CASE SCIENCE SESSION “MENINGITIS”
Disusun Oleh: Andrian
(130112150517)
Dwi Putri Permatasari
(130112150513)
Firmandiyara Angkasa
(130112150505)
Preseptor: Dr. Paulus Anam Ong, dr., Sp.S (K)
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2017 1
MENINGITIS
Pendahuluan Meningitis merupakan masalah kesehatan besar di Indonesia yang meningkatkan angka kematian bayi dan balita. Meningitis sangat berbahaya bagi anak yang dapat menyebabkan kecacatan seperti tuli, lumpuh, keterbelakangan mental, dan kematian. Meningitis adalah suatu infeksi yang mengenai arakhnoid, piameter, dan cairan serebrospinal di dalam sistem ventrikel yang dapat terjadi secara akut ataupun kronis. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, atau fungi, dan pathogen spesifik yang terlibat dalam proses infeksi ini bergantung pada banyak faktor, khususnya umur dan status imun tubuh. Namun, secara keseluruhan meningitis viral lebih banyak ditemukan daripada meningitis bakterialis. Meningitis fungal terutama menyerang orang yang imunokompromis. Kasus terberat meningitis disebabkan oleh bakteri, yang sebagian besar merupakan flora normal hidung dan tenggorokan yang terkadang menyebar ke dalam pembuluh darah menuju meningen menimbulkan manifestasi klinis. Kadang-kadang keberadaan bakteri di dalam darah menyebabkan syok septik sebagai hasil septikemia. Dari hasil laporan kasus, bakteri penyebab meningitis terbanyak adalah Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria meningitidis atau meningococcus yang merupakan bakteri penyebab meningitis yang paling berbahaya yang merupakan sebab utama morbiditas dan mortalitas dari infeksi bakteri akut di seluruh dunia. Differential diagnosis dari meningitis adalah : -
Toxic Encepalopathy
-
Infeksi sistemik
-
Infeksi virus akut pada SSP (Enchepalitis, Myelitis)
-
Infeksi parasit pada SSP ( malaria serebral, Cysticercosis serebral, Toxoplasma)
SISTEM VENTRIKULER Rongga di dalam otak yang disebut ventrikel berisi cairan cerebrospinal (CSS). CSS dibentuk oleh jaringan khusus didalam ventrikel yang disebut pleksus choroideus (Gilman, 1992). Sistem ventrikular otak (Gambar 1) dibentuk terutama oleh empat ventrikulus, terdiri dari dua ventrikel lateral dan ventrikel ketiga serta keempat yang tidak berpasangan. Ventrikel lateral adalah bagian terbesar sistem ventrikular dan menempati bagian luas hemispherium cerebri (Moore, 2002). Masing-masing ventrikel lateral mempunyai kornu anterior, sela media, kornu posterior, dan kornu inferior atau temporal. Kedua ventrikel tersebut berhubungan dengan ventrikel ketiga melalui foremen Monro atau foramen interventrikularis (Duus, 1996). Ventrikel ketiga berupa celah yang sempit antara
2
bagian diencephalon dextrum dan sinistrum yang dihubungkan dengan ventrikel keempat melaului akuaduktus Sylvii (aquaductus cerebri). Ventrikulus keempat dalam bagian posterior pons dan dalam medulla oblongata meluas ke arah postero-inferior, lalu beralih menjadi canalis sentralis dalam bagian inferior medulla oblongata dan seluruh medulla spinalis (Moore, 2002) Ventrikel keempat berhubungan dengan rongga subarachnoid melalui tiga foramen: dua foramen Luschka dan satu foramen Magendie (Duus, 1996). Foramen Luschka terletak pada atap resesus lateralis ventrikel keempat, sedangkan foramen Magendie terletak pada garis tengah dari atap ventrikel keempat (Gilman, 1992). CSS mengalir dari tempat dibentuknya di ventrikel melalui lengkungan cerebrum menuju tempat absobsinya di ganulasi arakhnoid pada sinus sagitalis (Young, 1997). Jika jalan ini tersumbat, ventrikulus menggembung, dan menyebabkan kompresi terhadap hemispherium cerebri (Moore, 2002) Ruang subarachnoid melingkupi cerebrum, cerebellum dan corda spinalis. Ruang ini terisi CSS untuk menyokong dan memberi nutrisi pada struktur didalamnya, yang terdiri dari arteri, vena, dan saraf kranial. Sisterna subarakhnoid merupakan perluasan ruang subarachnoid pada sepanjang permukaan ventral batang otak dan dasar otak depan ( Young, 1997). Sisterna-sisterna subarakhnoidal utama ialah:
Cisterna cerebellomedularis atau cisterna magna, merupakan kompartemen sisterna terbesar. Terletak posterior medulla, inferior cerebellum, dan pada atap ventriculus quartus (Moore, 2002)(Young, 1997).
