Skrining Dan Penyuluhan Dm Tipe-2.docx

  • Uploaded by: Nia Uktriae
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skrining Dan Penyuluhan Dm Tipe-2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,423
  • Pages: 11
Skrining dan Penyuluhan pada DM Tipe-2 Nia Uktriae NIM : 10214113. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana 2012, Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510, Telp: 021-56942061, E-mail : [email protected]

Pendahuluan Diabetes Melitus (DM) Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya teloransi karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial aterosklerosis dan penyakit vaskular mikroangiopati. Penyakit DM adanya kecendrungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Tingginya angka penderita DM ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah pola hidup dan pola makan yang tidak teratur. Selain karena faktor pola makan dan gaya hidup yang tidak baik, DM bisa timbul karena kelainan yang terjadi pada sistem tubuh yang berfungsi untuk mengatur pengeluaran insulin.

Definisi Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya teloransi karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial aterosklerosis dan penyakit vaskular mikroangiopati. Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemia akibat insensivitas sel terhadap insulin, kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankrean, maka diabetes melitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent diabetes melitus.

1

Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kanikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankrean dan atau gangguan fungsi insulin(resisntensi insulin).1 Epidemiologi Penyakit DM adanya kecendrungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi di berbagai penjuru dunia. Badan kesehatan dunia(WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.2

Etiologi Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer. 7 Agaknya, diabetes melitus tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (yaitu, asupan kalori berlebihan, pengeluaran tidak memadai obesitas, kalori) yang ditumpangkan di atas genotipe rentan. Indeks massa tubuh di mana berat badan berlebih meningkatkan risiko

untuk

diabetes

bervariasi

dengan

kelompok-kelompok

ras

yang

berbeda. Sekitar 90% pasien yang mengidap diabetes mellitus tipe 2 adalah obesitas. Faktor risiko utama untuk diabetes mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut: 

Umur lebih dari 45 tahun (meskipun, seperti disebutkan di atas, diabetes mellitus tipe 2 terjadi dengan frekuensi yang meningkat pada orang muda)



Bobot yang lebih besar dari 120% dari berat badan yang diinginkan



Riwayat keluarga diabetes tipe 2 pada seorang saudara tingkat pertama (misalnya, orang tua atau saudara)



Sejarah toleransi glukosa terganggu sebelumnya (IGT) atau glukosa puasa terganggu (IFG)



Hipertensi (> 140/90 mm Hg) atau dislipidemia (high-density lipoprotein [HDL] tingkat kolesterol <40 mg / dL atau tingkat trigliserid> 150 mg / dL)



Sejarah diabetes mellitus gestasional atau melahirkan bayi dengan berat lahir ≥ 4000 gram



