Eric Grigorian
Sejarah Tumbuh di Kampung Kami Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
Mardiyah Chamim
Kata Pengantar Buku
Sejarah Tumbuh di Kampung Kami bercerita tentang kawasan pantai dan pesisir Aceh pasca
tsunami 26 December 2004 dari sudut pandang serta pengalaman Mardiyah Chamim seorang wartawati Tempo. Bagi siapapun yang sedikit atau banyak melibatkan diri dalam peristiwa sesudah bencana tsunami, pengalaman di Aceh meninggalkan kesan yang amat mendalam. Tidak terkecuali rupanya bagi Mardiyah, yang menjalani profesi sebagai insan pers, seorang wartawan. Para wartawan adalah orang yang tahu banyak. Mereka terlatih untuk merekam peristiwa dan menuliskannya. Apa yang mereka ketahui sungguh banyak. Namun keterbatasan ruang dalam media, serta kebijakan maupun selera editor membatasi apa yang mereka sajikan kepada publik. Sebagian dari mereka memilih untuk menyerah pada keterbatasan ini. Mereka memilih untuk mengutamakan apa saja yang oleh media digolongkan sebagai "newsworthy", layak liput. Celakanya setelah terjerat dengan keterbatasan ini, mereka kemudian menciptakan sikap tersendiri, menjadi eksklusif. Seakanakan apa yang tidak mereka mereka liput tidak eksis. Mereka menjadi amat mengetahui tentang apa yang layak liput, tetapi tidak tahu apa-apa di luar itu. Andaikata pun tahu, karena tidak layak liput tidaklah dianggap penting. Buku yang ditulis oleh Mardiyah, memuat cerita tentang Aceh yang sebagian besarnya tidak diliput oleh media. Dari sini pembaca mudah-mudahan memahami bahwa Mardiyah telah berikhtiar jauh diluar kewajibannya sebagai seorang jurnalis. Dari buku ini pun mudah-mudahan pembaca dapat mengetahui bahwa yang berperan dalam proses rekonstruksi dan penyembuhan Aceh jauh lebih besar jumlahnya dan jauh lebih jamak ragamnya dibandingkan dengan apa yang hanya dapat kita ikuti dari liputan media. Bencana tsunami menimbulkan banyak korban baik jiwa, harta benda maupun kawasan. Tetapi tragedi ini menciptakan peluang yang amat besar bagi terwujudnya masa depan yang cerah bagi Aceh, menjadi masyarakat yang maju, dinamis dan sejahtera. Dengan segala cerita yang penuh haru dan mampu menyentuh perasaan kita yang paling dalam, optimisme semacam ini terpancar dari buku Mardiyah. Oleh karena itu kita semua perlu bersikap arif serta menyertai saudara-saudara kita di Aceh merumuskan masa depannya secara jernih. Penderitaan mereka sungguh sudahamat lama berlangsung. Untuk Mardiyah saya mengucapkan selamat atas lahirnya buku ini, karya seseorang jurnalis yang mempunyai kemauan keras untuk keluar dari kotaknya dan menanggapi tragedi tsunami dari sudut pandang seseorang yang mempunyai komitmen kemanusiaan yang utuh.
(Ir. Sarwono Kusumaatmadja)
Kata Pengantar Mengalahkan Tirani Keterbatasan Ruang
Bagi seorang penulis – dan juga wartawan – buku adalah mahkota kepengarangan. Khususnya bagi seorang wartawan, buku juga sebuah katup untuk menyalurkan tirani keterbatasan ruang media massa. Mungkin sekali itulah yang dirasakan Mardiyah Chamim, wartawan TEMPO yang dikirim ke Aceh untuk meliput pasca musibah tsunami. Berminggu-minggu ia di sana – mencium bau mayat serta busuk puing dan sampah, berhadapan dengan kepedihan ribuan orang yang kehilangan harta pusaka dan jiwa orang-orang tercinta. Tetapi, “Jakarta” hanya memerlukan sekian laporan yang masing-masing terdiri atas sekian ribu karakter. Too many stories, too little space! Diyah tidak menyerah pada tirani keterbatasan ruang. Di sela-sela kesibukannya sebagai pewarta, dengan tekun ia mengurai catatan-catatannya, diusiknya kembali perasaan yang dialaminya selama bertugas di sana, dan semua itu dituangkannya ke dalam tulisan panjang yang diterbitkan sebagai buku ini. Saya pun berada di Aceh ketika Diyah bertugas di sana. Bedanya, saya sebagai relawan yang tidak hanya mengamati, melainkan melaksanakan pekerjaan di lapangan untuk membantu apa saja yang dapat dibantu: mengusung mayat, menurunkan bahan pangan dari palka kapal dan menaikkannya lagi ke truk, dan banyak lagi pekerjaan “kotor” yang harus kami lakukan. Ketika itu saya menjadi bagian dari sekian ribu relawan dari seluruh penjuru dunia yang mungkin dengan congkaknya – seperti juga diamati Diyah – berkata: “Hei, saya ke sini untuk menolong kalian semua!” Tetapi, saya kira Diyah pun mengalami saat-saat depresi seperti yang saya alami. Begitu banyak malam-malam yang kami lewati sambil terpanggang di atas tilam atau lapik tipis. Tubuh penat, tetapi mata tak bisa terpejam, karena pikiran terus bekerja memutar “video” musibah dahsyat yang terbentang di mata kami. Terbayang mayat-mayat yang tadi diusung. Terbayang wajah-wajah duka yang penuh harap menanti anggota keluarga yang belum kembali. Terbayang kemarahan para korban yang lapar karena jatah bantuan justru “disadap” oleh mereka yang tidak terkena musibah. Semua itu terjadi di depan “background” reruntuhan dan keporak-porandaan di mana-mana. Diyah menuliskan semua itu dalam buku ini. Mata dan telinganya yang tajam sebagai wartawan membuatnya mampu menyimak semua fenomena petaka yang terjadi. Ia merekam semuanya dengan rajin. Dan di sinilah mengemuka pelajaran kewartawanan yang selalu saya kemukakan kepada semua pemula: hukum input-output. Tanpa input yang memadai, tak mungkin ada output berupa karya tulis yang lengkap dan indah. Diyah juga beruntung “dibesarkan” di lingkungan TEMPO yang punya tradisi jurnalistik sastrawi, sehingga mampu mengemukakan catatan-catatannya dalam sebuah tulisan yang indah. Hati perempuannya yang lembut melengkapi unsur kehalusannya bertutur, tanpa membuat tulisannya menjadi melodramatis. Ia melihat dengan mata dan telinga wartawan yang tajam, menyaring semua fakta dan data dengan nurani yang jernih dan lembut, dan menuliskannya dengan teknik jurnalistik sastrawi yang mengagumkan. Selamat atas lahirnya buku ini. Semoga akan banyak lagi buku-buku Diyah lainnya di masa depan. (Bondan Winarno)
Pengantar Penulis Niat adalah Magnet Sebagai wartawan, saya beruntung menjadi saksi sejarah atas apa yang terjadi di Aceh setelah bencana tsunami, 26 Desember 2004. Inilah bencana terbesar dalam sejarah peradaban modern. Sebuah kehormatan tak terhinga untuk menjadi bagian dari kesaksian tentang peristiwa dahsyat ini. Jika dikenang saat ini, begitu banyak kejadian ajaib yang saya alami. Saya tak pernah paham, kok bisa saya kuat berangkat ke Aceh, di tengah keadaan yang hiruk-pikuk tak menentu ketika itu? Bagaimana pula saya bisa punya stamina berada di tanah nanggroe selama lebih dari setahun di tengah situasi serba menegangkan? Beberapa hari setelah tsunami, seorang diri saya berangkat ke kantor perwakilan Adam Air – maskapai ini resmi ditutup tahun 2008. Saya meminta diberi kesempatan mendapat kursi gratis untuk memberangkatkan 15 orang relawan yang dikoordinasi Tempo. Saya menumpang ojek sepeda motor menuju kantor Adam Air, ketika itu ada di ruko di gang di dekat Cengkareng. Lokasi yang belum pernah sekali pun saya datangi sebelumnya. Seorang diri saya menghadapi bos-bos Adam Air yang memandang saya dengan tatapan heran, “Alah, bisa apa sih kamu?” Sebuah pertanyaan wajar. Saya tak pernah bergabung dengan organisasi pecinta alam, tak punya keahlian survival di tengah hutan, saya sama sekali bukan sosok yang gagah berani. Saya juga tak punya uang melimpah. Saya ini orang biasa-biasa saja. Lalu, tiba-tiba semua pintu seperti terbuka. Saya percaya ada kekuatan ajaib yang memudahkan segala urusan. Singkat kata, saya berangkat ke Aceh, memimpin selusin teman sekelas “Mc Gyver” yang bergabung dalam tim relawan Tempo. Berikutnya, drama demi drama pascabencana saya saksikan. Ranting demi ranting sejarah sedang bertunas di hadapan dan di sekitar saya. Sebuah tekad pun menggumpal di dada: saya harus mengabadikan sejarah Aceh yang sedang tumbuh ini sebisa mungkin. Saban malam saya membuat catatan. Kadang di notes, kadang di laptop saya yang sudah uzur. Pernah suatu kali, saat mengetik catatan di laptop, listrik mati dan seorang kawan menumpahkan kopi di papan ketik laptop itu. Aduh, sedihnya. Beruntung, laptop bisa diselamatkan dan catatan saya terjaga sehat walafiat. Akhir Desember 2005, pada peringatan setahun tsunami, kepingan kisah yang saya alami diterbitkan dalam buku berjudul “Sejarah Tumbuh di Kampung Kami.” Beberapa pekan lalu, seorang sahabat, Henry C. Widjaja, fotografer yang penyair, menyarikan perjalanan saya. Apa yang saya lakukan di Aceh, menurut dia, adalah bukti bahwa niat adalah magnet.
“Intention works like magnet, it attracts what we needs, that’s the way we met. A friend indeed,” kata Mas Henry berpuisi. Pada perbincangan di sebuah sore mendung itu, Mas Henry berbaik hati membuat potret saya untuk ditampilkan pada website ini. Dan, itulah yang terjadi. Niat baik saya disambut alam semesta. Tak sedikit sahabat dan dermawan yang membantu saya melalui berbagai tikungan tajam di sepanjang perjalanan saya di Aceh. “Journey to Aceh” ini tak lepas dari daya magnet niat baik. Para sahabat tak segan bekerja keras membantu saya, antara lain Mbak Avi Mahaningtyas yang menjadi inisiator gagasan dan Dwi Rahardiani yang bekerja bak lokomotif menghela seluruh rantai program. Ada pula Dudi Gurnadi Kartasasmita yang merancang keseluruhan sistem website ini bersama Nurudin Jauhari dan Aris Bangun Wismo Aji. Desain grafis e-book dikerjakan oleh Catharina Dwihastarini. Dari jauh, Eric Grigorian, fotografer pemenang World Press Photo 2002, tak ketinggalan menyumbangkan koleksi foto yang dahsyat untuk melengkapi e-book dan blog ini. Dengan kerendahan hati dan niat baik pula, melalui website ini saya membagikan buku “Sejarah Tumbuh di Kampung Kami” dalam format e-book --dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Silakan mengunduhnya dengan gratis. Tak terkira bahagia saya bila Anda berkenan membagi e-book ini kepada saudara, sahabat, dan kerabat. Selamat membaca. Banda Aceh, 22 April 2009
(Mardiyah Chamim)
TERIMAGEUNASEH
M enerbitkan
k e m b a l i “ S e j a r a h Tu m b u h d i K a m p u n g K a m i - - C a t a t a n d a r i A c e h ,
Z o n a Pa n a s Ts u n a m i ” d a l a m f o r m a t e - b o o k a d a l a h s e b u a h t e r o b o s a n g e n i u s . Dalam format digital dan bilingual ini, jangkauan buku menjadi tak terbatas. Sungguh sebuah kehormatan bagi saya untuk menjadi wartawan yang pertama kali merilis e-book di Indonesia. Te r i m a k a s i h s a y a s a m p a i k a n k e p a d a p a r a s a h a b a t y a n g t e l a h s u d i b e k e r j a k e r a s m e w u j u d k a n g a g a s a n i n i . M e r e k a a d a l a h Av i M a h a n i n g t y a s , D w i L e s t a r i Rahardiani yang menjadi lokomotif seluruh program, Dudi Gurnadi Kartasasmita yang merancang sistem website bersama Nurudin Jauhari dan Aris Bangun Wismo A j i , d a n p e r a n c a n g g r a f i s C a t h a r i n a D w i h a s t a r i n i . Te r i m a k a s i h j u g a s a y a h a t u r k a n k e p a d a E r i c G r i g o r i a n , f o t o g r a f e r p e r a i h p e n g h a r g a a n Wo r l d Pr e s s Ph o t o 2 0 0 2 , y a n g t e l a h m e n y u m b a n g k a n k o l e k s i f o t o - f o t o n y a y a n g d a h s y a t .
(Mardiyah Chamim)
Mardiyah Chamim Wartawan Tempo sejak 1998. Menjelajah berbagai desk, antara lain ekonomi, nasional, kesehatan, sains, gaya hidup, dan investigasi. Sejak Januari 2009 ditugasi menjadi Direktur Eksekutif Institut Tempo, sebuah lembaga yang dicita-citakan menjadi pusat pengembangan jurnalistik di Indonesia. Lulusan Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1996. Setelah lulus kuliah, bergabung dengan Majalah Warta Ekonomi (1996) sebagai staf riset dan kemudian menjadi reporter di majalah Panji Masyarakat (1997).
E-BOOK SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI – Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami (print published in December 2005) Penulis : Mardiyah Chamim Editor : Dwi Setyo Irawanto Tim Penerjemah edisi bahasa Inggris : Tjandra Mualim, Lela E. Madijah, Linda Hollands Sjahlim Editor edisi Bahasa Inggris : Oei Eng Goan, Richard Bennett Graphic Designer : Catharina Dwihastarini This e-book also present photos by Eric Grigorian, winner of World Press Photo 2002
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
PROLOG Tentang Kehilangan
Warga Krueng Raya di tengah reruntuhan rumahnya, (Nefransjah)
P
R
O
L
O
Tentang Kehilangan
G
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
PROLOG Tentang Kehilangan
K e h i l a n n g a n . Ta k b a n y a k k a t a y a n g s a n g g u p m e l u k i s k a n p e r a s a a n ini: sebuah lorong gelap yang menganga, menusuk menikam jauh ke ulu hati. Tikaman itu kian tak tertahankan ketika yang hilang adalah orang-orang terdekat, dan bukan hanya satu, sepuluh, atau seribu, yang “pergi” bersama-sama dalam tempo sekejap. Lewat mata korban tsunami yang tersisa, kita tahu, lubang gelap itu alangkah dalamnya.
L
orong gelap itu pula yang menyedot Fahrumi, 32 tahun, sehingga ia memilih hidup di atas taksi. Dia menyewa sebuah sedan tua warna kuning untuk dijadikan rumah, tempat tingal sekaligus sumber penghasilan. Sepanjang hari, pagi-siang-malam, ia berkeliling, mondar-mandir ke seantero kota mencari penumpang (yang tak selalu ada), atau sekadar menghabiskan umur. Fahrumi bukan tak punya tenda pengungsian tempat ia bisa pulang. Namun, katanya, “Tinggal di tenda membuat saya selalu teringat anak istri. Saya bisa gila. Bahkan sampai sekarang, mayat mereka pun tak dapat saya temukan. ” Ada kalanya, jika rasa rindu begitu menyiksa, Fahrumi mampir, datang ke tapak bekas rumahnya di Gampong Blang Oi, Ulee Lheue, Banda Aceh. Di antara reruntuhan, tak ada lagi yang dapat dia temui, kecuali “sedikit lantai yang masih tinggal”.
Rumah, perkakas, perabot, semua hilang sudah — tapi
semua itu tak juga menghapus kenangan kepada isteri dan anak lelaki satu-satunya. Barangkali, kenangan seperti itu pula yang setiap kali membelai hati Amalia. Upik berumur lima tahun ini ditinggalkan Si Abang, kakak sekaligus kawan bermain yang setia. Setiap selesai sembayang, Amalia tak pernah lupa berdoa, “Ya Tuhan, tolong kembalikan Abang. Adik sekarang tak punya kawan bermain.” Rusmalia, seorang ibu separuh baya yang saya temui di Lamno, 60 kilometer dari Banda Aceh, dengan penuh harap menitipkan foto anak lelakinya yang tak pernah berkabar lagi sejak tsunami. “Dik,“ “ katanya penuh harap, “tolong tempel foto ini di posko orang hilang. Siapa tahu bisa ketemu.” Saya tak tahu bagaimana harapan itu tetap menyala, dan apakah masih ada gunanya. Membayangkan diri tiba-tiba ditinggalkan orang-orang terdekat adalah hal terakhir yang terlintas di benak saya. Tapi bagi Fahrumi, Amalia, Rusmalia, dan ratusan ribu penduduk Aceh lainnya, kehilangan bukan hanya bayangan, Musibah itu datang dan merenggut orang-orang tercinta itu tanpa permisi, tanpa pernah memberi mereka pilihan. Sejak itu, hidup tak pernah kembali normal, hidup tak lagi sama seperti dulu.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
PROLOG Tentang Kehilangan
Kepada mereka yang telah banyak kehilangan itulah catatan ini saya tulis. Dengan kerendahan hati, saya ingin mempersembahkan sesuatu untuk Fahrumi, Amalia, Rusmalia, dan ratusan ribu orang lain yang tetap bertahan hidup setelah tsunami menghanyutkan orang-orang terkasih di sekeliling mereka. Bukan sesuatu yang muluk dan berkilau, persembahan saya hanya sekadar catatan tentang apa yang saya saksikan, saya lihat, saya dengar, saya rasa, dan saya pikirkan selama bergaul dengan Aceh dan Nias dalam setahun terakhir.
Menjadi relawan bukan sekadar soal membantu, menolong, atau mengulurkan tangan kepada yang membutuhkan.
Sebagai wartawan yang ikut menjadi relawan di Aceh pascatsunami, ada banyak catatan yang saya kumpulkan dengan beragam perspektif. Namun, saya tak bermaksud menjadikan buku ini sebagai rujukan yang berat dengan teori-teori dan analisis sosiokultural yang melangit. Buku ini hanya merupakan kumpulan kesan yang saya peroleh selama berada di lapangan, mungkin dengan kacamata yang naif atau sok tahu. Catatan ringan ini juga tak bisa menghindari sudut pandang yang pribadi dan barangkali emosional. Beberapa urusan “dapur” juga kerap muncul. Bukan karena mau bergenit-genit, tapi saya sekadar ingin jujur dan apa adanya. Relawan juga rocker, eh, manusia…. Saya bukan ahli mengenai Tanah Seulawah. Sebelum tsunami saya bahkan belum pernah menapakkan kaki di Aceh. Paling jauh pergaulan saya dengan Aceh hanya menyangkut penulisan perkembangan terakhir konflik RI-GAM, melakukan wawancara dengan tokoh Aceh di Jakarta atau berkontak telepon dengan teman-teman yang bertugas di lapangan. Itu semua, paling tidak sebagian besar, saya lakukan dari belakang meja kantor di Majalah Tempo. Karena itu, mohon dimaafkan apabila catatan ini kadang-kadang masih bernuansa “halo, kami datang menyelamatkan Anda semua.…” ” Sebisa mungkin saya menghindari sudut pandang seperti ini, yang banyak muncul pada catatan volunteer di media massa. Sebuah upaya yang, harus saya akui, tidak terlalu sukses. Menjadi relawan bukan sekadar soal membantu, menolong, atau mengulurkan tangan kepada yang membutuhkan. Saya selalu teringat pada pernyataan Karlina Supeli, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, tentang pekerjaan relawan. Mbak Karlina mengatakan soal ini ketika saya ragu, adakah saya punya nafas panjang untuk menjadi relawan yang bukan cuma seminggu-dua minggu bekerja di Aceh. “Ini sebuah proses yang berlangsung dua arah. Bukan hanya kita yang berusaha menguatkan masyarakat, tapi masyarakat juga akan menguatkan kita,” kata Karlina. Proses yang
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
PROLOG Tentang Kehilangan
berlangsung dua arah ini menempatkan relawan dan masyarakat pada posisi yang sejajar, masing-masing punya sesuatu yang bernilai untuk memberi dan menerima. Benar apa kata Mbak Karlina. Perjalanan berbulan-bulan
Memang, ada kalanya saya merasa frustasi karena tak bisa berbuat banyak.
mengenal Aceh, berteman dengan nelayan, merasakan duka ibu yang kehilangan anak-anaknya, adalah kekayaan batin tak terkira. Menyaksikan orang-orang kuat ini berusaha bangkit dari titik nadir membuat saya merasa mendapat suntikan semangat. Secara tidak terduga saya juga berinteraksi dengan orang-orang dengan berbagai warna dan latar belakang tetapi disatukan dengan semangat kemanusiaan dan petualangan. Ini merupakan pengalaman luar biasa yang selalu saya syukuri. Memang, ada kalanya saya merasa frustrasi karena tak bisa berbuat banyak. Ada saat ketika saya merasa begitu jengkel, mengapa upaya membantu orang harus terbentur begitu banyak tembok. Rasa geram itu kerap muncul terutama karena saban hari kita melihat puluhan wakil lembaga donor, dalam dan luar negeri, susah payah melakukan assesment, tapi bantuan tak kunjung tiba. Masyarakat yang sedih, lapar dan letih lahir batin, dihujani pertanyaan serupa: berapa korban jiwa di desa ini, berapa total yang masih hidup, berapa jumlah anak usia sekolah yang perlu dibantu, apa saja kebutuhan penduduk desa? Namun entah mengapa, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan rutin seperti itu menguap atau hilang dibajak di tengah jalan, sehingga bantuan yang dijanjikan tak pernah ada. Kekacauan seperti itu membuat para relawan di lapangan, yang saban hari bersentuhan dengan warga, harus menerima getah. “Kak, kapan rumah kami dibangun, kapan perahu diperbaiki, kapan seragam sekolah dibagi?” Lebih seram lagi bila ada komentar sinis dan apatis, “Kakak ini bohong. Setiap hari kami ditanya ini-itu, tapi sampai sekarang kami masih tidur di tenda. Janji-janji kosong.” Rasanya tak ada kata-kata yang bisa menghibur gugatan-gugatan seperti itu. Meminta orang-orang ini bersabar lebih lama sungguh bukan permintaan yang pantas. Mereka sudah begitu berduka, kehilangan banyak hal. Belum tentu kita akan sesabar itu bila berada pada posisi yang sama. Rasa frustrasi, lelah lahir-batin, tak jarang menghampiri para relawan termasuk saya. Namun ketika pandang mata ini bersiborok dengan sorot mata perempuan yang kehilangan keluarganya, saat saya merasakan hangat pelukan kanak-kanak yang tak beribu, juga ketika saya bertemu orang-orang muda yang meninggalkan hidup nyaman demi menjadi relawan, rasa frustrasi itu berganti dengan harapan. Harapan akan sebuah hari cerah yang mudah-mudahan segera datang.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB I Berawal dari Kedai Kopi
Kesibukan di kedai kopi Solong di Ule Kareng, (Mardiyah Chamim)
Berawal dari Kedai Kopi
1
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB I Berawal dari Kedai Kopi
Ombak murka yang bergulung-gulung bukan hanya menghanyutkan rumah dan gedung-gedung, tapi juga meruntuhkan tembok-tembok maya yang selama ini mengisolasi Aceh. Secepat kedipan mata, tanpa persiapan dan tanpa peringatan, Aceh beserta seluruh bentang alamnya tiba-tiba terpapar telanjang ke depan dunia. Sayang sekali, robohnya tembok isolasi ini harus disertai dengan jatuhnya ratusan ribu korban tsunami.