Cisterna pontis terdapat pada permukaan anterior pons dan medulla oblongata
Cisterna interpendicularis terletak antara kedua pedunculus cerebri mesencephalon
Cisterna superior terletak antara bagian posterior corpus callosum dan permukaan superior cerebellum (Moore, 2002). Sumber pembuatan CSS untama adalah plexus choroideus. Plexus choroideus terletak dalam
atap-atap ventriculus tertius dan ventrikulus quartus, dan pada dasar tanduk dan badan kedua ventrikulus lateralis. Meskipun plexus choroideus merupakan sumber utama CSS dan villi arachnoidea merupaka tempat resopsi CSS terpenting, di tempat lain (misalnya, melalui pelapis ventrikulus) terjadi pertukaran antara plasma darah dan CSS. CSS dari ventriculus lateralis dan ventriculus tertius mengalir ke dalam ventriculus quartus melalui aqueductus mesencephali (aquaductus cerebri). CSS meninggalkan ventrikulus quartus melalui lubang median dan lateral dan kemudian memasuki spatium subarachnoideum, dan tertimbun dalam cisterna cerebellomedullaris dan cisterna pontis. Dari sisternasisterna ini sebagian CSS mengalir ke inferior, ke spatium subarachnoideum sekeliling medula spinalis dan ke arah posterior-superior melewati cerebellum. Namun, CSS terbanyak mengalir ke dalam cisterna interpeduncularis dan cisterna superior. CSS dari berbagai cisterna menyebar ke arah superior melalui celah-celah dan fisur-fisur pada permukaan medial dan superolateral hemisfer cerebrum. CSS juga
3
memasuki perluasan spatium subarachnoideum sekitar nervi cranialis, antara lain yang terpenting adalah perluasan sekeliling kedua nervus opticus (Moore, 2002). Lokasi resorpsi CSS ke dalam sisitem vena yang terpenting ialah melalui villi arachnoidea (tonjolan-tonjolan arachnoidea ke dalam dinding sinus durae matris, terutama sinus sagittalis superior dan lacuna lateralis. Dengan meningkatnya usia, villi arachnoidea mengalami hipertrofi, dan lalu disebut granulationes arachnoidea (Pacchioni) (Moore, 2002).
Gambar 1: Rongga-rongga ventrikel otak
A. Pandangan lateral, B. Pandangan anterior, C. Pandangan superior (Snell,1996
Klasifikasi, Etiologi, dan Faktor Risiko Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan serebrospinal yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang selaput otak arachnoid dan piamater yang disertai cairan serebrospinalis yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa, dan disebut juga sebagai meningitis tuberkulosis. Penyebab lain seperti lues, virus, Toxoplasma gondii, Ricketsia, maupun jamur.
4
Meningitis purulenta adalah radang bernanah arachnoid dan piamater yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.
Meningitis purulenta akut Etiologi:
Streptococcus pneumonia (50%) Faktor risiko:
Infeksi pneumonia pneumokokus
Infeksi pneumokokus lainnya (sinusitis, otitis medis)
Alkoholisme
Diabetes
Splenektomi
Hipogammaglobulinemia
Trauma kepala dengan fraktur basis cranii dan rnorhea cairan serebrospinal
Neisseria meningitides (25%) Faktor risiko: tidak vaksinasi meningitis
Streptococcus grup B (15%) Faktor risiko:
Otitis
Mastoiditis
Sinusitis akibat streptococcus sp
Listeria monocytogenes (10%) Faktor risiko:
Usia nenonatus (<1 bulan)
Perempuan hamil
Dewasa usia >60 tahun
Individu dengan imunokompromis
H. influenza Faktor risiko: usia anak-anak
Mengingitis serosa (sub akut) Etiologi:
Mycobacterium tuberculosis Faktor risiko: penyebaran hematogen dari infeksi TB primer
Meningitis fungal (C. neoformans)
5
Faktor risiko: Terdapat infeksi jamur pada paru sebelumnya (penularan spora jamur melalui udara)
Treponema pallidum Faktor risiko: terdapat infeksi menular seksal sifilis
Meningitis aseptik Etiologi:
Enterovirus: coxsackieviruses, echoviruses, human enteroviruses
Virus herpes simpleks 2
Arthropod-borne viruses
Tanda dan Gejala Munculnya tanda dan gejala mengitis dapat bersifat akut maupun sub akut (kronis). Sindroma akut biasanya muncul dalam beberapa jam sampai beberapa hari (umumnya <3 hari). Keluhan yang dapat dikeluhkan pasien antara lain nyeri kepala, kaku kuduk, fotofobia, dan penurunan kesadaran (dapat berupa gejala iritabilitas atau somnolen-sopor-koma). Gejala akut ini dapat didahului oleh adanya infeksi saluran napas atas beberapa hari sebelum manifestasi muncul. Penyebabnya berupa infeksi bakteri maupun virus. Diagnosis banding dari sindroma akut adalah systemic lupus erythematousus dan penyakit behcet. Sindroma sub akut perjalanan penyakitnya tidak progresif, dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Keluhan dapat berupa nyeri kepala dan panas badan, namun tidak sehebat meningitis akut. Penyebabnya berupa meningitis tuberculosis, meningitis kriptokokus, lupus, vaskulitis di sistem saraf pusat, dan ensefalopati metabolic toksik. Diagnosis banding dari sindroma sub akut adalah meningitis akut rekuren dan ensefalopati karena hiponatremia.
Gejala klasik: o
Panas badan
o
Nyeri badan
o
Kaku kuduk
Gejala umum o
Penurunan kesadaran
o
Defisit neurologis fokal:
Kejang
Hemiparesis
Edema papil
6
MENINGITIS PURULENTA (BAKTERIALIS) Patogenesis Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui: •
Hematogen, oleh karena infeksi dari tempat lain seperti faringitis, tonsilitis, endokarditis, pneumonia, dan infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada di dalam cairan otak
•
Perkontinuitatum, perluasan dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus
paranasalis,
mastoid, dan abses otak •
Implantasi langsung trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal
•
Infeksi bakteria transplasental
Sebagian besar infeksi SSP terjadi akibat penyebaran secara hematogen. Saluran napas merupakan port d’entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen diawali dengan perlekatan bakteri pada sel epitel mukosa nasofaring, mengadakan kolonisasi, kemudian menembus rintangan mukosa dan memperbanyak diri dalam aliran darah, dan menimbulkan bakteremia. Selanjutnya bakteri masuk kedalam CSS dan memperbanyak diri di dalamnya. Bakteri ini menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak. Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subarakhnoid masih belum diketahui. Salah satu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah/konsentrasi bakteri dalam darah. Virulensi kuman mungkin merupakan faktor yang penting didalam invasi bakteri ke dalam SSP. Pelepasan lipopolisakarida dari N. meningitidis merupakan salah satu faktor yang menentukan patogenitas organisme ini. Setelah terjadi invasi ke dalam ruang subarakhnoid, bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari proses supuratif lokal dalam SSP.
