Herawati Ratri Fajriyah_2017d_sistiserkosis.docx

  • Uploaded by: Herawati Ratri
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Herawati Ratri Fajriyah_2017d_sistiserkosis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,108
  • Pages: 20
MAKALAH PENYAKIT PARASITER VETERINER Taeniasis dan Sistiserkosis

Disusun Oleh Herawati Ratri Fajriyah 175130107111039 2017 D

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Perbedaan Taeniasis dan Sistiserkosis Pada Taeniasis cacing pita dewasa hidup di usus inang definitif. Infeksi ini disebut taeniasis. Manusia adalah inang definitif untuk Taenia solium (babi cacing pita) dan T. saginata (cacing pita daging sapi). Manusia juga adalah tuan rumah definitif untuk T. asiatica, cacing pita yang baru dikenali yang ditemukan di Asia. Saat ini tidak pasti apakah T. asiatica adalah subspesies dari T. saginata (T. saginata asiatica) atau jenis. Hewan adalah inang definitif untuk T. crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Larva Taenia ditemukan di otot, sistem saraf pusat (SSP), dan jaringan lain dari inang perantara. Larva lebih cenderung menyebabkan penyakit daripada cacing pita dewasa. Ada dua bentuk infeksi larva, sistiserkosis dan coenurosis. Pada Sistiserkosis Infeksi dengan bentuk larva Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps T. ovis, T. taeniaeformis atau T. hydatigena disebut sistiserkosis. Larva ini organisme disebut cysticerci (tunggal: cysticercus). Pada suatu waktu, larva dan cacing pita dewasa dianggap spesies yang berbeda. Untuk alasan ini, larva tahap kadang-kadang disebut dengan nama yang berbeda: Tahap larva T. solium adalah kadang-kadang disebut Cysticercus cellulosae. Tahap larva T. saginata kadang-kadang disebut Cysticercus bovis. Tahap larva dari T. crassiceps kadang-kadang disebut Cysticercus longicollis. Manusia dapat menjadi inang perantara untuk T. solium, T. crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis dan T. hydatigena. T. solium sering ditemukan di manusia; empat spesies lainnya sangat langka. T. solium adalah satu-satunya spesies Taenia untuk di mana manusia adalah tuan rumah definitif dan perantara. Hewan bisa inang perantara untuk lima spesies ini serta untuk T. saginata dan T. asiatica.

1.2 Epidemiologi Taeniasis dan Sistiserkosis Pada Manusia Cara yang sederhana untuk mengetahui prevalensi penyakit taeniasis/sistiserkosis ini adalah dengan membagikan kuesioner pada responden. Dengan mengadakan anamnesis dapat diketahui apakah responden mengeluarkan proglotid cacing. Disamping anamnesis pemeriksaan tinja dapat dilakukan dengan cara konvensional atau dengan cara modern, yaitu dengan menggunakan kopro-antigen. Masih dapat ditambah dengan pemeriksaan serum yang dapat dilakukan dengan beberapa cara. Selanjutnya setelah

diberikan pengobatan, cacing dewasa akan keluar. Hasil semua cara ini akan menentukan angka prevalensi. Semakin banyak cara yang dilakukan semakin tepat angka prevalensi yang didapatkan. Angka prevalensi yang ditemukan pada 68.754 sampel serum di Mexico adalah antara 0.06-2.97%. Angka seroprevalensi tertinggi ditemukan di daerah tengah dan barat Mexico. Ternyata ada hubungan antara tingginya sero-prevalensi dengan keadaan sosioekonomi rendah. Di berbagai negara Amerika Latin prevalensi berkisar antara 0,18,7%, sedangkan di negara Asia dan Afrika angka positif berkisar antara 0,05-10,4% (Tabel 1 dan 2). Gejala berat terutama ditimbulkan oleh sistiserkus (larva) T. solium, yang dikatakan bersifat neurotropik, sehingga ditemukan di jaringan saraf. Bila bersarang di dalam otak kadang-kadang tidak menimbulkan gejala, akan tetapi tidak jarang ditemukan kejang, lokal atau menyeluruh. Pada sebagian penderita juga menimbulkan gejala kelainan jiwa. Di Indonesia taeniasis/sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Sumatera Utara, Bali dan Irian Jaya. Disamping itu penyakit tersebut juga ditemukan di Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat2 . Pada Tabel 3 tampak bahwa prevalensi berkisar antara 1,0-42,7%. Rentangan yang besar ini disebabkan cara melakukan survei dan pemeriksaan.