Bersama ribuan wartawan dan warga dunia lain, saya termasuk yang ikut
menikmati runtuhnya isolasi Aceh. Dibandingkan dengan masa penerapan daerah operasi militer (1988-1999) yang disusul daerah tertib sipil (2002-2005), liputan jurnalistik di “wilayah terlarang” itu, kini menjadi relatif lebih mudah. Dan bukan hanya itu, runtuhnya keterbukaan juga dinikmati warga setempat. Suatu malam saya mengajak beberapa kawan minum kopi di sebuah kedai di Simpang Surabaya, salah satu pusat kaki lima di Banda Aceh. Di bawah sinar bulan bulat bundar, Sari, 26, sarjana Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala yang manis dan berjilbab, malam itu mengaku begitu beruntung,“Dulu, mana berani kita nongkrong sampai tengah malam begini. Bisa diinterogasi tentara,” katanya di antara semilir angin yang sejuk. Kedai kopi, bukan semata tempat minum kopi. Rek, satu kawasan kedai kopi paling legendaris tak jauh dari pasar kota, sering menjadi saksi “pertemuan” antara TNI, personil Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan tokoh-tokoh masyarakat. Boleh jadi mereka akan saling bertegur sapa, saling melirik atau sekadar saling memeriksa keadaan lawan – biasanya tak lebih dari itu. “Bisa dibilang, kedai kopi ini zona damai. Di hutan kita boleh bertikai, tembak-menembak, tapi di Rek, kita berdamai,” kata Hakim, seorang pemuda yang tinggal di Banda. Meskipun begitu beberapa kali penangkapan personil GAM oleh TNI terjadi juga di kedai kopi. Kedai kopi merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya Aceh. Inilah tempat persinggahan yang hangat. Semua lapisan masyarakat menikmati dan seperti tergantung akan kehadirannya.
Penduduk
jarang sekali menyediakan bubuk kopi siap seduh di dapurnya. Siapa pun yang ingin ngopi mesti melangkah menuju kedai. “Soalnya, cara masak kopi harus pas. Kopi dijerang dengan takaran yang cocok. Tak boleh kurang, tak boleh lebih. Bikin kopi di rumah tak nyaman, lebih enak minum di kedai,” kata Ibu Ratino, nyonya rumah tempat saya menginap. Tak mengherankan jika kedai kopi selalu riuh. Sore hari, para pelajar mengerjakan pekerjaan rumah di meja kedai, sambil bercanda sesama kawan. Lelaki dewasa mampir setidaknya dua kali sehari, pagi dan petang, untuk minum kopi sambil membaca Harian Serambi Indonesia yang disediakan pemilik
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB I Berawal dari Kedai Kopi
kedai. Secangkir kopi seharga Rp 2.000 seperti tak pernah habis menjadi teman mengobrol sampai berjam-jam, kadangkala sambil mengunyah kue timpan dan pulut – keduanya terbuat dari tepung ketan dibungkus daun pisang. “Minum kopi seperti minum air putih buat kami. Wajib hukumnya,” kata seorang lelaki. Barisan gigi hitam bekas tembakau muncul saat lelaki ini tersenyum. Kedai-kedai kopi juga tak ubahnya tempat rapat. Aktivis LSM, pejabat, TNI, polisi, orang asing dengan segala jenis warna kulit, perwakilan lembaga donor, wartawan, bahkan personil GAM, merembukkan aneka persoalan di sini. “Di kedai, segala urusan jadi lancar,” kata Zuhri, Camat Pulo Aceh, yang saya jumpai pada suatu pagi. Pak Zuhri sedang berunding dengan Romo Sudrijanta dan Elis, keduanya dari Jesuit Refugee Service, tentang teknis pemulangan masyarakat Pulo Aceh yang tengah mengungsi di Mata I, Banda Aceh. Bisa dibilang kedai kopi merupakan penanda utama, landmark, mulai berputarnya roda perekonomian Aceh setelah mati suri dihantam tsunami. Hanya dua hari setelah tsunami, saat
Kedai-kedai kopi juga tak
hampir semua bisnis macet, dua kedai kopi sudah kembali
ubahnya tempat rapat.
beroperasi di Banda, yang satu di Ulee Kareng,
satu lagi di
kompleks Pasar Ateuk Pahlawan. Pada hari-hari darurat itu, kedai hanya menyediakan kopi panas, tanpa kue pulut, pisang goreng atau roti sarikaya yang biasanya menjadi teman minum kopi. Secangkir kopi harum berkepul-kepul adalah sebuah kemewahan bagi masa darurat di wilayah yang sedang babak belur dihajar bencana. Orang pun antri mengular. Aktivis, relawan, wartawan, menyerbu kedai. Seorang kawan bahkan diharuskan membayar Rp 7.000 untuk kursi kosong tempat dia meletakkan ransel. “Sewa tempat, Bang. Kalau tak ada ransel Abang, kursi ini bisa dipakai orang lain,” kata pelayan kedai. Agak berbeda dengan kedai kopi, warung dan restoran butuh waktu sedikit lebih lama untuk beroperasi pascatsunami. Seingat saya, memasuki pekan ketiga Januari 2005, sebuah warung makan pertama kali beroperasi di Neusu, Banda Aceh. Menunya sederhana: nasi putih, telur ceplok, sambal, dan sop bening dengan kubis dan sedikit wortel. Begitu dibuka, tengah hari, warung ini langsung diserbu pengunjung. Para relawan yang selama dua pekan hanya mengandalkan biskuit dan mi instan seperti serigala kelaparan melihat nasi panas mengepulkan asap. Tak sampai setengah jam, seluruh persediaan makanan habis tandas. “Tunggu sebentar, Kak, nasi sedang ditanak,” seru si pedagang.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB I Berawal dari Kedai Kopi
Memasuki pekan ketiga Januari 2005, Banda Aceh berangsur-angsur berdenyut normal. Satu demi satu kedai beroperasi kembali di Ulee Kareng, Simpang Surabaya, Beurawe, Peunayong, Setui, Darussalam. Saban hari juga selalu ada kedai baru yang tumbuh di sudut-sudut kota. Bagai cendawan di musim hujan. Rek lagi, kopi lagi. Bersama dengan kebangkitan kedai kopi, Banda Aceh kembali bergeliat. Kesan kota mati bagai dalam komik Batman satu. Di antara beberapa restoran yang kemudian menjadi
Bersama dengan kebangkitan kedai kopi, Banda Aceh kembali
“andalan” warga dan relawan adalah Restoran Ujong Batee,
bergeliat.
berangsur-angsur berkurang. Denyut kehidupan muncul satu-
dengan menu udang, kepiting, dan sayur bunga pepaya yang pahit-manis. Ada juga warung Mie Razali, di Peunayong, dengan sajian andalan mi kepiting yang seharusnya dinamai “kepiting mi” lantaran ukuran kepiting yang oversize. Selain itu, ada juga Restoran Aceh Rayeuk, di Leung Bata, dan Restoran Cut Dhek, di Lampineng. Keduanya menyajikan “ayam sampah”, ini sebutan gaul untuk menu ayam goreng yang ditaburi sejenis dedaunan jeruk yang digoreng sampai kemripik. “Siapa bilang kita tak bisa berwisata kuliner di Banda?” komentar seorang kawan. **** Rek, restoran, warung makan, bukan sekadar menandai kembalinya denyut kehidupan di Aceh. Lebih dari itu ada pertukaran dan gesekan budaya yang tengah bergulir dengan sengitnya. Pertukaran ide, gagasan, dan cara pandang bertarakan di pojok-pojok kedai, warung dan juga meunasah (surau). Di antara keriuhan, perjumpaan dan persinggungan orang-orang dari segala bangsa itu ada sesuatu yang tengah bergerak: internasionalisasi Aceh. Saya menyadari hal ini ketika bertemu dengan Rafly, penyair tersohor di Aceh. Suatu pagi di bulan Januari, Rafly mampir ke rumah tempat saya dan kawan-kawan relawan menginap di Jalan Nuri, Simpang Surabaya. Tokoh yang satu ini memang rajin berkeliling dari kampung ke kampung, bertemu warga, dan saling meneguhkan semangat. Kebetulan pula Bapak Ratino, tuan rumah tempat saya menginap, masih ada pertalian saudara dengan Rafly. Usai berpelukan dengan tuan rumah, menanyakan kabar si fulan, bibi ani, dan paman anu, Rafly ngobrol dengan kawan-kawan relawan. Dia mengatakan bukan tsunami betul yang jadi persoalan tapi bagaimana bersikap menghadapi situasi sesudahnya. “Ini saat-saat yang kritis. Bumi Aceh bisa menjadi lebih baik atau sama sekali hancur tergantung pada bagaimana kita bersikap hari-hari ini,” katanya. “Perubahan besar sedang menanti. Budaya Aceh menjadi taruhan.”
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB I Berawal dari Kedai Kopi
Benar apa kata Rafly. Gelombang persoalan kini menghadang Aceh: ratusan ribu keluarga yang terceraiberai, anak-anak yang kehilangan bapak-ibu, juga kampung-kampung yang kehilangan warga perempuan. Pada kutub lain, ada dana triliunan rupiah dari seluruh pojok dunia yang siap mengguyur Aceh. Ujian bukan hanya melalui penderitaan tapi juga dalam bentuk hujan uang dalam jumlah kolosal. ”Guyuran uang”–sepuluh negara besar menjanjikan US$ 5,3 triliun—tentu saja tak terjadi dalam model kedermawanan tulus-mulus-tanpa syarat. Ada tarik-ulur gagasan, selap-selip ide, juga benturan kepentingan. Memang, ada juga donor, biasanya dari negara muslim, yang tak mau pusing tentang penggunaan bantuan. Ikhlas saja mereka, mau dipakai untuk apa terserah pihak yang diberi bantuan. Namun, tak semua lembaga donor mau memberi tanpa syarat. Banyak yang menuntut prosedur standar, seperti yang diberlakukan dalam kondisi normal. Perangkat
transportasi,
komputer, dan alat komunikasi, misalnya, diharuskan memakai produk negara bersangkutan. Selain itu, untuk setiap barang
Namun, tak semua lembaga donor mau memberi tanpa syarat.
yang akan dibeli, peminta bantuan harus mengajukan tiga alternatif harga. Ini sulit dilakukan karena situasi Aceh sedang kacau, toko-toko tutup, jaringan transportasi lumpuh. Kalau pun semua syarat terpenuhi, dana tidak serta-merta turun. Pemberi bantuan masih harus berunding di kantor pusat, mungkin jauh di Washington atau di Berlin, dan melakukan serangkaian pengujian kelayakan proposal. Panjang nian jalan menuju pencairan dana. Pada titik inilah terjadi pertukaran dan tawar-menawar proposal, ide, konsep, antara orang Aceh dan pendatang – baik relawan, aktivis LSM, juga Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR). Sedikit banyak pertukaran ini mendatangkan perubahan budaya masyarakat lokal. Salah satu perubahan yang nyata adalah tumbuhnya organisasi. Demi pencairan bantuan, penduduk harus berurusan dengan relawan, lembaga donor, juga dengan perangkat pemerintah mulai dari keuchik (kepala desa) sampai camat. Secara mendadak penduduk harus mengenal terminologi LSM yang hampir seluruhnya adalah kosa kata asing, mulai dari assesment, proposal, cash for work, juga funding. Tak semua terminologi ini dimengerti dengan benar. Istilah NGO, misalnya, dipahami sebagian penduduk sebagai “merek” perusahaan mobil yang memberi bantuan.
Maklum, hampir semua NGO
yang beroperasi di Aceh dilengkapi mobil gagah kabin ganda bertuliskan simbol dan nama lembaga bersangkutan. “Kakak dari NGO perusahaan mobil Oxfam, kan,” kata seorang warga ketika suatu kali saya menumpang mobil operasional Oxfam.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB I Berawal dari Kedai Kopi
Bagi warga Aceh, berorganisasi bukan menu yang akrab. Selama puluhan tahun kemampuan warga memberdayakan diri sendiri telah ditekan oleh negara. Memang ada meunasah tempat para tengku (ulama) mengaji bersama masyarakat. Namun, perkumpulan semacam ini berhenti hanya sampai ritual keagamaan. Musyawarah untuk mengatur hajat hidup orang banyak sangat jarang dilakukan. “Bagaimana bisa berorganisasi? Dulu, kumpul tiga orang saja sudah dicurigai sebagai GAM. Bisa-bisa diambil tentara,” kata M Jamil, 30 tahun, seorang tokoh pem uda di Desa Lamsenia, Kecamatan Leupung. Kini, setelah tsunami, mau tak mau penduduk belajar beroganisasi. Mereka harus merapatkan barisan, bertemu, berembug, memutuskan siapa yang akan memimpin perjuangan nasib di depan LSM, lembaga donor, dan
Bagi warga Aceh, berorganisasi bukan menu yang akrab. Selama puluhan tahun kemampuan warga memberdayakan diri telah ditekan oleh negara
pemerintah. Berunding dengan demokratis, menghormati pendapat orang lain, bekerja sama antar warga menjadi tuntutan tak terelakkan, termasuk menyesuaikan diri dengan tetek-bengek sistem pelaporan keuangan yang diwajibkan pemberi bantuan. Sebagai upaya transparansi, lembaga-lembaga donor terutama dari negara Barat, mewajibkan penerima bantuan melaporkan penggunaan uang bantuan secara detil. Wajar dan harus. Pembelian benang nilon untuk jaring nelayan, paku guna perbaikan perahu, atau pembelian lembaran seng untuk atap meunasah (balai pertemuan) harus dilaporkan komplit dengan bukti kuitansi. Pelaporan juga berlaku bagi belanja 40 macam bahan untuk sayur gulai pli’u’–masakan khas Aceh—yang akan disajikan untuk acara syukuran. “Ini susah. Petani, nelayan, ibu-ibu tak terbiasa mencatat pengeluaran, apalagi menyimpan kuitansi,” kata Teuku Risman, Panglima Laot (lembaga adat kenelayanan) Kabupaten Meulaboh. Tapi, yang namanya syarat tetap tak bisa ditawar. Jika tidak, program bantuan bisa gagal berantakan. Setelah putar otak, Teuku Risman menemukan jalan keluar. “Kuitansi tak perlu resmi. Tanda terima ditulis di atas daun pisang pun boleh. Yang penting ada catatan,” katanya. Walhasil, di atas meja kerja Teuku Risman, kita menjumpai tumpukan daun pisang yang samar-samar bertuliskan:“Telah terima dari Bpk. Fulan, uang sejumlah sekian rupiah untuk pembelian sekian kilogram paku dan sekian lembar seng.” ****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB I Berawal dari Kedai Kopi
Pemimpin yang baik akan tumbuh dan tampil cemerlang pada situasi krisis. Saya juga menemukan tokoh-tokoh
Pada titik inilah pemimpin lokal, bisa panglima laot, keuchik, imam mukim, para pemuda, atau ibu-ibu nelayan di kampung-kampung memegang peranan kunci.
seperti ini di Aceh. Berbahagialah desa-desa yang memiliki tokoh lokal yang tulus bekerja siang-malam demi kebaikan bersama. Seperti kita ketahui, ada banyak hambatan dalam proses pemulihan Aceh. Fungsi koordinasi pemerintah (termasuk BRR) tak bisa diandalkan, lembaga donor gagap
menyalurkan bantuan dan segan bekerja keras menyelami kehendak warga, aktivis LSM sibuk bertikai di Jakarta, wartawan tak punya cukup kemauan untuk merekam setiap titik proses pemulihan, anggota parlemen pun pening mencari cara menggemukkan rekening pribadi. Pada titik inilah pemimpin lokal, bisa panglima laot, keuchik, imam mukim, para pemuda, atau ibu-ibu nelayan di kampung-kampung memegang peran kunci. Mereka inilah yang berdiri di barisan terdepan, berunding ketat dengan lembaga donor, LSM, relawan, dan pemerintah, mencari jalan terbaik bagi warga setempat. Harus diakui, tidak seluruh pemimpin lokal mau bekerja tulus. Ada juga cenderung memikirkan diri sendiri dan kerabat-keluarganya. Syamsuddin dari Desa Lamsenia, Kecamatan Leupung, adalah favorit saya dalam hal tumbuhnya kepemimpinan lokal. Hampir seluruh tokoh desa ini, termasuk keuchik dan puluhan tengku, habis dilibas tsunami. Syamsuddin, 32 tahun, pedagang ikan keliling (muge) berinisiatif mengambil alih kendali. Dia memimpin selusin kawannya mengevakuasi ratusan mayat yang tersebar di perbukitan yang memagari Lamsenia. Bersama Tim Relawan Yayasan Puter, Syamsuddin giat menjemput bola, mencari bantuan logistik untuk desanya yang sempat dua pekan terisolasi dari dunia luar. Sebulan setelah tsunami, warga Lamsenia sepakat memilihnya sebagai keuchik baru. Usai tahap darurat, Syamsuddin bekerja keras menjalin jaringan dengan mereka yang punya komitmen membangun desanya. Kini, Lamsenia merupakan salah satu desa yang paling cepat pulih di Kecamatan Leupung. Syamsuddin tak sendirian. Di Lampuuk, ada Panglima Laot Cut Nyak Daud yang dengan ketenangan luar biasa memandu warga menyelamatkan diri dari amukan gelombang. Nyak Daud sangat berperan dalam meredam kecemburuan antar warga tentang alokasi bantuan logistik. Lelaki berusia 71 tahun inilah yang sekarang menjadi tempat rujukan bagi setiap persoalan yang muncul dalam proses pemulihan Lampuuk. Di Meunasah Keudeu, Krueng Raya, ada Panglima Laot Zakaria Achmad, dan di Desa Jambo
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
Mase, Lamno, ada Keuchik Alibasyah.
BAB I Berawal dari Kedai Kopi
Keduanya memimpin warga mereka untuk membangun rumah
darurat hanya tiga hari setelah tsunami. Sayang sekali, puluhan atau mungkin ratusan pemimpin lokal yang lahir setelah tsunami, tak semuanya bisa saya temui. Contoh-contoh yang saya tulis jauh dari representatif. Namun, daftar singkat ini setidaknya membesarkan hati, menumbuhkan keyakinan bahwa masyarakat lokal memiliki kemampuan bangkit kembali dengan penuh harga diri. *** Perubahan budaya lokal tak hanya terbatas pada soal organisasi, musyawarah, dan laporan keuangan. Anak-anak muda, khususnya kaum perempuan, mulai menerima gagasan dan ide yang tak biasa. Berulang kali saya bertemu gadis-gadis muda yang terkagum-kagum dengan kemandirian aktivis dan relawan perempuan yang datang dari luar Aceh. “Kenapa kakak bisa begitu berani?” demikian mereka bertanya. Berani? Ah, rupanya konsep berani di mata gadis-gadis muda ini cukup sederhana. Berani, bagi mereka, adalah berkunjung sendirian ke kedai kopi, makan di Restoran Ujong Batee tanpa ditemani kawan atau menginap di kamar hotel tanpa muhrim. Berani juga berarti menghadiri pertemuan para nelayan atau rapat aktivis LSM. “Di tempattempat itu banyak lelaki. Kalau kita datang sendirian, mereka pasti melototin,” kata Wenny, pelajar kelas 3 SMP di Banda Aceh.Menengok masa-masa sebelum tsunami, beberapa orang Senyum anak-anak di tenda pengungsan, (Mardiyah Chamim)
bercerita, gerak-gerik perempuan Aceh sangat terbatas. Ruth Indiah Rahayu, aktivis perempuan yang bergabung dengan Kalyanamitra, pernah
menuliskan pengalamannya berada di kedai kopi di Ulee Kareng (Kompas, 18 September 2004). Secangkir kopi yang dipesan Ruth tak kunjung tiba. Padahal, pesanan untuk tujuh teman laki-laki yang datang bersamanya sudah tersedia sejak tadi. Ketika ihwal ini ditanyakan, si pelayan balik bertanya, “Kakak sudah kawin?”
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB I Berawal dari Kedai Kopi
Loh, apa hubungan status pernikahan dengan secangkir kopi? Kedai kopi, bagi masyarakat Aceh, adalah ruang
Aceh, seperti halnya sebagian besar negeri kita, merupakan wilayah yang sangat maskulin. Patriarkal.
lelaki yang penuh asap rokok dan kumis tebal. Perempuan yang datang sendiri biasanya hanya memesan kopi dan meminumnya di rumah, hampir tak pernah ada yang ngopi sambil mengudap berjam-jam di kedai. Perempuan boleh nongkrong, asal ditemani“pemiliknya”, yakni
suami, kakak, atau ayah. Aceh, seperti halnya sebagian besar negeri kita, merupakan wilayah yang sangat maskulin. Patriarkal. Gadis-gadis muda ini dibesarkan dengan pola pikir hanya sebagai peserta dan bukan pemain utama. Biar pun di sini lahir pahlawan-pahlawan perempuan pemberani seperti Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, harus diakui bahwa masyarakat Aceh tetaplah berwarna maskulin. Setelah tsunami, maskulinitas tetap pekat menggantung di udara Aceh. Pembangunan barak pengungsian, sebuah contoh gamblang, masih jauh dari proses mendengarkan suara dan kepentingan perempuan. Kamar mandi dibangun dari papan dan seng yang serba cingkrang. Lutut dan kepala orang yang sedang mandi bisa terlihat dari luar. Sungguh tidak nyaman terutama bagi perempuan. Namun, biar pun maskulinitas begitu kental, gelombang pendatang telah membawa angin perubahan. Banyak kawan-kawan, jurnalis, relawan, aktivis, yang saya jumpai duduk sendirian tanpa rikuh menikmati secangkir kopi dan kue pulut di kedai. Saya pun begitu. Tak jarang sorot mata tajam datang dari para pemilik kumis tebal yang ada di seantero ruangan. Tapi, biarin aja, sejauh saya tak merugikan orang lain. Sikap inilah yang membuat gadis-gadis muda Aceh terheran-heran. “Pingin, deh, seperti Kakak, bisa melakukan apa yang kita mau tanpa harus menunggu diantar teman atau saudara,” kata Dewi, mahasiswi Universitas Syiah Kuala. **** Perubahan tak bisa ditolak. Dia pasti datang dan terus datang lagi tanpa henti. Bagi Aceh pascatsunami, koneksi internet merupakan kereta ekspres yang mempercepat proses itu. Suatu malam, di kedai kopi di Simpang Surabaya, saya ngobrol dengan kawan-kawan relawan dari Tim Air Putih, sekelompok anak muda yang berkonsentrasi membuka koneksi internet di seluruh Propinsi NAD. Anjar dan Abidin, keduanya dari Air Putih, serta Eric Grigorian, fotografer lepas dari Amerika Serikat, turut serta dalam obrolan ini.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
8
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB I Berawal dari Kedai Kopi
“Satu demi satu titik koneksi nirkabel, hot spot, sudah tercipta. Target kami, paling tidak akan ada 50 titik koneksi nirkabel di kota ini,” kata Anjar. “Nanti kita bisa mengakses internet gratis sambil“ nyeruput kopi panas,” Abidin menimpali. “Dahsyat…! Jakarta kalah, dong. Kita harus bayar voucher Rp 25 ribu untuk bisa menikmati hot spot di Starbuck,” saya berkomentar antusias. “ He bat memang. Tapi, buat apa? Sia pa ya n g diuntungkan? Apa betul masyarakat Aceh benar-benar butuh hot spot?” pertanyaan Eric Grigorian ini kontan mengganggu udara penuh semangat yang ada di sekitar kami.
Menciptakan jaringan koneksi nirkabel bukan soal murah. Peralatan puluhan ribu dolar dibutuhkan.
