Tae.docx

  • Uploaded by: Herawati Ratri
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tae.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,928
  • Pages: 11
MAKALAH PENYAKIT PARASITER VETERINER Taeniasis dan Sistiserkosis

Disusun Oleh Herawati Ratri Fajriyah 175130107111039 2017 D

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Perbedaan Taeniasis dan Sistiserkosis Pada Taeniasis cacing pita dewasa hidup di usus inang definitif. Infeksi ini disebut taeniasis. Manusia adalah inang definitif untuk Taenia solium (babi cacing pita) dan T. saginata (cacing pita daging sapi). Manusia juga adalah tuan rumah definitif untuk T. asiatica, cacing pita yang baru dikenali yang ditemukan di Asia. Saat ini tidak pasti apakah T. asiatica adalah subspesies dari T. saginata (T. saginata asiatica) atau jenis. Hewan adalah inang definitif untuk T. crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Larva Taenia ditemukan di otot, sistem saraf pusat (SSP), dan jaringan lain dari inang perantara. Larva lebih cenderung menyebabkan penyakit daripada cacing pita dewasa. Ada dua bentuk infeksi larva, sistiserkosis dan coenurosis. Pada Sistiserkosis Infeksi dengan bentuk larva Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps T. ovis, T. taeniaeformis atau T. hydatigena disebut sistiserkosis. Larva ini organisme disebut cysticerci (tunggal: cysticercus). Pada suatu waktu, larva dan cacing pita dewasa dianggap spesies yang berbeda. Untuk alasan ini, larva tahap kadang-kadang disebut dengan nama yang berbeda: Tahap larva T. solium adalah kadang-kadang disebut Cysticercus cellulosae. Tahap larva T. saginata kadang-kadang disebut Cysticercus bovis. Tahap larva dari T. crassiceps kadang-kadang disebut Cysticercus longicollis. Manusia dapat menjadi inang perantara untuk T. solium, T. crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis dan T. hydatigena. T. solium sering ditemukan di manusia; empat spesies lainnya sangat langka. T. solium adalah satu-satunya spesies Taenia untuk di mana manusia adalah tuan rumah definitif dan perantara. Hewan bisa inang perantara untuk lima spesies ini serta untuk T. saginata dan T. asiatica.

1.2 Epidemiologi Taeniasis dan Sistiserkosis Pada Manusia Cara yang sederhana untuk mengetahui prevalensi penyakit taeniasis/sistiserkosis ini adalah dengan membagikan kuesioner pada responden. Dengan mengadakan anamnesis dapat diketahui apakah responden mengeluarkan proglotid cacing. Disamping anamnesis pemeriksaan tinja dapat dilakukan dengan cara konvensional atau dengan cara modern, yaitu dengan menggunakan kopro-antigen. Masih dapat ditambah dengan pemeriksaan serum yang dapat dilakukan dengan beberapa cara. Selanjutnya setelah

diberikan pengobatan, cacing dewasa akan keluar. Hasil semua cara ini akan menentukan angka prevalensi. Semakin banyak cara yang dilakukan semakin tepat angka prevalensi yang didapatkan. Angka prevalensi yang ditemukan pada 68.754 sampel serum di Mexico adalah antara 0.06-2.97%. Angka seroprevalensi tertinggi ditemukan di daerah tengah dan barat Mexico. Ternyata ada hubungan antara tingginya sero-prevalensi dengan keadaan sosioekonomi rendah. Di berbagai negara Amerika Latin prevalensi berkisar antara 0,18,7%, sedangkan di negara Asia dan Afrika angka positif berkisar antara 0,05-10,4% (Tabel 1 dan 2). Gejala berat terutama ditimbulkan oleh sistiserkus (larva) T. solium, yang dikatakan bersifat neurotropik, sehingga ditemukan di jaringan saraf. Bila bersarang di dalam otak kadang-kadang tidak menimbulkan gejala, akan tetapi tidak jarang ditemukan kejang, lokal atau menyeluruh. Pada sebagian penderita juga menimbulkan gejala kelainan jiwa. Di Indonesia taeniasis/sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Sumatera Utara, Bali dan Irian Jaya. Disamping itu penyakit tersebut juga ditemukan di Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat2 . Pada Tabel 3 tampak bahwa prevalensi berkisar antara 1,0-42,7%. Rentangan yang besar ini disebabkan cara melakukan survei dan pemeriksaan.

