Tatalaksana Dan Komplikasi.docx

  • Uploaded by: Livia Giovanni
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tatalaksana Dan Komplikasi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,085
  • Pages: 8
KOMPLIKASI Meningitis tuberkulosa dapat memberikan berbagai macam komplikasi seperti berikut: a) Kelumpuhan saraf otak Proses patologis pada meningitis tuberkulosa diawali oleh adanya reaksi hipersensitivitas terhadap pelepasan bakteri atau antigennya dari tuberkel ke dalam rongga subarakhnoid. Hal ini menyebabkan terbentuknya eksudat tebal dalam rongga subarakhnoid yang bersifat difus, terutama berkumpul pada basis otak. Eksudat berpusat di sekeliling fossa interpedunkularis, fissure silvii; meliputi kiasma optikus dan meluas di sekitar pons dan serebelum. Secara mikroskopis, awalnya eksudat terdiri dari leukosit polimorfonuklear, eritrosit, makrofag dan limfosit disertai timbulnya fibroblast dan elemen jaringan ikat. Eksudat yang tebal ini juga dapat menimbulkan kompresi pembuluh darah pada basis otak dan penjeratan saraf kranialis. Kelumpuhan saraf otak yang tersering ialah N VI, diikuti dengan N III, N IV dan N VII, dan bahkan dapat terjadi pada N VIII dan N II. Kerusakan pada N II berupa kebutaan, dapat disebabkan oleh lesi tuberkulosisnya sendiri yang terdapat pada N Optikus atau karena penekanan pada kiasma oleh eksudat peradangan atau karena akibat sekunder dari edema papil atau hidrosefalusnya. Neuropati optic ialah istilah umum untuk setiap kelainan atau penyakit yang mengenai saraf optic yang diakibatkan oleh proses inflamasi, infiltrasi, kompresi, iskemik, nutrisi maupun toksik. Neuropati optic toksik dapat terjadi karena paparan zat beracun, alcohol, atau sebagai akibat komplikasi dari terapi medikamentosa. Gejala klinisnya antara lain adanya penurunan tajam penglihatan yang bervariasi (mulai dari penurunan tajam penglihatan yang minimal sampai maksimal tanpa persepsi cahaya), gangguan fungsi visual berupa kelainan lapang pandang. Pada pengobatan tuberkulosis dapat terjadi neuropati optic, yang paling sering karena Etambutol, tetapi Isoniazid dan Streptomisin juga dapat menyebabkan hal tersebut. Kerusakan pada N VIII umumnya lebih sering karena keracunan obat streptomisinnya dibandingkan karena penyakit meningitis tuberkulosanya sendiri.

b) Arteritis Infiltrasi eksudat pada pembuluh darah kortikal atau meningel menyebabkan proses inflamasi yang terutama mengenai arteri kecil dan sedang sehingga menimbulkan vaskulitis. Secara mikroskopis, tunika adventitia pembuluh darah mengalami perubahan dimana dapat ditemukan sel-sel radang tuberkulosis dan nekrosis perkejuan, kadang juga dapat ditemukan bakteri tuberkulosis. Tunika intima juga dapat mengalami transformasi serupa atau mengalami erosi akibat degenerasi fibrinoid-hialin, diikuti proliferasi sel sub endotel reaktif yang dapat sedemikian tebal sehingga menimbulkan oklusi lumen. Vaskulitis dapat menyebabkan timbulnya spasme pada pembuluh darah, terbentuknya thrombus dengan oklusi vascular dan emboli yang menyertainya, dilatasi aneurisma mikotik dengan rupture serta perdarahan fokal. Vaskulitis yang terjadi menimbulkan infark serebri dengan lokasi tersering pada distribusi a. serebri media dan a. striata lateral.

c) Hidrosefalus Hidrosefalus merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dari meningitis tuberkulosa dan dapat saja terjadi walaupun telah mendapat terapi dengan respon yang baik. Hampir selalu terjadi pada penderita yang bertahan hidup lebih dari 4-6 minggu. Hidrosefalus sering menimbulkan kebutaan dan dapat menjadi penyebab kematian yang lambat. Perluasan inflamasi pada sisterna basal menyebabkan gangguan absorpsi CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans dan dapat pula terjadi hidrosefalus obstruksi (hidrosefalus non komunikans) akibat dari oklusi aquaduktus oleh eksudat yang mengelilingi batang otak, edema pada mesensefalon atau adanya tuberkuloma pada batang otak atau akibat oklusi foramen Luschka oleh eksudat. Hidrosefalus komunikans dan non komunikans dapat terjadi pada meningitis tuberkulosa. Adanya blok pada sisterna basalis terutama pada sisterna pontis dan interpedunkularis oleh eksudat tuberkulosis yang kental menyebabkan gangguan penyerapan CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans. Gejalanya antara lain ialah ataksia, inkontinensia urin dan demensia. Dapat juga terjadi hidrosefalus non komunikans (obstruktif) akibat penyumbatan akuaduktus atau foramen Luschka oleh eksudat yang kental. Gejala klinisnya ialah adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial seperti penurunan kesadaran, nyeri kepala, muntah, papiledema, refleks patologis (+) dan parese N VI bilateral.