Pertanyaan yang menggelitik. Menciptakan jaringan koneksi nirkabel bukan soal murah. Peralatan puluhan ribu dolar dibutuhkan. Beberapa perusahaan dunia seperti Intel dan IBM memang telah sepakat membantu peralatan bernilai jutaan dolar. Tapi, dari mana ongkos pemeliharaan yang pasti juga tidak sedikit? Soal lain: apakah fasilitas ini begitu mendesak? Bukankah beras dan obat-obatan jauh lebih dibutuhkan? Apakah masyarakat Aceh, dengan pendidikan yang belum bisa dibanggakan, sudah memerlukan koneksi yang cangih? Mengapa harus 50 titik? Paling-paling pengguna koneksi nirkabel hanya wartawan dan relawan, berapa, sih, jumlah lapisan ini? Lagipula, sudah ada beberapa warung internet di berbagai sudut jalan, bukankah itu cukup? Rupanya ada soal lain yang lebih mendasar dari sekadar koneksi internet. Abidin memberi penjelasan, “Koneksi internet yang meluas ini, cita-citanya, menjadi salah satu pintu bagi masyarakat Aceh, terutama anak mudanya, untuk berpikir terbuka menerima berbagai perbedaan.” Aha, itu dia! Koneksi internet memungkinkan pertukaran berjuta gagasan dan sudut pandang. Situasi ini, ditambah hilir-mudik orang-orang dari luar Aceh, dalam dan luar negeri, membuat penduduk lokal berinteraksi dengan beragam budaya, cara berpikir, dan gaya hidup. Sebuah tahapan pada saat masyarakat, meminjam istilah Amir Hamzah, saling bertukar tangkap dengan lepas. Mudah-mudahan dengan tahapan ini akan terbentuk masyarakat yang lebih terbuka, open mind, serta menghargai perbedaan dan keragaman. Seperti payung parasut, pikiran bekerja dengan baik hanya apabila dia terbuka. Bukan mustahil, pada tahap awal internet hanya akan menjadi ajang chatting atau obrolan ngalorngidul antar anak muda. Bukan aneh pula jika situs yang memuat gambar-gambar porno bakal jadi
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
9
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB I Berawal dari Kedai Kopi
favorit anak sekolahan. Tapi, tak mengapa. Pelahan-lahan, dengan pendekatan dan training yang tepat, anak-anak muda ini akan tahu bahwa internet jauh lebih berguna ketimbang sekadar pornografi. Di sela kesibukan mereka, Tim Air Putih menggelar pelatihan tentang internet kepada anak-anak muda Aceh, termasuk aktivis LSM. Cara bersurat elektronik, membuat blog, mengisi halaman website, dan melakukan riset data di internet merupakan menu pelatihan sehari-hari. “Anak-anak muda datang ke kantor kita yang berantakan di Setui. Mereka berlatih dari sore sampai malam, kadang sampai hampir subuh, antusias banget,” kata Anjar. Anak-anak muda inilah pemegang saham besar dalam menentukan arah masa depan Aceh. Mereka belajar dan menyerap berbagai ilmu, informasi, mendapat kesempatan untuk menjangkau dunia luas, serta mewarnai Aceh dengan keragaman gagasan. Indah betul. Ada soal lain yang menjadi motor pergerakan Air Putih.”Kami ingin membangun transparansi,” kata Edwardo Rusfid, Ketua Yayasan Air Putih. Bagi LSM, sarana internet sangat penting sebagai ajang komunikasi program, laporan keuangan, juga laporan kepada publik. “Bantuan untuk Aceh berasal dari nenek-nenek Perancis, pensiunan Jerman, buruh pabrik Amerika. Kita mesti menggunakan duit itu dengan bertanggung jawab,” kata Edo. Untuk urusan transparansi, Air Putih memulai dari diri sendiri. Bila berkunjung ke situs www.airputih.or.id, kita bisa memelototi penggunaan dana bantuan yang mereka terima yang dilaporkan dengan rinci. Mulai dari pos pengadaan peralatan sampai pembelian rokok untuk tim relawan. “Sama juga bohong kalau kami nggak buka-bukaan, semuanya harus dimulai dari diri sendiri,” kata Edo. Berbekal keinginan menebarkan semangat transparansi, Tim Air Putih memasang jaringan internet di kantor-kantor yang membutuhkan. Pelbagai LSM (dari kelas teri sampai kakap), badan-badan PBB, TNI, BRR, maupun lembaga pemerintah, telah memanfaatkan jasa Air Putih. Gratis. Mudah-mudahan, ini tak hanya berhenti pada koneksi internet. Diharapkan, lembaga-lembaga ini juga ketularan semangat transparansi ala Air Putih.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
10
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB 2 Menyatukan Negeri Yang Retak
Pembebasan tahanan GAM di Lembaga Pemasyarakatan Jantho 15 Agustus 2005. Seorang ayah disambut anaknya (Mardiyah Chamim)
Menyatukan Negeri Yang Retak
2
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB 2 Menyatukan Negeri Yang Retak
Selain menghancurkan pantai barat Aceh, tsunami juga membawa berkah nota kesepakatan RI-GAM yang diteken di Helsinki, 15 Agustus 2005 dan terbukanya pintu isolasi Aceh, merupakan contoh hikmah tsunami. Gempuran ombak samudera raya merupakan generator raksasa yang sulit diingkari, menggiring beberapa p e r u b a h a n p e n t i n g d i Ta n a h S e u l a w a h .
Seperti biasa, para petinggi di Jakarta ramai bertarung pendapat tentang kesepakatan Helsinki.
Sebagian bersyukur, sebagian menilai langkah damai ini kebablasan, seperti sopir bis kota yang sembrono mengejar setoran. Megawati Soekarnoputri yang pernah bersumpah tak akan membiarkan darah tumpah di bumi Aceh, bahkan membentuk barisan menolak kesepakatan damai. Tentu saja, kapasitas saya tak cukup untuk menilai kualitas Nota Helsinki. Subyek ini jauh dari kompetensi saya, setidaknya hingga saat ini ketika pengetahuan saya tentang seluk-beluk konflik di Aceh masih dangkal. Saya hanya hendak bertanya, sudahkah mereka yang bertikai mendengar suara rakyat Aceh yang menderita begitu lama? Sudahkah mereka menatap wajah anak-anak Aceh yang ketakutan? Apakah mereka paham pertikaian berlarut-larut itu menghambat pemulihan Aceh? Penderitaan warga akibat konflik selama tiga dekade, sesungguhnya jauh lebih menyakitkan ketimbang derita tsunami. Ombak yang murka, yang menelan dan memuntahkan isi bumi, adalah kehendak Tuhan. Tak ada yang bisa melawan. Lain soal dengan konflik. “Itu buatan manusia. Kesakitan, ketakutan, kepedihannya jauh lebih dalam. Bikin hati nyeri,” kata Ampon Takim, 29, pemuda yang tinggal di Lamnyong, Banda Aceh. “Bagaimana tidak nyeri jika di pagi hari, kita menemukan mayat di depan pintu, tak tahu itu siapa dan dibunuh siapa,” katanya mengenang. Suatu pagi saya bertemu dengan Abu Bakar, 30, penduduk Lamsenia, Kecamatan Leupung. Bertahuntahun lelaki ini jadi sasaran pukulan tentara hanya lantaran namanya sama dengan nama tokoh GAM. Masih jelas dalam ingatan Abu Bakar dialog menyakitkan di tahun-tahun penuh pemukulan itu. Berikut ini dia memberi contoh. Tentara: “Siapa nama kamu…!” Krek, senapan AK-47 siap dikokang sang tentara bermuka gahar. Abu Bakar: “Ehhh…, Abu Bakar.” Gugup dia menjawab, tahu betul apa balasan jawaban ini.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB 2 Menyatukan Negeri Yang Retak
Tentara: “Jadi ini yang namanya Abu Bakar.” Bak, buk, bak, buk…., popor senapan brutal menghantam perut Abu Bakar. Bogem mentah bertubi-tubi menggasak wajahnya. Si tentara tampak puas memukuli Abu Bakar yang selama ini kesohor sebagai motor GAM di wilayah pegunungan Leupung. Tentara: “Mana KTP…!” Rupanya dia sudah bosan memukul. Abu Bakar: “Ini, Pak.” Selembar kartu tanda penduduk merah-putih diangsurkan ke tangan Pak Tentara. Tentara: “Hm…, sana pergi.” Dahinya berkerenyit. Setelah bak-buk-bak-buk, barulah Pak Tentara mau menyadari orang yang ditempelengi bukan Abu Bakar yang dicari. Meskipun sudah salah tonjok dan salah popor, Pak Tentara tak memberi sedikit pun isyarat minta maaf atau menyesal. Kisah pahit seperti itu, tak akan habis diceritakan sampai akhir buku. Abu Bakar hanya sekeping contoh. “Saya sempat protes kepada bapak, kenapa dikasih nama sama dengan orang GAM,” kata Abu Bakar mengenang. Sempat pula terpikir untuk mengganti nama secara resmi, tapi langkah ini belum bisa terlaksana. “Tak tahu harus kek mana,” katanya. Hari-hari konflik merupakan hari-hari gelap penuh horor bagi
Tekanan tidak hanya datang dari TNI. Aksi pihak yang berseberanganpun tidak kalah membuat merinding.
warga biasa. Saya mendengarkan cerita-cerita yang disampaikan dengan kebencian di berbagai kesempatan. Pemuda-pemuda digeledah, ibu-ibu ditonjok popor senapan karena diduga menyembunyikan anggota GAM, bahkan seorang perempuan 60-an tahun pernah digantung di atas pohon semalam suntuk hanya lantaran tak bisa menjawab dalam
bahasa Indonesia. “Kami ramai-ramai angkat ibu itu dari atas pohon esok paginya. Menangis hati ini,” kata Abu Bakar. Tekanan tak hanya datang dari TNI. Aksi pihak yang berseberangan pun tidak kalah membuat merinding. Ribuan keuchik, guru sekolah, juga orang biasa, diculik dan dipaksa menyerahkan pajak nanggroe (pajak negeri) yang nilainya dramatis. “Saya pernah dua pekan diculik GAM ke gunung,” kata David, pengusaha yang tinggal di Ulee Lheu, “Diminta tebusan Rp 50 juta.” Demi membebaskan David, orang tua dan keluarganya menjual seluruh harta dan pinjam kiri-kanan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB 2 Menyatukan Negeri Yang Retak
Syukurlah, sejauh ini tak ada lagi insiden pemukulan dan pemerasan baik dari TNI maupun GAM. “Sejak tsunami, tak ada lagi tentara yang main hantam,” kata Abu Bakar. Tak ada pula ketakutan direndam di rawa lantaran mengantuk saat tugas ronda malam. Bahkan, seusai tsunami, tentara berada di barisan terdepan menolong dan mengevakuasi mayat. “Aman sekarang. Mudah-mudahan bisa damai selamanya. Capek kami diperlakukan seperti kepiting, sudah diikat direbus pula,” lanjutnya. Dengan penuh harap, Abu Bakar dan jutaan rakyat Aceh yang lain, menyambut kesepakatan damai. Setidaknya itulah yang saya rekam pada saat-saat menjelang pembebasan narapidana Gerakan Aceh Merdeka, 31 Agustus 2005 (sebagian dari reportase ini telah saya tulis dalam Majalah Tempo, edisi 6 September 2005). Tak bisa disangkal, inilah momen yang mengaduk-aduk perasaan, harapan dan kecemasan jumbuh menjadi satu. Tak mudah untuk memilah dan menegaskan secara hitam-putih. Dari dua pihak yang bertikai, TNI dan TNA (Tentara Nasional
Dari dua pihak yang bertikai, TNI dan TNA (Tentara Nasional Aceh, sayap militer GAM), kita memang mendapat jaminan bahwa mereka serius mengupayakan perdamaian.
Aceh, sayap militer GAM), kita memang mendapat jaminan bahwa mereka serius mengupayakan perdamaian.
Mayor
Jenderal TNI Bambang Dharmono meyakinkan bahwa pasukan TNI sungguh-sungguh serius dan konsisten mengupayakan kesepakatan berlangsung tanpa cacat, tidak seperti perjanjian damai di masa lalu yang gampang sekali cedera. “Kami tak berniat sedikit pun membahayakan kesepakatan damai kali ini,” katanya. Dari GAM pun bertiup kabar kesungguhan yang sama. Ratusan senjata telah diserahkan kepada Aceh Monitoring Mission (AMM), lembaga independen yang mengawasi pelaksanaan kesepakatan Helsinki. Seorang kawan wartawan mengisahkan kabar dari gunung bahwa pucuk pimpinan GAM di Swedia telah mengirim perintah agar seluruh pasukan di Aceh tidak melakukan penyerangan, tidak menarik picu senapan, bahkan tidak boleh melakukan provokasi apapun. Instruksi ini diberikan hanya beberapa saat setelah tsunami, sebagai bentuk keprihatinan GAM terhadap musibah besar yang melanda Aceh. “Kami hanya boleh bertahan, dan ini tak bisa ditawar,” kata Panglima Muda GAM yang mengisahkan cerita ini kepada kawan wartawan tersebut. Perintah Swedia ini begitu teguhya sehingga sayap militer GAM di lapangan bahkan tak bisa berbuat apa-apa terhadap para cuak (mata-mata). “Orang yang terbukti jadi mata-mata pun kami biarkan saja,” kata pemimpin GAM berbadan tinggi besar ini. Biasanya, tak ada hukuman lain bagi mereka yang terbukti menjadi cuak, kecualai hukuman pancung.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB 2 Menyatukan Negeri Yang Retak
Lalu mengapa tetap terjadi beberapa bedil sejak tsunami? “Soal itu, TNI yang memulai,” katanya, “kami hanya bertahan.” Panglima Muda yang tak mau disebut namanya ini mengaku ada pula kontak senjata yang memang dipicu oleh seorang non-TNI. “Tapi dia juga bukan anggota TNA. Orang ini warga sipil yang sakit hati karena adik kandungnya mati ditembak TNI.” Soal penembakan relawan asing di Lamno, sayang sekali, sumber ini belum punya penjelasan pasti. “Soal itu juga sedang kami selidiki,” katanya. Keterangan Panglima Muda ini sulit dikonfirmasikan kebenarannya. Tak mudah mendapatkan fakta yang terang tentang beberapa insiden di lapangan seperti ini. Namun, yang jadi pertanyaan utama adalah seberapa serius kedua pihak memegang janji menjaga kesepakatan damai Helsinkit. Seberapa teguh mereka mengupayakan hidup tanpa letusan senjata di Aceh? Lagi-lagi, tak ada yang sanggup memberi garansi seratus persen. Kita hanya bisa berharap, semoga saja marwah MoU Helsinki, tetap terjaga. **** Pagi yang ramah. Rabu, 31 Agustus 2005. Lima puluh delapan lelaki bersiap menuju kebebasan. Mereka memakai pakaian rapi, sepatu berkilau dan rambut tersisir licin – persis seperti sedang menanti datangnya seuah hari besar. “Sudah tampan kami, Kak?” tanya Abdullah, pemuda 23 tahun dengan rambut sebahu yang dikuncir. Dia pamit masuk ruangan untuk mengganti sarung dengan jins terbaik yang dia miliki. “Ini hari besar kita,” dia berseru lantang. Abdullah bergaya ketika saya membidiknya dengan kamera. Lima puluh delapan lelaki yang saya temui pagi itu adalah narapidana Rumah Tahanan Jantho, Kabupaten Aceh Besar. Rabu tengah hari, mereka akan sepenuhnya bebas. Status narapidana makar sebagai anggota GAM telah tanggal sehari sebelumnya melalui amnesti dan abolisi yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Sekarang kami bebas mau apa saja,” kata Abdullah. Senyum lebar membuat cerah wajahnya yang dihiasi jerawat.
Pembebasan tahanan GAM di LP Jantho, 15 Agustus 2005( Mardiyah Chamim)
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB 2 Menyatukan Negeri Yang Retak
Setelah serangkaian pidato para pejabat, Abdullah dan kawan-kawan akhirnya leluasa melangkahi pintu yang terbuka lebar. Masing-masing menenteng satu tas berisi sarung, celana panjang, baju muslim, sajadah, peci, sepatu hitam licin, dan selembar Harian Waspada edisi terbaru. Bekal hidup ini disiapkan sejumlah relawan International Organization of Migration (IOM) yang bekerja lembur, siang malam hanya dalam tempo dua pekan setelah kesepakatan Helsinki. Harus diakui, tanpa sorotan dari media, diam-diam, organisasi inilah yang banyak membantu pemerintah menyiapkan
Pernak-pernik penyambutan hidup baru 1500 narapidana GAM ini cukup rumit.
proses pembebasan narapidana GAM. Sebuah kerja yang bukan main-main, melenceng sedikit saja bisa mengancam bibit perdamaian yang sedang bersemi. Pernak-pernik persiapan menyambut hidup baru 1500 narapidana GAM ini cukup rumit. Soal sepele saja: ukuran sepatu dan baju, mesti cocok. Tak boleh ada yang kekecilan atau kedodoran, kalau tak ingin mereka kecewa. Transportasi –bis antar kota, labi-labi (angkutan kota), juga pesawat udara untuk narapidana yang ditahan di luar Aceh—juga harus disediakan untuk mengantarkan mereka pulang kampung. —“Bermalam-malam kami lembur, mempersiapkan ini dan itu berdasar informasi yang terus berubah,” kata Paul Dillon, aktivis IOM yang berjenggot lebat itu. Suatu hari pejabat A, misalnya, menyatakan ada sekian orang akan dibebaskan dari penjara anu. Tapi hari berikutnya jumlah yang akan bebas bertambah menjadi sekian plus plus. Walhasil, urusan bajubis-sepatu jadi ruwet berlipat-lipat. “Kami bisa kena sakit mental,” kata Dillon sambil tertawa. Untunglah ancaman sakit mental itu urung menjangkiti para relawan IOM, sehingga pada hari yang dijanjikan, Abdullah dan kawan-kawan dengan gagah dan senyum lebar bisa menenteng tas bekal hidup berserta map berisi berkas keputusan amnesti dan salinan Nota Helsinki. “Selamat, semoga sukses di luar sana,” kata Bakhtiar, Wakil Kepala Rutan Jantho sambil memeluk Abdullah. Satu demi satu narapidana GAM melewati pintu gerbang. Husni, Alwi, Kardiman, Ismail, Mohammad bin Mohammad Thaib alias MTA yang anggota Biro Penerangan GAM Aceh Besar sekaligus aktivis Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), Fikri bin Abdulwahid, Fauzan, Abdul Rais, Abdul Nazar, Mahyudin, dan seterusnya hingga genap 58 orang. Ratusan sanak-famili menyambut para lelaki yang melangkahi gerbang kebebasan itu. Kakek, nenek, bapak, mamak, istri, kakak, adik, paman, anak, keponakan, juga para pacar.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB 2 Menyatukan Negeri Yang Retak
Air mata pun tumpah ruah. Saling peluk, cium, dan jabat tangan bersilangan di sudut-sudut halaman rutan. Seorang lelaki dengan muka kemerahan berusaha melepaskan pelukan erat istrinya. “Malu“sikitlah dilihat orang,” katanya sambil merangkul sang istri.
“Anak saya ini belum lahir ketika saya ditangkap,” kata Husni, 25 tahun.
“Anak saya ini belum lahir ketika saya ditangkap,” kata Husni, 25 tahun. Tangannya erat menggendong Azra, putri kecilnya yang berusia setahun dua bulan. Tampak pula Ismail, 35, yang menangis sesenggukan sambil memeluk anaknya.“Saya ini bukan GAM. Saya korban fitnah orang,” katanya. Menurut Ismail, dia terpaksa mengaku sebagai anggota GAM lantaran tak tahan menahan siksaan dan khawatir kehilangan anak-istri. Pada sudut lain di halaman rutan, seorang ibu menggelar upacara paesejuk, sebuah ritual tradisional. Doa’doa dipanjatkan demi keselamatan dan ketenangan jiwa. “Supaya urusan suami saya lancar, aman, dan berkah setelah keluar dari sini,” kata si ibu sambil mengibaskan daun dan bunga yang telah direndam sedikit air. Ketika kesibukan ritual paesejuk, ciam-cium dan baku-peluk telah reda, Kini giliran sesama mantan narapidana GAM mengucapkan kata perpisahan. “Jangan lupa, kita saling jaga,” kata Alwi, 32 tahun, “Kita harus waspada dan hati-hati melihat situasi lapangan.” Menurut Alwi, sikap waspada harus tetap dijaga mengingat beberapa kali perjanjian damai di masa lalu, selalu hancur berantakan. Apalagi, silang pendapat soal kesepakatan Helsinki belum juga tuntas. “Kami dengar Jakarta ribut soal ini. PDI Perjuangan yang dulu menjanjikan damai di Aceh juga tidak setuju. Itu yang saya baca di surat bakar,” katanya. Bergabung dengan Tentara Nasional Aceh (TNA) sejak 1999, Alwi bergerilya di perbukitan Cot Keueung, Ulee Kareng, Aceh Besar. Tiga tahun lalu, Alwi ditangkap dan dihukum enam bulan. Begitu bebas, status daerah militer diterapkan untuk NAD dan Alwi kembali dijebloskan ke penjara dengan hukuman 2 tahun 10 bulan. “Padahal, saat itu saya tak melakukan apa-apa, tidak aktif di GAM dan bahkan sedang merencanakan pernikahan,” katanya. Bujangan ini akhirnya gagal menikah. “Ini kegagalan kedua. Yang pertama dulu juga batal karena keduluan ditangkap,” katanya tersenyum kecut. Sama seperti Alwi, Abdullah juga mengaku akan melihat-lihat situasi. Begitu sampai di kampung halaman, dia bertekad untuk tak bepergian terlalu jauh dari rumah. “Kami punya atasan. Jadi, kami akan koordinasi dulu dengan atasan dan panglima di lapangan,” katanya. Sambil menunggu
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
perkembangan, Abdullah berencana
BAB 2 Menyatukan Negeri Yang Retak
berkunjung ke tetangga dan sanak-saudara dekat. “Saya mau
minta maaf jika ada yang kami sakiti di masa-masa lalu,” katanya. Tak jarang, ketika dulu dikejar-kejar TNI, Abdullah dan kawan-kawan bersembunyi di rumah penduduk. Bagi pemilik rumah, memberi tempat berlindung sangat berisiko karena tentara akan menggerebek area yang diduga menjadi tempat persembunyian GAM. Rumah-rumah dibakar, puluhan
“Sebenarnya bukan hanya mau gagah-gagahan. Saya juga terkesan dengan cerita kepahlawanan para tetua melawan penindasan RI, yang hanya mau menguras kekayaan bumi Aceh.”
penduduk dipukuli, untuk menangkap orang gunung”– sebutan bagi anggota GAM—yang bersembunyi.
“Saya mau
minta maaf atas itu semua,” kata Abdullah Abdullah bergabung dengan TNA sejak umur 18 tahun. “Sebetulnya saya ingin bergabung sejak SD. Rasanya gagah kalau bisa pegang senjata, tak peduli sebagai TNI maupun TNA,” katanya. Tapi, “Sebenarnya bukan hanya mau gagah-gagahan. Saya juga terkesan dengan cerita kepahlawanan para tetua melawan penindasan RI, yang hanya mau menguras kekayaan bumi Aceh.” Putus sekolah, kelas 5 SD, Abdullah mencoba masuk ke dalam “ring” GAM, tapi belum bisa diterima. “Kata Abang-Abang itu, saya masih terlalu kecil. Mereka khawatir saya tidak kuat disiksa TNI. Bisa-bisa seluruh rahasia GAM terbongkar,” katanya. Walhasil, Abdullah kecil hanya diberi tugas menyiapkan kopi, membelikan rokok, penganan, atau mengawasi kampung saat para senior GAM sedang rapat. Baru ketika berumur 18 tahun Abdullah dianggap sudah cukup umur untuk bergabung . “Saya piket di gunung di dekat Lhok Nga. Setiap kali piket berlangsung 25 hari non stop,” katanya. Usai piket ada jeda libur satu bulan untuk kemudian piket naik gunung lagi. “Kalau harus mati ditembak TNI, matilah,” katanya, “sudah risiko.” **** Hari baru menunggu Abdullah dan ratusan mantan personil TNA yang lain. Hari itu mereka akan pulang kampung, dan itu bukan hanya berarti pulang ke rumah tapi juga ini: kembali bergaul hidup sehari-hari dengan tetangga dan keluarga yang mungkin pernah berseberangan. Karena itu, hari baru tersebut menuntut satu sikap yang tak mudah: saling memaafkan. Ini mengharuskan keluasan hati berbagai pihak. “Orang GAM yang pernah membunuh juga ikut dibebaskan, Kak?” tanya Fahrumi, sopir taksi yang saya tumpangi. Saya berusaha menjelaskan pembunuhan itu bermotif politik dan telah mendapat pengampunan secara hukum begitu kesepakatan Helsinki diteken.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB 2 Menyatukan Negeri Yang Retak
Namun Fahrumi tak memahami jalan pikiran seperti itu. Sorot mata dan pertanyaannya menggugat: “Bagaimana dengan anak-anak yatim yang bapaknya dibunuh GAM? Apa mereka rela?” Saya tergagap tak bisa menjawab. Saya tak punya hak dan wewenang apa pun untuk mewakili perasaan anak-anak yang kehilangan bapak, istri-istri yang kehilangan suami, akibat konflik tiga dekade yang menyesakkan itu. Saya paham, ini situasi yang tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Perasaan dan pikiran saya campur aduk, sulit dilukiskan. Percakapan warga di kedai kopi juga mencerminkan campur aduknya perasaan masyarakat Aceh. Jamil, 30, warga
Konflik berkepanjangan menempatkan masyarakat pada posisi serba sulit.
