Modern isas i Per ikanan : Apa yang Ter jad i? By : Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si. Modernisasi perikanan atau revolusi biru (blue revolution) merupakan ”jargon” politik sektor perikanan mengikuti succes story revolusi hijau sektor pertanian, dengan target peningkatan efisiensi dan produktivitas perikanan khususnya sumber daya laut. Kebijakan revolusi biru telah mengalami berbagai varian kebijakan mulai dari motorisasi, GERBANG MINA BAHARI (Gerakan Pembangunan Nasional Kelautan dan Perikanan) dengan tujuan menciptakan lapangan kerja baru, membangkitkan banyak efek pengganda atau multiplier effects dan menyentuh banyak kepentingan masyarakat kecil; the grass root, PROPEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan Budidaya), PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang bertujuan untuk menumbuh-kembangkan kultur kewirausahaan dikalangan masyarakat dan sebagainnya. Modernisasi perikanan yang dimulai sejak tahun 1970-an dipahami sebagai momentum perubahan sosial masyarakat nelayan, ketika itu pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan laut yaitu: modernisasi melalui penggunaan motorisasi dan teknologi alat tangkap yang modern; kebijakan pemberian fasilitas kredit berupa kredit usaha, mesin-mesin, perahu dan peralatan penting kepada para nelayan; pembangunan fasilitas infrastruktur yang mendukung kegiatan perikanan laut agar menjamin efektivitas dan peningkatan produksi berupa pelabuhan perikanan, ruang pendingin (coldstorage), tempat pengeringan ikan dan pelelangan ikan (TPI). Kemudian pada tahun 1980-1996 kebijakan ini diperbaharui lagi dengan diluncurkannya deregulasi perikanan yang mencakup pengembangan alat tangkap, pembangunan pelabuhan dan penambahan armada penangkapan ikan melalui kemampuan produksi dalam negeri maupun impor kapal bekas serta pemberian izin kapal asing. Selanjutnya dalam perkembangan revolusi biru, pemerintah tidak hanya mengintervensi nelayan melalui modernisasi perikanan, tetapi juga mengeluarkan berbagai regulasi hukum, misalnya Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 yang melarang pengoperasian jaring trawl (pukat harimau), pembuatan Undang-Undang Perikanan tahun 1995 dan sebagainya. Namun bukit empiric memberikan jawaban dari relevansi kebijakan revolusi biru serta berbagai regulasi yang dikeluarkan. Implikasinya belum sepenuhnya menunjukkan signifikansi secara riil terhadap kehidupan masyarakat nelayan khususnya nelayan grassroot sebagai common people. Sebagian besar nelayan tradisional di Indonesia sampai saat ini masih hidup dalam situasi sosial dan ekonomi di bawah standar (taraf hidup yang subsisten dan situasi sosial yang tertinggal) dan cenderung tereksploitasi.
Agaknya modernisasi dalam pengelolaan sumber daya laut belum seirama dengan peningkatan nasib nelayan tradisional yang diharapkan bertransformasi, menuju perikanan tangkap skala besar. Berbagai penelitian dapat menjelaskan hal tersebut. Raymond Firth (1975) misalnya, menemukan bahwa walaupun alat-alat modern dapat meningkatkan penghasilan secara keseluruhan, namun meningkatnya biaya modal telah menurunkan penghasilan rata-rata per-angkatan kerja secara berarti, sehingga nelayan tenaga upahan pendapatannya tergantung dari banyaknya hasil tangkapan yang sebelumnya dikurangi dengan berbagai macam biaya yang ditentukan oleh pemilik usaha. Karena itu, nelayan upahan lagi-lagi dalam posisi yang tidak diuntungkan. Kemudian Arief, A.A (2002) menunjukkan hubungan kerja antara nelayan, punggawa (pemilik modal) dan pedagang ikan, dimana posisi nelayan merupakan pihak yang paling tidak diuntungkan dengan hubungan itu. Iskandar dan Matsuda (1989) mempertegas bahwa margin yang jatuh ke tangan nelayan dan pembudidaya ikan hanya sekitar 5 hingga 10 persen saja, selebihnya jatuh ke tangan mereka (para tengkulak tingkat desa, pedagang tingkat lokal, pedagang tingkat regional dan sebagainya). Sementara Agusanty (2004), menemukan biasnya keuntungan kepada juragan atau punggawa laut (pemimpin operasi penangkapan) dan punggawa darat (pemilik modal) dalam kelompok kerja (working group). Salman dan Lampe (1993) juga membuktikan sama bahwa pemilik modal menerima jauh lebih besar dari pada nelayan