Prevalensi tertinggi tercatat untuk Irian Jaya yaitu 42.7% pada tahun 19973 . Angka ini didapatkan dari kelompok selektif, akan tetapi survei-survei selanjutnya menunjukkan bahwa prevalensi taeniasis/sistiserkosis di Irian Jaya memang sangat tinggi [4,5,6]. Survei yang dilakukan di daerah Lampung, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara adalah pada penduduk transmigran dari Bali, yang seperti diketahui adalah kelompok penduduk Indonesia yang sebagian besar memeluk agama Hindu (Table 3). Beberapa angka baru yang dapat dikemukakan di sini adalah dari Irian Jaya. Antara 1991-1995 di Puskesmas Assologaima, Kabupaten Jayawijaya tercatat 293 kasus baru dengan gejala epilepsi. Pada sejumlah kasus telah dilakukan ekstirpasi benjolan subkutan, yang secara histo-patologi dapat diidentifikasi sebagai sistiserkus T. solium. Kemudian juga telah dilakukan DNA analisis pada kista yang ditemukan pada manusia dan pada babi dengan kesimpulan bahwa sekuensi nukleotid adalah sama pada manusia dan babi.

1.3 Epidemiologi Taeniasis dan Sistiserkosis Pada Hewan Penyebaran penyakit sistiserkosis pada ternak dan babi di mancanegara, termasuk Indonesia, tidak banyak di laporkan. Pada umumnya data tersebut berdasarkan inspeksi daging yang dilakukan menurut keadaan setempat, sepintas lalu atau sama sekali tidak diperhatikan, sehingga jumlah kasus yang dilaporkan mungkin tidak benar dan biasanya kurang (under-reported). Di Brazil, Amerika Latin, pada tahun 1986 ditemukan 5,5% sistiserkus T. saginata pada 896654 ternak yang dipotong. Prevalensi sistiserkosis pada ternak dan babi cenderung menurun dengan adanya peningkatan ternak/ babi yang dikandangkan dan perbaikan cara inspeksi daging potong. Hal tersebut terjadi di Columbia dimana sejak 1989 sistiserkosis sapi tidak lagi dilaporkan. Di Honduras sistiserkosis T. solium pada babi berkurang dari 5% pada tahun 1981 menjadi 0,05% pada tahun 1986.

Laporan dari Dinas Peternakan Denpasar, Bali menyebut bahwa antara 19771981 ditemukan sistiserkosis sapi sebanyak 0,30-2,39%. Pada kerbau potong yang jumlahnya sedikit, didapatkan sistiserkus pada tahun 1979 dan 1980 yaitu pada masingmasing tahun 1,50 dan 0,72%. Sebanyak 0,28% babi terinfeksi sistiserkus pada tahun 1975, sedangkan pada tahun 1986 ditemukan kurang dari 0,01% dengan infeksi tersebut. Selanjutnya sampai tahun 1989 tidak ditemukan sistiserkus lagi pada babi potong. Persentase positif tertinggi dilaporkan pada tahun 1979, 1980 dan 1978 yaitu untuk masing-masing tahun 0,98%, 0,59% dan 0,58% (Tabel 4)8 . Survei serologi dengan

menggunakan esei imunoblot, pada babi yang dilakukan di Irian Jaya mendapatkan 17/201 sampel (8,45%) positif. Sampel-sampel positif berasal dari 6 desa, sedangkan sampel-sampel dari lima desa negatif (Tabel 5).

Dharmawan dkk. mendapatkan 146 (22,8%) positif sistiserkus pada 636 hati babi di rumah potong di Denpasar, Bali, Sistiserkus ini diidentifikasi sebagai sistiserkus Taenia saginata asialica, yang sebelumnya disebut Taenia saginata taiwanensis (Tabel 4)

1.4 Taksonomi dan Morfologi a. Taenia solium

Taenia solium (cacing pita babi) merupakan infeksi cacing yang distribusinya kosmopolit. Cacing ini menginfeksi baik manusia dan babi. Manusia biasanya sebagai hospes definitif atau hospes perantara, sedangkan babi sebagai hospes perantara. Habitat cacing yang telah dewasa di dalam usus halus (jejunum bagian

atas) manusia, sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan organ tubuh babi. Cacing dewasa dari Taenia solium berukuran panjang antara 2-4 meter, dan dapat hidup sampai 25 tahun lamanya. Bentuk dari cacing dewasa seperti pipa, pipih dorsoventral, dan tubuhnya terdiri atas skoleks (kepala), leher, dan strobila yang terdiri dari segmen proglotid. Setiap cacing Taenia solium mempunyai segmen yang berjumlah kurang dari 1000 buah. Skoleks Taenia solium berbentuk bulat, dengan garis tengah 1 mm, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum yang dilengkapi dengan 2 deret kait yang melingkar dan berdiameter 5 mm, masing-masing sebanyak 25-30 buah). Leher cacing Taenia solium pendek, berukuran panjang antara 5-10 milimeter. Strobila terdiri dari proglotid yang imatur, matur, dan gravid. Proglotid imatur ukurannya lebih lebar daripada panjangnya, sedangkan proglotid matang berbentuk hampir persegi empat dan berukuran 12 mm x 6 mm.