Patofisiologi Mekanisme pertahanan didalam ruang subarakhnoid Jika bakteri meningen patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid, maka berarti mekanisme pertahanan tubuh tidak adekuat. Pada umumnya didalam CSS yang normal, kadar dari beberapa komplemen adalah negatif atau minimal. Inflamasi meningen mengakibatkan sedikit peningkatan konsentrasi komplemen. Konsentrasi komplemen ini memegang peranan penting dalam opsonisasi dari patogen meningen tidak berkapsul, suatu proses yang penting untuk terjadinya fagositosis. Aktivitas opsonik dan bakterisidal tidak didapatkan atau hampir tidak terdeteksi pada pasien dengan meningitis.
Induksi inflamasi ruang subarakhnoid. Lipopolisakarida menyebabkan inflamasi melalui perannya dalam pelepasan mediator inflamasi seperti IL-1 dan TNF ke dalam CSS.
7
Perubahan dari sawar darah otak Perubahan dari permeabilitas sawar darah otak merupakan akibat dari vasogenic cerebral edema, peningkatan volume CSS, peningkatan tekanan intrakranial dan kebocoran protein plasma ke dalam CSS.
Peningkatan tekanan intrakranial Peningkatan tekanan intrakranial merupakan akibat dari kombinasi keadaan edema cerebri, peningkatan volume CSS dan peningkatan dari volume darah cerebral
Perubahan dari cerebral blood flow Abnormalitas dari cerebral blood flow disebabkan oleh peninggian tekanan intra kranial, hilangnya autoregulasi, vaskulitis dan trombosis dari arteri, vena dan sinus cerebri
Manifestasi Klinis •
Trias klasik meningitis: demam, nyeri kepala, kaku kuduk
•
Manifestasi klinis dari meningitis bakterialis dikelompokkan menjadi 2: –
tanda neurologis
: gangguan kesadaran, kelumpuhan saraf kranial, defisit neurologis
fokal, dan kejang – •
tanda meningen
: kaku kuduk, Kernig sign, Laseque sign, dan Brudzinski sign
Iritasi dan kerusakan saraf kranial: selubung saraf yang terinflamasi –
N. II
: papil edema, kebutaan, , defisit lapang pandang,
–
N. III, IV, VI
: ptosis, diplopia
–
N. V
: fotofobia
–
N. VII
: paresis fasial
•
Pusat muntah teriritasi: muntah yang proyektil
•
Kebingungan dan penurunan respon
•
Meningitis meningococcal: petekie, rash purpura (Sindroma Waterhouse-Friedrechsen)
•
Peningkatan tekanan intrakranial: papil edema, delirium sampai dengan tidak sadar
•
Komplikasi neurologis yang dapat terjadi antara lain:
8
•
–
ventrikulitis
–
abses otak
–
paresis
–
hidrosefalus
–
epilepsi
Tanda komplikasi non neurologis : –
artritis
–
SIADH
9
Pada Dewasa dan Anak-Anak •
Tanda klinis awal: demam, nyeri kepala, kekakuan leher, konvulsi umum dan gangguan kesadaran.
•
Tanda Kernig Laseque tidak selalu muncul.
•
Diagnosa sulit: demam dan sakit kepala, atau hanya gejala nyeri di leher atau abdomen atau keadaan febris dengan kebingungan dan delirium, sedangkan gejala kaku kuduk belum muncul.
•
Pada anak-anak: infeksi subakut yang memburuk beberapa hari setelah infeksi telinga atau infeksi saluran pernafasan atas, atau sebagai infeksi fulminan akut .
•
Pada lansia: subfebris dengan kebingungan atau perubahan perilaku yang ringan.
Pada Bayi dan Neonatus •
Tanda dan gejala dapat tidak terlihat dan non-spesifik .
•
Tanda awal: subfebris dan perubahan perilaku ringan demam tinggi, letargi, iritabilitas, hipotermi, kejang, menonjolnya fontanel, malas menyusu, muntah, dan respiratory distress dapat terjadi.
•
Tanda iritasi meningen pada akhir perjalanan penyakit.
•
Dapat ditemukan efusi subdural unilateral maupun bilateral. Umur yang muda, evolusi penyakit yang cepat, jumlah PMN yang rendah, dan peningkatan protein yang bermakna pada CSS berhubungan dengan pembentukan efusi.
Hubungan tanda klinis tertentu dengan bakteri penyebab: Meningitis Haemophilus
Meningitis Meningococcal
Meningitis Pneumococcal
neonatus & anak
anak & dewasa
dewasa
didahului
telinga
infeksi gejala penyerta: delirum dan didahului oleh infeksi pada
dan
saluran
pernafasan atas
onset:
tiba-tiba
&
singkat
prognosis
umumnya baik
mortalitas <5%
pada
stupor dalam hitungan jam;
paru, telinga, sinus, atau
petekie, purpura, & ekimosis;
katup jantung
terdapat syok sirkulasi, DIC; dicurigai
pada
penderita
terutama jika sedang terjadi
yang alkoholik, splenektomi,
wabah
dimana
meningitis bakterial yang
kuman terdapat di nasofaring
rekuren, sickle cell anemia,
onset gradual prognosis
dan fraktur tulang tengkorak
epidemik
baik
basiler
onset tiba-tiba + septikemia prognosis biasanya buruk prognosis buruk mortalitas 10%
bila diikuti koma, kejang, dan peningkatan protein CSS
10
mortalitas 20% Tanda lokalisatorik yang khas untuk meningitis purulenta pada umumnya adalah kaku kuduk dan likuor yang memperlihatkan ciri- ciri: 1. Pleositosis polinuklearis (PMN) yang berjumlah lebih dari 1000/mm3 2. Kadar glukosa yang rendah karena digunakan dalam metabolisme bakteri 3. Protein dalam liquor meninggi 4. Preparat dan biakan liquor menperlihatkan adanya bakteri penyebab.