d) Arakhnoiditis Adalah suatu proses peradangan kronik dan fibrous dari leptomeningen (arakhnoid dan pia mater). Biasanya terjadi pada kanalis spinalis. Arakhnoiditis spinal dapat terjadi karena tuberkulosa, terjadi sebelum maupun sesudah munculnya gejala klinis meningitis tuberkulosis. Bila tuberkel submeningeal pecah ke dalam rongga subarakhnoid, akan menyebabkan penimbunan eksudat dan jaringan fibrosa sehingga terjadi perlengketan di leptomeningen medulla spinalis. Gejala klinis timbul akibat adanya kompresi local pada medulla spinalis atau terkenanya radiks secara difus. Arakhnoiditis spinal paling sering mengenai pertengahan vertebra thorakalis, diikuti oleh vertebra lumbalis dan vertebra servikalis. Biasanya perlekatan dimulai dari dorsal medulla spinalis. Gejala pertama biasanya berupa nyeri spontan bersifat radikuler, diikuti oleh gangguan motorik berupa paraplegi atau tetraplegi. Gangguan sensorik dapat bersifat segmental di bawah level penjepitan. Kemudian dapat terjadi retensi kandung kemih. Pemeriksaan penunjang untuk arakhnoiditis dapat dengan mielografi. Bisa didapatkan blok parsial atau total, dapat juga memberikan gambaran tetesan lilin.

e) SIADH (Sindrome Inappropriate Anti Diuretic Hormon) SIADH adalah peningkatan anti diuretic hormon (arginine vasopressin) yang berhubungan dengan hiponatremia tanpa terjadinya edema maupun hipovolemia. Pengeluaran ADH tidak sejalan dengan adanya hipoosmolalitas. Pasien diduga SIADH jika konsentrasi urin > 300 mOsm/kg dan didapatkan hiponatremi tanpa adanya edema, hipotensi orthstatik, atau tanda-tanda dehidrasi. Semua penyebab hiponatremi lain harus sudah disingkirkan. SIADH merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pada meningitis tuberkulosis. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena reaksi peradangan lebih banyak pada basis otak atau basil TBC sendiri “host response” terhadap organisme penyebab. Terjadi peningkatan produksi hormon

antidiuretik dengan akibat terjadi retensi cairan yang dapat menimbulkan tanda-tanda intoksikasi cairan. Kriteria diagnostik : 1. kadar serum natrium <135 mEq/L 2. Osmolalitas serum <280 mOsm/L 3. Kadar natrium urin yang tinggi (biasanya > 18 mEq/L) 4. Rasio osmolalitas urin/serum meninggi hingga 1,5-2,5 : 1 5. Fungsi tiroid, adrenal, dan renal normal 6. Tidak ditemukan tanda-tanda dehidrasi Penderita biasanya normovolemik.

f)

Sekuele

Dapat terjadi sekuele hemiparesis spastik, ataksia, dan paresis saraf cranial persisten. Pada 50 % anak dengan kejang pada saat meningitis dapat meninggalkan sekuele gangguan kejang. Atrofi N Optikus dapat terjadi dengan gangguan visual yang bervariasi sampai buta total. Syringomielia dapat terjadi komplikasi pada masa konvalesen sebagai akibat dari vaskulitis pembuluh darah medulla spinalis karena mielomalasia iskemik. Berbagai gangguan endokrin dapat terjadi sebagai akibat dari arteritis atau kalsifikasi dan infark selanjutnya pada proksimal hipotalamus dan kelenjar pituitary.

TATA LAKSANA a) MENINGITIS BAKTERIALIS Antibiotika yang diberikan sesuai dengan panduan yang ada : Pasien Neonatus

Bakteri penyebab yang sering

Antibiotika

Streptokokus grup B, Listeria Ampisilin plus sefotaksim monocytogens, E. Coli

2 bulan-18 tahun

N. meningitides, Streptococcus Seftriakson atau pneumoniae, H. influenza

sefotaksim, dapat ditambahkan vankomisin

18-50 tahun

S. pneumoniae, N. meningitides

Seftriakson, dapat ditambahkan vankomisin

>50 tahun

S. pneumonia, L. monocytogens, Vankomisin ditambah bakteri gram negatif

ampisilin, ditambah seftriakson.