Leupung, Aceh Besar, misalnya, merasa yakin dia bisa memaafkan tetangga-kawan-kerabat yang terlibat GAM. Tapi, “Bagaimana dengan keluarga yang benar-benar pernah disakiti?” dia bertanya. Ada ratusan keuchik yang diculik, beberapa orang bahkan ditembak dan kemudian dibakar
karena menolak membayar pajak nanggroe (negeri) yang dipungut GAM. Tahun 2002, tercatat pula kasus pembunuhan Rektor Universitas Syiah Kuala, Profesor Dayan Dawood, karena Pak Rektor menolak mendukung pergerakan GAM. Tak sedikit penduduk yang digebuki sampai babak belur karena dicurigai menjadi cuak atau pengadu – tuduhan yang mungkin bertiup karena fitnah.–“Ada juga kawan yang disiksa habis-habisan di gunung karena dikira tentara, hanya karena perawakannya yang tinggi besar,” kata Jamil, “Dia bersumpah tak akan memaafkan mereka yang menyiksanya.” Sekarang, Sang Kawan memang sudah tiada, bukan karena dibunuh GAM, tapi tsunami telah mengambil dia. Konflik berkepanjangan menempatkan masyarakat pada posisi serba sulit. Zulkifli, 40, pemilik kedai kopi di Simpang Surabaya, Banda Aceh, punya cerita betapa repotnya menuruti kemauan kedua pihak. Kerepotan rutin terjadi pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. “Pagi, orang gunung datang, minta kami tutup kedai. Oke, kami turuti,” katanya. Tapi, siangnya anggota TNI datang minta kedai dibuka. “Jadi hari itu kami buka-tutup berkali-kali,” katanya. Bila tak dituruti, bayarannya tak murah. “Kita bisa di-dor….!” Oleh keduanya. Meskipun kesepakatan sudah diteken, masih panjang pekerjaan rumah yang harus kita garap, terutama untuk mencegah benturan-benturan yang tak perlu. Seperti kata Abdullah, “Saya ingin memaafkan dan dimaafkan.” ****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
8
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB 2 Menyatukan Negeri Yang Retak
Siang terik sungguh. Pukul 13.30. Mesin mobil untuk mengantar pulang mantan narapidana GAM sudah pula dipanaskan. Mobil-mobil ini disiapkan dan disewa sanak kerabat atau keluaarga mereka yang dibebaskan. Bukan mobil mewah tetapi truk, pick up bak terbuka, labi-labi, dan minibus uzur. Ibu-ibu menyingsingkan kain, memanjat bak belakang truk. “Ayo pulang,” Abdullah berseru. “Kak, mari ikut kami. Tengoklah kampung kami di Kedai Bing.” Ajakan bukan hanya dari Abdullah. Bingung juga memilih undangan yang mana. Akhirnya, saya memilih “pulang” bersama Husni dan Fikri bin Abdul Wahid. Mereka kawan satu sel di penjara. Kebetulan, tak satu pun kerabat menjemput Fikri. Ibunya, Zainabun, sudah sepuh, lebih dari 70 tahun, sedangkan perjalanan Sibreh-Jantho cukup jauh. Tak mudah mencari angkutan umum di wilayah ini. Mau sewa mobil pun mahal, paling kurang Rp 100 ribu. “Jadi, sekarang mari kita antar dia dulu,” kata Husni sambil merangkul Fikri Rute siang itu adalah Jantho-Sibreh-Ulee Kareng, Banda Aceh, yang seluruh kira-kira berjarak 60 kilometer. Pertama kami akan menuju Desa Eu Site, Kecamatan Sibreh, kampung halaman Fikri. Berikutnya menuju Desa Pango Raya, Ulee Kareng, tempat tinggal Husni. Dalam perjalanan, Halimah, 52, ibunda Husni mengadukan perasaannya. “Mamak bersyukur sekali Husni bisa bebas,” katanya. Husni anak satu-satunya pasangan Halimah dan Bustamin.” “Dia minta izin ikut GAM tahun 1999,” katanya, “waktu itu Mamak nangis-nangis minta Husni mundur.” Tapi, tidak bisa. Husni mengaku sudah disumpah, dibaiat sebagai anggota tentara Aceh. Sejak itu, Halimah tak berhenti mengirim doa untuk anaknya. “Jangan sampai dia jadi korban. Dua kawan sekampung Husni di Ulee Kareng, mati ditembak TNI.” Perjalanan berlanjut. Lalu-lintas lancar. Rimbun perbukitan Jantho seperti memberi segenap restu. Angin berhembus nyaman, menenangkan matahari yang tengah berjaga dengan kekuatan penuh. Namun, ada satu masalah. Fikri lupa di mana persisnya kampungnya berada. Tiga mobil yang membawa rombongan kami berputar-putar tak tentu arah di seputar Sibreh. Beberapa kali Fikri dan Husni turun naik mobil, bertanya kepada penduduk di mana tepatnya Desa Eu Site. Maklum, sudah berbilang tahun Fikri tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah tempat dia dilahirkan. Lelaki berusia 26 tahun ini menghabiskan umurnya di hutan, bukit, dan gunung. Fikri tak ingat lagi kapan persisnya dia bergabung dengan TNA Sago 26, pasukan GAM yang bergerak di wilayah Aceh Besar. “Itu sudah lama sekali,” katanya.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
9
TERBUKANYA PINTU SERAMBI
BAB 2 Menyatukan Negeri Yang Retak
Sungkem kepada ibunda setelah keluar dari tahanan (Mardiyah Chamim)
Seperti anak muda lain yang bergabung dengan GAM, Fikri mengawali karirnya sebagai penyedia kopi dan penganan, saat prajurit GAM menggelar pertemuan di kampung. Setelah beberapa lama menjadi peserta yunior, Fikri kebagian tugas menjaga markas yang tersembunyi di kedalaman pegunungan Aceh. Satu markas biasanya dijaga 12 orang, termasuk satu petugas dapur dan penjaga radio komunikasi. Bertahun-tahun bergabung dengan GAM, Fikri tak pernah sekali pun pulang ke rumah di Eu Site. “Khawatir rumah kami digerebek TNI. Mamak sudah tua, kasihan,” katanya. Setelah berpusing-pusing cukup lama, akhirnya kami menemukan rumah orang tua Fikri. Siang itu, saya melihat Fikri membungkuk dalam-dalam. Dengan takzim, dia mencium tangan kedua orang tuanya. Zainabun, ibunya, berpesan, “Sekarang, hiduplah yang baik-baik, Nak.” ****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
10
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 3 Pekan-Pekan Menegangkan
P e k a n - P e k a n Menegangkan
3
Mesjid Krueng Raya masih berdiri ditengah reruntuhan kampung yang diterjang tsunami (Nefransjah)
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 3 Pekan-Pekan Menegangkan
Malam-malam menjelang berakhirnya kalender 2004, hujan deras tak berhenti menyiram tanah Betawi. Sesekali, ketika hujan reda, beberapa tukang terompet tampak mengelus dagangannya. Bagi orang-orang kecil ini, masa panen hampir tiba. Kala itu tak ada menyangka, bencana besar tengah menanti. Malapetaka yang bukan saja menghancurkan panen tukang terompet tapi juga mengubah wajah sebagian besar dunia.
Tsunami. Seperti mangkok bakso yang rapuh, seluruh isi lautan seperti diaduk kekuatan mahacepat,
tumpah, menyapu, menelan, melumat apa saja, benda mati, makhluk hidup. Begitu kuat, begitu
cepat. “Hari itu, tak seorang pun bisa menghadapinya,” kata Cut Nyak Daud, Panglaot Lampuuk, mengenang Ahad pagi, 26 Desember itu. Dari Jakarta, kami terlalu kerdil untuk mencerna dan memahami kejadian yang menimpa Aceh. Aliran informasi begitu terbatas. Nyaris seluruh akses telekomunikasi dan transportasi terputus. Aceh tertinggal sendirian. Terisolasi. Pesan pendek SMS berseliweran, tak jelas kadar kebenarannya. Bersamaan dengan itu, hitungan angka korban simpang siur, semakin mengaduk emosi. Awalnya 3.000, lalu belasan ribu, beberapa jam kemudian puluhan ribu. Angka-angka menanjak tinggi. Pesan lain menggambarkan mayat-mayat berserakan memenuhi jalan. Badan saya merinding. Horor dan ketegangan kian memuncak terutama karena informasi begitu terbatas. Bersama beberapa kawan, saya mendatangi Sanggar Ciliwung di pinggir Kali Ciliwung, Jakarta Timur. Rumah berlantai dua inilah markas Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) yang dipimpin Romo Sandyawan Sumardi. Mudah-mudahan, di sini tersedia lebih banyak serpihan informasi. Bagi sebagian warga Jakarta, Romo Sandy dan Jaringan Relawan Kemanusiaan telah lama dikenal sebagai jaringan yang lihai memobilisasi solidaritas kemanusiaan. Saat banjir besar melanda Jakarta (1998), JRK menyambung urat-urat kemanusiaan warga Jakarta yang hampir putus lantaran jarang dilumasi. Dapur umum didirikan, posko layanan kesehatan dibuka di gardu-gardu kampung. Anak muda dengan keahlian penyelamatan (SAR) terjun menolong warga yang terjebak berhari-hari di atap rumah. Dokter-dokter sibuk melayani mereka yang membiru kedinginan. Ibu rumah tangga dan kaum profesional dengan beragam latar belakang ikut pula terlibat. Semuanya bergerak demi kemanusiaan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 3 Pekan-Pekan Menegangkan
Ketika gelombang demonstrasi melanda Jakarta, 1997-1998, JRK juga turun tangan. Dapur umum menyediakan ribuan bungkusan nasi setiap hari. Pos pelayanan medis dan layanan evakuasi disediakan bagi mahasiswa yang tengah berjuang menurunkan pemerintahan Soeharto. Dan hari itu, di ujung kalender 2004, JRK kembali bergerak. Pagi hari sampai jauh malam, orang-orang memenuhi rumah berlantai dua itu. Rosiana Tendean (mantan pemain bulutangkis), Dinny Jusuf (aktivis Suara Ibu Peduli), Doris Panjaitan (aktivis, anggota Partai Indonesia Baru), Protus Tanuhandaru, Romo Sudrijanta ( J e s u i t Re f u g e e S e r v i c e ) , Nugroho Dewanto dan Seno Joko Suyono (keduanya wartawan Tempo), tampak dalam aliran tamu JRK. Semuanya ingin Kapal “terdampar” di depan hotel Medan, Banda Aceh sekitar 3 km dari laut (Eric Grigorian)
mengerahkan apa saja yang mungkin bisa membantu mereka yang tertimpa bencana.
Benar, posko bantuan Aceh bukan hanya berada di Kali Ciliwung. Waktu itu, hampir setiap gang, masjid, gereja, sekolah, kantor lembaga swadaya masyarakat, kantor surat kabar, kantor stasiun televisi, membuka posko untuk Aceh. Salah satu posko yang cukup sibuk adalah posko Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) – forum LSM yang dikenal cukup kredibel menangani situasi darurat pascabencana. Pendeknya, gelombang solidaritas mengalir cepat, menular ke setiap jengkal tanah. Ketika petang menuju lembaran terakhir kalender 2004, Jakarta seperti luput dari pesta tahun baru. Kemeriahan yang lazimnya meluap menjelang malam pergantian tahun, kala itu tak tampak meledak. Di ujung malam, satu dua kali lengkingan terompet memang masih terdengar. Tapi itu lebih banyak berasal dari tiupan para pedagang yang masih mencoba menghadang rezeki. Jalanan lenggang dan sepi, malam merambat lambat. Dingin.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 3 Pekan-Pekan Menegangkan
Tak seperti suasana jalanan yang senyap, posko-posko bantuan untuk Aceh justru makin riuh. Seolah terkena mantra ajaib, Sanggar Ciliwung tiba-tiba penuh ibuibu, anak-anak, remaja, yang sibuk mengemas bantuan yang sudah menggunung. Beras, makanan, susu bayi, sarung, pakaian, selimut, obat-obatan, plastik kantung jenazah, karung-karung, kardus-kardus, entah berisi apa, datang dari
Belum tergambar apa, bagaimana, dan bersama siapa saya akan menuju tanah bencana itu.
segala penjuru angin. Petang itu pula, secara impulsif dan rada nekad, saya membulatkan niat untuk segera ke Aceh. Bukan sebagai wartawan tapi sebagai volunteer, relawan. Belum tergambar apa, bagaimana, dan bersama siapa saya akan menuju tanah bencana itu. Saya bahkan belum pernah sekali pun menginjak wilayah paling barat dari bumi Indonesia itu. Tak ada pula persiapan apa pun, tak terlintas sedikit pun apa yang akan saya hadapi. Semuanya serba gelap tidak menentu. Beberapa hari kemudian, jalan terbuka bagi saya. Setelah berdiskusi dengan kawan-kawan pengurus Lumbung Nurani Tempo (LNT), seperti Putu Setia, Hermien Y Kleden, Inong, Anne Handayani, Endri Kurniawati, dan Setri Yasa, kami membentuk tim relawan. Sebuah tim kecil yang handal, ringan tangan, dan saya diberi kepercayaan sebagai koordinator. Insya Allah, mudah-mudahan, tak lama lagi bakal kesampaian niat saya ke Aceh.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 4 Aceh, Kami Datang
Helikopter pembawa bantuan mendarat di jalanan Lamno, Aceh Jaya (Mardiyah Chamim)
Aceh, Kami Datang
4
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 4 Aceh, Kami Datang
Hari-hari itu, menuju Aceh ternyata sama sekali tidak gampang. Saya paham Aceh telah menjadi daerah tujuan terpanas di seluruh jagat. Magnet wilayah ini tiba-tiba menguat, jauh lebih kuat dari B a l i , H a w a i , K a r i b i a , a t a u m a n a s a j a . Ta p i , s u n g g u h , s e m u l a s a y a menyangka kesulitan itu tak lebih dari sekedar kerepotan mudik lebaran.
Penerbangan komersil menuju Aceh ketika itu hanya disediakan oleh Garuda Indonesia. Mudah
diduga, tak pernah ada kursi yang tersisa. Semua full booked. Jurus tarif tinggi ala musim liburan yang diberlakukan Garuda ternyata tak menjadi penghalang. Orang tetap berbondong-bondong menuju Aceh. Mereka yang sanak-kerabatnya harus dicari, relawan, wartawan, atau mereka yang sekedar ingin tahu, semuanya ingin ke Aceh. Beberapa penerbangan kemudian menyediakan layanan terbang gratis. Adam Air, misalnya, mengundang relawan terbang ke Aceh, tanpa bayar. Tapi mencari yang gratis pun tak gampang. Ribuan orang berebut ingin berangkat dan semuanya ingin dinomorsatukan. Dengan menumpang ojek, saya mendatangi kantor pusat Adam Air, di Ceng kareng, Jakarta Barat. Saya berusaha menemui mereka yang bisa megambil kata putus untuk siapa saja kursi gratis Adam Air diberikan. Pandangan mata bernada “memangnya-di sana-kamu-bisa-apa” saya terima dari beberapa orang. “Anda tahu, satu kursi sangat berharga,” kata Gunawan Suherman, Presiden Direktur Adam Air. Pertanyaan dan pandangan meragukan itu wajar saja. Dalam sekali terbang Adam Air menyediakan 150an kursi. Padahal ada ribuan, mungkin juga puluhan ribu,
orang yang ingin bergegas ke Aceh. Papan
tulis di ruangan Pak Gunawan menunjukkan derasnya permintaan. Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Departemen Sosial, World Wild Fund (WWF), dll, dll, semuanya mendesak minta diberi puluhan jatah kursi cuma-cuma. Semua ingin berada dalam prioritas paling top. “Kemarin, kita memberangkatkan 50 relawan dari organisasi terkenal. Eh, maaf ya, mosok, orang tua dan orang dengan kursi roda ikut berangkat? Bukannya menolong, jangan-jangan mereka malah jadi beban ,” kata Gunawan. Akibat seleksi yang kendor, tak mengherankan jika kemudian banyak “relawan” langsung minta dipulangkan ke Jakarta begitu mereka tiba di Banda Aceh.” Ada yang langsung pingsan begitu menyaksikan mayat bergelimpangan. Shock,” katanya. Belakangan di medan tsunami, terbukti bukan fisik betul yang menjadi andalan menjadi relawan. Semangat dan ketulusan jauh lebih penting. Seorang relawan dari Finlandia terbukti sanggup bekerja keras mendata kebutuhan pengungsi dari satu kamp ke kamp lain, seorang diri, dengan sebelah tangan yang buntung).
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 4 Aceh, Kami Datang
Tentu saja saya berupaya meyakinkan Pak Gunawan mengapa tim kami harus berangkat. Benar, tim ini bukan dari organisasi terkenal. Kami juga tak punya bendera atau spanduk yang gagah. Tim kami hanya selusin anak muda yang mau bekerja keras, yang kemampuan lapangannya sudah teruji. Tim dari Yayasan Puter yang saya koordinir ini memang memiliki resume cukup mengesankan.
Punge, Banda Aceh, sepekan setelah tsunami (Eric Grigorian)
Mereka pernah membantu mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, menangani bencana nasional kebakaran hutan di Kalimantan. Saya juga telah mendengar jungkir-balik dan keluwesan mereka beraksi di Ujung Kulon, Banyuwangi, Ambon, dari berbagai sumber. “Evakuasi mayat, oke. Membuka jalan, oke. Memanggul karung beras kiloan meter, oke juga. Pokoknya, tim saya tangguh seperti Mc Gyver,“deh,” kata saya. Ha, kaget juga mendengar komentar bernada jumawa itu, sepintas terdengar seperti promosi kecap nomor satu. Harus saya akui, saya tak punya pengalaman lapangan apa pun dalam soal bencana. Apa yang saya lakukan, lebih didorong oleh keinginan kuat ingin melakukan sesuatu untuk Aceh. Singkat kata, “kecap” saya manjur. Kami diijinkan ikut penerbangan Adam Air, Senin pukul 20.00, tanggal 3 Januari 2005. Jatah kursi tim saya diperoleh dengan menggusur jatah yang dipesan pejabat dan petinggi partai politik. Mereka yang digusur ini, menurut Gunawan, sepertinya berkunjung untuk kepentingan”show-time. “Saya yakin tim Anda akan lebih berguna,” katanya.
Terimakasih, Pak
Gunawan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 5 Malam yang Lesu
Dari jendela Masjid Lampuuk, Aceh Besar (Eric Grigorian)
Malam yang Lesu
5
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 5 Malam yang Lesu
Senin menjelang tengah malam, 3 Januari 2005. Pesawat Adam Air yang kami tumpangi mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, setelah empat jam terbang, hati saya berdebar kencang.
Aktivitas bandara hari-hari itu sungguh padat. Lusinan pesawat kargo yang mengangkut bantuan dan
pesawat penumpang, antre menanti giliran mendarat. Begitu penuhnya antrian, tak jarang pesawat
harus berputar-putar beberapa jam sebelum akhirnya diizinkan mendarat. Bahkan, seorang kawan bercerita, pesawatnya terpaksa bablas terbang ke Kuala Lumpur akibat kesulitan teknis saat antre di udara. Syukurlah, pesawat kami mendarat tanpa kesulitan. Kekacauan datang menyambut. Orang-orang panik. Wartawan, relawan, aktivis LSM, tumplek blek di bandara yang tak berapa luas ini. Di beberapa sudut, sejumlah ibu-ibu dengan sepatu hak tinggi dan rambuk disasak menjulang juga tampak. Entah bagaimana mereka sempat mendandani diri begitu rupa di tengah kota yang sedang chaos ini. Pada beberapa pojok tampak orang-orang termangu. Rupanya mereka penduduk lokal yang mencari sanak-kerabat atau ingin menumpang pesawat yang kembali ke Jakarta. Lembar fotokopi berisi gambar orang-orang yang hilang ditempel di sana-sini.
Tembok-tembok bandara juga penuh coretan tidak
karuan. “Fulan selamat, menuju Jakarta,” atau “Si Ani ada bersama Paman Anu,” atau “Bapak selamat, Adek Polan sudah tidak ada lagi.” Mencari taksi menuju kota yang sedang awut-awutan amatlah sulit. Beberapa orang menawarkan tumpangan dengan ongkos selangit. US$ 150 sekali jalan untuk jarak yang normalnya hanya Rp 50 ribu. Jurnalis asing, apalagi jurnalis televisi, dengan enteng menyambar tawaran ini tanpa pikir panjang. Seorang kawan yang bergabung dengan Tim Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (MAPALA UI), Martin Hardianto, yang tiba di Aceh sehari sebelumnya menjemput rombongan kami. Dia membawa mobil bak terbuka yang dipinjam dari penduduk. “Ayo, sekarang kita menuju Pendopo Gubernuran,” kata Martin. Mau menginap di hotel dengan AC dan bak air hangat? Ah, berkhayal…. Malam yang lesu. Martin berbaik hati menunjukkan suasana Banda Aceh di malam hari dengan mobil pinjamannya. Jalanan menuju pendopo dipenuhi suasana misterius. Gelap meraja, aliran listrik tak tersedia. Kelap-kelip cahaya muncul di beberapa gedung yang memiliki generator. Beberapa reporter televisi asing sedang merekam pemandangan dramatis tengah malam di depan gedung Supermarket Pante Pirak yang luluh-lantak.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 5 Malam yang Lesu
Di sepotong jalan, tepatnya di Desa Lambaro, tampak gundukan tanah. Pemakaman massal. Bau tajam meruap mengaduk isi perut. Martin mengasurkan masker kain. “Pakai ini,” katanya. Tapi, sengatan aroma mayat terlalu tajam untuk bisa diredam selapis kain tipis. Belakangan, seorang dokter relawan bercerita dia muntah-muntah membaui tajam aroma mayat. Bu Dokter ini memutuskan segera balik ke Jakarta lantaran tak tahan dan tak bisa berpikir jernih. Malam itu mobil kami merayap pelahan menuju kota. Bau tajam timbul tenggelam. Ketika kami mendekati kawasan Masjid
Tapi, busyet, rupanya setiap jengkal ruangan sudah dikapling.
