Dampak Sosek Destructive Fishing

  • Uploaded by: Adri Arief
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dampak Sosek Destructive Fishing as PDF for free.

More details

  • Words: 1,680
  • Pages: 7
DAM PAK SO SIAL E KONO MI P ENG GUNAAN ALA T TANG KAP TI DAK RA MAH LIN GKU NG AN ( DES TR UC TI VE F ISHI NG ) Oleh : Dr. Andi Adri Arief, S.Pi,M.Si1)

Pendahuluan Pengelolaan sumberdaya ikan sangat erat kaitannya dengan pengelolaan operasi penangkapan yang dilakukan.

Menjadi sebuah persoalan yang klasik bahwa dalam

memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan cara eksploitasi yang dilakukan seringkali tidak mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip tata laksana perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries - CCRF). Praktik perikanan destruktif salah satu bagain dari kejahatan perikanan (Illegal Fishing) yaitu kegiatan penangkapan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dengan cara merusak sumberdaya ikan dan ekosistemnya melalui penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat atau cara serta bangunan sehingga merugikan atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. Keadaan ini dikatakan sebagai kejahatan atau melanggar hukum (illegal) karena memiliki dampak temporal, bukan saja pada saat tindakan dilakukan (destructive fishing), tetapi juga dimasa yang akan datang. Merusak sumberdaya dan lingkungan perikanan pada saat ini akan membawa kerugian bukan saja bagi generasi sekarang tetapi juga bagi generasi masa depan, karena sumberdaya dan lingkungan perikanan memiliki kemampuan memperbaharui diri yang terbatas. Oleh karena itu, kerusakan sumberdaya dan lingkungan perikanan melalui penggunaan

teknologi

destruktif,

membutuhkan

waktu

yang

lama

untuk

mengembalikannya pada kondisi seperti semula. Dengan kata lain, kerusakan lingkungan dan sumberdaya perikanan pada saat sekarang akan menutup peluang bagi generasi masa depan untuk memanfaatkan lingkungan dan sumberdaya tersebut. Dengan demikian 1

.Staf Pengajar Jurusan Perikanan, Program Studi Sosial Ekonomi, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

1

maka pelanggaran seperti ini memiliki dampak social ekonomi yang cukup besar dan luas spektrumnya. •

Bentuk-Bentuk Destructive Fishing Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa destructive fishing

merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum (kejahatan). Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan oleh beberapa faktor ; (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut (3) Lemahnya kemampuan SDM Nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi (4) Masih lemahnya penegakan hokum, serta (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum. Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang dikatakan sebagai destructive fishing, beberapa diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut : •

Penggunaan bahan peledak bom (dengan bahan berupa pupuk; cap matahari, beruang, obor).

Tropical Research and Conservation Centre (TRACC)

mengungkapkan secara matematis, bahwa setiap bahan peledak yang beratnya kurang lebih 1 kilogram diledakkan, dapat membunuh ikan dalam radius 15 hingga 25 meter, atau sekitar 500 meter persegi, dan menyisakan kawah sedalam sekitar 3 hingga 4 meter diameter terumbu karang. Sementara IMA Indonesia (2001) mencatat penggunaan bahan peledak berukuran botol minuman yang paling banyak dilakukan oleh nelayan diperkirakan merusak setidaknya 10 meter persegi. Kadang-kadang bom berukuran kecil dilempar lebih dulu untuk mematikan ikan-ikan kecil, lalu disusul dengan bom yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Penangkapan ikan dengan cara menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah, terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang

2



Penggunaan bahan kimia seperti :, bius (kalium cianida – KCn) dan tuba (akar tuba). Kegiatan penangkapan dengan bius dan tuba dilakukan pada daerah karang yang diduga masih memiliki ikan yang banyak. Pelaku menyemprotkan bius atau tuba

kesela-sela

karang

agar

ikan

stress,

pingsang

sehingga

mudah

mengambilnya. Bahkan tidak jarang pelaku membongkar karang dengan linggis untuk mendapatkan ikan yang masih ada dalam liang karang. Dampak ekologisnya, penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenisjenis ikan karang, misalnya ikan hias, kerapu dan sebagainya. Disamping itu, dalam satu kali semprotan yang mengeluarkan sekitar 20 mililiter mampu mematikan terumbu karang dalam radius 5 kali 5 m persegi dalam waktu relatif 3 hingga 6 bulan. •

Penangkapan ikan dengan trawl (pukat harimau). Pukat harimau (trawl) merupakan salah satu alat penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan. Alat ini berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring yang sangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut. Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu ke dasar perairan. Akibat penggunaan pukat harimau secara terus menerus menyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan.