Dosis: Neonatus : dosis sesuai umur, berat dan prematuritas

Seftriakson : Anak : 100mg/kgBB/hari/IV atau IM dalam dosis terbagi q12h, dosis maksimum 2 gram/hari. Dewasa : 2 gram IV atau IM q12 h, dosis maksimum 4 gram sehari. Sefotaksim : Anak : 200 mg/kgBB/hari IV dibagi q6h. Dewasa: 2 gram/hari q4-6h. Dosis maksimum 12g/ hari. Vankomisin : Anak : 60 mg/kgBB/hari dibagi q6h. Dewasa : 1 gram IV q12h. Ampisilin : Anak: 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi q4h. Dewasa: 2 gram IV q4h. Dosis maksimum 12 g/ hari.

Pengobatan Meningitis Bakterial Akut : 1. Rejimen terapi empirik sesuai dengan usia, kondisi klinis dan pola resistensi antibiotika setempat (jika data tersedia). 2. Sesuaikan antibiotika segera setelah hasil kultur didapatkan. 3. Deksametason diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama antibiotika. Dosis dianjurkan adalah 0,15 mg/kgBB (10mg per pemberian pada orang dewasa) setiap 6 jam selama 2-4 hari. 4. Pertimbangkan merawat pasien di ruang isolasi, terutama jika diperkirakan penyebabnya adalah H. influenza atau N. meningitides. 5.

Pada kecurigaan infeksi N. meningitides diberikan kemoprofilaksis kepada a. Orang yang tinggal serumah. b. Orang yang makan dan tidur di tempat yang sama dengan pasien . c. Orang yang menggunakan sarana umum bersama dengan pasien dalam 7 hari terakhir. d. Murid sekolah yang sekelas dengan pasien. e. Petugas kesehatan yang ada kontak langsung dengan secret mulut dan hidung pasien dalam 7 hari terakhir.

Rejimen profilaksis pada infeksi N. meningitides Nama Obat

Dosis sesuai umur

Rifampisin

≤ 1 bulan: 5 mg/kgBB p.o > I bulan : 10mg/kgBB

(jangan diberikan pada ibu q12h untuk 2 hari

(maksimum 600mg) p.o

hamil, hati-hati pada ibu

q12h untuk 2 hari

yang minum obat KB)

Seftriakson

Siprofloksasin

≤ 12 tahun: 125 mg IM dosis >12 tahun: 250 mg IM tunggal

dosis tunggal

<18 tahun: tidak

≥ 18 tahun: 500 mg p.o

(jangan diberikan pada ibu direkomendasikan

dosis tunggal

hamil dan menyusui)

b) MENINGITIS TB : Rejimen pengobatan meningitis TB: Nama obat

Dosis

Catatan

Isoniazid (INH)

2 bulan pertama : 5 mg/kg p.o

Berikan

(maksimum 450 mg) plus 7

mg/hari untuk mencegah

bulan : 450 mg p.o

neropati perifer

Rifampisin (R)

Piridoksin

dosis 2 bulan pertama : 10 Paling

50

sering

mg/kg p.o (maksimum 600 mg) menyebabkan hepatitis plus 7 bulan: 600 mg p.o Pirazinamid (Z)

dosis 2 bulan pertama : 25 mg/kg p.o (maksimum 2 g/ hari)

Etambutol (E)

dosis

2

bulan

20mg/kg p.o

pertama

:

(maksimum 1,2

g/hari) Streptomisisn ( S)

dosis 20 mg/kg i.m ( maksimum Hanya 1 g/hari)

diberikan

pada

pasien yang mempunyai riwayat pengobatan TB sebelumnya.

Kortikosteroid dianjurkan untuk diberikan pada setiap kecurigaan meningitis TB, tanpa memperhatikan stadium penyakit. Berikut cara pemberian steroid : Kortikosteroid ( deksametason) 

Grade I Minggu 1: 0,3 mg/kg BB/hari i.v Minggu 2: 0,2 mg/kg BB/hari i.v Minggu 3: 0,1 mg/kg BB/hari i.v Minggu 4: 3 mg/hari p.o Minggu 5: 2 mg/hari p.o