Sindrom ovarium polikistik (yang mengakibatkan resistensi insulin)3,4

2

Skrining dan deteksi penyakit dalam populasi Misi epidemiologi adalah untuk menunjang program kesehatan masyarakat. Tujuan ahli epidemiologi adalah untuk memahami kausalitas dan hubungan penyakit sehingga program pengendalian penyakit, pencegahan dan program perlindungan dapat dikembangkan dan diterapkan untuk melindungi populasi. Program skrining merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mencapai misi dan sasaran epidemiologi tersebut. Program skrining dapat dilakukan secara pasif seperti pemeriksaan mata disekolah dasar atau secara ambisius seperti skrining multifase yang diadakan di mall perbelanjaan atau bazar kesehatan. Skrining didefinisikan sebagai pelaksanaan prosedur sederhana dan cepat untuk mengidentifikasi dan memisahkan orang yang tampaknya sehat, tetapi kemungkinan berisiko terkena penyakit, dari mereka yang mungkin tidak terkena penyakit tersebut. Skrining dilakukan untuk mengidentifikasi mereka yang diduga mengidap penyakit sehingga mereka dapat dikirim untuk menjalani pemeriksaan medis dan studi diagnostik yang lebih pasti. Skrining multifase adalah penggunaan suatu kombinasi tes dan diagnostik yang dilakukan secara berurutan oleh tekhnisi dibawah arahan medis terhadap sekelompok besar orang yang sehat. Skrining multifase menggunakan serangkaian tes skrining tersebut sebagai upaya pencegahan untuk mengidentifikasi penyakit atau kondisi apa pun pada populasi yang kelihatannya sehat. Skrining terkadang dipertukarkan maknanya dengan diagnosis, tetapi skrining itu sendiri merupakan prekursor untuk diagnosis. Tes skrining, seperti tes penglihatan, pengukuran tekanan darah, pap smears, pemeriksaan darah, dan x-rays dada dilakukan pada kelompok besar atau populasi. Tes skrining memiliki titik potong yang digunakan untuk menentukan mana orang yang berpenyakit dan mana yang tidak. Diagnosis diberikan kepada pasien secara perorangan oleh dokter atau institusi perawatan kesehatan berkualitas lainnya. Diagnosis selain menggunakan hasil tes, juga melibatkan evaluasi tanda dan gejala, dan mungkin melibatkan penilaian yang subjektif berdasarkan pengalaman dokternya. Diagnosis adalah hak prerogatif dokter. Tes skrining dapat dilakukan oleh tekhnisi medis di bawah pengawasan dokter. Skrining tidak ditujukan untuk menyaingi diagnosis, tetapi lebih sebagai proses yang digunakan untuk mendeteksi kemungkinan suatu kondisi penyakit sehingga dapat dirujuk untuk diagnosis. Diagnosis tidak hanya memperkuat atau menyanggah tes

3

skrining, tetapi juga dapat membantu menetapkan validitas, sensitivitas, dan spesifisitas uji.5 Pertimbangan program skrining Wilson dan junger menetapkan beberapa hal yang harus dipertimbangkan ahli epidemiologi saat merencanakan dan melaksanakan program skrining. Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, skrining paling efektif jika dapat mencapai sebagian besar populasi. Berikut faktor yang perlu dipertimbangkan ketika merencanakan program skrining untuk kelompok populasi yang besar: 1.

Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah medis utama

2.

Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit yang terungkap saat proses skrining dilakukan.

3.

Harus tersedia akses ke fasilitas dan pelayanan perawatan kesehatan untuk diagnosis dan pengobatan lanjut penyakit yang ditemukan

4.

Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali, dengan keadaan awal dan lanjutannya yang dapat diidentifikasi

5.

Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit

6.

Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyarakatumum4

7.

Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami, termasuk fase reguler dan perjalanan penyakit, dengan periode awal yang dapat diidentifikasi melalui uji

8.

Kebijakan, prosedur, dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan siapa yang harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis dan tindakan lebih lanjut.

9.

Proses harus cukup sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau berpartisipasi

10.

Skrining jangan dijadikan kegiatan sesekali saja, tetapi harus dilakukan dalam proses yang teratur dan berkelanjutan

4

Tes skrining Sensitivitas dan Spesifisitas Sensitivitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar mereka yang terkena penyakit- presentase mereka yang terkena penyakit dan terbukti terkena penyakit seperti yang diperhatikan melalui uji. Sensitivitas memperlihatkan proporsi orang yang benar-benar sakit dalam suatu populasi yang menjalani skrining dan teridentifikasi secara tepat terkena penyakit melalui tes skrining. 𝑠𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 =

positif benar positif benar + negatif palsu

=

positif benar semua orang berpenyakit

Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar presentase mereka yang tidak terkena penyakit. Orang yang tidak terkena penyakit dan terbukti tidak terkena penyakit seperti yang ditujukkan melalui suatu uji. Spesifisitas menunjukkan proporsi orang yang tidak terkena penyakit dalam populasi yang menjalani skrining dan mereka yang diidentifikasi dengan benar sebagai orang yang tidak terkena penyakit melalui uji skrining. 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑓𝑖𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = =

negatif benar negatif benar + positif palsu negatif benar 𝑋 100% semua orang berpenyakit