• Dampak Sosial Ekonomi Kerusakan ekosistem laut dan pantai akibat kegiatan destructive fishing seperti bom, bius, tuba dan trawl berkomplementasi langsung terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat

nelayan.

Kegiatan

penangkapan

ikan

dengan

menggunakan

bom

menyebabkan karang hancur, ikan-ikan kecil mati, bahkan kelangsungan jiwa dari pelaku juga dapat terancam bahkan sampai mati. Selain itu, kegiatan penggunaan bom juga dapat menyebabkan kegiatan budidaya ikan dalam keramba terganggu dan penggunaan obat bius dapat merusak pertumbuhan budidaya rumput laut berubah menjadi putih dan mati. Artinya bahwa dampak sosial ekonomi yang dapat muncul adalah akan terjadinya konflik horisontal bagi pengguna sumberdaya laut yang open acces yang dilatari oleh terganggunya akitivitas mata pencaharian sebagian masyarakat dari imbas yang ditimbulkan. Banyak contoh kasus yang dapat diilustrasikan dari uraian diatas seperti 3

konflik nelayan tradisional dengan nelayan pengguna alat tangkap trawl di Takalar, tragedi berdarah Tambolongan, Selayar pada akhir tahun 1995 antara nelayan pembom dari Pulau Polassi dengan warga Tambolongan karena dianggap mengganggu dan merusak mata pencaharian nelayan lokal dan banyak lagi kasus-kasus lain yang mengarah kepada koflik yang anarkis. Pemicunya adalah berkurangnya sumber pendapatan akibat kelangkaan sumberdaya perikanan yang menjadi basis perekonomian rumah tangga masyarakat nelayan. Lebih rinci FAO (Food and Agricultural Organization) merekomendasikan beberapa dampak penggunaan teknologi yang merusak baik secara ekologi maupun secara social ekonomi. Dampak negatif yang ditimbulkan secara ekologi yaitu : kerusakan keaneragaman hayati (biodiversity); degradasi habitat; kontaminasi dan polusi; mortalitas langsung yang terjadi atas organisme perairan; serta hubungan predatormangsa yang terganggu. Sementara untuk dampak negatif dalam konteks sosial ekonomi disebutkan antara lain adalah : konflik antar nelayan; dampak atas kesempatan kerja dan penggunaan tenaga kerja; konflik laten penggunaan faktor input yang langkah dan terbatas; serta terganggunya kebebasan sipil (civil liberties) (FAO, 1996). Dari berbagai rilis penelitian dan beberapa analisa lapangan, penggunaan bahan peledak, racun sianida dan sebagainya, hanya akan memberikan keuntungan jangka pendek pada beberapa orang pengusaha bermodal besar saja, tetapi merugikan seluruh masyarakat pada masa datang. Penangkapan ikan dengan bius memberikan manfaat sebesar 33.000 dolar AS per kilometer persegi terumbu karang dalam jangka waktu analisis sekitar 25 tahun. Tetapi kerugian yang ditimbulkan akibat penurunan hasil tangkapan dan pariwisata sebesar 43.000 - 476.000 dolar AS per tahun perkilo meter persegi. Manfaat yang didapat perorangan dari penangkapan dengan bahan peledak hanya 15.000 dolar AS, tetapi kerugiannya mencapai 98.000-761.000 dolar AS per kilometer perseginya, karena fungsi daya dukung perikanan menurun, fungsi perlindungan pantai hilang dan fungsi pariwisata habis. Pemboman ikan dengan cara destruktif ini akan merugikan sekitar 521,4 juta dolar AS, sedangkan manfaat jangka pendek didapatkan hanya 475.5 juta dolar AS, artinya manfaat netto yang dinikmati masyarakat minus 46 juta dolar AS (Azis, 2008).

