Studi Assesment Pulau Ambo

  • Uploaded by: Adri Arief
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Studi Assesment Pulau Ambo as PDF for free.

More details

  • Words: 1,653
  • Pages: 6
STUDI ASSESMENT PULAU AMBO

By : A. Adri Arief1 Rahman Gambaran Umum Pulau Ambo merupakan pulau terbesar yang terdapat di kawasan Kepulauaan Bala Balakang

yang

pemerintahan

Desa

juga Bala

sebagai

pusat

Balakang

Timur

dengan membawahi 5 dusun. Pulau ini juga merupakan pulau terdekat yang dapat di akses dari Kabupaten Mamuju dengan waktu tempuh perjalanan ± 8 jam dengan menggunakan kapal perahu tangkap nelayan setempat dari tempat pelelangan ikan kota Mamuju. Jumlah penduduk pulau Ambo berjumlah 508 jiwa yang terdiri dari 250 jiwa perempuan dan 258 jiwa laki-laki, dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 110 (KK) yang terdiri dari dusun Ambo Utara dan dusun Ambo Selatan (Laporan desa Bala Balakang Timur, 2008). Pulau ini dapat dikatakan sebagai pulau dengan homogenitas penduduknya berasal dari suku mandar, dengan kondisi daerah yang merupakan daerah pulau dengan akses yang terbilang cukup jauh dari daratan Sulawesi maupun Kalimantan. Aktivitas mata pencaharian pokok masyarakatnya didominasi sebagai nelayan, yang terdiri dari nelayan pancing, nelayan penyelam (teripang, bubu), nelayan pembom, pedagang pengumpul hasil tangkapan nelayan serta 2 orang pengrajin perahu.

Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Ambo terbilang cukup rendah, hal ini didasarkan pada sebahagian kecil penduduk hanya mengeyam pendidikan dasar SD dan SMP sedangkan untuk melanjutkan ke jenjang yang berikutnya penduduk harus ke daerah Kota Mamuju, sehingga peluang terjadinya putus sekolah sangat tinggi. Fasilitas penunjang pendidikan formal berupa 1 unit Taman Kanak-kanak, 1 SD dan SMP Seatap.

1

Contact Person : Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si. Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamalanrea, Makassar 90245. E-mail : [email protected]

Kondisi riil pada sektor pendidikan yang di jumpai pada pulau ini, yakni kurangnya tenaga pendidik yang menyebabkan efektifitas belajar siswa kurang memadai.

Demikian halnya persepsi serta kondisi pemahaman pentingnya

pendidikan oleh orang tua murid masih sangat minim. Hal ini ditandai dengan banyaknya jumlah siswa mulai dari kelas 5-9 yang lebih mementingkan membantu orang tua untuk melaut dibandingkan untuk mengikuti mata pelajaran di sekolah dan juga jumlah siswa yang mengikuti ujian akhir sangat sedikit. Pentingnya pengukuran tingkat pendidikan penduduk suatu daerah sangat berpengaruh akan tingkat adopsi masyarakat terhadap suatu metode/informasi baru. Infrastruktur Pulau Ketersediaan infrakstruktur umum dan ekonomi sangat menunjang aktivitas masyarakat pulau.

Adapun

jenis sarana dan prasarana umum yang terdapat di

Pulau ini yaitu SD 1 buah, SMP Seatap 1 buah, Puskesmas 1 buah, Mesjid 1 buah, MCK 1 buah, Dermaga (dalam proses), Lapangan sepak bola 1 buah, Lapangan bulu tangkis 1 buah dan pasar kecil 1 buah. Sumber air tawar di Pulau Ambo hanya bersumber dari air hujan dan jika musim kemarau melanda, maka masyarakat memperoleh air minum dari daerah Mamuju. Untuk sarana penerangan listrik yang tersedia di pulau ini bersumber dari listrik non PLN yang berasal dari genset tenaga surya dan mesin diesel yang dimiliki oleh hampir masing-masing rumah dan selebihnya menggunakan pelita dan sebagainya. Pengelolaan Sumber Daya Laut Wilayah kepulauan Bala Balakang yang memiliki hamparan terumbu karang yang sangat luas menjadikan masyarakat yang bermukim lebih fokus untuk melakukan penangkapan ikan dibandingkan dengan melakukan budidaya laut (mariculture). Masyarakat di pulau Ambo terdiri dari nelayan pancing, nelayan penyelam (teripang, bubu), nelayan pembom dan nelayan pukat. Pemanfaatan sumberdaya laut yang diakses oleh masyarakat setempat pada umumnya merupakan sumberdaya ikan dengan nilai ekonomis tinggi yang dominan dijumpai seperti ikan lobster (Panulirus sp), kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dan beberapa jenis ikan kerapu (Ephinephelus spp), jenis ikan tersebut dipasarkan sebagai ikan hidup ke pedagang pengumpul setempat yang kemudian dipasarkan ke wilayah Mamuju dan Balikpapan sedangkan jenis hasil tangkapan lain yakni ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), katamba, hiu, kakap merah lebih banyak dipasarkan

dengan kondisi mati.