Prevalensi tertinggi tercatat untuk Irian Jaya yaitu 42.7% pada tahun 19973 . Angka ini didapatkan dari kelompok selektif, akan tetapi survei-survei selanjutnya menunjukkan bahwa prevalensi taeniasis/sistiserkosis di Irian Jaya memang sangat tinggi [4,5,6]. Survei yang dilakukan di daerah Lampung, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara adalah pada penduduk transmigran dari Bali, yang seperti diketahui adalah kelompok penduduk Indonesia yang sebagian besar memeluk agama Hindu (Table 3). Beberapa angka baru yang dapat dikemukakan di sini adalah dari Irian Jaya. Antara 1991-1995 di Puskesmas Assologaima, Kabupaten Jayawijaya tercatat 293 kasus baru dengan gejala epilepsi. Pada sejumlah kasus telah dilakukan ekstirpasi benjolan subkutan, yang secara histo-patologi dapat diidentifikasi sebagai sistiserkus T. solium. Kemudian juga telah dilakukan DNA analisis pada kista yang ditemukan pada manusia dan pada babi dengan kesimpulan bahwa sekuensi nukleotid adalah sama pada manusia dan babi.

1.3 Epidemiologi Taeniasis dan Sistiserkosis Pada Hewan Penyebaran penyakit sistiserkosis pada ternak dan babi di mancanegara, termasuk Indonesia, tidak banyak di laporkan. Pada umumnya data tersebut berdasarkan inspeksi daging yang dilakukan menurut keadaan setempat, sepintas lalu atau sama sekali tidak diperhatikan, sehingga jumlah kasus yang dilaporkan mungkin tidak benar dan biasanya kurang (under-reported). Di Brazil, Amerika Latin, pada tahun 1986 ditemukan 5,5% sistiserkus T. saginata pada 896654 ternak yang dipotong. Prevalensi sistiserkosis pada ternak dan babi cenderung menurun dengan adanya peningkatan ternak/ babi yang dikandangkan dan perbaikan cara inspeksi daging potong. Hal tersebut terjadi di Columbia dimana sejak 1989 sistiserkosis sapi tidak lagi dilaporkan. Di Honduras sistiserkosis T. solium pada babi berkurang dari 5% pada tahun 1981 menjadi 0,05% pada tahun 1986.

Laporan dari Dinas Peternakan Denpasar, Bali menyebut bahwa antara 19771981 ditemukan sistiserkosis sapi sebanyak 0,30-2,39%. Pada kerbau potong yang jumlahnya sedikit, didapatkan sistiserkus pada tahun 1979 dan 1980 yaitu pada masingmasing tahun 1,50 dan 0,72%. Sebanyak 0,28% babi terinfeksi sistiserkus pada tahun 1975, sedangkan pada tahun 1986 ditemukan kurang dari 0,01% dengan infeksi tersebut. Selanjutnya sampai tahun 1989 tidak ditemukan sistiserkus lagi pada babi potong. Persentase positif tertinggi dilaporkan pada tahun 1979, 1980 dan 1978 yaitu untuk masing-masing tahun 0,98%, 0,59% dan 0,58% (Tabel 4)8 . Survei serologi dengan

menggunakan esei imunoblot, pada babi yang dilakukan di Irian Jaya mendapatkan 17/201 sampel (8,45%) positif. Sampel-sampel positif berasal dari 6 desa, sedangkan sampel-sampel dari lima desa negatif (Tabel 5).