Baiturrahman, landmark Banda Aceh, sampah berlendir, lumpur, potongan kayu, sobekan seng, pecahan kaca, rongsokan becak, bangkai mobil, tampak menggunung di sana-sini. Akhirnya sampailah kami di Pendopo Gubernuran, tempat ratusan
relawan dan jurnalis dalam dan luar negeri tidur bergelimpangan. Rombongan kami segera mencari tempat untuk merebahkan badan. Tapi, busyet, rupanya setiap jengkal ruangan sudah dikapling. Halaman pendopo pun sudah dijejali tenda aneka rupa dengan aneka bendera. Ada tenda dengan tulisan kanji, bendera Spanyol, atau tulisan bahasa Mexico. Kawan-kawan satu tim, seluruhnya 11 cowok perkasa, tak kesulitan menemukan tempat rebahan, biar pun berhimpitan. Tapi, saya? Jujur saja saya shock dan tak menyangka bakal menghadapi situasi seperti ini. Saya kebingungan mencari tempat berbaring. Plis, tolong Tuhan, setidaknya malam ini saja, saya butuh istirahat yang memadai. Beruntung saya bertemu Monica Tanuhandaru, aktivis yang kemudian menjadi asisten Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab dalam urusan Aceh. “Kita ke rumah JRS. Lumayan, ada kamar mandi, ada tempat buat rebahan,” katanya. Jadilah kami meluncur ke sebuah rumah nyaman di Jalan Ateuk Pahlawan, tak jauh dari pendopo. Lumayan, meskipun berdesakan dengan selusin relawan lain, saya bisa bergelung dalam kantung tidur dan beristirahat beberapa jam sebelum menghadapi hari-hari berat yang dimulai esok pagi. Tapi, baru beberapa jenak tertidur lelap, menjelang pukul 2 dinihari, bumi bergoyang dan berputar. Gempa susulan, aftershock. Getarannya tidak hebat, memang, tapi tetap saja memicu kepanikan. Semua orang berlari panik keluar rumah. Ya Tuhan, saya mendapat sambutan selamat datang!
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 6 Pasukan Buyat
Berdoa untuk korban tsunami di pemakaman massal Leupung, Aceh Besar, November 2005 (Mardiyah Chamim)
Pasukan Buyat
6
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 6 Pasukan Buyat
Pagi, 4 Januari 2005. Setelah menyantap sarapan sederhana di markas sederhana Jesuit Refuge Service (JRS), saya segera b e r g a b u n g d e n g a n T i m R e l a w a n Te m p o d i P e n d o p o G u b e r n u r a n . Ta k ada program khusus yang hendak kami lakukan. Berhubung jumlah kami kecil, kami akan bergabung dengan tim lain yang sudah ada. Tim Satuan Koordinasi Penanggulangan (Satkorlak) Bencana Nasional adalah satu pilihan kami untuk bergabung.
Selain mendistribusikan bantuan, terutama makanan dan obat-obatan, Tim Satkorlak memusatkan
energi pada evakuasi mayat. Ini langkah penting mengingat jumlah jenazah korban yang tergeletak begitu saja masih tak terbilang. Melihat mayat-mayat berserakan, membaui aroma tengik jenazah tak terurus, menghirup udara penuh aroma kematian, siapa pun akan gentar menghadapi situasi horor ini. Kita semua menuju kematian di ujung lilin, kata Jimmy Morrison, almarhum vokalis The Doors. Sesederhana itu, di ujung nyala sebatang lilin. Kekacauan Banda Aceh waktu itu sulit dilukiskan. Sampah lumpur berlendir memenuhi seluruh kota. Di jalanan berserakan sepatu tanpa kaki, boneka-boneka tanpa pemilik, untaian kalung tanpa leher. Setiap jengkal tanah seperti menyimpan berlapis-lapis cerita pilu, tentang gelombang yang menghantam dengan kekuatan melampaui pesawat terbang. Bekas air bah tampak menghitam pada atap bangunan berlantai dua. Pucuk-pucuk pohon nyiur gosong. Korban yang selamat menyaksikan laut surut berkilo-kilometer, untuk kemudian, lima belas menit berikutnya, ombak berdiri tegak bagai ular kobra raksasa, yang langsung menggebrak ke segala arah dengan kekuatan penuh. Di tengah kekacauan, tak mudah menggelar program bantuan yang terencana. Program serapi apa pun bakal berantakan di lapangan. Situasi serba darurat. Para aktivis LSM, lembaga donor, juga relawan, mengerjakan apa saja yang bisa dilakukan. Ada dokter yang mengepel lantai bandara, wartawan yang membantu mengangkat karung-karung logistik ke atas truk, atau relawan yang berjalan seorang diri dari satu kamp ke kamp yang lain. “Saya mendata apa saja kebutuhan kamp-kamp pengungsi. Berapa yang hidup, berapa bayi, berapa perempuan, itu saja yang saya bisa,” kata Rully, relawan dari WALHI. Tapi Banda Aceh hari itu bukan hanya tenggelam dalam lautan kisah sedih. Satu dua kejadian di tengah situasi serba darurat itu, ada juga yang mengundang senyum. Saya berjumpa beberapa orang asing, dari Perancis, Jerman, juga Amerika, membawa ransel besar di punggung. Ransel-ransel itu tak pernah lepas barang sejenak. Wajar, ada uang berpuluh-puluh juta dalam tas punggung itu – satu solusi bagi kota yang sistem perbankannya lumpuh. Dari ransel itulah mereka membagi-bagikan uang langsung ke kamp-kamp pengungsi. “Ada berapa orang di kamp ini? Kira-kira butuh berapa ? Oke, ini Rp 15 juta,
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 6 Pasukan Buyat
tolong dikelola dengan baik,” kata mereka sambil mengangsurkan uang kepada penanggung jawab kamp pengungsian. Simak juga percakapan antara dua orang dokter dari Jerman (German Emergency Doctor) dan seorang pengelola kamp pengungsi Kabupaten Aceh Jaya. Saya kebetulan ada di lokasi sehingga diminta menjadi penerjemah dadakan. “Diyah, please, tell him that we want to download medicine and food from two containers that will arrive in the airport soon,” kata salah satu dokter Jerman kepada saya. Permintaan ini segera saya sampaikan kepada penangung jawab kamp. “Oke,“hana (tidak) masalah, Kakak. Tapi tak bisa gratis. Kami harus diberi uang rokok. Tidak ada tenaga gratis di sini,” kata si pemuda. “Of course. Just ask him how much does he want. Five millions rupiah?” tanya dokter Jerman memastikan. Mayat dalam kantong siap diangkut ke pemakaman massal, 3 Januari 2005 (Eric Grigorian)
Mendengar kata”five millions, si pemuda tampak marah. Dia menyambar dengan nada tinggi,
“Enak saja, masak bongkar muat dua kontainer dikasih segitu. Saya minta satu juta!” Ooo…., giliran saya yang kebingungan menerjemahkan. Saya, Romo Sudri, dan Eko yang ada di lokasi saling memandang geli. **** Situasi kacau balau. Khaos. Mayat di mana-masa, seperti adegan film Hotel Rwanda yang dibintangi Don Cheadle. Bedanya, ini pemandangan nyata, langsung di depan mata, bukan di layar bioskop. Pada saat itu tampak betul bahwa upaya pemulihan tak akan bisa optimal. Bagaimana mau pulih, setiap menit kita menyaksikan korban-korban tsunami terlantar di setiap jengkal jalanan. Jenazahjenazah ini berhak mendapat perawatan sepantasnya, paling tidak dikembalikan kepada bumi tempat kita semua berasal.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 6 Pasukan Buyat
Sempat terlontar gagasan untuk menggunakan alat-alat berat dalam evakuasi mayat. Becko, misalnya, bisa dipakai untuk mengeruk jenazah yang terjebak di sela-sela lumpur berlendir. Selain lebih cepat dan efisien, ini bisa membantu kita berkonsentrasi menolong korban yang masih hidup. Toh, yang sudah mati tak bisa kembali hidup. Menolong korban yang sedang sekarat, yang sedang kelaparan, yang berjuang dengan luka lahir-batin, justru jauh lebih penting. Tapi, gagasan ini rupanya kurang cocok untuk kondisi Aceh. Dalam suatu percakapan dengan Menteri Alwi Shihab, kami mendiskusikan ide alat berat itu. “Sebetulnya, ini pernah dicoba,” kata Alwi. Apa daya, teknisi becko menolak mengeruk mayat dari jalanan seperti mengangkut seng-kayu-sampah biasa. Takut kualat. Khawatir dihantui roh-roh yang tak tenang. Karena itu, Alwi memutuskan, pembersihan mayat dengan alat berat bisa dilakukan, hanya jika sampai batas waktu tertentu jalanan masih juga berbau busuk. Untuk sementara, evakuasi manual tetap pilihan terbaik. Tim Relawan Tempo, dengan koordinator lapangan Taryono Darusman, turut serta dalam kerja besar evakuasi mayat. Kami mendatangi Pos Satkorlak yang a d a d i p o j o k h a l am a n pendopo. Sepatu bot karet warna kuning, sarung tangan oranye, dan masker kain untuk keperluan medis dibagikan kepada setiap relawan. “Jangan memaksakan diri. Jika kalian merasa tidak sanggup, jika ada yang mual, jangan malu untuk berhenti dan kembali ke pendopo,” kata Banjar, 40-an, salah satu petugas Satkorlak yang
Evakuasi jenazah di Punge, Januari 2005 (Mardiyah Chamim)
mengkoordinir evakuasi mayat. Singkat kata, kami berduabelas –saya, Setri Yasa dan Abdi Purmono (keduanya
wartawan Tempo),
Taryono, Eko, Rahmat, Sutrisno, Ruswandi, Franky, Ahmad Sobirin, Ahmad, Agus Gumilar—turun ke lapangan. Dengan gagah, kami membawa 15 kantong jenazah. Awalnya kami bersikap “pasti-kami-kansanggup-mengevakuasi-puluhan-mayat”. Sikap ini ditanggapi petugas Satkorlak hanya dengan senyum-
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 6 Pasukan Buyat
senyum.”“Kalau limabelas kantong ini bisa terisi mayat nanti siang, itu sudah bagus,” kata Banjar. Lelaki yang terbiasa melakukan operasi SAR ini menemani rombongan kami berburu mayat. Pembaca, maaf lo, jangan berharap kelewat banyak dari saya. Biar pun sering rada nekad, tapi mengangkat mayat, apalagi yang sudah busuk menggelembung menghitam, saya tak sanggup. Sejak awal saya sudah katakan pada anggota tim bahwa peran saya hanyalah unit pendukung. Saya cuma mendokumentasikan dengan kamera dan melaporkan apa yang terjadi dalam buku notes. Laporan itu termasuk memotret dan mencatat nama-nama dalam kartu identitas –ada KTP, ijazah, kartu mahasiswa, akta kelahiran, daftar peserta kursus bahasa Inggris—yang terserak di antara mayat-mayat. Ketika itu, yang saya lakukan paling banter membantu anggota tim yang tali maskernya kendor atau memotong tali rafia untuk mengikat kantung jenazah. Kadang-kadang, saya juga berjalan kesana-kemari mengangsurkan botol air mineral kepada kawan-kawan yang kehausan. Apa boleh buat, hanya itu yang saya bisa dalam evakuasi mayat.
Kini, pasar itu musnah sudah. Kioskios hancur. Gerbang besi, atap seng, daun jendela, tercabik bersama remukan dinding.
Lampasse dan Punge, kawasan di pusat kota tak jauh dari Masjid Baiturrahman merupakan tujuan pertama kami. Dulu, kawasan ini merupakan pusat niaga dan perkantoran. Lampase adalah pasar yang sibuk dengan dagangan rempah-rempah. Kini, pasar itu musnah sudah. Kios-kios hancur. Gerbang besi, atap seng, daun jendela, tercabik bersama remukan dinding. Tak jarang potongan kaki dan serpihan tangan menghitam terlihat di sela-sela remah bangunan. Pertama kali menjejak kawasan ini, yang ada hanyalah rasa kaget. Setiap kali melangkah, mayat menyambut di kiri dan di kanan. Dalam rentang seratus meter, saya menghitung ada 15 mayat. Ada yang terjebak reruntuhan pagar toko. Ada yang tergantung di pohon. Ada yang menggeletak di lumpur. Semuanya tanpa busana. Semuanya telah menghitam dan menggelembung. Ketika berjalan di antara timbunan mayat dengan kuduk merinding, tiba-tiba telepon genggam saya berdering. Kaget. Sungguh sebuah interupsi yang tak terduga. Entah siapa yang menelpon saya pada saat itu. Yang pasti, di tengah percakapan telepon, saya menjerit keras-keras karena kaki saya tak sengaja menginjak kaki mayat seorang ibu yang terjebak di pagar pertokoan. Terus-terang dan bukan basa-basi, saya sangat salut kepada seluruh tim. Tanpa ragu dan jijik, mereka mengangkat jazad dengan cekatan, memasukkannya ke dalam kantung jenazah yang sebetulnya hanya kantung plastik hitam besar (trash bag), dan bukan body bag seperti yang sewajarnya.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 6 Pasukan Buyat
Sutrisno, salah satu anggota tim yang biasa dipanggil Otoy, tercatat paling sigap menangani mayat. “Kalau tak terlalu busuk, saya bisa gotong sendirian,” kata Otoy. Tapi kondisi para korban sudah amat memprihatinkan, Tak jarang, ketika sedang dimasukkan ke dalam kantung, ada bagian tubuh korban –kepala, tangan, kaki—yang terlepas. Biasanya, Otoy yang berambut gondrong ini kebagian mengambil bagian
Cara kami mengangkat mayat ternyata tak efisien. Tangan evakuator terlalu banyak bersentuhan dengan jenazah. Terlalu beresiko.
yang terlepas dan menyatukannya ke dalam plastik.—“Maaf, John, nggak sengaja,” kata Otoy. “John” adalah sebutan kami untuk mayat. Cara kami mengangkat mayat ternyata tak efisien. Tangan evakuator terlalu banyak bersentuhan dengan jenazah. Terlalu beresiko. Pak Banjar memberitahu kiatnya: kantung plastik dibelah, lalu mayat dibungkus seperti membungkus kue lemper. Lebih mudah dan lebih kecil singgungannya dengan mayat. Belakangan, dua relawan dari tim lain dilaporkan terinfeksi Clostridium perfringens lantaran bersentuhan langsung dengan mayat-mayat membusuk. Jari-jari kedua relawan itu diberitakan membusuk karena ulah koloni bakteri tersebut. Sejak berita ini beredar, kami memutuskan untuk ekstra hati-hati. “Jangan sampai kita jadi repot. Bukannya menolong, malah ditolong,” kata Taryono. Rasa salut juga saya tujukan kepada bapak-bapak tentara yang saya jumpai di Banda Aceh ketika itu. Sambil membenahi jembatan yang ambles, mereka begitu sigap mengevakuasi korban, meskipun tanpa bekal peralatan memadai. Tanpa masker, bahkan yang paling tipis sekali pun, tanpa sarung tangan. Mereka cuma melapisi tangan dengan serpihan tas kresek yang ketemu di jalanan. Bahkan mereka pun tak punya bekal air minum. Botol air minum 600 mililiter dari saya, diminum bergantian oleh selusin tentara dengan suka cita. “Terimakasih, Mbak. Besok, tolong bawa air yang banyak, ya,” kata mereka. Sambil para tentara bekerja, saya mencatat kegiatan kawan-kawan. Tim kami terbagi dua grup. Kelompok yang pertama mencari mayat di pinggir Sungai Punge. Grup lainnya menyusuri reruntuhan pertokoan dan asrama, di kawasan yang sama. Sampai di sudut jalan, teman-teman dari grup kedua tampak memasuki sebuah rumah. Seorang pemuda lokal menunjuk rumah itu.“Ada mayat di dalam, Bang. Tolong diambil,” kata si pemuda. Benar saja. Taryono dan kawan-kawan menemukan mayat perempuan di ruangan tengah. “Baunya tajam banget,” kata Franky. Dia langsung berlari keluar rumah, diikuti anggota tim lain. Para lelaki perkasa ini muntah-muntah. Rupanya, selama sepuluh hari terakhir sejak tsunami, jendela dan pintu rumah itu tertutup rapat sehingga aroma mayat tertahan di seantero ruangan. Untunglah, saya tak ikut masuk.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 6 Pasukan Buyat
Menjelang jam 2 siang, ada 13 jenazah yang berhasil dievakuasi Tim Tempo. Benar juga, Pak Banjar. Tak mudah mengisi seluruh
kantong plastik yang kami bawa tadi pagi. Seluruh jenazah yang sudah
terbungkus kantung ditempatkan di pinggir jalan agar diambil truk tentara yang khusus disiapkan untuk mengangkut jenazah. Dari sini, kumpulan mayat itu dibawa menuju pemakaman massal, yakni di Lambaro, dekat Bandara Sultan Iskandar Muda. Banjar dan Taryono memutuskan kegiatan evakuasi siang itu sudah cukup. Kami pulang ke pendopo untuk beristirahat. Namun, perjalanan menuju masa jeda ini juga tidak gampang. Tak ada kendaraan umum. Kami berjalan kaki sekitar 2 kilometer di tengah siang yang terik menyengat. “Di Aceh, matahari ada empat dan
Pasukan Buyat, pasukan pemburu mayat, begitulah julukan mereka.
semuanya bersinar dengan kekuatan penuh,” begitu guyonan kami. Sesekali ada truk tentara yang lewat dan menawarkan tumpangan. Tapi, waa…, kami harus berdiri bersama timbunan kantung mayat! Thanks, but no, thanks. Begitu sampai di Pendopo Gubernuran, kami segera membersihkan diri dengan sabun, mengganti seluruh pakaian dengan yang bersih. Jangan sampai bakteri atau apa pun yang terbawa dari lapangan menginfeksi tubuh yang sedang rentan. Repot kalau jatuh sakit di tempat yang sedang kacau. Usai bebersih, kami melaporkan 13 mayat yang dievakuasi. Jumlah ini dituliskan di papan tulis yang ada di Pos Satkorlak, di Pendopo. Puluhan tim relawan lain juga melaporkan jumlah korban yang dievakuasi setiap hari di sini. Tim-tim evakuator ini berasal dari berbagai organisasi, yang tergolong paling aktif antara lain Palang Merah Indonesia (PMI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Front Pembela Islam (FPI), dan Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam Mahameru. Pasukan Buyat, pasukan pemburu mayat, begitulah julukan mereka. **** Tak semua “pemburu mayat” bertindak kolektif. Ada juga yang berjuang sendirian, tanpa bendera apa pun. Agil Daeng, 22 tahun, salah satunya. Kisah mahasiswa Fakultas Kedokteran
di salah satu
universitas swasta ini saya dapatkan dari penuturan Nezar Patria, kawan saya wartawan Tempo, yang berada di Aceh pada hari-hari pertama pascatsunami. Agil Daeng sedang duduk santai ketika mendengar kabar bencana dahsyat itu. Hatinya tercekat menyaksikan tayangan televisi. “Mayat-mayat bergelimpangan. Sedih ngeliatnya,””katanya.”
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 6 Pasukan Buyat
Tak menunggu waktu, tanpa rapat koordinasi, Agil langsung menyambar tas dan mengambil tabungan beberapa juta rupiah. Segera dia meluncur ke bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng dan mau memesan tiket. Agil bahkan lupa mengabarkan kepergiannya kepada orang tua. Semuanya serba tergesa-gesa dan impulsif. Nekad. Sayang, tiket pesawat ke Banda Aceh tak bisa didapat. Tapi dasar sudah nekad, Agil tak putus asa. Ia terbang ke Batam. Agil berharap bisa masuk Banda Aceh melalui Polonia, Medan. Singgah di Batam, Agil membeli 100 kantong plastik besar yang kira-kira muat untuk jenazah. Dia juga membeli sejumlah masker kain, sarung tangan, dan disinfektan. Singkat kata, sampailah Agil di Bandara Iskandar Muda Aceh pada Selasa siang, 28 Desember 2004. Sendirian, tanpa kenalan dan kerabat, dia berjalan kaki menyusuri Banda Aceh yang bagaikan kota mati. Listrik mati, air bersih tak ada, makanan pun sangat terbatas. Segalanya serba darurat dan mencekam. Saat itu Agil ingin mencari kerabatnya yang tinggal di Darussalam, kawasan di dekat Universitas Syiah Kuala. Tapi, apa daya, akses menuju areal ini tertutup. Setiap inci jalanan
Sungguh, pada hari-hari itu, meminta partisipasi warga lokal, bukan pekara gampang.
disesaki mayat, tua, muda, laki-laki, dan perempuan. Seluruh kota lumpuh dan semua orang yang selamat termangu-mangu. Dengan nekat Agil mendekati orang-orang yang linglung itu dan meminta mereka membantunya mengevakuasi mayat. “Awalnya, mereka enggan, mereka khawatir ketularan penyakit,” kata Agil. Belakangan, setelah dijelaskan bahwa mayat justru berpotensi menyebar penyakit jika dibiarkan membusuk, warga mulai bersemangat mengulurkan tangan. Sungguh, pada hari-hari itu, meminta partisipasi warga lokal bukan perkara gampang. Mereka lebih banyak menonton. Bukan karena tak mau menolong, tapi mereka dalam posisi tak pasti, baik secara fisik maupun emosional. Harus kita pahami, berpuluh-puluh tahun daya inisiatif rakyat Aceh dibekap. Menolong sesama, tali silaturahmi, ikatan persaudaraan serba kendor. Iklim serba curiga dan waspada adalah menu sehari-hari. “Kalau soal mayat bergelimpangan, itu sudah biasa. Tak jarang di depan pintu rumah ada mayat orang ditembak, entah oleh TNI, entah oleh GAM,” kata Rizal, seorang pemuda yang tinggal di Lamnyong. Di sisi yang lain, para relawan yang datang dari luar Aceh pun rikuh melibatkan penduduk. Ada kekhawatiran warga sedang dalam trauma yang parah dan tak perlu dilibatkan dalam kerja fisik.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 6 Pasukan Buyat
Sebaliknya, warga lokal pun merasa tak dianggap sebagai bagian dari tim yang sama-sama bekerja untuk menangani situasi pascabencana. Percakapan di kemudian hari menunjukkan adanya perasaan terasing ini. “Kami mau bantu tapi bantu apa? Semuanya sudah dikerjakan relawan. Sepertinya kami ini tak bisa ngapa-ngapain,” kata Aldi, pemuda yang tinggal di Lampineng, Banda Aceh. Bahwa Agil Daeng bisa melibatkan warga lokal dalam evakuasi tentu sebuah prestasi. Apalagi, Agil tak hanya memimpin evakuasi korban, ia juga mengatur bantuan pengobatan darurat untuk ratusan pengungsi yang berkumpul di depan kantor DPRD Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai mahasiswa kedokteran, Agil paham bagaimana memberi pertolongan pada orang-orang yang didera trauma. Ini merupakan langkah pionir mengingat saat itu pemerintah, LSM, dan relawan belum banyak yang bisa menjejakkan kaki di Aceh. Lima hari di Aceh, Agil merasa sedikit tenang. Arus bantuan dari
Akhir Januari 2005, Satkorlak melaporkan jumlah resmi mayat yang dievakuasi mencapai 92.751.
dalam dan luar negeri, biar pun tak lancar, mulai mengalir. Sang pionir “pemburu mayat” pun pulang. Kembali ke kampus. **** Pada pekan-pekan pertama setelah tsunami, evakuasi mayat
menjadi sorotan utama. Jumlah mayat yang dilaporkan lebih dari 2.000 saban harinya. Suatu hari angkanya 2.972, hari lain 2.400, kemudian 2.650. Angka-angka ini diperoleh berdasarkan laporan timtim relawan kepada petugas Satkorlak, di Pendopo Gubernuran. Setelah satu bulan, jumlah mayat yang ditemukan menurun, kurang dari 2.000 per hari. Ini bukan karena jalanan sudah bersih dari mayat, tapi lantaran upaya mencari jenazah semakin susah. Setelah dilumat panas dan hujan berhari-hari, mayat makin sulit diangkat. Selain itu, banyak mayat yang terkubur dalam puing-puing bangunan, atau reruntuhan kapal, sehingga sulit dijangkau tangan. Akhir Januari 2005, Satkorlak melaporkan jumlah resmi mayat yang dievakuasi mencapai 92.751. Sekali lagi, itu sebatas angka laporan resmi. Ada banyak temuan mayat yang tak dilaporkan kepada Satkorlak. Agil Daeng dan masyarakat lokal yang membantu, misalnya, lebih sering menguburkan korban langsung di lokasi temuan. Tak ada waktu, tak ada tenaga dan sarana untuk membawa mayat-mayat ini ke pemakaman massal atau melaporkannya kepada Satkorlak. Beberapa bulan kemudian, mayat yang dikubur seadanya ini banyak yang mencuat lagi ke permukaan. Tengkorak, tulang kaki-tangan, potongan jari-jari berhamburan karena dikorek babi hutan. Alhasil, penduduk dan relawan harus menggali dan menguburkan lagi bagian-bagian tubuh yang berantakan itu.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
8
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 6 Pasukan Buyat
Mudah dipahami, angka final penemuan mayat yang dicatat Satkorlak belum mencerminkan akumulasi korban secara keseluruhan. Perkiraan kasar, menurut Departemen Kesehatan, korban tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias mencapai 180 ribu jiwa. Namun, berapa persis jumlah jiwa yang melayang, wallahu’alam. Ini akan tetap menjadi salah satu rahasia Tuhan. Soal lain yang menyulitkan penghitungan korban adalah buruknya kualitas administrasi kependudukan. Selama puluhan tahun, Aceh merupakan tanah yang terbelah dan sarat air mata. Konflik horisontal sesama elemen masyarakat, bentrok vertikal dengan aparat, dan suasana cemas yang berlarut-larut menyulitkan kesahihan catatan kependudukan. Kekacauan pendataan ini terjadi
Soal lain yang menyulikan perhitungan korban adalah buruknya kualitas administrasi kependudukan.