yang menjual tenaga kerjanya. Demikian halnya Satria (2001) melihat bahwa ketidakmerataan bagi-hasil (sharing production) dalam hubungan produksi sebagai faktor sulitnya nelayan mangakumulasi modal untuk melakukan mobilisasi secara vertikal begitu juga pelapisan sosial yang terbentuk senantiasa menempatkan nelayan pekerja dalam posisi paling bawah (upper class) Secara umum, kondisi yang dialami oleh nelayan tradisional seperti gambaran diatas dapat diasumsikan sama di semua daerah di Indonesia. Penelitian Nasikun (1996), di daerah Muncar, Jawa Timur, Elfiandri (2002), di pantai barat, Sumatera Barat dan Iwan (2002), di daerah Kelurahan Nipah I dan II Kabupaten Tajung Jabung Jambi, mengungkapkan kesimpulan dengan substansi yang sama bahwa akibat penetrasi paham kapitalisme dalam aktivitas nelayan menyebabkan kelompok nelayan dan buruh nelayan lebih cepat terseret dalam kemiskinan. Ini menunjukkan betapa perubahan mode of production dari sistem tradisional menjadi modern justru membawa sejumlah persoalan, karena proses yang terjadi tidak dibarengi oleh pergeseran hubungan kerja ke arah yang saling menguntungkan. Justru yang berkembang, pemilik modal (kapal dan teknologi penangkapan) malah menciptakan mekanisme ketergantungan karena kekuasaan yang dimilikinya (kapital dan akses pasar).
Sementara itu, Mubiyarto (1984) menghubungkan modernisasi dengan fenomena konflik. Dikatakan bahwa beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan modern setiap nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan sampai 58 %, sehingga menjadi pemicu terjadinya konflik antar kelompok-kelompok nelayan. Apa yang dikatakan oleh Mubiyarto sangat relevan. Teridentifikasi sedikitnya lima hal yang menjadi pemicu konflik antar kelompok nelayan sebagai dampak pengaruh modernisasi perikanan dan eforia otonomi daerah1, yaitu : (1) adanya perbedaan upaya tangkap (effort) yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi sehingga menimbulkan kecemburuan sosial antar kelompok nelayan karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding perikanan rakyat, (2) orientasi yang berbeda, yaitu nelayan yang berorientasi pasar dengan nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional. Penggunakan alat tangkap yang merusak (destuctive fishing) versus penerapan nilainilai tradisi yang sarat dengan upaya perlindungan terhadap alam fisik (3) perebutan penangkapan (fishing ground), biasanya terjadi antar nelayan yang berbeda domisili. Konteks ini pernah diungkapkan oleh Donald K. Emerson tatkala meneliti kehidupan nelayan tradisional di daerah Pati, Jepara, Rembang dan Demak pada tahun 1977, dimana dampak dari modernisasi perikanan telah menimbulkan konflik horizontal yang berujung pada pembakaran kapal-kapal penangkap ikan modern. Fenomena ini ternyata tidak mengalami perubahan sampai kini, kasus serupa masing sering terjadi di daerah-daerah pesisir pantai Timur Sumatera seperti Tajung Balai, Deli Serdang dan Langkat, pantai barat Sumatera, perairan pantai utara Jawa, perairan Kalimantan Barat kepulauan Natuna dan Sulawesi Selatan (Takalar, Sinjai, Selayar, Bulukumba, Bone), (5) konflik primordial, konflik ini agak kabur sebagai konflik tersendiri, karena seringkali sebagai selubung dari konflik lainnya yakni konflik kelas, konflik orientasi maupun konflik agraria. Sementara Kusnadi (2002) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik karena nelayan tradisonal, semi-tradisonal dan modern bersaing secara bebas dan kompetitif mendapatkan sumberdaya perikanan, sehingga dalam persaingan bebas yang tidak seimbang tersebut, berlaku hukum besi “siapa yang kuat, dialah yang menang” yang merupakan pemicu timbulnya konflik terbuka di antara mereka. Kesimpulan dari apa yang menjadi gambaran diatas memperlihatkan bahwa modernisasi perikanan yang berlangsung tidak lebih sebagai “modernisation without development” seperti apa yang dikatakan Sajogyo (1982), karena modernisasi perikanan yang terjadi kelihatannya hanya bias kepada yang lebih memiliki aksesibilitas terhadap modernisasi. Sementara, untuk nelayan kecil (tradisional) dan sawi (buruh) semakin terseret ke dimensi kemiskinan dan ketergantungan karena diduga tidak memiliki akses pada modernisasi.