Dharmawan dkk. mendapatkan 146 (22,8%) positif sistiserkus pada 636 hati babi di rumah potong di Denpasar, Bali, Sistiserkus ini diidentifikasi sebagai sistiserkus Taenia saginata asialica, yang sebelumnya disebut Taenia saginata taiwanensis (Tabel 4)

1.4 Taksonomi dan Morfologi a. Taenia solium

Taenia solium (cacing pita babi) merupakan infeksi cacing yang distribusinya kosmopolit. Cacing ini menginfeksi baik manusia dan babi. Manusia biasanya sebagai hospes definitif atau hospes perantara, sedangkan babi sebagai hospes perantara. Habitat cacing yang telah dewasa di dalam usus halus (jejunum bagian

atas) manusia, sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan organ tubuh babi. Cacing dewasa dari Taenia solium berukuran panjang antara 2-4 meter, dan dapat hidup sampai 25 tahun lamanya. Bentuk dari cacing dewasa seperti pipa, pipih dorsoventral, dan tubuhnya terdiri atas skoleks (kepala), leher, dan strobila yang terdiri dari segmen proglotid. Setiap cacing Taenia solium mempunyai segmen yang berjumlah kurang dari 1000 buah. Skoleks Taenia solium berbentuk bulat, dengan garis tengah 1 mm, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum yang dilengkapi dengan 2 deret kait yang melingkar dan berdiameter 5 mm, masing-masing sebanyak 25-30 buah). Leher cacing Taenia solium pendek, berukuran panjang antara 5-10 milimeter. Strobila terdiri dari proglotid yang imatur, matur, dan gravid. Proglotid imatur ukurannya lebih lebar daripada panjangnya, sedangkan proglotid matang berbentuk hampir persegi empat dan berukuran 12 mm x 6 mm.

Gambar 1

Morfologi Taenia solium : Skoleks (a); prolotida dewasa dengan organ kelamin yang berkembang (tanda panah hitam menunjukkan lubang genital) (b); prologtida gravid yang berisi penuh telur infektif (c); Cysticercus cellulose (d) (Bogits et all, 2015)

Dalam proglotid yang matang terdapat testis berupa folikel yang tersebar di seluruh dorsal tubuh dan jumlahnya mencapai 150-200. Proglotid matang juga mempunyai lubang genital yang terletak di dekat pertengahan segmen. Ovarium

terletak di bagian posterior, berbentuk 2 lobus yang simetris dan uterus terletak di tengah seperti gada (Ideham dan Pusarawati, 2007). Pada proglotid gravid, terdapat 5-10 cabang lateral dari uterus di tiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan dalam bentuk rantai yang terdiri atas 5-6 segmen setiap kali dilepaskan. b. Taenia saginata

Habitat cacing ini dalam tubuh manusia terletak pada usus halus bagian atas. Cacing dewasa dapat hidup di dalam usus manusia sampai 10 tahun lamanya. Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5 meter atau kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai dengan 20 tahun, bahkan lebih. Skoleks berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan mempunyai 4 alat isap (sucker). Tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks. Leher Taenia saginata berbentuk sempit memanjang, dengan lebar sekitar 0,5 milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur.

Gambar 2

skolex (a); Proglotid (b)

Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen, mempunyai 15– 30 cabang di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen gravid Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan segmen gravid cacing pita babi.

1.5 Siklus Hidup a. Taenia solium Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia pada usus halus. Cacing dewasa melepaskan segmen gravid paling ujung yang akan pecah di dalam usus sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing yang matur mengkontaminasi tanaman rumput atau pun peternakan dan termakan oleh ternak seperti babi, telur akan pecah di dalam usus hospes perantara dan mengakibatkan lepasnya onkosfer. Dengan bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh babi, terutama otot lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak. Dalam waktu 60-70 hari pasca infeksi, onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksius. Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang masak, yang mengandung larva sistiserkus. Di dalam usus manusia, skoleks akan mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan, cacing Taenia solium menjadi dewasa dan mampu memproduksi telur. Seekor cacing Taenia solium dapat memproduksi 50.000 sampai 60.000 telur setiap hari. Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan terinfeksi jika pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang berembrio atau proglotid gravid. Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium (sistiserkorsis). Hal ini dapat terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing tersebut dari hasil ekskresi manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi.