Sementara itu, nelayan luar yang juga memanfaatkan SDL

pulau ambo yakni : nelayan galesong (pemancing hiu, pancing);

Nelayan Buton

(pemancing hiu); Jawa (purse seine) dan Jawa timur (madura, hiu) yang sekaligus berperan sebagai buyer market (pembeli). Hampir

pada

umumnya

nelayan

di

pulau

ini

menggunakan

armada

penangkapan berupa perahu jolloro dengan kekuatan mesin 24 PK. Disamping itu, terdapat pula beberapa armada penangkapan dengan kekuatan mesin 30 PK yang dioperasikan oleh pedagang pengumpul dan nelayan setempat yang dimiliki oleh punggawa di Balikpapan. Total armada penangkapan yang digunakan masyarakat Pulau Ambo sebanyak 100 unit dengan kekuatan mesin yang digunakan rata-rata mesin dalam 24 PK Sementara untuk fishing ground nelayan menyebar disekitar pulau-pulau yang terdapat di kepulauan Bala Balakang dan juga terdapat pada daerah tertentu atau taka seperti gusung lumu-lumu (arah selatan pulau), ombak pecah (arah timur pulau), taka timur dan taka samanya (arah timur laut) dengan jumlah trip 1-2 kali/hari jika cuaca baik dan jaraknya dekat. Waktu operasi penangkapan didaerah ini tidak lagi menentu hanya saja jumlah trip penangkapan berkurang jika memasuki musim angin utara (Bulan Desember-Bulan Februari) dan angin selatan (Bulan JuniBulan

September)

memungkinkan

dimana

untuk

pada

waktu

melakukan

tersebut

operasi

kondisi

penangkapan

laut

sangat

dengan

tidak hanya

mengandalkan armada sejenis jolloro. Namun demikian, fakta dilapangan juga memperlihatkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang menggunakan cara yang destruktif (bom dan bius) juga masih marak.

Kondisi ini diasumsikan dampak dari rendahnya tingkat pendidikan

tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ramah lingkungan dan kesadaran pemanfaatan sumberdaya alam sebagai common resources. Meskipun kearifan tradisional telah banyak mengajarkan pentingnya keseimbangan dalam pemanfaatan alam, namun nilai-nilai local yang dimaksud masih inferior oleh kebutuhan pragmatis manusia yang senantiasa bertambah.

Hal yang menjadi penting sebagai catatan

bahwa upaya dalam melakukan diversifikasi aktivitas mata pencaharian juga mulai terkonteskan, dimanan budidaya rumput laut dan keramba jaring tancap juga mulai digalakkan. Pemasaran Hasil Perikanan Kegiatan pemasaran hasil tangkapan nelayan pada umumnya dilakukan dengan beberapa cara yakni ; bagi nelayan yang memiliki

kesepakatan/ikatan

dengan

punggawa maka hasil tangkapannya dipasarkan kepada punggawa tersebut, sedangkan

bagi

yang

tidak

memiliki

hubungan

bebas

memasarkan

hasil

tangkapannya ke beberapa pedagang pengumpul yang terdapat di pulau maupun pedagang pendatang yang biasa ditemui di tengah laut. Sistem pemasaran hasil perikanan yang terbentuk di masyarakat nelayan, pada umumnya diawali atau didasari oleh kebutuhan permodalan untuk aktivitas operasi penangkapan. sawi

sebagai

Hubungan ini dikenal dengan istilah hubungan ponggawa-

kelembagaan

perkreditan

non

formal

yang

menfasilitasi

keberlangsungan mata pencaharian masyarakat nelayan. Namun demikian implikasi dari hubungan semacam ini, nampak pada nilai tawar hasil tangkapan nelayan yang sering kali tidak seimbang dengan harga dipasaran umum.

Dari hasil wawancara

yang dilakukan, diketahui bahwa pola sistem peminjaman modal untuk usaha perikanan di pulau ini melalui kesepakatan dengan mekanisme bahwa ; nelayan ponggawa yang pada umumnya diperankan oleh pemodal (pelepas uang) dari Balikpapan,

akan

memberikan

seluruh

kebutuhan

operasional

penangkapan/permodalan kepada nelayan dan modal tersebut dikembalikan dengan cara dicicil melalui hasil tangkapan yang harus dijual kepada ponggawa dengan nilai yang telah ditentukan serta dikenakan potongan biaya 10%, hingga nilai potongan 10% tersebut dari setiap transaksi yang dilakukan dapat mencukupi nilai modal yang dipinjam sebelumnya. Ketergantungan permodalan kepada para ponggawa di Balikpapan disebabkan tidak adanya llembaga ekonomi formal masyarakat pesisir yang dapat dengan mudah diakses oleh nelayan setempat, sehingga keberlanjutan dari aktivitas produksi penduduk pulau masih terjembatani oleh kelembagan perkreditan non formal. Keterangan dari identifikasi model jaringan pemasaran yang ada terhadap produk perikanan dapat dilihat pada gambar berikut ini ;