MENINGITIS SEROSA
MENINGITIS TUBERKULOSA
Penyakit ini dapat dibagi ke dalam beberapa stadium, yaitu :
Stadium I: nyeri kepala, gelisah, anoreksia, demam, gangguan tingkah laku
Stadium II: gejala TTIK, defisit neurologis fokal (parese N. II, IV, VI, VII), meningismus ( hemiparesis, qudraparesis, ataksia, disartria)
Stadium III: demam tinggi, respirasi iregular, distonia, koma
Patofisiologi Meningitis tuberkulosa tidak berkembang secara akut dari penyebaran tuberkel bacilli ke meningen secara hematogen, melainkan merupakan hasil dari pelepasan tuberkel bacilli ke dalam rongga subarakhnoid dari lesi kaseosa subependimal. Selama fase inisial dari infeksi, sejumlah kecil tuberkel berukuran seperti biji tersebar di dalam substansi otak dan meningen. Tuberkel-tuberkel ini cenderung membesar dengan bersatu dan tumbuh besar, dan biasanya caseating, lembut dan membentuk eksudat. Kemungkinan lesi kaseosa untuk menyebabkan meningitis ditentukan dari kedekatan jarak lesi dengan rongga subarakhnoid dan kecepatan enkapsulasi fibrosa berkembang akibat resistensi imun dapatan. Foci caseosa subependymal dapat terus tak bergejala selama berbulan-bulan bahkan tahunan tetapi kemudian dapat menyebabkan meningitis melalui pelepasan bacilli dan antigen tuberkel ke dalam rongga subarakhnoid.
Gambaran Klinis Gambaran klinis meningitis tuberkulosa dapat berupa sindroma meningitis akut memberikan gejala koma, peningkatan tekanan intrakranial, kejang dan defisit neurologis fokal atau berupa slowly progressive dementing illness. Ketika infeksi berupa sindroma meningitis akut, tanda dan gejala karakteristiknya adalah
11
nyeri kepala, malaise, meningismus, papil edema, muntah, bingung, kejang, dan defisit saraf kranial. Pasien dirawat dengan letargi atau stupor dapat menjadi koma dalam hitungan hari. Demam dapat muncul, dapat pula tidak muncul. Meningitis tuberkulosa dapat pula tampak sebagai slowly progressive dementing illness dengan defisit memori dan perubahan perilaku yang khas pada penyakit lobus frontalis, berupa abulia, dan inkontinensia urin dan fecal. Bentuk ini merupakan bentuk meningitis tuberkulosa yang banyak ditemukan. Defisit saraf kranialis dan konvulsi juga terjadi pada meningitis tuberkulosa subakut. Kadang ada riwayat anorexia, batuk, berkeringat pada malam hari dan penurunan berat badan dalam waktu beberapa hari sampai beberapa bulan, akibat perkembangan gejala infeksi susunan saraf pusat. Ensefalopati tuberkulosa juga dijelaskan sebagai sindroma konvulsi, stupor atau koma, gerakan involunter, paralysis, dan spasme atau rigiditas deserebrasi dengan atau tanpa gejala klinis meningitis atau kelainan CSS pada meningitis tuberkulosa. Secara patologis tampak edema difus dari cerebral white matter dengan hilangnya neuron dalam gray matter, leukoencephalopathy hemorrhagic, atau encephalomyelitis demyelinating pasca infeksi. Sindroma ini terutama tampak pada anak dengan tuberkulosis milier atau diseminata.
Tanda dan Gejala Meningitis Tuberkulosa Gejala
Tanda
Prodromal
Adenopati (paling sering servikal)
Anorexia
Suara tambahan pada auskultasi paru (apices)
Penurunan berat badan
Tuberkel koroidal
Batuk
Demam (paling tinggi pada sore hari)
Keringat malam hari
Rigiditas nuchal Papil edema
CNS
Defisit neurologis fokal
Nyeri kepala
tuberculin skin test (+)
Meningismus Perubahan tingkat kesadaran
KOMPLIKASI MENINGITIS Meningitis tuberkulosa dapat memberikan berbagai macam komplikasi seperti berikut: •
Kelumpuhan saraf otak Proses patologis pada meningitis tuberkulosa diawali oleh adanya reaksi hipersensitivitas terhadap
pelepasan bakteri atau antigennya dari tuberkel ke dalam rongga subarakhnoid. Hal ini menyebabkan
12
terbentuknya eksudat tebal dalam rongga subarakhnoid yang bersifat difus, terutama berkumpul pada basis otak. Eksudat berpusat di sekeliling fossa interpedunkularis, fissure silvii; meliputi kiasma optikus dan meluas di sekitar pons dan serebelum. Secara mikroskopis, awalnya eksudat terdiri dari leukosit polimorfonuklear, eritrosit, makrofag dan limfosit disertai timbulnya fibroblast dan elemen jaringan ikat. Eksudat yang tebal ini juga dapat menimbulkan kompresi pembuluh darah pada basis otak dan penjeratan saraf kranialis. Kelumpuhan saraf otak yang tersering ialah N VI, diikuti dengan N III, N IV dan N VII, dan bahkan dapat terjadi pada N VIII dan N II. Kerusakan pada N II berupa kebutaan, dapat disebabkan oleh lesi tuberkulosisnya sendiri yang terdapat pada N Optikus atau karena penekanan pada kiasma oleh eksudat peradangan atau karena akibat sekunder dari edema papil atau hidrosefalusnya. Neuropati optic ialah istilah umum untuk setiap kelainan atau penyakit yang mengenai saraf optic yang diakibatkan oleh proses inflamasi, infiltrasi, kompresi, iskemik, nutrisi maupun toksik. Neuropati optic toksik dapat terjadi karena paparan zat beracun, alcohol, atau sebagai akibat komplikasi dari terapi medikamentosa. Gejala klinisnya antara lain adanya penurunan tajam penglihatan yang bervariasi (mulai dari penurunan tajam penglihatan yang minimal sampai maksimal tanpa persepsi cahaya), gangguan fungsi visual berupa kelainan lapang pandang. Pada pengobatan tuberkulosis dapat terjadi neuropati optic, yang paling sering karena Etambutol, tetapi Isoniazid dan Streptomisin juga dapat menyebabkan hal tersebut. Kerusakan pada N VIII umumnya lebih sering karena keracunan obat streptomisinnya dibandingkan karena penyakit meningitis tuberkulosanya sendiri. •