Gambar 3 Siklus hidup Taenia solium

Namun, teori ini belum dibuktikan. Jika terdapat cacing pita dewasa pada usus, peristaltik yang berlawanan pada gravid proglotid akan menyebabkan proglotid bergerak secara retrograd dari usus ke lambung. Telur hanya dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi gaster diikuti dengan sekresi usus sehingga setelah terjadi peristaltik yang bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding usus, mengikuti aliran kelenjar getah bening atau aliran darah. Larva selanjutnya akan bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat dan membentuk sistiserkus. Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung dari lokasi sistiserkus Proglotid dari Taenia solium kurang aktif dibandingkan dengan Taenia saginata sehingga kemungkinan untuk ditemukan pada lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang. b. Taenia saginata Manusia yang terinfeksi dapat mengeluarkan jutaan telur setiap hari bebas di feses atau sebagai segmen utuh yang masing-masing berisi tentang 250.000 telur, dan ini bisa bertahan hidup di padang rumput selama beberapa bulan. Setelah tertelan oleh sapi yang rentan, oncosphere berjalan melalui darah ke otot lurik. Ini pertama

kali terlihat sekitar 2 minggu kemudian sebagai tempat semi-transparan pucat dengan diameter sekitar 1,0 mm, tetapi tidak menular ke manusia sampai sekitar 12 minggu kemudian ketika itu telah mencapai ukuran penuh sekitar 1,0 cm. Saat itu sudah tertutup oleh tuan rumah dalam kapsul berserat tipis tetapi meskipun ini scolex bisa biasanya masih terlihat. Umur panjang kista berkisar dari minggu sampai tahun. Ketika mereka mati mereka biasanya digantikan oleh caseous yang rapuh massa, yang dapat menjadi kalsifikasi. Baik kista hidup dan mati sering hadir dalam bangkai yang sama. Manusia menjadi terinfeksi dengan menelan daging mentah atau tidak dimasak dengan benar. Pengembangan ke paten membutuhkan 2–3 bulan.

Gambar 4 Siklus Hidup Taenia saginata

1.6 Patogenesis a. Taeniasis Manusia adalah hospes definitif. Cacing pita dewasa hidup di usus kecil manusia. Manusia melewatkan telur gravid dalam tinja; telur-telur dewasa ini mencemari padang rumput dan lumbung, tempat ternak dan babi memakannya. Setelah mencapai saluran pencernaan hewan yang terinfeksi, embrio dilepaskan, menembus dinding usus, dan memasuki sirkulasi. Embrio menyaring dari sirkulasi dan encyst dalam jaringan otot. Larva (yaitu, cysticerci) menjadi infeksius dalam 2-3 bulan. Manusia mengembangkan infeksi cacing pita dengan memakan daging sapi

atau babi mentah atau setengah matang yang mengandung cysticerci. Cysticercus menjadi diaktifkan, menempel pada dinding usus kecil oleh scolex, dan menjadi cacing pita dewasa. Proses pematangan ini memakan waktu 10-12 minggu untuk T. saginata dan 5-12 minggu untuk T. solium. Cacing pita tunggal menghasilkan ratarata 50.000 telur per hari dan dapat hidup hingga 25 tahun. Babi adalah inang perantara untuk T. solium dan T. asiatica. Larva T. solium memiliki kecenderungan menginfeksi otot dan otak babi, namun larva T. asiatica cenderung menginfeksi visera babi terutama hati babi. Sapi adalah inang perantara untuk T. saginata dengan larva sebagian besar ditemukan di otot. Manusia juga dapat bertindak sebagai inang perantara untuk T. solium. Sistiserkosis terjadi akibat konsumsi telur T. solium oleh manusia melalui kontaminasi tinja, pembalikan peristaltik proglottid berat, atau autoinfeksi. Cysticerci dapat berkembang di organ mana pun, dan efeknya bergantung sepenuhnya pada lokasi cysticerci. Coenurus adalah tahap larva Taenia multiceps, Taenia serialis, dan Taenia brauni. Cacing pita dewasa berkembang pada anjing atau canids lain yang menelan larva coenurus di jaringan berbagai inang perantara. Host ini termasuk domba, kambing, kelinci, kelinci, dan herbivora lainnya untuk multiceps T; kelinci, kelinci, dan hewan pengerat lainnya untuk T. serialis; dan gerbil untuk T. brauni. Setiap protoscolex dalam coenurus dapat matang menjadi cacing pita dewasa setelah konsumsi oleh inang canid. Cacing dewasa menghasilkan telur, yang ditularkan melalui feses; telur-telur ini secara morfologis mirip dengan telur taeniid. Menelan telur oleh inang perantara yang sesuai atau oleh manusia menyebabkan perkembangan coenurus. Coenuri adalah kista yang mengandung banyak protoscolices yang terpasang pada baris pada membran internal kista. b. Sistiserkus Sistiserkus hidup hanya menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot hospes selama berminggu-minggu sampai bulanan. Oleh karena itu, kista akan mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun penjamu. Pada hewan yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista kebal terhadap reinfeksi onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan komplemen. Meskipun begitu dalam infeksi alami, respons antibodi dibangun hanya setelah parasit berubah menjadi bentuk metacestoda yang lebih resisten.