Gambar 1

Morfologi Taenia solium : Skoleks (a); prolotida dewasa dengan organ kelamin yang berkembang (tanda panah hitam menunjukkan lubang genital) (b); prologtida gravid yang berisi penuh telur infektif (c); Cysticercus cellulose (d) (Bogits et all, 2015)

Dalam proglotid yang matang terdapat testis berupa folikel yang tersebar di seluruh dorsal tubuh dan jumlahnya mencapai 150-200. Proglotid matang juga mempunyai lubang genital yang terletak di dekat pertengahan segmen. Ovarium

terletak di bagian posterior, berbentuk 2 lobus yang simetris dan uterus terletak di tengah seperti gada (Ideham dan Pusarawati, 2007). Pada proglotid gravid, terdapat 5-10 cabang lateral dari uterus di tiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan dalam bentuk rantai yang terdiri atas 5-6 segmen setiap kali dilepaskan. b. Taenia saginata

Habitat cacing ini dalam tubuh manusia terletak pada usus halus bagian atas. Cacing dewasa dapat hidup di dalam usus manusia sampai 10 tahun lamanya. Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5 meter atau kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai dengan 20 tahun, bahkan lebih. Skoleks berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan mempunyai 4 alat isap (sucker). Tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks. Leher Taenia saginata berbentuk sempit memanjang, dengan lebar sekitar 0,5 milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur.

Gambar 2

skolex (a); Proglotid (b)

Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen, mempunyai 15– 30 cabang di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen gravid Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan segmen gravid cacing pita babi.

1.5 Siklus Hidup a. Taenia solium Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia pada usus halus. Cacing dewasa melepaskan segmen gravid paling ujung yang akan pecah di dalam usus sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing yang matur mengkontaminasi tanaman rumput atau pun peternakan dan termakan oleh ternak seperti babi, telur akan pecah di dalam usus hospes perantara dan mengakibatkan lepasnya onkosfer. Dengan bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh babi, terutama otot lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak. Dalam waktu 60-70 hari pasca infeksi, onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksius. Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang masak, yang mengandung larva sistiserkus. Di dalam usus manusia, skoleks akan mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan, cacing Taenia solium menjadi dewasa dan mampu memproduksi telur. Seekor cacing Taenia solium dapat memproduksi 50.000 sampai 60.000 telur setiap hari. Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan terinfeksi jika pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang berembrio atau proglotid gravid. Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium (sistiserkorsis). Hal ini dapat terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing tersebut dari hasil ekskresi manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi.

Namun, teori ini belum dibuktikan. Jika terdapat cacing pita dewasa pada usus, peristaltik yang berlawanan pada gravid proglotid akan menyebabkan proglotid bergerak secara retrograd dari usus ke lambung. Telur hanya dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi gaster diikuti dengan sekresi usus sehingga setelah terjadi peristaltik yang bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding usus, mengikuti aliran kelenjar getah bening atau aliran darah. Larva selanjutnya akan bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat dan membentuk sistiserkus. Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung dari lokasi sistiserkus Proglotid dari Taenia solium kurang aktif dibandingkan dengan Taenia saginata sehingga kemungkinan untuk ditemukan pada lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang. b. Taenia saginata 1.6 Patogenesis 1.7 Gejala Klinis 1.8 Diagnosa 1.9 Pengobatan dan Pencegahan

DAFTAR PUSTAKA Abrham, Ayele. 2016. A Review on Canine Leishmaniasis; Etiology, Clinical Sign, Pathogenesis, Treatment and Control Methods. Ethiopia : . Ethiopia : University of Gondar faculty of Veterinary Medicine, Gondar Alexa, Rosypal. 2008. Characterization of Canine Leishmaniasis in the United States: Pathogenesis, Immunological Responses, and Transmission of an American Isolate of Leishmania infantum. Blacksburg : Faculty of the Virginia Polytechnic Institute & State University Arnold, Weasley. 2015. Leishmaniasis in Dogs. UK : Capscac Chiara, Noli. 2007. Canine Leishmaniasis. Milan : Waltham Focus Vol 9 No 2 Gaetano et all. 2010. Guidelines for treatment of leishmaniasis in dogs. JAVMA, Vol 236, No. 11, June 1, 2010 Massimo et all. 2007. Canine Leishmaniasis: Guidelines For Diagnosis, Staging, Therapy, Monitoring And Prevention. Part I: Diagnostic approach and classification of the patient affected by leishmaniasis and management of dogs with proteinuria. Italia : Canine Leishmaniasis Working Group (CLWG)

More Documents from "Herawati Ratri"