Arteritis Infiltrasi eksudat pada pembuluh darah kortikal atau meningel menyebabkan proses inflamasi yang
terutama mengenai arteri kecil dan sedang sehingga menimbulkan vaskulitis. Secara mikroskopis, tunika adventitia pembuluh darah mengalami perubahan dimana dapat ditemukan sel-sel radang tuberkulosis dan nekrosis perkejuan, kadang juga dapat ditemukan bakteri tuberkulosis. Tunika intima juga dapat mengalami transformasi serupa atau mengalami erosi akibat degenerasi fibrinoidhialin, diikuti proliferasi sel sub endotel reaktif yang dapat sedemikian tebal sehingga menimbulkan oklusi lumen. Vaskulitis dapat menyebabkan timbulnya spasme pada pembuluh darah, terbentuknya thrombus dengan oklusi vascular dan emboli yang menyertainya, dilatasi aneurisma mikotik dengan rupture serta perdarahan fokal. Vaskulitis yang terjadi menimbulkan infark serebri dengan lokasi tersering pada distribusi a. serebri media dan a. striata lateral.
13
•
Hidrosefalus Hidrosefalus merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dari meningitis tuberkulosa dan dapat
saja terjadi walaupun telah mendapat terapi dengan respon yang baik. Hampir selalu terjadi pada penderita yang bertahan hidup lebih dari 4-6 minggu. Hidrosefalus sering menimbulkan kebutaan dan dapat menjadi penyebab kematian yang lambat. Perluasan inflamasi pada sisterna basal menyebabkan gangguan absorpsi CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans dan dapat pula terjadi hidrosefalus obstruksi (hidrosefalus non komunikans) akibat dari oklusi aquaduktus oleh eksudat yang mengelilingi batang otak, edema pada mesensefalon atau adanya tuberkuloma pada batang otak atau akibat oklusi foramen Luschka oleh eksudat. Hidrosefalus komunikans dan non komunikans dapat terjadi pada meningitis tuberkulosa. Adanya blok pada sisterna basalis terutama pada sisterna pontis dan interpedunkularis oleh eksudat tuberkulosis yang kental menyebabkan gangguan penyerapan CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans. Gejalanya antara lain ialah ataksia, inkontinensia urin dan demensia. Dapat juga terjadi hidrosefalus non komunikans (obstruktif) akibat penyumbatan akuaduktus atau foramen Luschka oleh eksudat yang kental. Gejala klinisnya ialah adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial seperti penurunan kesadaran, nyeri kepala, muntah, papiledema, refleks patologis (+) dan parese N VI bilateral. •
Arakhnoiditis Adalah suatu proses peradangan kronik dan fibrous dari leptomeningen (arakhnoid dan pia mater).
Biasanya terjadi pada kanalis spinalis. Arakhnoiditis spinal dapat terjadi karena tuberkulosa, terjadi sebelum maupun sesudah munculnya gejala klinis meningitis tuberkulosis. Bila tuberkel submeningeal pecah ke dalam rongga subarakhnoid, akan menyebabkan penimbunan eksudat dan jaringan fibrosa sehingga terjadi perlengketan di leptomeningen medulla spinalis. Gejala klinis timbul akibat adanya kompresi local pada medulla spinalis atau terkenanya radiks secara difus. Arakhnoiditis spinal paling sering mengenai pertengahan vertebra thorakalis, diikuti oleh vertebra lumbalis dan vertebra servikalis. Biasanya perlekatan dimulai dari dorsal medulla spinalis. Gejala pertama biasanya berupa nyeri spontan bersifat radikuler, diikuti oleh gangguan motorik berupa paraplegi atau tetraplegi. Gangguan sensorik dapat bersifat segmental di bawah level penjepitan. Kemudian dapat terjadi retensi kandung kemih. Pemeriksaan penunjang untuk arakhnoiditis dapat dengan mielografi. Bisa didapatkan blok parsial atau total, dapat juga memberikan gambaran tetesan lilin. •
SIADH (Sindrome Inappropriate Anti Diuretic Hormon) SIADH adalah peningkatan anti diuretic hormon (arginine vasopressin) yang berhubungan dengan
hiponatremia tanpa terjadinya edema maupun hipovolemia. Pengeluaran ADH tidak sejalan dengan adanya
14
hipoosmolalitas. Pasien diduga SIADH jika konsentrasi urin > 300 mOsm/kg dan didapatkan hiponatremi tanpa adanya edema, hipotensi orthstatik, atau tanda-tanda dehidrasi. Semua penyebab hiponatremi lain harus sudah disingkirkan. SIADH merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pada meningitis tuberkulosis. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena reaksi peradangan lebih banyak pada basis otak atau basil TBC sendiri “host response” terhadap organisme penyebab. Terjadi peningkatan produksi hormon antidiuretik dengan akibat terjadi retensi cairan yang dapat menimbulkan tanda-tanda intoksikasi cairan. Kriteria diagnostik : 1. kadar serum natrium <135 mEq/L 2. Osmolalitas serum <280 mOsm/L 3. Kadar natrium urin yang tinggi (biasanya > 18 mEq/L) 4. Rasio osmolalitas urin/serum meninggi hingga 1,5-2,5 : 1 5. Fungsi tiroid, adrenal, dan renal normal 6. Tidak ditemukan tanda-tanda dehidrasi Penderita biasanya normovolemik. •
Sekuele Dapat terjadi sekuele hemiparesis spastik, ataksia, dan paresis saraf cranial persisten. Pada 50 % anak
dengan kejang pada saat meningitis dapat meninggalkan sekuele gangguan kejang. Atrofi N Optikus dapat terjadi dengan gangguan visual yang bervariasi sampai buta total. Syringomielia dapat terjadi komplikasi pada masa konvalesen sebagai akibat dari vaskulitis pembuluh darah medulla spinalis karena mielomalasia iskemik. Berbagai gangguan endokrin dapat terjadi sebagai akibat dari arteritis atau kalsifikasi dan infark selanjutnya pada proksimal hipotalamus dan kelenjar pituitary.