pula dalam penanganan pengungsi. Data mendasar mengenai jumlah total pengungsi, jumlah perempuan dan anak-anak yang selamat, bantuan apa saja yang sudah diberikan, amat susah diperoleh. Sudah tentu ini menyulitkan perencanaan dan penanganan korban pasca bencana. Secara bergurau, teman-teman aktivis menggolongkan data dalam tiga kelompok: data yang sahih, data yang tidak sahih, dan data versi Indonesia. Data yang tergolong kelompok terakhir ini selalu berubah dan dikeluarkan oleh berbagai pihak yang semuanya mengklaim paling benar. **** Tentang evakuasi mayat, banyak kawan bertanya adakah kami menjumpai pengalaman mistis selama di lapangan. Pertanyaan yang wajar mengingat masyarakat kita tampaknya tak bisa lepas keingintahuan mengenai dunia mistis. Pekan-pekan pertama setelah tsunami, percakapan dengan topik “dihantui roh gentayangan” memang cukup umum ditemukan di tengah masyarakat. Menjelang senja, misalnya, agak susah untuk menemukan tukang ojek yang mau mengantar penumpang ke lokasi-lokasi horor yang terkena dampak paling parah seperti Punge, Peunayong, atau Ulee Lhee. “Besok saja perginya. Sore hari begini kurang baik, kita seperti berada di dunia lain,” begitu biasanya tukang ojek berdalih. Bersyukur, saya tak punya sixth sense atau kepekaan apa pun yang berkaitan dengan dunia roh. Biar pun demikian, saya memang merasakan ada aura panas yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hawa luar biasa panas yang membekap Aceh pada pekan-pekan itu. Bukan panas karena sinar matahari semata, tetapi panas lantaran begitu banyak energi negatif, entah dari mana saja, yang sedang gentayangan di bumi dan udara Aceh.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
9
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 6 Pasukan Buyat
Jika saya hanya merasa panas, tidak demikian dengan Otoy. Si Gondrong ini mengaku kerap melihat roh-roh korban yang kebingungan dan tiada tenang. Suatu malam dia berkata, “Ada 6 orang berkumpul di dekat tenda kita. Mereka minta didoakan.” Kami, yang tidak tahu bahwa yang dimaksud Otoy adalah roh orang yang sudah meninggal, buru-buru mencari tahu siapa gerangan yang berkumpul di dekat tenda. Setelah paham, barulah kami minta penduduk setempat untuk turut berdoa demi ketentraman roh-roh ini. Belakangan, kabar tentang kemampuan supranatural Otoy menyebar. Banyak warga yang menanyakan keberadaan mayat-mayat kerabat yang belum juga diketemukan. “Abang, tolong beri tahu di mana lokasi terakhir Nenek. Kami ingin menjemput jenazahnya,” tanya seorang gadis. Mendengar pertanyaan seperti ini, biasanya Otoy terdiam sejenak. Lalu, sebisa mungkin dia akan menggambarkan keberadaan mendiang yang ditanyakan. Pada awalnya saya sempat meragukan kemampuan Otoy. Janganjangan dia cuma membual di hadapan gadis-gadis Aceh yang memang manis dan cantik. Tapi, herannya, Otoy bisa dengan fasih
Kami merasa tugas lebih mendesak adalah menolong upik dan buyung, kakak, abang, uni, paman, ibu, bapak, kakek, nenek, yang sedang berjuang dengan ketabahan luar biasa untuk terus bertahan hidup.
mendeskripsikan ciri-ciri fisik almarhum atau almarhumah yang ditanyakan. Beberapa kali juga insting Otoy terbukti, di lokasi yang dia tunjuk memang ada mayat terlantar yang perlu dikebumikan. Memang benar, tidak semua pertanyaan bisa dijawab Otoy. Seringkali keberadaan si mayat begitu jauh dan tak terdeteksi indra keenamnya. Kalau sudah demikian, biasanya, Otoy akan menenangkan hati si penanya dengan kalimat-kalimat yang bernada menentramkan. Bisa saja si gondrong. ***** Hanya empat hari Tim Relawan Tempo resmi bergabung dengan Satkorlak melakukan evakuasi. Setelah itu kami berusaha mencari jaringan yang lebih tepat untuk bergabung menyumbangkan tenaga. Dengan segenap respek kepada korban-korban yang meninggal, kami merasa tugas lebih mendesak adalah menolong upik dan buyung, kakak, abang, uni, paman, ibu, bapak, kakek, nenek, yang sedang berjuang dengan ketabahan luar biasa untuk terus bertahan hidup.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
10
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 7 Ombak yang Berlabuh
Pantai Leupung. Pohon-pohon kelapa terlibas ombak tsunami. Januari 2005 (Mardiyah Chamim)
Ombak yang Berlabuh
7
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 7 Ombak yang Berlabuh
Dalam bahasa Jepang, tsunami berarti ombak yang berlabuh. Sebuah kata yang cantik, santun, menggambarkan suatu kedatangan yang mesra, hati-hati dan terkendali.
Namun ombak yang berlabuh di Aceh pada pekan terakhir 2004 itu, bukanlah ombak yang mesra.
Tsunami yang pernah datang mengiringi letusan Krakatau tahun 1883 dan berlabuh di Banyuwangi serta Flores itu, kali ini benar-benar menunjukkan “kebesarannya”. Dialah Sang Ombak gahar yang menghempas, menggebrak, dan memaksa apa pun, siapa pun, bertekuk lutut. Tak sedikit artikel dan analisis ilmiah yang mengulas prahara besar pada hari-hari itu. Menurut artikel-artikel ini, dampak tsunami bisa dihindari. Biasanya ombak maut itu diawali suara gemuruh. Berikutnya, air laut surut seketika untuk kemudian kembali menggebrak dengan kekuatan berlipat. Para ahli yang dikutip
Menurut artikel-artikel ini, dampak tsunami bisa dihindari.
media yakin ada tenggang waktu 15-30 menit antara getaran gempa dan datangnya tsunami. Tengang waktu ini cukup untuk menjauhi pantai dan menyelamatkan diri. Sebuah artikel di Majalah Tempo (16 Januari 2005) bahkan dengan berani menyatakan, “Tanpa alat mahal pun tsunami dan dampaknya bisa dihindari.” Benarkah? Di Pulau Simeleu, memang ada budaya lokal yang mengajak penduduk agar segera lari ke bukit begitu terjadi gempa. Budaya “smong” ini mengingatkan warga agar tak mencoba-coba mendekati laut karena gempa akan segera disusul gelombang besar. Ajaib, berkat smong, pulau kecil ini selamat dan hanya kehilangan enam orang warganya. Bukan ratusan, bukan ribuan. Sebaliknya, di pesisir barat Aceh seperti di Ulee Lheu, warga malah sibuk memungut ikan ketika air laut surut dua sampai lima kilometer. Mereka bersuka ria menangkapi ikan yang berlompatan gara-gara laut telah terbelah. Mereka tak sadar bahwa kawanan bangau sudah pergi menjauh. Dan, tiba-tiba, werrrrrgghhhh…, gemuruh gelombang tegak berdiri menyapu segala yang ada di lintasannya. Korban berjatuhan. Bukan enam, bukan sepuluh. Ratusan ribu jumlahnya. Namun benarkah smong mampu menekan dampak tsunami? Mungkin saja. Awalnya saya juga seratus persen sepakat dengan ulasan media. Bila kita waspada, awas dengan tanda-tanda alam –gempa hebat, gemuruh, laut surut, bangau-bangau terbang— dan segera lari ke perbukitan, maka bereslah sudah. Kita akan selamat.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 7 Ombak yang Berlabuh
Tapi, setelah menyusuri pantai barat Aceh, menghabiskan hari-hari di Lhok Nga, Lamsenia, Lhok Sedu dan Lamno, saya tak yakin dengan teori “waspada dan lari” itu. Bentang alam pesisir barat Aceh sangat berbeda dengan Simeuleu. Di sepanjang BandaMeulaboh, perbukitan rimbun berliku-liku berjajar dengan pantai dengan jarak yang tak begitu jauh. Tak jarang, pesisir hanya berjarak 1-2 kilometer dari bukit-bukit yang bagaikan dinding
Situasi Aceh berbeda dengan India, Srilanka, Thailand, Myanmar, dan negara-negara lain yang juga terkena tsunami.
terjal tegak menjulang. Adalah sebuah mukjizat jika di tengah kepanikan dan histeria massa yang luar biasa, kita bisa lari menjangkau kaki bukit, apalagi sampai ke puncak. Pelari super cepat pun, langkahnya bakal tersendatsendat. Di Simeuleu, tindakan penyelamatan lebih mudah dilakukan karena bukit-bukitnya lebih landai. Pada titik inilah saya menilai artikel di media dan para ahli yang cenderung menyampaikan analisis bernada “i-told-you-so-sudah-kubilang-kan” itu terlalu menyederhanakan persoalan. Coba kalau mereka mengalaminya sendiri! Situasi Aceh berbeda dengan India, Srilanka, Thailand, Myanmar, dan negara-negara lain yang juga terkena tsunami. Di berbagai negara ini, tsunami menyambar satu sampai beberapa jam setelah gempa terjadi. Tapi, buat Aceh, lokasi pusat gempa begitu dekat, hanya berselang waktu 15-30 menit. Lima belas menit, tiga puluh menit, tak akan banyak bermakna. Coba catat betapa cepat dan kuatnya gelombang itu. Kecepatannya 480-490 kilometer per jam, sebanding dengan laju pesawat jet. Kecepatan, massa air laut yang puluhan juta galon, beribu ton pasir, dan segala material yang terbawa dari dasar samudera akibat patahan lempeng tektonik, adalah kombinasi yang mematikan dan menggentarkan. Bukan mustahil gempuran sedahsyat ini
pula yang
dulu menenggelamkan benua Atlantis. Ratusan ribu orang remuk dengan mengenaskan seolah mainan dari lempung, kapal 1500 ton terseret ke daratan, gedung-gedung gepeng ibarat keripik singkong, pokok kelapa tercabut seperti helaian benang. Ratusan jembatan baja tumbang, jalanan aspal hancur, gedung-gedung beton menggelepar tak berdaya. Pantaslah bila tsunami dijuluki pembunuh yang tak pernah gagal. Di Banda Aceh, gelombang menyambar hingga enam kilometer ke daratan. Air berhenti hanya beberapa meter dari Pendopo Gubernuran. “Waktu itu saya ada di halaman pendopo. Air berhenti hanya beberapa meter dari kaki saya,” kata Hotli Simanjuntak. Fotografer Medan yang bekerja untuk Kantor
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 7 Ombak yang Berlabuh
Berita AP ini sempat merekam peristiwa dahsyat itu dengan handycam dan mengirimkannya ke stasiun televisi. Hotli beruntung. Tsunami berhenti mengejarnya. Tapi, bagi mereka yang tinggal di sepanjang pesisir barat Aceh, kejaran gelombang ini musykil terhindarkan. Dengan pesisir hanya selebar satu-dua kilometer, sambaran lebih cepat mencapai dinding bukit ketimbang langkah kaki sekencang apa pun. Hendak lari ke mana? Mau berlindung di balik apa lagi? Amukan laut akan melumat, membanting, dan menghempas segalanya. Benda mati, makhluk
“ Masak kami dibilang tidak melestarikan alam. Dibilang alam kami tandus, maka itu tsunami membinasakan kami. Hanya mereka yang tidak pernah ke Aceh berani ngomong begitu”
bernafas. Limabelas menit, tiga puluh menit, tak akan berarti apaapa. Abdullah Yahya, penduduk Desa Lamsenia, Kecamatan Leupung, Aceh Besar, mengenangkan kampungnya yang rimbun hijau. Kebun kelapa membentang panjang berkilo-kilometer. Pohon rambutan, durian, langsat, mangga, semuanya serba ada. Sebelum tsunami, kawasan ini dikenal sebagai penghasil buah-buahan yang makmur. Hutan bakau lebat berlapis-lapis. “Masak kami dibilang tak melestarikan alam. Dibilang alam kami tandus, maka itu tsunami membinasakan kami. Hanya mereka yang tidak pernah ke Aceh berani ngomong begitu,” katanya. Kedahsyatan kuasa alam tak bisa ditangkal hanya oleh hutan bakau lebat. Kini, kampung yang hijau itu tinggal puing. Abdullah tak terima tuduhan bahwa kehancuran ini disebabkan alam Lamsenia yang rusak. Lamsenia cukup hijau rimbun. Apa daya, tsunami teramat dahsyat. Ini semua bukan berarti saya menolak perspektif lingkungan dalam pemulihan Aceh. Konservasi, pemeliharaan, penataan lingkungan sangat diperlukan. Pembenahan tata guna alam pasti bisa mengurangi dampak bencana. Namun kita semua mungkin bisa lebih rendah hati. Usulan solusi dan penataan lingkungan mestinya disampaikan dengan kadar sewajarnya. Bukan dengan nada “sudahkubilang-kan” serta instruksi yang angkuh.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 8 Sisi Gelap Manusia
Mencari rongsokan di tengah reruntuhan pertokoan di Punge, Januari 2005 (Mardiyah Chamim)
Sisi Gelap Manusia
8
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 8 Sisi Gelap Manusia
Bencana memunculkan sisi terbaik sekaligus terburuk dari masyarakat. Itu juga yang terjadi di tengah tsunami. Ribuan orang datang mengulurkan tangan. Ribuan korban bertahan gagah dan t a b a h . Ta p i d i s a a t y a n g sama, ada yang menggali di air keruh, menjarah milik orang lain.
Penjarahan di tengah bencana bukan hanya monopoli Aceh. Amerika Serikat, negara makmur yang
mengerek bendera kampiun demokrasi juga tak lepas dari ujian ini. Badai Katrina yang mengamuk Louisianna dan Mississippi akhir Agustus 2005 juga menghadirkan para penjarah yang beraksi di tengah kepanikan korban. Papan peringatan bertuliskan “Looters will be shot” tak sanggup mencegah penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan yang merajalela di New Orleans. Kebenaran soal melonjaknya kriminalitas di tengah musibah Katrina memang masih diverifikasi. Sebagian dari berit a-berita seram itu terbukti hanya kabar angin. Namun dari fotofoto media terlihat jelas bahwa penjarahan di tengah musibah badai Amerika Serikat bukan sekadar isapan jempol. Harus
Penjarahan di tengah bencana bukan hanya monopoli Aceh.
diakui, manusia di negara makmur sekalipun, punya sisi gelap yang tak terbayangkan. Penjarahan juga terjadi di tanah kita. Saya berjumpa dengan seorang lelaki, sebut saja Arif, 30-an, yang sedang membongkar toko yang tergembok rapat di Banda Aceh. Sebelumnya dia sempat mengetok pintu dan memanggil pemilik toko. Tapi tak ada jawaban. Boleh jadi si empunya toko sudah musnah bersama tsunami. Deretan toko-toko lain, pasar, apotik, semuanya masih pada tutup. Padahal Arief membutuhkan susu untuk anaknya. Dia tak bisa minta jatah ke Posko karena tak punya tanda pengenal. “KTP saya hilang. Keuchik di kampung kami sudah tak ada. Posko tak akan memberi bantuan tanpa surat keuchik,” katanya. Dia terus berusaha membongkar gembok toko yang tertutup rapat. “Saya hanya butuh satu kaleng susu. Anak saya baru dua bulan. Badannya demam, kasihan dia,” lanjutnya pahit. Selain “penjarahan” ala Arif, kerap pula saya melihat drama yang lebih mengenaskan. Beberapa orang rela bermandi lumpur, mengorek lendir hitam, di tengah mayat yang bergelimpangan. Mereka bukan mau membantu evakuasi jenazah namun ingin mengorek uang yang mungkin berserakan di sekitar mayat. Ada yang bisa mengumpulkan Rp 2.000.000, ada yang Rp 300 ribu setelah seharian berkubang lumpur dan berteman mayat. “Uang ini lebih berguna buat yang masih hidup, Kak,” kata lelaki setengah baya yang saya jumpai sedang sibuk mengorek lumpur hitam di Lampasse, Banda Aceh.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 8 Sisi Gelap Manusia
Benar, uang tersebut lebih berguna bagi yang hidup. Tapi, tak sedikit relawan dan anggota TNI yang memilih mengembalikan uang dan pehiasan temuan kepada masjid-masjid terdekat untuk diperlakukan sebagai harta maal untuk kepentingan umat. Awal Februari 2005, misalnya, Pasukan TNI Kodam I Bukit Barisan menyerahkan 1,5 kilogram emas temuan selama tiga pekan melakukan evakuasi kepada pengurus Masjid Raya Baiturrahman. Perhiasan emas yang diserahkan meliputi 120 kalung, 72 cincin, 53 anting, 14 liontin, dan satu jepit ra mbut. Selain emas, pada hari itu diserahkan pula uang temuan senilai Rp 7.416.500. Tak semua tindakan relawan dan TNI boleh dicap putih bersih. Pasti ada juga di antara mereka yang tak mengembalikan barang temuan, bahkan turut menjarah. Beberapa unit laptop, peralatan koneksi nirkabel Mencari rongsokan di tengah reruntuhan pertokoan Punge, Januari 2005 (Mardiyah Chamim)
yang dipasang Tim Air Putih di Pendopo Gubernuran, misalnya, amblas disikat relawan yang menginap di sekitar pendopo. “Boleh saja cari
tanda mata. Tapi, peralatan ini harganya ribuan dollar, man. Lagipula ini kan bantuan yang mestinya kita manfaatkan bersama,” kata Protus Tanuhandaru, salah satu koordinator Air Putih. Mengambil “tanda mata”, menjarah, di tengah bencana sungguh tak masuk akal. Lebih-lebih jika dilakukan dengan siasat licik. Di beberapa kampung, antara lain di Pocut Baren, Kampung Mulia, dan Keuramat, Banda Aceh, terjadi kebakaran yang diduga kuat disengaja mereka yang hendak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sempat diduga kebakaran ini disebabkan karena hubungan pendek aliran listrik, tapi bukankah pada saat itu belum ada aliran listrik? Tak hanya itu. Para penjarah juga sampai hati bermain dengan trauma warga terhadap gempa. Berulang kali mereka berseru pura-pura panik: “Ie laot naik, air laut naik…!” Seruan yang langsung disambut dengan reaksi kalut masyarakat. Warga pun berlarian meninggalkan kamp, tenda darurat, rumah dan harta mereka yang tersisa.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 8 Sisi Gelap Manusia
Tentu saja ini seruan palsu. Dengan pengeras suara, polisi pun berkeliling dengan mobil. “Saudarasaudara, jangan panik. Kami sudah mengecek dan tidak ada air yang naik. Harap semua kembali tenang dan pulang ke tenda atau rumah masing-masing.” Alamak, ketika pulang, warga mendapati barang berharga yang tersisa sudah raib. Emas, radio, sepatu, baju, apa pun yang terlihat bagus, habis disikat. Brankas toko emas Haji Hasyim, di Pasar Aceh, misalnya, musnah diambil penjarah komplit bersama isinya, berkilo-kilo emas batangan dan perhiasan. Padahal, menurut penuturan warga, tinggi brankas ini sekitar satu meter dan berat totalnya mencapai dua ton. Tak cukup tiga orang untuk mengangkatnya. Di hari-hari pertama setelah bencana kerap terlihat orang-orang yang sibuk menerobos puing-puing rumah. Hakim Hatta, seorang aktivis yang lama malang-melintang di Banda Aceh, menuturkan bahwa yang disasar para penjarah ini adalah sepen, tembok di dekat tungku masak. “Orang Aceh suka menyimpan emas, baik
“Lemari masih ada. Tapi, kotak tempat perhiasan sudah lenyap.”
batangan atau perhiasan, di dekat tungku. Soalnya, kalau disimpan di lemari takut dirampok,” katanya. Emas memang sasaran paling ideal. Nilainya tinggi, gampang dibawa, dan mudah diuangkan kapan saja. Beberapa hari setelah tsunami, Nezar Patria, teman saya wartawan Tempo, menyambangi bekas rumahnya di Banda Aceh yang tersapu air bah. “Lemari masih ada. Tapi, kotak tempat perhiasan sudah lenyap,” katanya. Tak ada emas, barang yang lain pun oke. Tabung gas LPG, televisi, telepon genggam, bungkusan baju, bangkai sepeda motor, ban mobil, mesin mobil, atau rongsokan lemari es pun diangkut. Pernah ada kejadian sebuah tabung LPG meledak ketika beberapa orang mencoba menggotongnya. Rupanya, mereka tak paham tabung LPG gampang meledak dan mereka dengan enak saja merokok sambil menggotong tabung yang bukan tak mungkin sudah bocor. Suatu siang saya juga melihat tiga orang sibuk mengambil tabung LPG dari sebuah reruntuhan rumah. “Tak ada yang punya, Kak. Lebih baik kita ambil daripada tak berguna,” kata mereka. Pernyataan ini sangat tidak meyakinkan. Mungkin saja pemilik rumah sedang berada di pengungsian. Irwan, warga Lambaro yang selamat, misalnya, baru bisa menengok rumahnya sepekan setelah musibah. Selain transportasi sulit, Irwan terhalang mayat di sepanjang jalan. Alangkah kagetnya dia
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 8 Sisi Gelap Manusia
ketika menjumpai rumahnya sudah “bersih”. Para tetangga pun mengalami nasib serupa. Menurut Irwan barang favorit para penjarah adalah sepeda motor, meski pun sudah rongsok dimakan ombak. Pada hari-hari itu, di jalanan memang kerap terlihat truk yang melintas mengangkut lusinan sepeda motor
Akhir Februari 2005, Kepolisian Banda Aceh mencatat sedikitnya ada 30 kasus penjarahan.
bekas. Akhir Februari 2005, Kepolisian Banda Aceh mencatat sedikitnya ada 30 kasus penjarahan. Catatan angka ini pasti jauh di bawah kejadian yang sesungguhnya. Sebagian besar kasus-kasus ini didiamkan saja karena polisi kita sedang sibuk membantu pengungsi atau membangun jembatan yang hancur. Walhasil, hari-hari itu banyak tulisan peringatan menghiasi tembok kios, toko, dan rumah-rumah di Aceh. Bunyinya antara lain: “Hajah Nurjanah, yang punya rumah ini masih hidup. Penjarah dilaknat Allah.” Apakah ancaman semacam ini sanggup mencegah penjarahan, entahlah.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
Mencoba menembus akses yang terputus di Calang, Aceh Jaya, Januari 2005. (Air Putih)
Menuju Aceh Jaya
9
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
Hingga pekan kedua setelah tsunami masih banyak lokasi bencana yang belum terjamah relawan. Pulau Nasi, Calang,, Melulaboh, L a m n o , L h o o n g , Te u n o m , P a n g a , K r u e n g S a b e , d a n m a s i h b a n y a k lagi. Di tempat-tempat terisolir ini ribuan korban selamat menunggu datangnya bantuan. Mereka tak mungkin menanti lebih lama.