Nelayan i teripang

Ponggawa

Makassar dan Balikpapan

ii

Kerapu, Sunu,Lobster

P.Pengumpul pulau

P.Pengumpul di pulau Popoongan

Pedagang di Makassar dan Balikpapan

iii

Ikan lain (pelagis kecil)

Konsumsi Lokal di Mamuju

i = jaringan pemasaran produk teripang ii = jaringan pemasaran produk kerapu, sunu dan lobster hidup iii = jaringan pemasaran produk ikan pelagis (tongkol,cakalang,katamba,dll)

kecil

Skema jaringan pemasaran hasil tangkapan nelayan Pulau Ambo Kelembagaan Kelembagaan formal dan non formal di pulau ini terdiri dari pemerintahan desa serta kelompok olah raga remaja. Disamping kelembagaan struktural tersebut, perangkat umum lainnya seperti imam desa, dan pranata sosial lainnya juga seperti punggawa-sawi juga ikut terkonteskan di Pulau Ambo.

Namun yang menjadi

perhatian bahwa peningkatan kapasitas masyarakat di pulau ini salah satu yang menjadi

kendala

adalah

belum

optimalnya

pengelompokan

nelayan

secara

teroganisasi. Sarana Komunikasi dan Informasi Fasilitas komunikasi berupa telepon tidak terjangkau di pulau ini. Demikian juga dengan telepon seluler belum dapat dinikmati oleh penduduk di Pulau Ambo. Sementara fasilitas komunikasi lainnya adalah televisi dan radio telah menjadi penyalur informasi bagi penduduk di pulau ini. Dalam hal pengetahuan mengenai teknologi informasi penangkapan seperti penggunaan GPS dan fish finder, menurut informan

diperoleh dari nelayan-nelayan pendatang dari luar pulau, khususnya

nelayan-nelayan dari Madura dan nelayan lainnya. Mengenai Penyuluhan perikanan, diperoleh keterangan bahwa petugas penyuluh lapangan belum pernah melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut pemberian informasi yang mendukung aktivitas mata pencaharian penduduk. pulau. Sementara mengenai informasi harga komoditi bersumber dari sesama nelayan. Pendapatan Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa distribusi tingkat pendapatan nelayan tertinggi dimiliki oleh pedagang pengumpul dengan kisaran tingkat pendapatan Rp.2.400.000-Rp.4.300.000/bulan. Nelayan penyelam menempati urutan kedua, dimana nelayan penyelam merupakan sistem penangkapan yang tergolong penangkapan aktif yang disini memiliki 2 cara penangkapan yakni memungut untuk produk teripang, dan membius untuk memperoleh tangkapan ikan sunu dan kerapu dengan

kisaran

pendapatan

Rp.2.000.000-

3.500.000/bulan.

Nelayan

pancing

merupakan nelayan dengan tingkat pendapatan yang terendah yakni berkisar antara

Rp.1.000.000-Rp.2.200.000/bulan, hal tersebut dikarenakan oleh sifat jenis

alat

tangkap yang tergolong pasif dalam memperoleh hasil tangkapan. Nilai pendapatan masyarakat tersebut tergolong pendapatan diatas rata-rata yang dinyatakan dalam indikator kemiskinan pendapatan untuk masyarakat wilayah kepulauan oleh Bank Dunia sebesar (<2 dollar/hari=Rp.20.000). Isu Permasalahan dalam pengelolaan Sumber daya laut Secara umum permasalah dalam pengelolaan SDL teridentifikasi sebagai berikut : o

Terjadinya konflik tentang lokasi penangkapan ikan dengan penduduk dari desa Bala Balakang Barat yang menggunakan alat tangkap destruktif, hingga kini

o

Telah adanya hasil kesepakatan antara Desa Bala Balakang Induk dan desa Bala Balakang Timur tentang pelarangan terhadap nelayan dari Desa

Bala

Balakang

yang

dominan

menangkap

ikan

dengan

menggunakan bius dan bom untuk beroperasi ke wilayah desa Bala Balakang Timur. Namun kesepakatan ini sudah mulai tergerus oleh karena pengawasan yang tidak lagi efektif serta justifikasi yang tidak dilakukan secara formal tentang aturan yang diberlakukan seperti halnya PERDES (Peraturan Desa) dan sebagainya . o

Aktifitas penangkapan destruktif yang frekuensinya terus bertambah

o

Banyaknya nelayan dari jawa (madura) yang melakukan penangkapan ikan-ikan pelagis kecil dan besar yang masuk ke wilayah ini hingga 100 unit dan secara rutin melakukan kegiatan penangkapan sepanjang tahun

sehingga

dapat

mengalami overfishing

dikatakan

kondisi

perairan

sekitar

telah

Related Documents

Studi
May 2020 33
Studi
June 2020 27

More Documents from "JUM'AN BASALIM"