MENINGITIS VIRAL
Penyebab utama meningitis viral adalah Enterovirus (echovirus dab Coxsackie virus), HSV 2, HIV, Mumps, dan adenovirus. Virus lain yang juga penyebab dari meningitis viral adalah EBV, CMV, Leptospira, dan HSV. Virus masuk ke dalam tubuh manusia dengan berbagai macam cara sebelum mereka mencapai pembuluh darah. Virus mumps, measles, dan VZV adalah virus yang masuk melalui jalur pernafasan. Polio virus dan enterovirus masuk melalui rute Oral-Intestinal dimana mereka bereplikasi terlebih dahulu di sistem limfatik pada sistem pencernaan yaitu Payer’s Patches sebelum masuk ke dalam aliran darah. HSV
15
merupakan virus yang masuk melalui rute oral/genital mucosa. Selain itu ada beberapa virus yang masuk ke dalam tubuh manusia secara transplacentally seperti CMV, HIV, dan rubella. Selain melalui aliran darah, infeksi pada meningen ini dapat terjadi karena infeksi secara retrograde axoplasmic transport system infection sepanjang saraf perifer dan akhirnya sampai pada meningen. Hal ini seperti yang dilakukan oleh HSV, VZV, dan rabies virus. Ketika virus berhasil masuk ke pembuluh darah maka akan terjadi systemic illness yang ditandai dengan migraine dan sakit kepala ataupun demam. Sebelum virus tersebut dapat membuat reaksi inflamasi di meninges virus tersebut harus dapat menempel (attached) pada spesifik reseptor yang dimiliki oleh membrane sitoplasma host lalu virus harus dapat penetrasi cell dengan endositosis dan mengeluarkan protective nucleoprotein coating. Selanjutnya virus akan bereplikasi dengan memakai bahan bahan metabolic yang dimiliki oleh sel host baik. Setelah mencapai infecting dose, reaksi inflamasi akan muncul dan selanjutnya diikuti dengan keluarnya sitokin IL-1 dan TNF. Terjadinya iritasi pada meninges menyebabkan timbulnya gejala klinis meningitis yaitu demam, sakit kepala, tanda-tanda iritasi meningeal yaitu kaku kuduk, Babinski, dan tanda lainnya.
DIAGNOSIS
Meningitis bakterialis
Lumbal puncture (LP) adalah prosedur yang sangat penting untuk dilakukan dalam diagnosis meningitis, bahkan keadaan bacteremia bukan merupakan kontraindikasi untuk melakukan LP jika memang pasien dicurigai menderita meningitis. Dilema yang sering terjadi adalah adanya risiko herniasi serebelar, namun prosedur LP tetap perlu dilakukan jika pasien menunjukkan gejala meningitis. Jika ditemukan adanya jejas atau tanda-tanda TTIK, maka CT Scan atau MRI merupakan prioritas pertama yang harus dilakukan, namun pemeriksaan tersebut tidak boleh menunda pemberian antibiotic pada pasien. Beberapa sumber mengatakan bahwa pemeriksaan imaging perlu dilakukan sebelum melakukan LP untuk memastikan adanya risiko tinggi dalam prosedur LP. Namun sebuah penelitian menunjukkan bahwa hanya 2 dari 235 orang yang dilakukan CT Scan atau MRI sebelum LP, yang sebenarnya menunjukkan adanya risiko tinggi dalam prosedur LP. Jadi memang sebaiknya LP dilakukan sebagai prosedur rutin dalam diagnosis meningitis. Walau herniasi tidak banyak terjadi dalam prsedur LP, namun tetap ada beberapa hal yang merupaka risiko tinggi herniasi yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah tekanan cairan serebrospinal (CSS) yang tinggi (kira-kira 350 mmH20), hal tersebut merupakan risiko tinggi terjadinya herniasi serebelar
16
dan sebaiknya dilakukan terapi terlebih dahulu untuk memperbaiki keadaan tersebut. Mannitol intravena banyak dianjurkan oleh neurologis dalam mengurangi tekanan CSS, namun demikian, risiko herniasi juga tidak dapat dijamin. Pleositosis CSS merupakan ciri-ciri adanya meningitis. Leukosit dapat ditemukan dalam CSS dengan jumlah 250-100.000/mm3 namun biasanya ditemukan dengan jumlah 1000-10.000/mm3. Pada infeksi S. pneumonia atau H. influenza, CSS mengandung banyak bakteri namun jumlah neutrophil hanya sedikit pada beberapa jam awal. Hitung sel dengan jumlah >50.000/mm3 dapat menjadi tanda adanya abses otak yang pecah dan cairan tercampur dalam ventrikel otak. Neutrofil mendominasi sel yang ditemukan dalam CSS (85-95%) . Sel darah merah dalam CSS tidak biasa ditemukan dalam kasus meningitis, selain meningitis Antrax dan meningitis virus yang jarang lainnya ( hantavirus, virus dengue, virus ebola, dll). Protein dalam CSS meningkat hingga >45 mg/dL dalam 90% kasus, biasanya 100-500mg/dL. Glukosa dalam CSS sangat menurun, hingga <40mg/dL atau <40% konsentrasi glukosa. Pemeriksaan gram CSS dapat memberikan hasil dalam menentukan penyebab meningitis pada sebagian besar kasus. Pemeriksaan kultur CSS juga positif dalam 70-90% kasus meningitis bacterial. Pada kasus tertentu, di mana pemeriksaan kultur tidak memberikan hasil positif, dapat dilakukan pemeriksaan counterimmonuelectrophoresis (CIE) yang dapat mendeteksi antigen bakteri dalam CSS dalam waktu 3060 menit. CIE biasanya digunakan pada kasus meningitis dengan engobatan yang sudah berjalan, di mana hasil staining dan kultur tidak menunjukkan adanya bakteri namun bakteri diduga masih ada dalam CSS. Pemeriksaan lain yang lebih efektif dari CIE adalah radioimmunoassay (RIA), latex-particle agglutination (LPA), dan ELISA. Prosedur yang paling efektif saat ini adalah PCR. Banyak peneliti menemukan bahwa kandungan klorida dalam CSS pada kasus meningitis rendah, kemungkinan menggambarkan adanya dehidrasi dan tingkat serum klorida yang rendah. Enzim laktat dehidrogenasi meningkat dalam kasus meningitis. Kadar asam laktat dalam kasus meningitis juga meningkat, hal ini membedakan meningitis bakteri dan jamur, dari meningitis viral, karena pada meningitis viral, kadar asam laktar biasanya normal. Selain pemeriksaan pada CSS, kultur darah juga dapat dilakukan dan sebaiknya dilakukan karena menurut penelitian, meningitis dengan penyebab H. influenza, N. meningitides, dan S. pneumoniae memberi hasil positif dalam kultur darah pada 40-60% kasus. Pemeriksaan rontgen dalam meningitis juga penting untuk dilakukan, karena dapat menunjukan adanya abses. Rontgen tengkorak dan sinus dapat menunjukkan adanya osteomyelitis pada tengkorak, sinusitis paranasal, mastoiditis, namun struktur tersebut lebih baik jika diperiksa dengan CT Scan. CT Scan biasanya digunakan untuk mencari lesi di tulang yang kemungkinan merupakan rute penjalaran penyakit
17
yang menyebabkan meningitis. MRI biasanya digunakan untuk melihat eksudasi atau adanya reaksi kortikal.
Viral Meningitis
Pemeriksaan serologi merupakan cara metode diagnosis untuk meningitis viral. ELISA adalah pemeriksaan yag paling sering digunakan untuk mendiagnosis meninigits viral. Infeksi virus Lymphocytic choriomeningitis (LCM) biasanya menunjukkan pleositosis limfosit yang intens. Hitung jumlah sel di atas 1.000/mm3 dan sebagian besar limfosit merupakan ciri-ciri infeksi LCM, walau gambaran serupa dapat ditunjukkan oleh infeksi mumps atau echovirus. Glukosa CSS biasanya tidak menurun, namun dapat sedikit menurun pada infeksi mumps, LCM, dan echovirus. Protein CSS dapat normal ataupun meningkat. Dominasi MN terjadi dalam CSS jika LP dilakukan dalam waktu 6-24 jam pertama infeksi virus. Secara umum, inflamasi pada meningitis viral lebih ringan daripada bacterial. Pada kasus berat dapat ditemukan tanda yang sama dengan meningitis bakterialis. Diagnosis meningitis viral didapatkan apabila hasil kultur negative namun pasien mengalami meningitis akut.
18
Meningitis TB
Pada meningitis TB, LP sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotic. Tekanan CSS biasanya meningkat namun tidak terlalu tinggi, dan mengandung 50-500 leukosit per mm3. Pada awal perjalanan
19
penyakit jumlah PMN dan limfosit biasanya sama, namun beberapa hari setelahnya limfosit lebih banyak. Pleositosis PMN yang persisten dapat terjadi pada kasus meningitis TB. Kandungan protein CSS meningkat antara 100-200 mg/dL pada sebagian besar kasus dan lebih tinggi apabila aliran CSS tertutup pada spinal cord. Glukosa menurun hingga <40 mg/dL namun tidak serendah pada kasus meningitis piogenik (penyebab : Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitides). Klorida dalam CSS seringkali menurun, diduga karena adanya sekresi ADH yang abnormal atau adanya addisionan state karena TB pada adrenal. Sebagian besar pasien meningitis TB pada anak menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan tuberculin (85%), namun angka tsb menurun pada pasien dewasa (40-60%). Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah Ziehl Nielsen pada sampel CSS, namun hasil dari pemeriksaan ini sangat bergantung dari jumlah sampel yang dikirimkan ke laboratorium.
20
21
Treponema pallidum (Neurosyphilis)
Diagnosis neurosifilis ditegakkan dengan pemeriksaan serologis untuk sifilis. Pemeriksaan VDRL yang positif pada sampel CSS, merupakan konfirmasi diagnosis untuk neurosifilis. Hasil positif pada serum merupakan penanda adanya paparan terhadap T pallidum, namun belum tentu terdapat neurosifilis. Pada beberapa pasien, hasil pemeriksaan bisa jadi negative, terutama pada pasien dengan late syphilis dan pada beberapa pasien neurosifilis (seronegative syphilis). Pada pasien demikian, dianjurkan dilakukan
22
pemeriksaan terhadap antibody yang spesifik terhadap antigen Treponema. Pemeriksaan FTA-ABS sangat cukup untuk digunakan sebagai pemeriksaan terhadap antibody. Tes yang paling baik adalah T. pallidum immobilization (TPI), namun mahal, dan masih jarang digunakan. Pada pemeriksaan CSS menunjukkan adanya reaksi limfositik.