Metacestoda dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk memproteksi diri dari destruksi yang dimediasi komplemen dengan menghasilkan paramiosin. Paramiosin akan mengikat C1q dan menghambat jalur klasik aktivasi komplemen. Parasit juga akan mensekresikan inhibitor protease serin yang disebut taeniastatin. Taeniastatin dapat menghambat jalur aktivasi klasik atau alternatif, berintegrasi dengan kemotaksis leukosit, dan menghambat produksi sitokin. Sedangkan polisakarida sulfa, yang melapisi dinding kista, mengaktivasi komplemen untuk menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen, dan membatasi jumlah sel radang yang menuju parasit. Antibodi saja tidak dapat membunuh metacestoda matang. Kista yang hidup juga dapat menstimulasi produksi sitokin yang dibutuhkan untuk menghasilkan imunoglobulin yang kemudian diambil oleh kista dan diperkirakan ini merupakan sumber protein. Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun seluler dengan menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala akan muncul ketika kista tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu.

1.7 Gejala Klinis a. Taeniasis Taeniasis biasanya tanpa gejala, kecuali untuk lewatnya proglottid dalam feses dan, dalam kasus T. saginata, migrasi aktif proglottid melalui dubur. Gejala perut ringan terjadi dalam beberapa kasus; mereka mungkin termasuk sakit perut, diare atau sembelit, mual, nafsu makan menurun atau meningkat, dan penurunan berat badan. Itu gejala perut lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa, dan biasanya lega dengan makan sedikit makanan. Bayi dapat mengalami muntah, diare, demam, penurunan berat badan dan lekas marah. Tanda tidak spesifik seperti insomnia, malaise dan gugup juga telah dilaporkan. Pada hewan Tanda-tanda klinis, kecuali lewatnya proglottid, adalah tidak biasa di host definitif. Gejala, jika ada, adalah biasanya terbatas pada ketidaktahuan, malaise, lekas marah, nafsu makan berkurang dan diare ringan atau kolik. Intususepsi, kekurusan dan kejang telah terjadi dilaporkan tetapi sangat jarang. b. Sistiserkosis Gejala sistiserkosis dan coenurosis adalah disebabkan terutama oleh peradangan yang terkait dengan larva yang memburuk, atau oleh efek mekanis dari

parasit Jenis dan tingkat keparahan tanda-tanda klinis tergantung pada jumlah dan lokasi larva. T. multiceps coenurosis ('gid') dapat menyebabkan neurologis tanda pada ruminansia. Coenurosis akut paling sering terlihat pada domba muda. Tanda-tanda klinis biasanya terbatas demam sementara, kelesuan dan tanda-tanda neurologis ringan seperti itu sebagai kepala sedikit miring. Penyakit lebih parah, termasuk akut meningoensefalitis, kejang dan kematian dapat terjadi sejumlah besar parasit. Gejala dari T. Didirikan multiceps coenuri muncul lebih lambat, paling umum di Domba berumur 16-18 bulan, dan bervariasi sesuai dengan lokasi parasit di otak atau sumsum tulang belakang. Mereka mungkin termasuk kelainan perilaku, berputarputar, ataxia, hipermetria, kebutaan, penyimpangan kepala, kelumpuhan, kejangkejang, hyperexcitability atau tanda-tanda neurologis lainnya, juga sujud dan kurus.