Sensitivitas dan spesifisitas bukan nilai yang mutlak, setiap uji perorangan akan menghasilkan respons yang berbeda. Sensitivitas dan spesifisitas terbentuk untuk setiap tes melalui penggunaan tes yang berulang kali dalam satu rentang waktu.5

Macam-macam skrining 1. Mass screening adalah screening secara masal pada masyarakat tertentu 2. Selective screening adalah screening secara selektif berdasarkan kriteria tertentu, contoh pemeriksaan ca paru pada perokok; pemeriksaan ca servik pada wanita yang sudah menikah 3. Case finding screening adalah upaya dokter/tenaga kesehatan untuk menyelidiki suatu kelainan yang tidak berhubungan dengan keluhan pasien yang datang untuk kepentingan pemeriksaan kesehatan 4. Single disease screening adalah screening yang dilakukan untuk satu jenis penyakit

5

5. Multiphasic screening adalah screening yang dilakukan untuk lebih dari satu jenis penyakit contoh pemeriksaan IMS; penyakit sesak nafas

Kriteria Evaluasi Suatu alat (test) skrining yang baik adalah mempunyai tingkat validitas dan reliabilitas yang tinggi, yaitu mendekati 100%. Selain kedua nilai tersebut, dalam memilih tes untuk skrining dibutuhkan juga nilai prediktif (Predictive Values). 1. Validitas Validitas adalah kemampuan dari tes penyaringan untuk memisahkan mereka yang benar-benar sakit terhadap yang sehat. Validitas merupakan petunjuk tentang kemampuan suatu alat ukur (test) dapat mengukur secara benar dan tepat apa yang akan diukur. Validitas mempunyai 2 komponen, yaitu: -

Sensitivitas: kemampuan untuk menentukkan orang sakit.

-

Spesifisitas: kemampuan untuk menentukan orang yang tidak sakit.

Kedua nilai tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, yakni bila sensitivitas meningkat, maka spesifisitas akan menurun, begitu pula sebaliknya. Untuk menentukan batas standar yang digunakan pada tes penyaringan, harus ditentukan tujuan penyaringan, apakah mengutamakan semua penderita terjaring termasuk yang tidak menderita, ataukah mengarah pada mereka yang betul-betul sehat. Nilai prediktif adalah besarnya kemungkinan dengan menggunakan nilai sensitivitas dan spesivitas serta prevalensi dengan proporsi penduduk yang menderita. Nilai prediktif dapat positif artinya mereka dengan tes positif juga menderita penyakit., sedangkan nilai prediktif negatif artinya mereka yang dinyatakan negatif juga ternyata tidak menderita penyakit. Nilai prediktif positif sangat dipengaruhi oleh besarnya prevalensi penyakit dalam masyarakat dengan ketentuan, makin tinggi prevalensi penyakit dalam masyarakat, makin tinggi pula nilai prediktif positif dan sebaiknya.

6

Disamping nilai sensitivitas dan nilai spesifisitas, dapat pula diketahui beberapa nilai lainnya seperti: a. True positive, yang menunjuk pada banyaknya kasus yang benar-benar menderita penyakit dengan hasil tes positif pula. b. False positive, yang menunjukkan pada banyaknya kasus yang sebenarnya tidak sakit tetapi test menunjukkan hasil yang positif. c. True negative, menunjukkan pada banyaknya kasus yang tidak sakit dengan hasil test yang negatif pula. d. False negative, yang menunjuk pada banyaknnya kasus yang sebenarnya menderita penyakit tetapi hasil test negatif.