Cryptococcus
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antigen C. neoformans dalam CSS. Organisme dapat ditemukan sebagai sel yang berbentuk sferikal, dengan ukuran diameter 5-15 um yang terlihat dengan pewarnaan gram dan diselubungi oleh kapsul yang tebal. Sampel CSS diperlukan dalam jumlah banyak untuk menemukan Cryptococcus (20-40mL). Kultur CSS dapat dilakukan menggunakan agar Sarbouraud glucose dalam temperatur ruangan, namun hasil positif memerlukan waktu beberapa hari. Glukosa dalam CSS < 40 mg/dL, dengan protein 50-1000 mg/dL. Meningitis kriptokokus patut dicurigai pada pasien HIV yang mengeluh nyeri kepala hebat. Pada pasien HIV, meningitis kriptokokus terjadi pada pasien dengan CD4 < 100 sehingga jika CD4 pasien >200 maka kecurigaan meningitis kriptokokus dapat disingkirkan.
Candidiasis
Tidak ada hal yang spesifik membedakan infeksi candida dengan infeksi jamur lainnya, biasanya CSS mengandung sel hingga 2.000/mm3 dan jamur dapat dilihat dalam pemeriksaan mikroskopis CSS.
Coccidiomycosis
Hasil pemeriksaan CSS serupa dengan meningitis TB, C. immitis dapat ditemukan dalam CSS walaupun sulit, lebih mudah jika sampel diambil dari paru-paru, kelenjar getah bening, ataupun lesi kulit. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologis CSS.
23
Toxoplasmosis
24
Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan penemuan penigkatan titer antibody atau hasil positif pada pemeriksaan IgM atau pemeriksaan serologis lain. Diagnosis pasti ditegakkan saat ditemukannya organisme dalam sedimen CSS atau dari biopsy dari otot atau kelenjar getah bening.
PENGOBATAN
Meningitis Bakterialis
Pengobatan untuk meningitis bakterialis harus dimulai secepatnya, oleh karena itu, pemberian antibiotic empiris dianjurkan bagi pasien yang dicurigai mengalami meningitis. Pemberian deksametason juga dianjurkan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama antibiotic, dosis yang dianjurkan adalah 0,15 mg/kgBB setiap 6 jam selama 2-4 hari. Pengambilan sampel CSS dengan LP perlu dilakukan secepatnya, untuk memastikan etiologi dari meningitis. Jika hasil kultur sudah ada, segera lakukan penggantian antibiotic yang sesuai dengan agen penyebab infeksi. Pasien perlu dipertimbangkan untuk dirawat di ruang isoloasi, terutama jike penyebabnya diperkirakan H. influenza atau N. meningitides. Jika terdapat kecurigaan infeksi N. meningitides, berikan kemoprofilaksis kepada : a) Orang yang tinggal serumah b) Orang yang makan dan tidur di tempat yang sama dengan pasien c) Orang yang menggunakan sarana umum bersama pasien dalam 7 hari terakhir d) Murid sekolah yang sekelas pasien e) Petugas kesehatan yang kontak langsung dengan secret mulut dan hidung pasien dalam 7 hari terakhir
25
26
Meningitis TB
Diagnosis pasti TB sulit dilakukan, walaupun sebaiknya pengobatan dimulai setelah tegaknya diagnosis TB, namun seringkali pengobatan dimulai berdasarkan kecurigaan klinis. Pengobatan meningitis TB sama dengan pengobatan TB ekstraparu lainnya.
27
Pemberian deksametason dianjurkan pada meningitis TB pada stadium manapun, pemberian deksametason bertujuan untuk mencegah kelainan neurologis sebagai akibat dari meningitis TB. Angka kematian berkurang pada pemberian deksametason, namun komplikasi tidak dipengaruhi pemberian deksametason jika pemberian dilakukan setelah kerusakan neurologis sudah terjadi.
Pemberian ARV pada pasien HIV dengan meningitis TB, dapat dengan ketentuan : 1. Jika meningitis telah terdiagnosis terlebih dahulu dari HIV, maka terapi TB didahulukan, dengan pertimbangan sbb. : a. Jika CD4 > 100 ARV ditunda hingga selesai fase intensif pengobatan TB (setelah 2 bulan pemberian OAT) b. Jika CD4 < 100 ARV dimulai lebih awal, umumnya dianjurkan minimal 2 minggu setelah OAT diberikan.
28
2. Jika pada pasien yang diketahui menderita HIV didapatkan tanda meningitis TB, maka terapi TB dapat dimulai kapan saja
Meningitis Kriptokokus
Terapi antijamur yang dianjurkan : a) Fase induksi : amfoterisin B deoksikolat IV dengan dosis 0,7-1 mg/kgBB/hari ditambah flusitosin 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis PO selama 14 hari b) Fase maintenance : Flukonazol 400 mg/hari slama minimal 8 minggu c) Selanjutnya dapat diberikan flukonazol 200 mg/hari seumur hidup atau sampai CD4 mencapai >200 selama 6 bulan berturut-turut
Rejimen yang biasa digunakan di Bandung adalah : a) Fase awal : flukonazol 800mg/hari selama sekurangnya 12 minggu b) Selajutnya diberikan flukonazol 200mg/hari seumur hidup atau sampai angka CD4 > 200 selama 6 bulan berturut-turut
ARV diberikan setelah 2-10 minggu pemberian terapi anti jamur. Pemberian terlalu cepat dapat menyebabkan IRIS. Terapi supresi atau maintenance dapat dipertimbangkan untuk dihentikan apabila CD4 sudah > 100, namun jika CD4 menurun < 100 berikan terapi kembali.
Sumber Adams & Victor's Principles Of Neurology 10th edition, 2014
29