Aku tak pernah lagi mencari tempat untuk pulang, karena aku tahu, di manapun itu, Mama takkan ada di sana. Bagiku rumah untuk pulang hanyalah di dalam peluk kasihmu yang hangat, Ma.
Awalnya aku ingin menulis surat untukmu dengan kemarahan, kekesalan, dan berjuta pertanyaan egois yang hampir selalu kumiliki. Tapi sekarang aku menulisnya di sini, di teras rumah dengan secangkir teh dan berlembar-lembar fotomu tersebar berantakan di atas meja, dan aku hanya ingin menulis dengan cinta. Selama enam belas tahun ini, apa yang tak pernah kita lalui bersama? Tapi kenapa rasanya belum cukup aku bersamamu, berada di dekatmu dan bercerita banyak. Kenapa rasanya ada banyak hal yang belum kuceritakan, ada banyak rahasia yang Mama sembunyikan, dan kita akhirnya saling merindukan? Bagaimana
rasanya
meninggalkanku
tanpa
sempat
mengucapkan
kata-kata
terakhirmu, Ma? Untuk sekedar bilang, aku boleh meraih cita-cita apapun yang kuinginkan, asal itu membuatku bahagia. Mengapa aku kini selalu mendengarnya dari orang lain, Ma? Bahwa Mamaku pasti akan bahagia untuk hal apapun yang aku pilih dalam sisa umurku. Melalui hampir enam bulan tanpamu rasanya seperti menelan pil pahit sepanjang enam ribu mil perjalanan di padang pasir. Tanpamu, semuanya terasa berat. Kata mereka, Mama selalu ada di dalam hatiku, apa mereka berbohong padaku? Kenapa rasanya Mama tak pernah ada lagi setelah saat itu? Aku ingin minta maaf, Ma. Dan berulang kali telah aku lakukan. Aku sudah pernah menulis surat yang sama seperti ini berkali-kali, juga mengirimimu sms ke nomormu yang sudah tak aktif lagi. Tapi rasanya masih saja sama, bahwa Mama takkan pernah membaca semua itu, karena kita sudah berbeda dunia.
Aku selalu terbayang-bayang akan hari dimana Mama pergi. Entah aku begitu setia, kugenggam tanganmu dengan gundah yang tak bersedia meninggalkan kita. Aku tak tahu Mama ada di mana saat raga Mama terbakar habis. Aku tak tahu apa yang Mama rasa ketika aku tak menangis mengiringi kepergian Mama ke alam berbeda. Aku menatap hampa ke dalam api yang mengganas, dan betapa terpikir, begitu cepatnya waktu mengelilingi kita dan merampas habis kebersamaan yang tersisa. Apakah jiwa Mama melihat jiwaku yang menangis sementara air mataku tak kunjung menetes di pipi. Apakah jiwaku transparan di mata jiwamu, Ma? -Mama, semuanya terasa berbeda. Bukan hanya tentang posisimu yang tak tergantikan, tapi juga tentang Ayah yang tak bisa kumiliki lagi, Ayah yang bahkan tak bersedia menghidupiku, dan aku terus bertahan dari tabungan-tabunganmu dulu, Ma. Aku masih ingat ketika Mama memarahiku sewaktu aku membeli sebuah novel, atau menghamburkan uangku untuk mentraktir teman-temanku. Aku masih ingat betapa iritnya kehidupan kita berdua dulu, tapi rasanya semuanya menyenangkan ketika bersamamu. Semua kesederhanaan seakan menjadi mewah ketika kulihat senyummu di pagi hari. Dan kini aku berterima kasih atas semua itu, karenanya aku bisa bertahan hidup hingga saat ini. -Tadi malam aku memimpikan memiliki seorang adik, dan aku bertanya pada orangorang, bagaimana bisa aku memiliki seorang adik sementara Mamaku telah tiada? Aku benci menjadi anak tunggal dalam posisiku saat ini, Ma. Di saat aku kesepian, yang kutahu hanya buku yang bisa menemaniku, sebuah monitor juga tuts-tuts keyboard, beserta acara tivi yang selalu monoton. Tidak ada lagi seorang gadis yang banyak bercerita tentang hari-harinya,
seorang Ibu yang tertawa menimpali, dan genggaman tangan juga nasihat-nasihat. Yang ada hanyalah gelap yang selalu menyergapku setiap saat. Apa Mama tahu betapa tidak akan ada orang lain yang bisa menjadi seperti Mama? Bahkan Tante yang selalu menyayangiku dan menganggapku seperti putri kandungnya. Tidak ada orang lain yang bisa mengerti aku selain Mama. Tidak juga buku-buku yang banyak bercerita tentang rasa kehilangan, tidak juga orang-orang yang senasib denganku. -Hidupku seolah runtuh saat kutahu Mama telah tiada, dan hingga kini aku tak bisa percaya bahwa aku.. Mama tinggalkan jauh ke surga. Aku berada di masa transisi, dimana aku telah lulus SMA dan bisa memilih tempat kuliah. Tapi berat bagiku untuk memilih tanpa Mama yang memilihkannya untukku. Dan kini aku tak berstatus apapun. Aku menunggu hingga tahun berganti dan menggenapi cita-citamu. Kenapa Mama pergi di saat-saat itu? Di saat usiaku waktu itu belum genap tujuh belas tahun, dan ketika aku harus menangis di lurah, camat, dan pengadilan hanya untuk memiliki status sebagai ahli warismu. Juga di saat-saat ini, ketika aku benci untuk tidak memberikan potongan tart pertama kepadamu di hari ulang tahunku yang ketujuh belas. Siapa yang bisa mengerti penyesalan-penyesalan yang tak tergantikan juga janji-janji yang tak terpenuhi. Betapa aku tak pernah ada di sisimu, untuk sekedar menemanimu berobat ke rumah sakit, dan aku disibukkan oleh sekolahku, dan Mama memaklumi semua itu, kata Mama supaya aku bisa diterima di tempat kuliah yang aku inginkan, dan sekarang.. aku tak mendapatkan apapun selain kehilanganmu, kehilangan janji-janji kita. Masih ingatkah Mama tentang rencana kita lima tahun, lima belas tahun, hingga tiga puluh tahun ke depan? Kenapa Mama pergi sebelum menepati semua janji-janji itu? --