Minggu 6: 1 mg/hari p.o 

Grade II atau III Minggu 1: 0,4 mg/kg BB/hari i.v Minggu 2: 0,3 mg/kg BB/hari i.v Minggu 3: 0,2 mg/kg BB/hari i.v Minggu 4: 0,1 mg/kg BB/hari i.v Minggu 5: 4 mg/hari p.o Minggu 6: 3 mghari p.o Minggu 7: 2 mg/hari p.o Minggu 8: 1 mg/hari p.o Pemberian dengan metoda ini terbukti menurunkan angka kematian, namun tidak mengurangi

sekuele meningitis jika sudah sempat terbentuk defisit neurologi pada perjalanan klinisnya. Efektivitas steroid pada pasien HIV belum terbukti. Pemberian ARV pada pasien HIV dengan infeksi meningitis TB mengikuti petunjuk : 1. Jika meningitis TB didiagnosis lebih dahulu dari diagnosis HIV, maka terapi TB didahulukan, dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Jika CD4 > 100: ART dapat ditunda hingga selesai fase intensif pengobatan TB ( setelah 2 bulan pemberian OAT) b. Jika CD4 < 100: ART dimulai lebih awal, umumnya dianjurkan minimal 2 minggu setelah OAT diberikan. Meskipun penelitian yang lebih baru menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang terlalu nyata antara kelompok pasien yang menunda ARV dengan yang menyegerakan ARV, sampai saat ini guidelines yang dipakai adalah seperti yang disebutkan di atas. 2. Jika ada pasien yang diketahui menderita HIV didapatkan tanda meningitis T, maka terapi TB dapat dimulai kapan saja. 

Non-farmakologis

o

Penderita sebaiknya dirawat di perawatan intensif

o

Perawatan penderita meliputi kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi, posisi penderita, perawatan kandung kemih, dan defekasi. c) MENINGITIS KRIPTOKOKUS Terapi antijamur yang dianjurkan : a) Fase induksi : amfoterisin B deoksikolat IV dengan dosis 0,7-1 mg/kgBB/hari ditambah flusitosin 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis PO selama 14 hari

b) Fase maintenance : Flukonazol 400 mg/hari slama minimal 8 minggu c) Selanjutnya dapat diberikan flukonazol 200 mg/hari seumur hidup atau sampai CD4 mencapai >200 selama 6 bulan berturut-turut

Terapi alternatif yang berdasarkan bukti ilmiah adalah berturut-turut: a) Amfoterisin deoksikolat (0,7-1,0 mg/kg per hari IV), amfoterisin B liposomal (3-4 mg/kg per hari IV), atau amfoterisin B lipid complex/ABLC (5 mg/kg per day IV) selama 4-6 minggu. Pada kasus kegagalan terapi atau jumlah jamur yang terlalu banyak dapat diberikan amfoterisin liposomal 6 mg/kgBB. b) Amfoterisin B deoksikolat (0,7 mg/kg per hari IV) plus flukonazol (800 mg per hari) untuk 2 minggu diikuti dengan pemberian flukonazol oral (800 mg perhari) untuk minimal 8 minggu. c) Flukonazol (>800 mg per hari PO; lebih dianjurkan dosis 1200 mg per hari) plus flusitosin (1100 mg/kg per hari PO) untuk 6 minggu d) Flukonazol (800-2000 mg/kg per hari PO) untuk 10-12 minggu; jika flukonazol digunakan tanpa flusitosin, dianjurkan pemberian > 1200 mg/hari

Terapi maintenance yang dianjurkan: a) Flukonazol (200 mg per hari PO) b) Itrakonazol (200 mg 2 kali sehari PO); kadar obat harus terus dipantau c) Amfoterisin B deoksikolat (1 mg/kg per hari IV); kurang efektif dianding golongan azol dan seringkali menyebabkan infeksi/fleitis; digunakan untuk pasien yang tidak tahan golongan azol

Rejimen yang biasa digunakan di Bandung adalah : a) Fase awal : flukonazol 800mg/hari selama sekurangnya 12 minggu b) Selajutnya diberikan flukonazol 200mg/hari seumur hidup atau sampai angka CD4 > 200 selama 6 bulan berturut-turut

ARV diberikan setelah 2-10 minggu pemberian terapi anti jamur. Pemberian terlalu cepat dapat menyebabkan IRIS. Terapi supresi atau maintenance dapat dipertimbangkan untuk dihentikan apabila CD4 sudah > 100, namun jika CD4 menurun < 100 berikan terapi kembali.

d) MENINGITIS VIRAL -

Seringkali semuh dengan sendirinya pengobatan hanya ditujukan kepada pengobatan simptomatik

-

Manfaat obat antiviral tidak diketahui secara pasti

-

Kenaikan tekanan intrakranial yang simtomatik dapat diterapi dengan tindakan LP (kalau perlu dilakukan berulang)

Related Documents


More Documents from "Dany Dias"