Ketika hari menjelang sore, aku mendengar suara guntur menyambar di langit. Di balik jendela kamar rumah sakit, aku hanya bisa mengerucutkan bibirku. Kata Dokter, kalau turun hujan aku tidak boleh keluar kamar dan harus tetap menghangatkan diri dengan pemanas ruangan.
Seminggu ini, aku menghabiskan waktu di rumah sakit dan mengambil cuti di sekolah karena penyakitku kambuh. Beberapa teman dan guru di sekolahku datang berkunjung, yang paling sering adalah Mirna. Dia adalah sahabat dekatku di kelas. Kami satu bangku, sama - sama lahir di bulan Juli dan memiliki hobi yang sama yaitu tidur.
Sambil menatap jendela yang terdapat di dalam kamar rawatku, aku mendengarkan beberapa lagu korea favoritku yang seringku dengar bersama Mirna. Kami bilang sih, ini adalah lagu penyemangat kami kalau lagi malas buat tugas sekolah. Tiap hari diputar dan tiap hari juga kami jadi semangat, apalagi kalau sudah masuk mata pelajaran Bu Siska. Guru killer di sekolah kami yang mengajar mata pelajaran Matematika.
Huh! Aku jadi rindu sama Mirna.
Helaan nafasku yang terbuang, perlahan mengembun di kaca jendela. Aku yang iseng, menulis kata - kata acak di sana lalu tertawa. Sampai saat aku melihat ada seorang cowok yang lagi main hujan di taman rumah sakit dan hal itu menarik perhatianku seluruhnya.
Cowok itu kelihatan bahagia. Dia menari di bawah hujan sambil tertawa dan melompat - lompat, melihatnya saja aku iri. Kalau aku sih jangankan mandi hujan, keluar kamar pas hari dingin saja tidak boleh.
Semakin sore, hujan semakin deras dan aku masih terus menatap ke arah jendela. Melihat cowok yang menari tadi kini sedang duduk sambil mendongakkan
kepalanya ke arah langit. Aku pikir, mungkin dia sedang berdoa agar tidak terkena demam karena mandi hujan lama - lama. Namun, tiba - tiba cowok itu mengusap kedua matanya dengan tangan. Mungkin air hujan membuat matanya perih dan... merah. Sampai akhirnya cowok itu dihampiri seorang suster yang sepertinya mengajak dia untuk berteduh.
Lucunya, cowok itu mengangguk patuh dan tersenyum manis ke arah suster itu yang membuatku benar -benar terpesona. Apa dia pasien juga di sini seperti aku?
...
Di sela - sela kegiatan tidurku, aku mendengar suara mama yang memanggil. Setelah membuka mata dan mengumpulkan nyawa beberapa saat, aku baru bisa tertawa melihat mama dan papa yang sedang duduk di kursi rumah sakit masih dengan mengenakan baju pegawai mereka. Mungkin dari kantor langsung kemari untuk melihatku yang sedang tidur.
"Kenapa tidur sambil duduk? Menyandar ke jendela lagi" tanya papa dengan mulut yang penuh dengan buah jeruk pemberian nenek.
"Tadi Aisyah bosan, makanya liat jendela" jawabku dengan bibir yang mengerucut. Sebenarnya aku sudah bosan di rumah sakit, tapi aku harus di kemoterapi dulu baru bisa pulang ke rumah dan beraktivitas kembali seperti biasa.
Aku dan papa sibuk dengan obrolan kami, sampai terdengar suara mama yang menginterupsi dari belakang, "ini apaan? Kok lengket di jendela?" Tanya mama. Telunjuk mama sudah mengarah saja ke kardus basah yang lengket di jendela. Ada tulisannya pula, setelah aku baca tiba - tiba saja aku merasa malu sendiri.
"Lain kali, ayo main bersamaku. Jangan menatapku dari jendela aja"
Bagaimana ini, kenapa aku rasanya malu sekali? Papa dan mama cuma bisa godai aku dan senyum - senyum aneh. Bikin aku merinding dan memilih keluar kamar untuk cari makanan. Untuk pasien yang kemoterapi seperti aku sudah tidak perlu diinfus lagi. Pergi ke mana saja juga boleh, asalkan aku masih dalam lingkungan rumah sakit dan tidak terlalu capek.
Setelah aku berjalan cukup jauh, aku merasa dadaku sesak. Nafasku tercekat di tenggorokan dan membuat hidungku kembang - kempis. Mungkin aku berjalan terlalu cepat, jadi tanganku menyambar dinding rumah sakit sebagai tempat pegangan. Begitu badanku rasanya akan jatuh ke lantai, tiba - tiba aku merasa ada seseorang yang membawaku ke dalam pelukannya.
"Hei! Kau baik - baik saja?" Aku mendongakkan kepalaku dengan wajah kaget. Orang yang menolongku saat ini adalah cowok yang tadi sore mandi hujan di taman. Melihat wajahnya dari dekat, benar - benar membuatku melupakan rasa sakit beberapa saat.
"Akh!" Sampai akhirnya aku sadar, kalau aku butuh tabung oksigen untuk bantuan pernafasan.