Teman-temanku sering berkomentar, mungkin Mama pergi karena Tuhan lebih menyayangi Mama daripada aku. Kenapa, Ma? Kenapa tidak nanti saja ketika aku sudah bisa menepati janji-janjiku? Dan kenapa yang tersisa hanya maaf. Maaf untuk mengecewakanmu atas semua yang terjadi belakangan ini. Mungkin dipikirnya aku bisa kehilanganmu, karena aku sudah bisa melewatinya lebih dari enam bulan, menjalani hidupku seperti biasa. Melucu, bergembira, dan tertawa. Padahal aku sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan hatiku. Lebih menyakitkan daripada sekedar patah hati. Ada saat-saat dimana semua hal mengabur di benakku, tentang wajahmu, suaramu, bahkan sentuhanmu sebelum aku tertidur. Tentang pembicaraan-pembicaraan kita, perdebatan-perdebatan personal, juga sentilan-sentilan kemurkaan. Ada saatnya aku takut melupakanmu seperti aku takut melupakan Tuhan. Mama ada di mana? Apa Mama benar di surga? Kenapa tak pernah bercerita tentang surga kepadaku? Aku membeli banyak buku untuk menghilangkan dahaga itu. Buku-buku tentang kehidupan setelah mati, buku-buku dari beragam kepercayaan. Tapi tak juga aku bisa memercayainya. Aku ingin mendengar langsung darimu. Apa Mama sudah tenang di sana? Benarkah jiwa Mama tidak tersiksa karena jauh dariku? Karena jiwaku begitu tersiksa di sini. Yang kupunyai hanya Mama, seperti yang Mama punya hanyalah aku. Dan aku tak ingin Mama terluka di sana. Di setiap doaku, pada Tuhan, juga padamu, kuharap Mama mendengar, bahwa aku selalu menginginkan tempat yang terbaik untukmu. Berat bagiku untuk menjadi seorang anak yang berarti di saat ini, karena aku tak tahu apa yang bisa membuatku terlihat berbakti kepada orang tuaku selain mendoakanmu.
Aku tak tahu apakah Mama bisa tenang di sana sementara aku di sini tak pernah bisa tenang. Ruang kosong di hatiku begitu luas dan tak ada satupun orang yang bisa menempatinya Apakah ada orang yang bisa menggantikanmu? Senyummu, kecupmu, pelukanmu, kata-katamu, suaramu, semua hal yang pernah Mama lakukan untukku semasa hidup. Semua hal yang terus membekas di ingatanku. Apakah ada orang yang sama seperti Mama yang Mama pilihkan untukku? Karena sepertinya aku tak sedang membutuhkan cinta yang lain selain cinta seorang Ibu kepada anaknya, selain kekhawatiran seorang Ibu yang melihat anak semata wayangnya begitu sulit untuk jatuh cinta. Seorang Ibu yang berjuang selama enam belas tahun hanya untuk menemani anaknya ke jenjang ini. Di jenjang kedewasaan. Aku ingin berterima kasih atas segalanya. Perjuanganmu untuk tidak memperlihatkan rasa sakitnya disiksa kanker selama enam tahun sehingga aku tak menyadari bagaimana menderitanya Mama di saat-saat itu, sehingga aku bisa bebas meninggalkanmu ke sekolah, ke tempat les, juga ke acara-acara yang diselenggarakan teman-temanku. Sehingga aku tak berada di sisimu di saat Mama menghembuskan nafas terakhir. Bagaimana bisa aku begitu bodohnya untuk tak kunjung menyadari rasa sakit itu? Aku ingin berterima kasih untuk segalanya. Perjuanganmu menghidupiku selama enam belas tahun, memberikan pengertian, pelajaran-pelajaran berharga, dan memanjakanku selama itu. Untuk cintamu yang takkan pernah tergantikan. Aku ingin berterima kasih. Karena Mama selalu menemaniku dari atas sana. Walau aku belum benar-benar percaya, tapi aku ingin memercayainya suatu saat nanti. Bahwa Mama masih menantiku untuk mewujudkan mimpi-mimpi dan menepati semua janji-janji.
Tolong tuntun aku dari atas sana. Apapun yang terbaik walau itu bukan keinginanku. Mama jaga diri ya, di sana. Karena aku berjanji akan menjaga diriku di sini. Bagaimanapun caranya, apapun yang tersisa, akan kupergunakan sebaik-baiknya. Karena aku sayang Mama. Semuanya hanya untuk Mama. Aku akan menjadi apa yang Mama inginkan. Aku berjanji akan membanggakan Mama dan aku ingin Mama berjanji akan menjaga diri Mama di sana. Aku ingin Mama tenang selama-lamanya. Ingatkah ketika aku menunggui jasad Mama dan aku meminta Mama untuk menemaniku sampai ulang tahunku yang ketujuh belas? Sekarang aku sudah dewasa, Ma. Aku bisa berjalan sendiri. Mama bisa meninggalkanku dengan tenang. Surat ini buktinya. Di manapun, kapanpun, sejauh apapun Mama pergi, jika nanti Mama kembali untuk menjengukku di sini, hati ini masih sepenuhnya untuk Mama. Dewi sayang Mama.
Rabu, 17 September 2008 14:53:20