Sikap Pesimis Yang Berlebihan

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sikap Pesimis Yang Berlebihan as PDF for free.

More details

  • Words: 667
  • Pages: 2
Sikap Pesimis Yang Berlebihan Seringkali tatkala saya menulis tentang masa depan, yang saya gambarkan bisa lebih baik, banyak mendapat respon negative, dengan nada membantah. Sepertinya masa depan tidak bisa dirancang menjadi lebih baik. Saya tetap pada pendirian semula, bahwa masa depan sesungguhnya tergantung pada kita. Jika kita yakin, banyak belajar, dan bekerja keras, serta menyempurnakan dengan doa, memohon kepada Allah, usaha itu insya Allah berhasil. Beberapa kali saya terlibat dalam pengembangan lembaga pendidikan, ternyata selalu ada saja orang-orang yang bersikap pesimis dan bahkan juga apatis. Mereka mengatakan tidak mungkin dicapai kemajuan. Alasannya, tidak ada dana yang tersedia. Selain itu juga dikemukakan alasan yang bernuansa sejarah, bahwa sejak lama dikembangkan, tetapi gagal. Kegagalan itu selalu dijadikan dalil, bahwa apapun usaha yang dilakukan juga akan gagal. Saya berpikir sebaliknya. Bahwa usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh, total, memanfaatkan berbagai potensi akan mendapatkan keberhasilan. Apalagi, usaha yang dilakukan secara bersama, atau berjamaáh, maka akan berhasil. Memang, ada kunci yang harus dipegang, yaitu tatkala bekerja dalam organisasi, maka harus ada kesatuan niat, tekat, semangat berjuang yang diikuti oleh kesediaan berkorban. Jika hal ini bisa dibangun, insya Allah usaha itu berhasil. Setidaknya sudah dua kali, saya terlibat dalam memimpin pengembangan lembaga pendidikan. Pertama, di Universitas Muhammadiyah Malang dan yang kedua, di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Kedua lembaga pendidikan Islam ini, pada awalnya sangat kecil dan tidak diperhitungkan orang. Penampilan kampus, jumlah mahasiswa, dan dosen serta fasilitas, di kedua lembaga pendidikan ini sangat sederhana. Atas kenyataan itu, maka tidak banyak orang tertarik dan memperhatikan. Saya masih ingat, ketika mulai terlibat memimpin kampus Universitas Muhammadiyah pada awal tahun 1980 an, jumlah mahasiswanya tidak lebih dari 300 an orang. Selain itu kampus ini juga tidak memiliki dosen tetap. Mereka yang mengajar hanyalah merupakan tenaga sisa yang pada umumnya di pagi hari, mereka berdinas sebagai dosen di PTN atau pegawai Pemda. Demikian pula para mahasiswanya, mereka kebanyakan adalah berstatus pegawai yang ingin mendapatkan ijazah perguruan tinggi, agar status kepegawaiannya bisa ditingkatkan. Demikian pula tatkala saya terlibat mengembangkan STAIN Malang yang kemudian berubah status menjadi Universitas Islam Indonesia Sudan, lalu berubah lagi menjadi UIN Malang, dan terakhir kampus ini diberi nama oleh Presiden SBY, menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Sama dengan kampus Universitas Muhammadiyah Malang, STAIN Malang pada awalnya juga berukuran kecil, sekalipun lembaga tersebut berstatus negeri. Jumlah mahasiswa, dosen, maupun fasilitas yang dimiliki sangat terbatas jumlahnya. Bahkan, karena keadaan gedungnya ketika itu dibangun sudah cukup lama, dan berukuran kecil, lagi sederhana, maka banyak orang mengatakan bahwa

kampus tersebut seperti SD Impres. Baik ketika terlibat memimpin Universitas Muhammadiyah Malang maupun tatkala memimpin UIN Maulana Malik Ibrahim, saya selalu memberikan pandangan bahwa apa saja yang tampak dari lembaga di mana kita berada, sesungguhnya adalah merupakan gambaran nyata dari sikap, cita-cita, cara kerja, dan kualitas pengabdian terhadap lembaga yang sedang dikembangkan. Jika kita tidak memiliki kepercayaan bahwa lembaga itu bisa dikembangkan, dan apalagi selalu pesimis, bahwa hambatan sedemikian banyak, sehingga tidak melahirkan cita-cita, etos, cara kerja yang produktif, maka tentu saja lembaga tidak akan berkembang. Banyak orang tatkala mau memulai membangun sesuatu, yang dipikirkan adalah betapa besarnya tantangan dan hambatan yang harus dilalui, serta betapa sedikitnya potensi yang dimiliki. Pikiran-pikiran seperti ini yang selanjutnya saya sebut sebagai cara berpikir pesimis yang berlebihan, yang seringkali justru menambah beban dan kelemahan yang disandang. Oleh karena sibuk berpikir yang tidak menguntungkan itu, maka akibatnya melahirkan kepercayaan diri yang rendah, yang kemudian sebagai buahnya tidak ada keberanian untuk melangkah, dan melakukan sesuatu yang berskala besar. Melalui tulisan sederhana dan singkat ini, sesungguhnya saya hanya ingin berbagi pengalaman, bahwa sikap-sikap pesimis tidak pernah akan memberikan untung apa-apa. Islam memberikan pelajaran bahwa sebagai umat Islam harus memiliki sikap optimisme, untuk meraih yang terbaik. Dalam Islam digambarkan kehidupan masa depan yang membahagiakan, seperti konsep Qoryah Thoyyibah, Baldatun Thoyyibatun Wa Rabun Ghofur, Ummatan Wahidah, dan bahkan juga Jannah atau surga, yakni kehidupan yang serba indah dan membahagiakan. Semua itu sesungguhnya bisa diraih oleh siapapun yang mau meraihnya, dengan cara membangun keimanan yang kokoh, amal sholeh dan akhlakul karimah. Dan, bukan sikap pesimisme yang berlebihan. Wallahu a’lam.

Related Documents


More Documents from "saktika binuka prabawa"