4



Ketentuan Hukum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan maupun dalam

Keputusan Presiden dan atau Keputusan Menteri dan atau Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal, menjelaskan dan menegaskan tentang larangan terhadap penggunaan bahan peledak, bahan beracun, dan aliran listrik yang dikategorikan sebagai alat tangkap yang merusak. Pada pasal (8) ayat 1, 2, dan 3 dengan substansi yang sama untuk tidak menggunakan cara-cara penangkapan dengan menggunakan bahan kimia, biologis atau bahan peledak.

Selanjutnya dikatakan dalam pasal (84) ayat 1, 2 dan 3 mengenai

ketentuan pidana bagi barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap apa yang disebutkan oleh pasal (8) akan dikenai hukuman penjara paling lama 5 (lima) sampai 6 (enam) tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Larangan Penggunaan Jaring Trawl, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl: kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan jaring trawl dihapus secara bertahap; Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980, terhitung mulai tanggal 1 Juli 1980 sampai dengan tanggal 1 Juli 1981 kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl dikurangi jumlahnya, sehingga seluruhnya tinggal menjadi 1000 (seribu) buah; Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980; bahwa Presiden RI mengintruksikan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983 di seluruh Indonesia tidak lagi terdapat kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl. Sementara itu, Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 tentang Senjata api dan Bahan Peledak Pasal 1 ayat (1), yaitu memiliki bahan peledak secara tidak sah dengan ancaman minimal hukuman penjara 20 tahun, hukuman seumur hidup sampai tingkat hukuman mati.

5

PENUTUP Isu terhadap destructive fishing, ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan: Pertama, Meningkatkan komitmen penegakan hukum pemerintah akan penerapan sanksi yang tegas. Kedua, Mendorong berlangsungnya pengelolan bersama. Selama ini penerapan aturan pengelolaan dan lemahnya pendampingan teknis perikanan menjadi kendala. Tawaran alternatif kegiatan yang berkelanjutan kurang digalakkan. Kegiatan budidaya perikanan, ekstensifikkasi alat tangkap yang ramah lingkungan susah diakses oleh nelayan kecil. Mestinya, ketika masayarakat pesisir utamanya nelayan, mengalami tekanan ekonomi, mereka bisa berekstensifikasi dengan berbagai cara atau alat tangkap yang lebih efektif dan ramah lingkungan. Pengelolaan perikanan yang sangat kompleks dan open access, hanya bisa diefektifkan dengan prinsip kerjasama antar stakeholders. Sebuah kolaborasi pengelolaan yang memberikan laternatif usaha yang lebih ramah lingkungan dan tentu saja ekonomis. Ketiga, Peningkatan Kapasitas Aparat dan Masyarakat. Kapasitas yang dimaksudkan adalah menigkatkan pengetahuan tentang pentingnya kelestarian lingkungan dan konservasi, kesadaran hukum politik baik pada aparat penegak hukum dan juga masyarakat pesisir.

6

Namun demikian, UKM juga tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang cukup krusial. Secara spesifik setidaknya terdapat empat permasalahan internal, yang merupakan problem klasik yang dihadapi UKM. Keempat permasalahan internal tersebut adalah : (1) terbatasnya penguasaan dan pemilikan aset produksi, terutama permodalan; (2)

rendahnya

kemampuan

SDM;

(3)

ditinjau

dari

konsentrasi

pekerjaan

sumberdayanya, pengembangannya terhambat oleh konsentrasi rakyat di pedesaan yang bergerak pada sektor lokalitas; (4) kelembagaan usaha belum berkembang secara optimal dalam penyediaan fasilitas bagi kegiatan ekonomi rakyat. Sementara permasalahan eksternal konteksnya lebih kepada : (1) terbatasnya pengakuan dan jaminan keberadaan UKM; (2) kesulitan mendapatkan data yang jelas dan pasti tentang jumlah dan penyebaran UKM; (3

7

Related Documents

Fishing
October 2019 42
Fishing
June 2020 20
Destructive Flyer
May 2020 9
Destructive Forces
December 2019 15
Dampak Dampak Freeport
September 2019 47

More Documents from "Badru din"