Gambar 5

Infiltrasi sistiserkus pada organ otak (panah hitam menunjukkan gilus otak, lingkaran merah tanda Cysticercus cellulosae).

Tanda-tanda neurologis juga telah dilaporkan pada hewan terinfeksi oleh spesies Taenia lainnya. Sistiserkosis T. solium adalah penyebab yang tidak biasa dari ensefalomielitis parasit pada anjing.Coenuri, terutama T. serialis, kadang-kadang dilaporkan di CNS kucing. Gejala-gejalanya sangat bervariasi, dan tergantung pada

lokasi dan jumlah larva. Multifokal tanda-tanda termasuk ataksia, jatuh dengan episode ekstensor kekakuan, kelesuan, agresi mendadak, gangguan penglihatan, dan depresi dapat dilihat jika otak mengalami herniasi.

Gambar 6 otot jantung babi (tanda panah putih menunjukkan Cysticercus sellulosae) Tanda-tanda klinis tidak umum pada babi yang terinfeksi T. solium dan ternak yang terinfeksi T. saginata. Kaleng T. Solium adakalanya menyebabkan hipersensitivitas dari moncong, kelumpuhan dari lidah, kejang, demam dan kekakuan otot pada babi. Sejumlah besar larva T. saginata dapat menyebabkan demam, kelemahan, anoreksia, dan kekakuan otot pada sapi. Kematian telah dilaporkan sebagai akibat dari miokarditis selama infeksi eksperimental. Spesies Taenia lain kadang-kadang dapat menyebabkan perut distensi, lesu, penurunan berat badan atau tanda-tanda lain yang berkaitan dengan infeksi perut atau hati, terutama pada inang seperti kelinci.

1.8 Diagnosa a. Taeniasis Pada host definitif, taeniasis dapat didiagnosis dengan menemukan proglottid atau telur dalam tinja. Sementara mereka masih lembab, Taenia proglottids dapat

dibedakan dari genus cacing pita lainnya berdasarkan morfologi mereka. Telur-telur, mungkin berbentuk bulat, berwarna cokelat dan mengandung embrio ditemukan oleh flotasi tinja. Semua telur taeniid sangat mirip. Penumpahan proglottid dan telur dapat terjadi sebentar-sebentar. Taeniasis didiagnosis dengan mengidentifikasi segmen telur atau cacing dalam feses dan pemeriksaan mikroskopis parasit ("O&P"). Ujian O&P tersedia di OSPHL. Kirim tinja segar yang diangkut dalam media Formalin dan PVA untuk Panel pengujian O&P. Sayangnya, telur T. solium tidak dapat dibedakan dari T. telur saginata, juga tidak bisa segmen proglottid kecuali mereka gravid (mengandung telur). Dalam kasus langka bahwa skolex (kepala) cacing pita ditemukan, spesies dapat ditentukan oleh bagian mulut. Sayangnya, sebagian besar ujian O&P berlangsung generik terbaik: biasanya dilaporkan sebagai "Taenia sp." atau sesuatu yang mirip bahwa. Karena ekskresi telur dan proglottid yang intermiten, ujian O&P dilakukan agak tidak sensitif, positif hanya 30-40% dari kasus yang terdeteksi dengan metode lain. Jika ditunjukkan, dapatkan dan kirim sampel tinja dari hingga tiga tinja yang berbeda fase. Tes ELISA Coproantigen dapat mendeteksi antigen Taenia dalam tinja, tetapi tidak membedakan antara T. solium dan T. saginata. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masing-masing sekitar 95% dan 99%, menjadikannya sebagai lebih disukai "tesof-penyembuhan." Tes coproantigen positif 2 bulan setelah perawatan untuk taeniasis harus segera diulangi pengobatannya. Sayangnya, tes ini tidak lagi tersedia di CDC. Tes serologis (antibodi) untuk T. solium juga telah dikembangkan di CDC dan memiliki kepekaan dan spesifisitas tinggi — tetapi sekali lagi, hasil tangkapannya adalah tidak demikian tersedia secara komersial. b. Sistiserkosis Diagnosis sistiserkosis sulit dilakukan pada hewan hidup. Studi pencitraan seperti MRI dapat digunakan pada hewan kecil. Pada hewan besar, sistiserkosis biasanya didiagnosis setelah pemeriksaan daging. Pada domba, T. Multiceps coenurosis dapat dicurigai jika ada pembiasan palpasi tengkorak di belakang kuncup tanduk. Cysticerci bisa kadang-kadang juga terdeteksi di lidah babi atau sapi berdebar-debar. Serologi tidak digunakan pada hewan. CT (non-kontras) atau pemindaian MRI otak atau sumsum tulang belakang dapat mengkonfirmasi diagnosis neurocysticercosis jika skoleks parasit yang jelas divisualisasikan dalam kista. Pemindaian CT lebih sensitif untuk mendeteksi