...
Paginya, aku bangun kesiangan dan mama sudah siap dengan baju pegawainya bersama papa yang sedang sibuk mengunyah roti selai kacang buatan mama, "mama dan papa pergi dulu ya, kamu jangan lupa makan dan minum obat" aku cuma bisa menganggukkan kepala mendengar perkataan mama yang sama setiap harinya sebelum pergi bekerja. Kedua pipiku dicium mereka dan akhirnya aku kembali sendirian di kamar rawat yang membosankan.
Tidak berapa lama, pintu kamarku diketuk beberapa kali entah dengan siapa. Aku
yang baru selesai mandi buru - buru naik ke tempat tidur dan bersiap untuk diperiksa, karena ku pikir yang mengetuk adalah Dokter. Namun, pas pintu kamar dibuka, yang datang adalah cowok yang aku temui kemarin. Dia hari ini mengenakan kemeja bergaris berwarna biru langit dan biru tua lengkap dengan celana kain berwarna hitam. Di tangannya ada sebuket bunga mawar yang aku rasa terdiri dari sepuluh tangkai bunga mawar.
"Halo, Aisyah" cowok itu melambaikan tangannya masih pada posisi dia berdiri di pintu. Aku menyuruhnya masuk dan pria itu dengan riang masuk ke kamarku, "apa kau sudah baikan?" Tanyanya begitu sampai di dekat tempat tidurku dan meletakkan buket bunga bawaannya di atas meja.
"Sudah. Darimana kau tau namaku?" Cowok itu melihatku dengan wajah terkejutnya yang dibuat - buat. Matanya melirik ke arah papan kecil yang tergantung di satu bagian sisi tempat tidurku. Itu papan informasi pasien yang dirawat, "aku melihatnya disitu" tunjuk cowok itu dengan dagunya.
"Oh, lalu namamu?" Tanyaku gantian. Sejujurnya, dari semalam aku sudah penasaran dengan nama cowok ini.
"Daripada memberitahu namaku, bagaimana kalau kita keluar untuk bermain?" Aku melongo. Cowok ini bukannya menjawab pertanyaanku, tapi malah mengajak bermain.
"Memangnya boleh? Kata Dokter aku tidak boleh keluar kamar" jawabku dengan wajah sedih. Tiba - tiba, cowok itu mendekat ke arahku dan meraih tanganku lalu menariknya agar aku berdiri.
"Aturan itu dibuat untuk dilanggar, tau. Ayo bermain!" Tanpa sadar, aku dan cowok itu sudah berada di luar kamar. Dia terus menarikku sampai kami berdua tiba di taman tempat aku melihatnya mandi hujan kemarin.
"Kenapa kemari?" Tanyaku heran, tapi cowok itu malah tersenyum manis dan menyuruhku untuk menunggu. Sedangkan dia pergi untuk beberapa saat entah ke mana.
"Aku membelikan ini untukmu" dan kembali dengan membawa sebungkus besar permen kapas berwarna merah jambu. Aku yang mendapatkan hadiah tentu saja senang, tapi kemudian aku teringat kalau ini terlalu manis. Jadinya, aku menekuk wajahku, "Itu terlalu manis. Aku tidak boleh" lirihku.
"Kata siapa?" Bilang cowok itu. Dengan tiba - tiba cowok itu menjulurkan tangannya ke arahku. Aku yang bingung langsung menoleh ke arahnya dan ternyata dia ingin menyuapiku permen kapas yang ada di tangannya.
"Buka mulutmu dan makan ini. Aku sudah membelinya mahal!" Protes cowok itu yang membuatku merasa geli sekaligus bahagia.
"Apa ini aman?" Tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan kesehatanku kedepannya. "Percayalah padaku" bilang cowok itu padaku dan membuatku akhirnya menerima suapan permen dari tangannya.
"Ini manis!" Gumamku senang.
Beberapa kali menyuapiku, akhirnya permen kapas itu habis. Meski pun begitu, cowok itu masih terus tersenyum padaku hingga membuat pipiku merona. Kami lalu memutuskan untuk bermain bola kaki di taman, dengan bola hasil pinjaman. Setelah bermain bola, aku bercerita padanya kalau aku rindu Mirna dan sekolahku. Aku juga baru tahu, kalau cowok ini adalah anak pemilik rumah sakit dan seorang Mahasiswa jurusan Akuntansi.
Hingga sore tiba, aku dan cowok itu masih asyik mengobrol dan bermain. Sampai suster memisahkan kami, dengan alasan aku harus beristirahat kembali. "Hah! Aku lupa menanyakan namanya lagi!"
...
Hari selanjutnya, aku bertemu cowok itu ketika aku sedang duduk di kursi taman. Dia mengejutkanku dari belakang lalu tertawa begitu melihat wajah kagetku yang jelek.
"Sedang apa?" Tanyanya setelah mengambil posisi duduk di sampingku.
"Membaca majalah" jawabku lalu menunjukkan majalah yang saat ini memang sedang ku pegang. Cowok itu mengangguk dan tanpa sadar mengusak lembut rambutku. Aku yang terkejut hanya bisa menunduk diam, tapi tiba - tiba cowok itu bergumam maaf.