Bekerjasama dengan Jesuit Refugee Service (JRS) kami mencoba menggapai daerah-daerah yang
sendirian itu. Lamno dan Calang, keduanya di Kabupaten Aceh Jaya, adalah wilayah berikut yang ingin kami sambangi. Berkat publikasi televisi, waktu itu sudah banyak lembaga yang berpacu mendatangi Meulaboh, tapi Lamno dan Calang relatif masih terabaikan. Di “zaman normal”, perjalanan Banda-Lamno-Calang bisa dijangkau dengan mobil paling lama dua jam. Tapi setelah tsunami, kedua kota itu mustahil dijangkau dari darat karena belasan jembatan terputus, puluhan kilometer jalan aspal amblas dimakan ombak. Salah satu jembatan penting yang roboh adalah jembatan Lhok Nga. Di seberang jembatan, ada Asrama TNI Zeni Tempur –tempat ratusan prajurit terkubur beserta persenjataan mereka—dan sebuah kapal berbendera Singapura bermuatan batubara yang terseret sampai limapuluh meter ke darat. Putusnya jembatan Lhok Nga membuat kami hanya bisa bertanya-tanya tentang keadaan di “seberang”. Masih ada beberapa pemukiman di sana, seperti Lhoong, Leupung, Lamno, Teunom, Calang, sampai Meulaboh. Sampai pekan kedua pascatsunami belum juga ada kabar dari kampungkampung itu. “Ada beberapa kawan yang jalan kaki
Di “zaman normal”, perjalanan Banda-Lamno-Calang bisa dijangkau dengan mobil paling lama dua jam.
menyebrang ke sana, tapi sampai sekarang belum ada kabar,” kata Taufik, anak muda dari Green Camp, kumpulan anakanak muda pecinta alam di Banda Aceh. Bersama tim Jesuit Refugee Service dan Green Camp, kami mencoba merintis jalan menembus isolasi Lamno dan Calang. Ada tiga alternatif untuk menembus tempat itu. Pertama memakai helikopter. Ini mustahil dilakukan mengingat penggunaan heli amat mahal dan terbatas. Daftar antrian calon pemakai, baik militer maupun LSM, amat panjang. Belum lagi bila dihitung proporsi muatan dan harga bahan bakar yang kurang seimbang. Alternatif kedua dengan menerjunkan tim perintis yang benar-benar membuka jalan secara harafiah. Tidak perlu tim besar, cukup tiga sampai lima orang dengan kemampuan ala Mc Gyver (yah,
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
sepersepuluhnya juga sudah bagus). Tim perintis ini akan dilengkapi keperluan lapangan, termasuk ban truk untuk mengangkut barang bawaan melalui sungai yang jembatannya terputus. Rencananya, tim perintis ini punya misi memobilisasi pengungsi yang tersebar di bukit-bukit untuk berkumpul di lapangan bola atau tempat lapang yang bisa dilandasi helikopter. Berikutnya, tim akan menginformasikan kepada lembaga yang memiliki akses helikopter untuk segera menjatuhkan bantuan di lokasi pengumpulan massa yang sudah ditandai–misalnya dengan membentangkan plastik
Jika kita bersikeras mau menyewa, pastilah mahal. Tawaran untuk perjalanan dua pekan, misalnya, tarifnya sekitar Rp 15-30 juta
warna mencolok. Jadi, bantuan logistik bisa mencapai sasaran dengan optimal. Pilihan ketiga: kapal laut. Cara ini mungkin lebih efisien karena kapal bisa mengangkut muatan logistik bantuan yang lebih banyak. Relawan pun tak perlu kehabisan tenaga merintis jalan darat. Namun jalur laut perlu nyali kuat mengingat samudera masih terus bergolak. Bila di daratan kita masih merasakan ratusan kali gempa susulan, di lautan kita terus diguncang gelombang yang bergerak liar. Seluruh bumi rupanya sedang menyembuhkan luka-luka setelah lempeng tubuhnya bergeser. Hari-hari itu sempat pula terdengar kabar bahwa kapal kecil yang membawa rombongan Partai Keadilan Sejahtera terdampar di perairan Calang. Syukurlah, tak ada korban dalam insiden ini. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, kami memilih memakai kapal untuk menuju Lamno dan Calang. Selain efektif mengangkut logistik dan menghemat energi, perjalanan laut menghidarkan kita dari wilayah konflik yang masih sering meletup antara TNI dan GAM. Tapi, persoalan lain muncul: ke mana harus menyewa kapal? Sebagian besar kapal rusak diamuk ombak. Kalau pun ada yang selamat, pemiliknya masih berkabung dan trauma. Jika kita bersikeras mau menyewa, pastilah mahal. Tawaran untuk perjalanan dua pekan, misalnya, tarifnya sekitar Rp 15-30 juta. Untuk menghadapi persoalan itu, kami segera merapatkan barisan dan berbagai tugas. Lembaga dengan pundi duit lumayan, dalam hal ini JRS dan Flora Fauna Internasional (FFI) Indonesia, akan mencarikan kapal dan menyediakan dana. Kami, Tim Relawan Tempo dan Green Camp, menyediakan tenaga relawan untuk pelaksana misi menuju Lamno dan Calang. Kami juga mencoba merangkul beberapa pihak yang mau mendukung misi ini. Logistik bantuan yang akan diangkut kapal, misalnya, kami dapatkan dari berberapa lembaga seperti Palang Merah Indonesia,
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
PT LNG Arun dan PT Danone. Beras, minyak goreng, solar, obat-obatan, pakaian, sudah terkumpul dan siap diberangkatkan. Kamis, 6 Januari, ada kabar kepastian tentang dua kapal yang bisa disewa. Satu kapal kecil berkapasitas 3 ton dan satu lagi
Suasana begitu intens serasa kami akan berperang.”Ini memang perjalanan serius, Mbak,” kata Taryono
kapal berukuran sedang bermuatan 20 ton. Rencananya, kapal yang kecil akan dimuati tim relawan yang berangkat lebih dahulu. Lalu, kapal yang lebih besar khusus untuk membawa logistik yang bakal didistribusikan di Lamno dan Calang. Pagi itu bersama Bambang Eko Budiyanto (anggota Tim Tempo), saya menemani Romo Sudrijanta dari JRS memeriksa
kondisi kapal yang sedang berlabuh di Uleu Lheu. Seorang pawang laut turut serta memastikan kondisi kapal. Asal tak berlebihan muatan, begitu kata sang pawang, kapal ini bisa mencapai Lamno dalam delapan jam dan Calang 12 jam. Dia mewanti-wanti agar mematuhi batas muatan karena lautan masih sama sekali belum ramah. Romo Sudrijanta sepakat. “Oke, kita berangkat dengan kapal ini,” katanya. Begitu mendapat kepastian, tim kami menyiapkan diri. Perbekalan dibereskan dalam dua hari. Beberapa orang diutus ke Medan untuk membeli perangkat telepon satelit, handy-talky, jaket pelampung, kompas, karabiner, tali-temali, parafin, dan keperluan lapangan yang tak bisa diperoleh di Banda Aceh. Hampir semua peralatan bisa didapat di Medan, kecuali handset telepon satelit. “Habis semua, kita harus tunggu kawan dari Singapura yang membeli handset di sana,” kata Romo Sudri. Peralatan yang satu ini tak bisa diabaikan mengingat begitu terbatasnya sarana komunikasi di lapangan. Sementara sebagian kawan berburu peralatan ke Medan, yang lain menyiapkan logistik. Beras, gula, obat-obatan, keperluan P3K, sekali lagi harus diperiksa kelengkapannya. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Suasana begitu intens serasa kami akan berperang. “Ini memang perjalanan serius, Mbak,” kata Taryono. Mengingat kapasitas kapal terbatas, tak mungkin memberangkatkan seluruh tim sekaligus. Rombongan harus dibagi dalam dua klober (kelompok berangkat). Sebagai koordinator lapangan, Taryono memutuskan siapa saja anggota tim yang berangkat lebih dahulu dengan kapal kecil. Mereka adalah Taryono sendiri, Franky, Abot, Abdi Purmono, Rahmat, Ruswandi, Ahmad, Sutrisno, serta beberapa kawan dari Green Camp dan FFI. Butet Manurung, yang beberapa hari sebelumnya turun dari Rimba Suku Anak Dalam, Jambi, turut serta dalam rombongan pertama ini. *****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
Malam menjelang keberangkatan. Di pojok pendopo, di kapling Tim Relawan Tempo, semua orang sibuk bekerja. Abot
Satu demi satu keperluan diperhitungkan. Setiap orang butuh sekian ribu kalori saban hari sehingga tim perlu membawa sekian ribu gram beras, sekian ribu unit protein yang setara dengan berapa bungkus kornet, berapa bungkus mi siap saji, dan seterusnya, dan seterusnya.
mencuci sepatu boot, menyiapkan perangkat memasak seperti nesting, parafin, dan panci-panci kecil. Franky dan Sutrisno merapikan tali-temali, perangkat tenda, karabiner, pisau lapangan, hingga semuanya siap pakai. Rahmat menghitung dengan cermat kebutuhan logistik tim. Ahmad memastikan ketersediaan baterai. Korek api dimasukkan dalam botol agar tidak basah, obat-obatan, juga peralatan standar seperti senter dan jaket hujan sudah masuk dalam ransel setiap anggota rombongan. Setiap orang sibuk sampai jauh malam. Terasa betul bahwa ini bukan misi main-main.
Sungguh, saya terkesan dengan cara kerja teman-teman. Mereka dengan sigap menata perbekalan lapangan dengan teramat detil. Satu demi satu keperluan diperhitungkan. Setiap orang butuh sekian ribu kalori saban hari sehingga tim perlu membawa sekian ribu gram beras, sekian ribu unit protein yang setara dengan berapa bungkus kornet, berapa bungkus mi siap saji, dan seterusnya, dan seterusnya. Hitungan yang rumit tadi bahkan diterjemahkan dalam perencanaan menu yang detil, tidak variatif dan membosankan. Hari pertama: makan siang nasi plus ikan asin, makan malam nasi plus kornet. Hari kedua: makan siang nasi dan dendeng kering, makan malam mi instan dan kornet, dan seterusnya sampai daftar menu dua pekan perjalanan terpenuhi. Ada lagi. Taryono mewajibkan tiap orang membawa tambahan beban logistik ekstra untuk 1,5 orang lagi. Ini untuk berjaga-jaga jika ada pengungsi atau relawan lain yang harus ditolong. Jurnalis seperti saya, yang tak mau repot mengurus perbekalan, juga masuk dalam daftar yang berisiko jadi tanggungan tim. “Jangan kuatir, kita jaga Mbak selama di lapangan,” kata Franky. Ah, syukurlah. Dengan begini, saya tak perlu membawa ransel jangkung berat berisi perbekalan kumplit. Saya hanya perlu membawa ransel harian (daypack) yang simpel saja. Benar, perencanaan logistik yang amat rinci ini cukup memusingkan saya. Maklum, selama menjadi wartawan saya terbiasa mengepak keperluan perjalanan ala kadarnya – kalau tak boleh dibilang sembrono. Tapi tim ini jelas tak mau ambil risiko. Segalanya ditata rapi. “Yang kita bawa harus jelas. Tidak kurang tapi juga tidak berlebih. Kita tidak mau terlantar dan merepotkan orang lain nanti,” kata Rahmat menjelaskan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
Kesibukan persiapan mengundang perhatian penghuni pendopo. Para jurnalis asing bertanya-tanya, “Where are you guys planning to go?” Setelah mendapat penjelasan singkat, beberapa dari mereka ingin bergabung. Tapi begitu mengetahui bahwa ini perjalanan nekad, mereka menyurutkan niat, kecuali Eric Grigorian, fotografer Amerika Serikat, pemenang World Press Photo 2003. Eric diputuskan untuk bergabung dengan rombongan kedua.“I just need ten minutes to pack my things,” katanya. Sepuluh menit? Aha, ketahuan dia bukan jenis orang lapangan dengan perlengkapan siap tempur seperti kawan-kawan saya. Benar saja, yang disiapkan Eric hanyalah beberapa lembar kaos, jaket, perangkat komputer, kamera, obat-obatan pribadi, serta beberapa bungkus biskuit. Setali tiga uang dengan saya. Belakangan, Eric tak hanya bersama kami menuju Lamno. Dia juga bergabung dengan tim kami, sebagai fotografer relawan, menyelenggarakan pameran foto bertajuk “100 Days After: Struggle Continues – Perjuangan Berlanjut”, pada bulan Mei 2005 di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta. **** Subuh, 9 Januari 2005. Rombongan pertama siap berangkat. Memakai truk dan mobil dobel kabin JRS, kami bersama menuju Ulee Lhee, tempat kapal berlabuh. Sampai Ulee Lheu, perasaan miris muncul. Betapa tidak, Kapal Arung Samudera 033 ini tampak kerdil di tengah laut luas. Apalagi muatannya tampak melebihi daya tampung yang wajar. Biasanya, kapal berkekuatan 23 PK ini untuk selusin
Sampai Ulee Lheu, perasaan miris muncul. Betapa tidak, Kapal Arung Samudera 033 ini tampak kerdil di tengah laut luas. Apalagi muatannya tampak melebihi daya tampung yang wajar.
orang. Tapi, kini dia memuat 25 relawan plus 4 pawang. Jika masing-masing penumpang berbobot 60 kg, maka muatannya sudah 1,74 ton. Plus ransel perbekalan bisa dipastikan muatan seluruh kapal mendekati 3 ton. Terlalu mepet. Terlalu berisiko. Namun, para pawang meyakinkan kami bahwa kapal kecil itu bisa membawa tim menuju Aceh Jaya. “Kami ini sudah kenal sifat Lautan Hindia,” kata seorang pawang. Bismillahirrohmanirrahiim, mulut kami komat-kamit memanjatkan doa meminta keselamatan. Mesin Kapal Arung Samudera 033 dinyalakan. “Selamat jalan, hati-hati. Tuhan memberkati kalian,” kami saling bertukar pelukan. Pelan-pelan kapal menceur ke samudera yang mudah-mudahan tetap tenang sampai mereka sampai tujuan. Lambaian tangan menghantar kepergian tim pertama yang nanti akan dibagi dua, sebagian berhenti di Lamno, sisanya lanjut ke Calang.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
Setelah rombongan pertama berangkat, tugas kami kini memastikan ketersediaan stok logistik untuk pengungsi yang akan berangkat esok hari. Setri Yasa dan Ali Anwar (keduanya wartawan Tempo), Romo Sudrijanta, dan Bambang Eko Budiyanto berkeliling ke posko-posko bantuan, menyambangi PT LNG Arun, PT Danone, dan PMI, untuk mengatur transportasi dan logistik bantuan. Mereka juga membeli beberapa kebutuhan yang belum tersedia, drum solar, bensin, minyak tanah, minyak goreng, dan telur. Lamno dan Calang sudah dua pekan terisolir, pastilah persediaan bahan-bahan seperti ini sudah amat menipis. Di tengah kesibukan mengumpulkan logistik, muncul kabar mengejutkan. Sebuah telepon datang dari Forum LSM Aceh. “Butet harus segera dipulangkan hari ini juga dari Calang. Penting,” kata si penelepon. Tak ada penjelasan rinci. Butet harus dipulangkan. Titik. Otomatis, saya dan Eko risau. Kalau memang ada keperluan gawat, harus diupayakan jalan memulangkan Nona Butet, bila perlu dengan menggunakan jaringan evakuasi darurat. Beberapa orang penting yang mengendalikan kru helikopter evakuasi, militer maupun sipil, sudah kami hubungi. “Bisa saja dia ikut helikopter yang mengangkut pasien, tapi semuanya belum pasti,” begitu jawaban yang muncul. Beberapa saat kemudian ada telepon lagi dari kawan Forum LSM. “Butet tak perlu lagi berada di Calang karena kawan yang dia cari sudah ada di Banda Aceh,” kata si penelepon. Ah, itu rupanya situasi yang dibilang penting. Terus-terang, rasa jengkel menggunung mendengar penjelasan ini. Bukan apa-apa. Ini medan darurat, Bung. Memulangkan seseorang dari Calang, pada hari-hari itu, tak segampang menyetop taksi di Jakarta. Lagipula, kami yakin Butet yang teruji di pedalaman hutan Jambi tak akan cengeng minta segera pulang. “Iya, betul juga,” kata si penelepon, “Kami mohon maaf, tidak sadar keruwetan situasi lapangan.” **** Pagi,10 Januari 2005. Ini jadwal rombongan kedua menuju Aceh Jaya. Saya, Eric Grigorian, Romo Sudri, dan Christy Sandy (dokter yang relawan JRS) berkemas menuju Pelabuhan Lampulo. Pelabuhan yang lebih besar dibanding Ulee Lheue. Di sini kami bergabung dengan Tim Relawan dari PT LNG Arun yang juga akan mengkoordinir penyaluran bantuan logistik. Di Lampulo, suasana lebih ramai ketimbang Ulee Lheu. Ratusan orang hilir-mudik di pelabuhan ini. Lima kapal berkapasitas 15-20 ton tampak sandar di pelabuhan ini. Beberapa lembaga swadaya masyarakat, dalam dan luar negeri, rupanya juga menyewa kapal untuk menembus wilayah-wilayah
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
yang terisolasi. Pemuatan peralatan dan logistik menjadi aktivitas utama hari itu. “Daripada melamun, Abang bantu bongkar-muat kapal di sini. Anak-istri hilang entah ke mana,” kata Zainal, seorang lelaki berwajah kusut yang saya jumpai di Lampulo. Zainal adalah nelayan yang sedang berlayar di tengah laut ketika tsunami terjadi. “Waktu merapat di Lampulo, Abang lihat kampung sudah hilang. Rumah, keluarga, harta, semuanya tak ada lagi,” katanya terbata. Menjelang tengah hari, seluruh muatan sudah tertata di badan kapal. Kami siap berlayar. Dua anggota TNI bersenapan laras panjang, Ahmad dan Sugianto, ditugaskan untuk mengawal.
“Pengawalan ini perlu karena Anda menuju
daerah rawan. Personil GAM banyak di perbukitan Lamno dan Calang,” kata Ahmad. Tak jelas kepada siapa kami harus
Perjalanan mengarungi lautan itu lumayan mendebarkan. Semakin siang, semakin brutal laut, kata beberapa orang mengingatkan.
mengkonfirmasi pernyataan ini. Situasi saat itu mengharuskan kami untuk tak banyak bertanya dan mengikuti prosedur keamanan yang baku. Perjalanan mengarungi lautan itu lumayan mendebarkan. Semakin siang, semakin brutal laut, kata beberapa orang mengingatkan. Hati saya kebat-kebit. Apalagi ketika melihat air laut yang gelap menghitam, bukan biru sebagaimana lazimnya. Sampah dan puing-puing kayu-seng-batang pohon mengambang di sana-sini. “Ini sudah lumayan bersih. Beberapa hari lalu banyak mayat di sini,” kata Taufik, salah satu awak kapal. Pelan tapi pasti kapal bergerak. Lumayan, sejauh ini tak terasa goncangan bermakna. Saya berbesar hati bakal melampaui perjalanan dengan lancar. Daratan terlihat mulai menjauh. Sampah-sampah mulai berkurang, birunya lautan mulai mengintip menggantikan warna hitam di pinggir perairan. Namun ketenangan laut tak bertahan lama. Lewat satu jam perjalanan, ombak mulai beraksi. Kapal berayun kiri-kanan dengan liar. Seluruh isi kapal kayu ini dikocok tak karuan. Beberapa penumpang mulai mabuk, termasuk saya. Wow.., baru kali inilah saya mabuk laut yang hebat. Muntah, muntah, dan terus muntah sampai isi perut terkuras tuntas. Eric berbaik hati mengoleskan minyak kayu putih di dahi saya. Bahkan, dia membersihkan sebagian bekas muntahan saya yang tercecer di lantai kapal. Baik juga bule satu ini. Laut tak kunjung mau berdamai. Perut pun teraduk tanpa henti. Saking mabuknya, saya hampir selalu berbaring, tak berani menegakkan kepala. Saya hanya sepintas memperhatikan daratan di kejauhan. Perbukitan hijau berlapis-lapis dengan luka botak putih yang memanjang. Kawasan pesisir tampak
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
seolah baru saja dihajar senjata masif. Pepohonan yang gosong, daratan yang kehilangan daya hidup, remah-remah pemukiman, dari kejauhan tampak seperti garis luka yang begitu panjang.