Tabel 1

Positif

Negatif

Jumlah

Sakit

Tidak Sakit

Jumlah

A

B

a+b

(true +)

False (+)

C

D

(False -)

(True -)

a+c

b+d

c+d

a+b+c+d

2. Reliabilitas Kemampuan suatu tes memberikan hasil

yang sama/konsisten bila tes

dilakukan lebih dari satu kali sasaran (objek) sama dan pada kondisi yang sama pula.6

7

Pencegahan Kanker Serviks Pencegahan kanker serviks terdiri dari beberapa tahap, yaitu: 1. Pencegahan Primer a. Sasaran primer pencegahan primer Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kellompok intoleransi glukosa. Faktor risiko Diabetes Melitus Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu: A. Faktor Risko yang Tidak Bisa Dimodifikasi: 

Ras dan etnik



Riwayat keluarga dengan DM



Umur: Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia >45tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.



Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional(DMG).



Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurangdari 2,5kg. Bayi dengan lahir bb rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi yang lahir dengan BB normal.

B. Faktor Risiko yang Bisa Dimodifikasi 

BB lebih(IMT ≥23 kg/m2).



Kurangnya aktivitas fisik



Hipertensi (>140/90 mmHg)



Dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan/atau trigliserida >250mg/dl)



Diet tak sehat. Dimana diet dengan tinggi glukosa dan rendah serat akan meningkatkan risiko dan rendah serat akan meningkatkan prediabetes/intoleransi glukosa dan DMT2.

C. Faktor Lain yang Terkait dengan Risiko Diabetes Melitus 

Penderita Polycystic Ovary Syndrome(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin.

8



Penderita sindrom metabolik yang memiliki yang memiliki riwayat tolernsi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.



Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD.

b. Materi Pencegahan Primer Diabetes Melitus Tipe 2. Pencegahan primer dilakukan dengan tindakan penyuluhan dan pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi antara lain: A. Program penurunan berat badan 

Diet sehat



Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal



Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara tinggi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak(peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan.



Komposisi diet sehat mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat larut.

B. Latihan Jasmani 

Latihan Jasmani yang dianjurkan: o Latihan dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal) atau 90menit/minggu dengan latihan aerobik berat (mencapai denyut jantung >70% maksimal) o Latihan

jasmani

dibagi

menjadi

3-4

kali

aktivitas/minggu. C. Menghentikan Kebiasaan merokok D. Pada kelompok dengan risiko tinggi diperlukan intervensi farmakologi.

9

2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulkanya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis DM. Tindakan pencegahan sekunder dilakukan dengan pengendalian kadar glukosa sesuai target terapi serta pengendalian faktor risiko penyulit yang lain dengan pemberian pengobatan ynag optimal. Melakukan deteksi dini adanya penyulit merupakan bagian dari pencegahan sekundeh. Tindakan ini dilakukan sejak awal pengelola penyakit DM. Program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan sehingga mencapai dalam menjalani program pengobatan sehingga mencapai target terapi yang diharapkan. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada pertemuan berikutnya. 3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta meningkatkan kualitas hidup. Upaya rehabilitasi pada pesien dilakukan sidini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Pencegahhan tersier memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan terintegritas antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerjasama yang baik antara para ahli diberbagai disiplin (jantung,ginjal, mata, saraf, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dan lain-lain) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

Kesimpulan Skrining adalah strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk mendeteksi suatu penyakit individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu. Dan melakukan pecegahan primer dengan cara penyuluhan dimana terdiri dari program penurunan berat badan, latihan jasmani, berhenti dari kebiasaan merokok, melakukan intervensi farmakologi pada kelompok dengan risiko tinggi.

10

Daftar Pustaka 1. Fatimah RN.(2015). “Diabetes melitus tipe 2”. JMAJORITY. 4,(5), 94. http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/615/619 diunduh pada tanggal 13 juli 2018 2. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia 2015. Jilid 1. Jakarta: PB Perkeni.2015.h. 1,61-64. 3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009.h.1880-82, 1900-13. 4. Powers AC. Diabetes melitus. In: Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill; 2008.p.2293. 5. Timmreck TC. Epidemiologi: suatu pengantar. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004. h. 337-345. 6. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Edisi ke-1. Jakarta: EGC; 2009. h. 159-160.

11

Related Documents


More Documents from "etri"