kalsifikasi otak biasanya modalitas pencitraan pertama; MRI lebih baik dalam mendeteksi yang layak kista intraventrikular. Temuan CT dan MRI sering tidak spesifik. Radiografi polos otot rangka dapat menunjukkan banyak kalsifikasi, yang menyarankan tetapi tidak mengkonfirmasi diagnosis tanpa data pendukung lainnya. EITB

(enzim

immunoelectrotransfer

blot

terkait-enzim,

"imunoblot")

serologis tes tersedia di CDC. Sensitivitas adalah 94-98% pada orang dengan dua atau lebih banyak kista yang tidak terkalsifikasi, tetapi <50% pada mereka dengan kista tunggal. Kekhususan mendekati 100%, tetapi hasil positif mungkin menunjukkan paparan masa lalu daripada penyakit saat ini aktif. Untuk pengujian Immunoblot, dapatkan

darah atau serum dan dinginkan sebelum diangkut ke

OSPHL.

1.9 Pengobatan Taeniasis dapat diobati dengan prazinquantel, epsiprantel, mebendazole, febantel dan fenbendazole. Hewan yang berharga dengan coenuri atau cysticerci dapat dirawat dengan operasi. Ada sedikit informasi tentang anthelmintik pengobatan sistiserkosis pada hewan. Satu anjing dengan T.neurocysticercosis solium berhasil diobati dengan albendazole dan prednison. Seperti pada manusia, anthelmintik digunakan sendiri dapat menyebabkan kematian larva dan memperburuk tanda-tanda klinis. Prevalensi kedua penyakit ini dapat diturunkan melalui beberapa langkah pengendalian terhadap siklus hidup dari Taenia solium. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan yaitu deteksi dini secara berkala pada peternakan babi, penyuluhan, pengobatan pada penderita taeniasis dan babi penderita sistiserkosis, 11 vaksinasi, dan perbaikan sanitasi lingkungan (Gonzalez et al. 2003; Ngowi et al. 2008). Pengobatan yang dapat dilakukan terhadap babi penderita sistiserkosis adalah pemberian oxfendazole dengan dosis 3-4.5 mg/kg bb (Plumb & Pharm 1999). Pencegahan sistiserkosis pada babi dapat dilakukan melalui vaksinasi. Tipe vaksin yang dapat diberikan untuk vaksinasi tersebut adalah synthetic peptide-based vaccine.

1.10 Pencegahan Cysticercosis dan coenurosis pada ternak dapat terjadi berkurang dengan mencegah atau mengobati taeniasis di tuan rumah definitif. Anjing terkait dengan ternak, khususnya domba, seharusnya tidak boleh makan bangkai hewan dengan coenurosis, dan harus diberikan cacing secara teratur. Lain anjing tidak boleh diizinkan di dekat binatang.

