman
Suryohadiprojo,
yang
Memungkinkan Perbaikan Pendidikan Nasional, The Habibie Center.
13