Mutiara Ramadhan Haluan
Shaum Ramadhan melatih Sabar dan Syukur Oleh:H.Mas'oed Abidin. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberikan tuntunan di dalam Al Quranul Karim, yang artinya : "Dan sesungguhnya Kami akan mengujimu dengan sesuatu cobaan, seperti ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan. Namun gembirakanlah orang orang yang shabar. Yaitu orang orang yang bila di timpa malapetaka (musibah) diucapkannya "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un". Merekalah orang orang yang mendapat berkat dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka pulalah orang orang yang mendapat petunjuk" (QS.2,Al Baqarah,ayat 155 157). Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menetapkan satu ketentuan yang amat pasti di dalam kehidupan manusia yakni keyakinan akan adanya musibah di samping nikmat, siang sesudah malam, juga rugi di samping laba, sakit dan senang, bahkan hidup dan mati, adalah satu sunnatullah yang pasti dilalui secara bergantian, oleh setiap makhluk hidup. Rasulullah SAW senantiasa mengingatkan supaya manusia selalu menjaga kesehatan sebelum sakit datang, supaya senantiasa berhati hati sewaktu kaya karena miskin bias datang mendera, supaya selalu pula berhati hati di kala hidup masih ditempuh sebelum mati datang menjelang, dan juga agar selalu berhati hati di masa muda sebelum tua datang menghadang. Bimbingan Agama Islam pada hakekatnya menanamkan satu sikap hidup yang positif, yaitu "kehati hatian", atau dalam istilah di Minangkabau ingek-ingek sabalun kanai, kulimek sabalun abih, ingek-ingek nan ka pai, agak-agak di nan ka tingga. Maka, setiap insan Muslim diajarkan hidup di dalam sikap optimistis yang tinggi, selalu menjaga diri, senantiasa berbuat baik, karena sesudah hari ini, akan ada hari esok. Inilah ajaran agama yang haq. Musibah adalah ujian dan iktibar. Di dalam pandangan agama Islam, hidup ini selalu ada padanannya, kembar atau bergandengan. Di dalam musibah terkandung makna yang dalam. Di antaranya mengingatkan manusia, bahwa dirinya berada di dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa, sebagai inti dari ajaran tauhid. Musibah, tidak selamanya bernilai azab. Adakalanya hanya ujian belaka. Di balik ujian, mungkin tersedia yang lebih baik dari sebelumnya. Matematika seperti ini kadang kala tidak terangkat oleh bingkai rasionil semata, karena berada di dalam 'wilayah' keyakinan, sebagaimana diperingatkan wahyu Allah SWT, 'Asaa an takrahu syai an wa huwa khairun lakum, wa 'asaa an tuhibbu syai an wa huwa
syarrun lakum. Wallahu ya'lamu wa antum laa ta'lamun. Artinya, boleh jadi, engkau membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu (di balik sesuatu yang dibenci), dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu (mungkin di balik yang disenangi, terdapat sesuatu yang sangat dibenci). Dan Allah semata yang Maha Tahu, sedang engkau tidak mengetahui (mengenai rahasia di balik semua peristiwa). Begitulah bimbingan wahyu Al Quran pada Surah Al Baqarah. (QS. 2 : 216). Musibah atau cobaan dalam kehidupan mengandung ajakan untuk melakukan suatu koreksian (introspeksi). Bila masa sebelumnya terdapat suatu kelalaian, maka sesudah itu harus tumbuh sikap kesungguhan memperbaiki situasi kearah yang lebih baik. Dan bila pada masa masa sebelumnya yang tersua adalah kebaikan, maka ada kewajiban meningkatkan menjadi lebih sempurna. Sehingga dengan setiap kali datangnya musibah (ujian) manusia senantiasa meningkat tarafnya kepada suatu tingkat yang lebih tinggi. Cobaan-cobaan tidak semestinya menjadikan manusia berputus asa. Cobaan tidak semestinya menjadikan manusia hilang kepercayaan diri. Kepercayaan diri akan lenyap di kala manusia melupakan Tuhan dan membelakangi ajaran agamanya. Benteng agama yang dianugerahkan untuk setiap manusia di dalam menghadapi musibah adalah sabar, tegar dan tabah mengiringi ikhtiar yang lebih baik dalam kemasan bekerja dan berdo'a. Di sini kita mendapatkan pelajaran utama bahwa shaum Ramadhan mengajarkan kesabaran dan syukur atas nikmat Allah, sesuai substansi puasa itu “la ‘allakum tat-taquun” dan “la ‘allakum tasykuruun” dengan kembali kepada Allah dengan mematuhi semua ajaran Nya, dan menjauhi setiap larangan Nya. Inilah sesungguh hakekat sabar yang sebenar, supaya kita bersegera kembali kepada Allah SWT, dengan istighfar memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan, baik diketahui ataupun tidak, dan melazimkan saling memaafkan. Kembalilah beribadah kepada Allah, hidupkan fikiran dan gerakkan tenaga, cari apa yang di redhai Allah, supaya Allah senantiasa meredhai usaha kita. Jangan berputus asa terhadap rahmat dan lindungan ALLAH. Begitulah hendaknya, Amin. Wassalam, Buya H. Masoed Abidin
[email protected]