Untuk mencegah infeksi dengan T. solium, T. saginata atau T. asiatica, hewan jangan sampai terkena kotoran manusia. Taeniasis pada kucing dan anjing dapat dikurangi dengan tidak memungkinkan anjing untuk berburu tikus atau inang perantara lainnya, dan tidak memberi makan bangkai mentah atau kurang matang. Tidak ada vaksin yang tersedia saat ini. Vaksin T. Ovis diproduksi di masa lalu tetapi vaksin cacing pita, diumum, tidak layak secara ekonomi. Cara terbaik untuk menghindari cacing pita adalah dengan menahan diri dari makan mentah atau daging sapi dan babi yang kurang matang. Memasak daging dengan suhu internal 140 ° F akan mencegah infeksi. Telur juga dapat dibunuh dengan membekukan daging pada suhu -4 ° F setidaknya 24 jam. Kebersihan yang baik juga merupakan cara yang baik untuk mencegah infeksi. Tangan harus dibersihkan setelah menggunakan toilet dan menyentuh anus (3). Vaksinasi untuk Taeniasis digunakan dalam pengaturan eksperimental pada hamster tetapi belum diuji atau disetujui untuk digunakan pada manusia

1.11 Morbiditas dan Motilitas Prevalensi infeksi bervariasi dengan parasit. Di beberapa bagian dunia, hingga 43% dari babi miliki antibodi terhadap T. solium. Babi bebas jelajah punya banyak risiko infeksi lebih besar daripada babi yang terbatas pada kandang. T.solium dan T. saginata keduanya jarang terjadi pada ternak pada infeksi A. multiceps (gid) A.S. di AS dapat menjadi hal yang umum dan penyakit penting di beberapa negara atau wilayah, seperti bagian dari Britania Raya. Laporan neurocysticercosis atau neurocoenurosis pada anjing dan kucing tidak umum dan sporadis. Taeniasis pada host definitif biasanya tanpa gejala atau ringan. Tanda-tanda klinis yang lebih parah dan kematian dapat dilihat pada inang perantara, tetapi ini bervariasi dengan lokasi, jumlah dan ukuran larva. Kematian adalah biasanya berhubungan dengan cysticerci atau coenuri di organ vital seperti otak. Coenurosis T. multiceps yang bergejala pada ruminansia biasanya berakibat fatal tanpa pengobatan, tetapi T. Solium dan T. saginata biasanya tidak menunjukkan gejala. Sebagian besar infeksi taeniid usus tidak menunjukkan gejala. Ketika gejala terjadi, mereka biasanya ringan dan melibatkan sakit perut, anoreksia, penurunan berat badan, atau malaise. Sistiserkosis menyebabkan efek massa pada berbagai organ vital (misalnya, otak, mata, jantung). Tingkat kematian untuk sistiserkosis rendah dan

umumnya disebabkan oleh komplikasi seperti ensefalitis, peningkatan tekanan intrakranial sekunder akibat edema dan / atau hidrosefalus, dan stroke. Tingkat kejadian Taeniasis di seluruh dunia adalah 100 juta infeksi baru setiap tahun. Tingkat insiden di negara-negara berkembang dapat setinggi 10% Infeksi dapat terjadi di bagian manapun di dunia tetapi lebih lazim dalam perkembangannya negara. Kasus terbanyak ditemukan di Irian Jaya, Indonesia dengan 8,6% dari populasi lokal hidup dengan parasit.

DAFTAR PUSTAKA Blackmon, Kyrsten. 2014. Taeniasis. United State : National Center for Biotechnology Information Heri, Yulianto., dkk. 2014. Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi hutan dan Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung. Bogor : Institut Pertanian Bogor IICAB. 2015. Taenia Infections Taeniasis and Cysticercosis. Lowa : College of Veterinarian Medicine Institute For International Cooperation In Animal Biologic Rees, kathlyn. 2015. Taeniasis and Cysticercosis Investigative Guidelines. Amsterdam : Oregon Public Health Division Acute And Communicable Disease Prevention Tengsupakul, Supatida. 2015. Taenia Infection. United State : Medscape Widarso., Margono, Sri., Purba, Wilfried., Subahar, Rizal. 2011. Prevalensi Dan Distribusi Taeniasis Dan Sistiserkosis. Jakarta : Makara, Kesehatan, Vol. 5, No. 2, Desember 2011. WWW.CDC.COM

Related Documents


More Documents from "Asriana Timang"