Setelah ku lihat cowok itu kembali, ternyata dia terkejut mendapati rambutku yang rontok terselip diantara jari - jari tangannya yang mengusak rambutku barusan. Ini efek dari kemoterapi yang aku lakukan tadi pagi dan sejujurnya, kepala ku masih terasa pusing.
Seakan mengerti, cowok itu mengeluarkan sebungkus permen dari dalam sakunya dan memberikan permen itu padaku. Tentu saja aku tidak menolak, karena aku suka makanan manis.
"Tidak apa - apa, kau akan terbiasa kok pada akhirnya" mendengar perkataan cowok itu sejujurnya aku merasa bingung, tapi setelah aku mencerna kembali perkataannya aku malah merasa seakan - akan dia bernasib sama denganku.
"Ini sakit, tapi tidak apa - apa. Aku juga sudah terbiasa dari setahun yang lalu"
bilangku setelah berhasil membuka bungkus permennya dan mengemut permen itu dengan senang.
"Benarkah?" Aku mengangguk, "Hem.. hem.. kau enggak akan tau deh rasanya seperti apa" jawabku sambil tertawa.
"Pokoknya, sesakit apa pun sakitmu jangan pernah berhenti untuk tersenyum" aku terdiam, lagi -lagi aku bingung dengan maksud perkataan cowok ini yang membuatku ragu.
"Sesakit apa pun dirimu, di luar sana masih ada kok yang lebih sakit dari ini" balasku sesuka hati saja, terus cowok itu mencubit ujung hidungku main - main.
"Tetaplah hidup" bisik dia di telingaku yang membuat aku ingin menangis. Dengan penyakit seperti ini, apa mungkin aku masih bisa tetap hidup? Dokter saja bilang, aku hanya bisa berdoa dan berharap Tuhan akan memperpanjang umurku. Lalu jika Tuhan menginginkan aku meninggal besok, apa yang harus aku lakukan agar tetap hidup?
Aku menundukkan kepalaku, membiarkan air mataku mengalir basah di pipi. Tak berapa lama, aku merasakan ada rintik hujan turun dari langit. Namun, aku dan cowok itu tidak berniat untuk berteduh.
Beberapa hari bersama dengannya, membuatku merasa senang dan bahagia. Aku bisa melampaui batasanku dan melanggar semua aturan yang Dokter bilang tidak boleh untuk aku lakukan. Beberapa hari ini juga aku sempat berharap untuk disembuhkan agar bisa hidup seribu tahun lagi. Namun aku sadar, Tuhan yang mengatur segalanya.
"Tetaplah... hidup" bisikku di telinga cowok itu setelah aku memberanikan diri untuk mendekatkan diri dan tersenyum dibalik basahnya wajahku karena terkena
hujan.
Namun, aku terlalu fokus pada perasaanku sendiri hingga aku tidak menyadari betapa dinginnya tubuh cowok itu. Betapa pucatnya wajah dia di bawah rintik hujan dan akhirnya dia pingsan ke arahku. Aku yang begitu panik langsung berteriak dan memanggil suster untuk menolong kami.
Cowok itu kemudian dibawa ke ruang UGD untuk diperiksa. Selama satu jam aku menangis di luar ruangan, berjalan bolak - balik hingga ada seorang Ibu menghampiriku dan bertanya apakah anaknya baik - baik saja. Aku yang juga panik hanya bisa menggelengkan kepalaku dan menangis semakin keras. Aku takut terjadi apa - apa padanya. Jika memang harus ada yang dijemput Tuhan, itu seharusnya adalah aku bukan siapa pun.
Sampai akhirnya, pintu ruang UGD terbuka dan keluar beberapa orang Dokter, "maaf, pasien sudah tidak bisa tertolong. Penyakitnya sudah menyebar ke seluruh bagian otaknya dan merenggut nyawanya. Maafkan kami, Bu"
... Untuk Anonim..
Dari awal bertemu sampai sekarang, aku tidak tahu siapa namamu. Kau datang padaku dengan penuh kebahagiaan yang aku tak pernah sangka ada sakit di dalamnya.
Aku tidak peka terhadap semua itu. Mungkin aku terlalu suka dengan wajahmu, sampai aku tidak bisa memahami apa yang sebenarnya isi hatimu.
Beberapa waktu bersama, membuatku berangan - angan tinggi untuk tetap hidup. Membuatku ingin selamanya berada di sini dan bertemu denganmu. Membuatku berharap Tuhan akan menjemputku lebih lama lagi. Tapi sekarang, yang
ditinggalkan adalah aku. Tuhan menjemputmu lebih dulu dan aku pasti akan merindukanmu.
Namun, setelah sekian lama aku akhirnya mengetahui namamu. Namamu yang tertulis di batu nisanmu saat ini.
Anonim, terima kasih sudah menjadi penyemangatku saat aku dalam sekarat dan maafkan aku karena aku tidak bisa menjadi apapun yang bisa berarti bagimu saat kau dalam keadaan sekarat. Bahkan saat ajal menjemput sekali pun.