Sebagian santri yang selamat dari bencana tsunami, Lamno Januari 2005.(Mardiyah Chamim)
Enam setengah jam kami terombang-ambing. Alhamdulillah, jam 6 sore, kapal mendekati Lamno. Tercengang kami menatap dataran yang remuk itu. Perkampungan di tepian pantai seluruhnya binasa. Menurut catatan, dari 48 desa di Kecamatan Lamno, Kabupaten Aceh Jaya kini hanya tersisa 26 desa. Paling sedikit, 8.000 ribu jiwa warga Lamno melayang ditiup tsunami. Dengan kaki limbung karena mabuk saya menjejak daratan. Astaga, sepanjang mata memandang, tak ada satu pun bangunan berdiri tegak. “Lihat di sana, Kak, itu pulau baru. Dulunya nyambung dengan Lamno, sekarang telah putus,” kata Bachtiar. “Banyak lagi pulau-pulau baru seperti itu.” Belakangan saya melihat peta-peta sederhana yang dibuat teman-teman aktivis Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI). Fahmi, Helmi, menggambar area di Gampong Baru, Krueng Raya, yang sebagian terputus menjadi pulau baru. Begitu pula Desa Lhok Sedu, Kecamatan Leupung, Aceh Besar. “Ini dulu wilayah pertambakan. Tapi, sebagian daratan tenggelam dan sebagian lainnya terpisah menjadi pulau baru,” kata Fahmi menjelaskan peta yang sedang dia susun di atas kertas kalkir. Peta yang baru mesti segera dirancang. ****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
8
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
Kabut duka menggantung pekat di Lamno. “Inilah reruntuhan kampung kami,” kata Syamsul, 40 tahun, penduduk yang menyambut kami. “Sekarang segalanya tinggal kenangan. Orang-orang yang saya cintai hilang semua. Anak-istri, mamak, nenek, semua binasa,” katanya. Seperti Zainal yang saya temui di Lampulo, Syamsul kebetulan sedang melaut ketika bencana datang. Ketika itu, di tengah laut, dia merasa heran karena melihat gelombang yang justru yang datang dari daratan. “Aneh, seumur-umur saya lihat gelombang dari laut ke darat, bukan sebaliknya,” katanya. Lebih aneh lagi, gelombang dari darat berwarna merah kecoklatan. “Hawa panas langsung terasa begitu gelombang datang,” katanya. Ombak itulah yang turut menggulung dan mengusung darah, ribuan mayat, serta bangunan yang luluh lantak. Melihat kondisi aneh inilah Syamsul segera merapat ke darat. Saat tiba di kampungnya, dia sadar segalanya telah berubah. “Abang jadi linglung. Tak percaya. Rasanya seperti kesasar, bukan mendarat di tanah yang selama ini Abang
“Hawa panas langsung terasa begitu gelombang datang,” katanya. Ombak itulah yang turut menggulung dan mengusung darah, ribuan mayat, serta bangunan yang luluh lantak.”
kenal,” katanya. Hari-hari berikutnya saya menjelajah Lamno yang telah tercabik-cabik. Bersama Eric, saya mendaki Bukit Babad Dua, tempat menara TVRI yang sekaligus pos penjagaan TNI. Dari puncak menara ini terlihat betapa hebat kerusakan di wilayah ini. Desa demi desa hancur serta mengubah bentang alam Lamno secara dramatis. Berjuta-juta kenangan telah tergulung. Dari puncak bukit ini pula kami paham betapa sulitnya menggambarkan kerusakan yang terjadi. Bagaimana mungkin bencana begini dahsyat diwakili dengan satu-dua foto? Apakah cukup kisah murka alam ini digambarkan lewat laporan jurnalistik yang hanya sekian menit tayang di televisi? Bagaimana mungkin beberapa halaman di majalah dan surat kabar mencerminkan apa yang terjadi? Harus diakui media gagal dan tak pernah bisa menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi di Aceh. “Not even close,” kata Eric. Apa yang tampil pada media hanya jukstaposisi yang menampilkan penggalan-penggalan yang dianggap bisa mewakili. Sangat mungkin ada banyak titik yang terlewat dan terabaikan dari kaca mata media. Mendaki bukit Babad Dua, kami menjumpai titik-titik yang terlewat itu. Jalan menuju kaki bukit disesaki tumpukan mayat yang berbaur reruntuhan bangunan. Bau menyengat mayat yang tertimbun pohon dan puing rumah meruap ke udara. “Mereka lari menghindari kejaran ombak, tapi kecepatan air
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
9
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
laut tak bisa ditandingi. Banyak orang terlempar sampai ke kaki bukit ini,” kata Sudirman, penduduk yang mengantar kami mendaki Babad Dua. Di atas bukit, kami menjumpai pos penjagaan TNI yang terbengkalai. Kamar tidur yang ditinggalkan pemiliknya, sandal yang menyisakan bekas darah kering, irisan buah sirsak yang tinggal separoh, juga cangkir kopi yang isinya sudah mengering. Semuanya porak-poranda. Coretan semrawut berisi pesan dan doa-doa memohon keselamatan tampak pada dinding. Sunyi menggigit dan berkarat. Kehausan dan kelaparan, saya melongok ke dahan-dahan pepohonan. Mencari buah yang mungkin bisa meredakan lambung yang sedang protes. Saya dan Eric melirik buah sirsak yang tinggal separoh tetapi masih tampak bagus. “Mau coba?” katanya. Tentu saja. Sepotong pisau kecil saya keluarkan dari ransel. Hm…, itulah buah sirsak terenak yang pernah saya makan. **** Lelah berjalan kaki, kami mencoba menyewa ojek berputar keliling Lamno. Sayang, tak ada kereta (sepeda motor) yang bisa disewa. “Tak ada minyak (bensin), Kak,” kata seorang pemuda. Beruntung, ada juga yang berbaik hati menyewakan keretanya. “Kakak wartawan. Kereta ini lebih berguna buat Kakak. Beritakan keadaan kami di sini, Kak,” kata pemuda itu sambil menyerahkan kunci sepeda motor. Maka seharian itu saya dan Eric berkeliling Lamno naik motor. Saya yang menyetir. Pasar, lapangan sepak bola, gedung sekolah yang jadi kamp pengungsian, kantor Telkom Lamno yang berubah menjadi tempat mandi umum, juga gubuk-gubuk di perbukitan kami kunjungi. Mendadak, ketika melintas sebuah tikungan tajam, sepeda motor saya lepas kendali. Wussss…., kami jatuh dan terlempar sampai beberapa meter. Untung saja saat itu kami tidak melesat jauh ke dalam jurang yang menganga di kiri jalan. Bersyukur pula saat itu ada penduduk yang sedang melintas. Bapak yang baik hati ini datang menolong mengangkat sepeda motor yang menimpa tubuh saya. Sejenak kemudian, Eric bangkit dari tanah. Dia datang memeluk saya yang berusaha bangun sambil meringis kesakitan. “Lega sekali kamu baik-baik saja,” katanya. Heran, kok tiba-tiba perih, linu, dan nyeri di sekujur badan jadi hilang. Bapak-bapak yang menolong kami ikut tersenyum. Kabar insiden kecelakaan ini cepat menyebar ke perkampungan. Saya pun mendapat servis ekstra dari beberapa warga saat berkunjung ke kamp pengungsian berikutnya.“Ini dimakan, dek. Pasti lapar, kan, habis jatuh” kata seorang ibu menyodorkan sepiring ketupat sayur. Tarimagenasong, terimakasih, Ibu. ****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
10
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 9 Menuju Aceh Jaya
Selama di Lamno, rombongan kami menginap di dua tempat. Pertama, di rumah Pak Muhammad, 40 tahun, tokoh informal masyarakat Lamno. Kedua, di Kantor Pos Kecamatan Lamno bersama keluarga Hasan, Kepala Kantor Pos. Dari kedua tempat inilah, kami mengatur distribusi bantuan dan mengkoordinir kegiatan pengobatan untuk pengungsi. Sebuah kerja yang sungguh jauh lebih rumit dan lebih sulit dari perkiraan saya semula. ****
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 10 Sejarah Mati di Kampung Kami
Mengaji di tenda pengungsian di Seulimu,Aceh Besar. Februari 2005 (Nefransjah)
Sejarah Mati di Kampung Kami
10
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 10 Sejarah Mati di Kampung Kami
S e b e l u m Ts u n a m i , L a m n o m e r u p a k a n k o t a k e c i l d i k a k i b u k i t , t a k jauh dari teluk yang elok. Di pusat kota, sebuah pasar desa t e r h a m p a r, p e n u h p e d a g a n g b u a h , p e n j a j a m a k a n a n , d a n w a r u n g kopi. Di awal musim hujan, pasar ini penuh buah durian, rambutan, cempedak dan manggis. Dari teluk, nelayan menenteng k e p i t i n g , i k a n s a l a m , i k a n l a y u r, b a h k a n b e b e r a p a j i n j i n g l o b s t e r. Sedangkan dari bukit, para petani mendorong satu dua gerobak penuh biji kopi. Sejak lama kopi Lamno terkenal sebagai salah satu kopi terbaik Aceh. Kopi Solong yang ngetop di Banda Aceh berasal dari bukit-bukit hijau di wilayah ini.
D
i seputar pasar itulah perekonomian Lamno berpusar. Di sana pula berdiri Kantor Pos, Puskesmas, Klinik, Kantor Telkom, dan losmen tua, sebuah bangunan kayu dengan sebidang halaman yang luas. Dan di atas semua itu, Lamno terkenal ke seantero Aceh sebagai gudangnya gadis-gadis cantik. “Waktu remaja saya sering mampir ke sini, naik bis dari Banda, mencari gadis bermata biru,” kata Fahruradzie, wartawan asal Aceh. Gadis berkulit terang dengan mata biru “van” Lamno konon merupakan anak keturunan armada Portugis yang terdampar di perairan ini pada abad 16. Menurut para tetua, sebagian besar pendatang yang terdampar itu tinggal menetap dan beranak-pinak di pesisir, tak jauh dari kaki Bukit Grotee.
Setidaknya ada 22 desa dengan 8.000 penduduk di daerah pesisir Lamno yang kini lenyap dari peta Aceh...
Kawasan inilah yang paling parah dihantam tsunami. Setidaknya ada 22 desa dengan 8.000 penduduk di daerah pesisir Lamno yang kini lenyap dari peta Aceh... Kami berdiri di pinggir pantai. Matahari sudah jatuh ke barat mendekati cakrawala. Senja yang merah itu menjadi saksi betapa luas wilayah yang hanyut tersapu ombak. Sepanjang mata memandang, yang tampak hanyalah puing dan onggokan reruntuhan. Kampung-kampung, tempat kehidupan ditata dan sejarah dituliskan, telah rata tanah. Saya teringat kutipan mengharukan dari Nezar Patria, wartawan Tempo yang berasal dari Aceh, “Sejarah mati di kampung kami.” Belum habis takjub kami menyaksikan kuasa alam, kami dikagetkan oleh sapaan seorang tentara. “Pak, Bu, mari segera kami antar ke kantor Kecamatan Lamno. Mobil sudah menunggu,” katanya. Enam “anggota” yang lain tampak sedang menunggu di jalanan bersama dua mobil bak terbuka. Kami tak segera menuruti permintaan itu. Kami sudah berkoordinasi dengan kawan Tim Relawan Tempo –tim pertama yang tiba sehari sebelumnya dengan kapal kecil—melalui telepon satelit. Mestinya
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 10 Sejarah Mati di Kampung Kami
mereka segera menjemput kami di dermaga. Namun, bapak-bapak berseragam itu tetap berkeras hendak mengantar kami menuju kantor kecamatan tanpa menunggu kedatangan kawan-kawan. Menurut mereka, sesuai prosedur resmi, semua tim relawan dipandu TNI. Segan berpanjang kata, apalagi kondisi badan sedang lunglai setelah diguncang laut, kami sepakat menuju mobil yang sudah disediakan. Tapi, bagaimana nasib 20 ton bantuan yang kami bawa dari Banda Aceh? Apakah logistik yang amat dibutuhkan pengungsi ini akan dibiarkan teronggok di dermaga? “Tenang,” kata Pak Tentara, “semua barang ini akan dikumpulkan di gudang Koramil. Kami yang akan mendistribusikan kepada pengungsi.” Penjelasan ini merisaukan. Sejak awal kami bertekad menyalurkan bantuan dengan tangan sendiri. Maklum, saat itu beredar kabar kurang sedap mengenai pembagian logistik.
Jumlah seluruh pengungsi korban tsunami di Lamno mencapai 15 ribu, sebagian di antaranya tidak melapor atau tak berada di pos pengungsian (banyak yang menumpang di rumah sanakkerabat), sehingga tak terdata secara administratif.
Koramil membagikan bantuan dengan sistem kupon, sistem yang tak menjangkau seluruh populasi pengungsi. Jumlah seluruh pengungsi korban tsunami di Lamno mencapai 15 ribu, sebagian di antaranya tidak melapor atau tak berada di pos pengungsian (banyak yang menumpang di rumah sanak-kerabat), sehingga tak terdata secara administratif. Bisa dipastikan mereka tak menerima pembagian kupon Koramil. Selain itu, saya juga ingat pesan seorang pengungsi Lamno yang kami jumpai di Banda Aceh. “Supaya setiap biskuit bermanfaat, supaya setiap tetes air diterima yang berhak, sebaiknya Anda salurkan sendiri barang bantuan,” kata Muhammad, nama pengungsi itu. Lagi pula, jika hanya meminjam tangan pasukan Koramil, untuk apa kami bersusah-susah terombangambing di lautan? Bukankah lebih mudah mengikuti pola”dropping”helikopter ala tentara asing yang saban hari singgah di Lamno? Cukup terbang dan jatuhkan bantuan, lalu terbang lagi tanpa perlu memastikan apakah logistik itu sampai ke tangan penduduk. Di tengah kebimbangan itu, Taryono Darusman, Ketua Tim Relawan Tempo yang sampai sehari sebelumnya, datang menjemput. “Nanti saja kita berembuk. Sekarang kita ikuti kemauan mereka,” katanya berbisik. Lagipula, katanya menambahkan, tim kami tak punya gudang penyimpanan. Bantuan
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 10 Sejarah Mati di Kampung Kami
harus segera dibongkar dari kapal dan dititipkan di gudang Koramil. Tidak bijaksana bila barang-barang berharga itu dibiarkan teronggok di dermaga.” Pembongkarkan berlangsung sampai lewat tengah malam. Para tentara menemani Taryono dan kawan-kawan di dermaga dengan senjata terkokang. Menurut bapak-bapak itu, pengawalan ini penting karena ada jam malam di Lamno. Lewat pukul 22.00, tak ada yang boleh keluar rumah atau tenda pengungsian, kecuali dengan pengawalan
Demi keamanan, Koramil melarang relawan - terutama warga asingmelampui radius 3 kilometer dari pusat kecamatan.
tentara. Keamanan memang masih menjadi isu penting di sini. Personil GAM yang bersembunyi di perbukitan kabarnya sesekali turun ke kota mengambil logistik. “Beberapa hari lalu, enam orang gunung menyusup ke posko pengungsi. Kami sudah tangkap mereka,” kata Pak Tentara bernama Ahmad. Tentu saja, keterangan ini sulit dicek kebenarannya. Kami toh tak bisa melacak di mana mereka ditahan. Esok pagi, setelah malam yang melelahkan, perundingan dilanjutkan. Beberapa kawan, Romo Sudri, Amirudin dan Faisal (PT Arun), Ilham Sinambela (FFI), Taryono ditemani Tajudin (warga Lamno) menjumpai para petinggi militer. Komandan Koramil Letnan Ramli Saragih minta kami memahami koordinasi sepenuhnya dipegang Koramil. Toh, katanya, sejak hari pertama pascatsunami, pasukan Koramil telah mengerahkan seluruh persediaan logistik untuk membantu masyarakat. Sekarang, setelah bantuan mengalir, Koramil ingin pula memastikan ketersediaan logistik untuk pasukannya. Tarik-ulur “koordinasi” akhirnya menghasilkan kesepakatan. Koramil menyalurkan sebagian besar beras yang kami bawa, 9 ton, dengan catatan tim kami terlibat dalam proses distribusi. Lalu satu dari empat drum minyak tanah diminta satuan Polisi Militer. Sisanya, 80 karung beras, beberapa karung gula dan garam, beberapa kaleng minyak goreng, obat-obatan, selimut bayi, makanan siap saji, susu balita, dan satu drum solar boleh kami salurkan dengan leluasa. Ada persoalan lain. Demi keamanan, Koramil melarang relawan –terutama warga asing— melampaui radius 3 kilometer dari pusat kecamatan. Kami harus mematuhi aturan ini karena di dalam tim ada Eric Grigorian yang dikhawatirkan menjadi target penculikan GAM. Sebagai catatan, beberapa bulan kemudian, Juni 2005, seorang relawan dari Hongkong menjadi korban penembakan ketika melintasi Desa Lamtui, Kecamatan Lamno. Identitas dan motivasi sebenarnya dari penembak belum terungkap sampai sekarang.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 10 Sejarah Mati di Kampung Kami
Selain gempa susulan, situasi keamanan yang setiap saat bisa berubah, menjadi sumber kecemasan warga Lamno. Selama berada di wilayah ini, sesekali saya mendengar suara tembakan di kejauhan. Tapi apa yang terjadi tak pernah bisa dilacak dan dikonfirmasikan dengan pasti. Ada yang mengatakan tembakan itu sebetulnya tak lebih dari ucapan “halo” kedua pihak, baik TNI atau GAM, untuk menegaskan posisi mereka.“Kita sudah biasa denger suara begini,” kata Risna, 30-an tahun, seorang ibu yang tinggal di Desa Babad Dua. Pada periode daerah operasi militer, 1989-1999, warga bahkan tak berani membuka pintu dan jendela sembarangan.“Khawatir ada peluru nyasar,” lanjut Risna. Menurut Risna, sampai hari ini masih banyak orang yang tegang setengah mampus begitu mendengar suara tembakan.
Aturan radius tiga kilometer menyebabkan hampir 100% bantuan, baik logistik maupun medis, tumplek blek di pusat kota.
Tiarap mencium tanah merupakan refleks otomatis sebagian warga Lamno. Menurut laporan Acehkita.com, kontak senjata paling baru antara TNI dan GAM terjadi di Bukit Ujong Pancu, Aceh Besar, 1 Juni lalu. “Ada saudara kami pingsan di dalam rumah, kaget mendengar suara tembakan,” demikian tutur seorang warga kepada Acehkita.
Bila tiarap adalah reaksi spontan warga lokal saat mendengar tembakan, tidak demikian halnya dengan para pendatang. Relawan dan jurnalis yang tak terbiasa, bahkan mungkin tidak pernah mendengar tembakan, bukannya tiarap, tapi malah celingak-celinguk mencari sumber suara. “Mungkin, mereka kira itu suara petasan hehe…,” kata Sofyan, koordinator relawan WALHI yang berada di Aceh sejak hari H+2 tsunami. **** Aturan radius tiga kilometer menyebabkan hampir 100% bantuan, baik logistik maupun medis, tumplek blek di pusat kota. Pos pengobatan Humanity First, Medicine San Frontiers, PMI, tim dokter Pakistan, Action Against Hunger, Tim Partai Keadilan Sejahtera (PKS), semuanya terpusat di tengah kota. Jadi, monggo,
untuk bapak-Ibu pengungsi yang ada di perbukitan, silahkan datang turun gunung, carilah
bantuan sampai ke kota. Mungkin ini bukan kebijakan yang tepat. Kondisi pengungsi di perbukitan tentu lebih memprihatinkan. Mereka harus berjalan kaki tiga, lima, bahkan delapan hari, siang-malam tanpa bekal, demi menyelamatkan diri dari gempuran ombak. Tubuh mereka mungkin tak kuat lagi untuk berjalan 6 - 15 kilometer mencari bantuan di kota. Sebagian di antaranya bahkan menderita luka terbuka yang sudah terinfeksi. Mestinya tim medis yang menyambangi mereka, bukan sebaliknya.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 10 Sejarah Mati di Kampung Kami
Syukurlah, kami mendapat dukungan dari Batalion Kesehatan TNI - AD untuk melewati radius tiga kilometer. “Silakan ke atas. Kalau perlu, anak buah saya yang mengawal Anda,” kata Mayor Dr Malissa, Komandan Batalion Kesehatan TNI-AD, yang bertugas di Lamno. Berbekal dukungan ini kami mendistribusikan bantuan sampai ke Desa Lambaro dan Desa Meudeun, 6 dan 12 kilometer dari pusat Lamno. Pelayanan medis juga kami lakukan di dua tempat ini dengan didukung dr Christy Sandy dari JRS Sumatera Utara. Ratusan pasien saban hari memenuhi tenda kami. ***** Lambaro dan Meudeun, dua desa cantik di perbukitan, menyimpan kisah sedih berlapis-lapis. Tentang Fatimah Rum, 60 tahun, yang tak tahu lagi kabar lima anak dan suaminya. Tentang Pesantren Budi, salah satu yang paling tua dan terpandang di Aceh, yang kehilangan ratusan santri. Tentang Teuku Ridwan, 14
Bukit Geureutee, Lamno. November 2005. Setelah tsunami, banyak ditemui pecahan pulau kecil.(Mardiyah Chamim)
tahun, yang punggungnya luka tercabikcabik setelah empat jam terbawa air tsunami. Juga tentang puluhan nyawa yang tak tertolong karena paru-parunya terlalu lama terendam air laut. Lambaro dan Meudeun juga menjadi saksi lemahnya koordinasi penyaluran bantuan. Sampai pekan ketiga setelah tsunami, sebagian besar pengungsi di kedua desa ini belum mendapat bantuan makanan dan obat-obatan yang memadai. “Anak-anak banyak yang mulai menunjukkan gejala malnutrisi,” kata Christy Sandy. Kasus diare, lanjut Christy, juga meluas lantaran pengungsi terlalu sering menyantap mi instan yang dimasak ala kadarnya. Air minum direbus tak sampai mendidih. Maklum, tak tersedia cukup minyak tanah untuk memasak. Persediaan kayu bakar pun basah terendam air. Sementara itu, para perempuan dan anak-anak saling meminjamkan baju, termasuk pakaian dalam. “Tak ada lagi baju dan selimut kami,” kata Ermina, ibu seorang balita. Akibatnya, gatal-gatal lantaran infeksi jamur menerjang. Selimut, pakaian dalam, cairan antinyamuk, ratusan botol bedak bubuk antigatal habis kami bagikan dalam sehari.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 10 Sejarah Mati di Kampung Kami
Selain gatal-gatal, diare, luka infeksi, dan pernapasan, Lamno sempat mengalami problem kolera. “Menurut catatan saya, ada lima pengungsi yang terkena kolera. Tinja mereka berwarna putih keruh seperti air cucian beras,” kata Mayor TNI Angkatan Darat dr. Malissa. Kondisi yang merisaukan. Sanitasi buruk di tenda-tenda pengungsian dengan mudah akan membuat kolera menyebar tak terkendali. ”Tim medis kami bertindak cepat. Kelima pasien segera diisolasi dan diobati. Untunglah, sekarang mereka sudah sembuh dan kolera tidak menyebar,” kata Malissa. Ada lagi problem lain yang cukup serius: malaria. Puluhan pengungsi dan beberapa anggota TNI terjangkit penyakit ini. Seorang tentara bahkan keburu meninggal gara-gara tak segera mendapat pengobatan. Malissa secara khusus sudah minta Markas Besar TNI untuk segera mengirimkan obat malaria. Tapi, sampai pekan ketiga pascatsunami, obat malaria belum juga datang. “Tolong,” katanya, “kontak jaringan Anda di dalam dan luar negeri, sampaikan bahwa kita di sini butuh segera obat malaria.”
Tak hanya koordinasi yang centang-perenang, erosi kepercayaan pada tentara juga tampak di Lamno. Barangkali karena tentara kita, terutama mereka yang bertugas di wilayah konflik, tak terbiasa dengan pendekatan persuasif dan manusiawi.
**** Tak hanya koordinasi yang centang-perenang, erosi kepercayaan pada tentara juga tampak di Lamno. Barangkali ini karena tentara kita, terutama mereka yang bertugas di wilayah konflik, tak terbiasa dengan pendekatan persuasif dan manusiawi. Saat menjaga kamp pengungsian, misalnya, senjata laras panjang di tangan mereka selalu terkokang siap menyalak. Ini seperti mereka sedang menjaga kamp tahanan dengan tingkat bahaya super ekstrim. Pada sepotong siang, saya menyaksikan helikopter milik tentara Amerika Serikat mendarat di jalanan aspal Desa Lambaro, sekitar empat kilometer dari helipad “resmi” yang telah disiapkan TNI, yakni di lapangan sepak bola. Biasanya, helikopter yang mengangkut bantuan logistik selalu mendarat di landasan resmi ini. Entah kenapa helikopter yang satu ini memilih mendarat di jalanan, Kabar yang beredar, heli Amerika sengaja menjauh dari helipad resmi karena ingin menghindari campur tangan tentara dalam distribusi bantuan. Sebelumnya sempat dilaporkan beberapa kali heli tentara asing membatalkan pendaratan begitu mengetahui pasukan TNI sedang menunggu di jalanan. Dan pada sepotong siang terik, heli asing kembali mendarat di tempat yang tak biasa. Tapi kali ini ada enam anggota TNI dengan senjata organik sudah bersiap menadah bantuan lengkap dengan kendaraan bak terbuka. Seperti lazimnya setiap kali helikopter datang, puluhan orang berkumpul mendekat. Anak-anak, orang tua, laki-laki perempuan, berlarian melambaikan tangan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 10 Sejarah Mati di Kampung Kami
“Mister, mister…!” begitu mereka berteriak kegirangan.
Begitu helikopter menjejak tanah, tentara AS langsung menurunkan kotak-kotak berisi bantuan bertuliskan USAID, Not For Sale. Kotak-kotak ini segera disambut dan dilarikan penduduk.
Begitu helikopter menjejak tanah, tentara AS langsung menurunkan kotak-kotak berisi
bantuan bertuliskan USAID,
Not For Sale. Kotak-kotak ini segera disambut dan dilarikan penduduk. Melihat reaksi masyarakat, yang tak membawa kotak bantuan ke kendaraan bak terbuka milik TNI, tentara pun gusar. “Jangan dibawa lari, jangan dibawa lari,” teriak para tentara. Penduduk tak peduli.
Lalu, dor, dor, dor…! Terdengar tembakan ke udara sampai beberapa kali. Penduduk kaget dan berlarian. Terjadi kepanikan sejenak. Penduduk kembali mendekat ke helikopter setelah tahu bahwa tembakan itu diarahkan ke udara. Mereka kembali berancang-ancang untuk membawa lari kotak-kotak bantuan. Melihat gelagat ini, seorang anggota bersiap kembali meletuskan senapannya ke udara. Namun seorang awak heli Amerika menepis tangan si TNI sambil menunjukkan isyarat tangan “jangan”. Tentara kita – yang tak terbiasa dengan pendekatan persuasif—tampak sedikit gusar. Syukurlah, tak berapa lama dia pun menurunkan senapannya. Awak heli AS kemudian melambaikan tangan, memanggil warga agar mendekat. Masih dengan bahasa isyarat, tentara asing ini meminta para lelaki berbaris untuk membawa kotak bantuan secara beranting menuju kendaraan yang dibawa tentara. Situasi pelahan menjadi tenang dan teratur. Bongkar muat bahan bantuan segera selesai. Awak heli kemudian mendatangi tentara TNI, menepuk bahu mereka, dan bersalaman. Sejenak kemudian heli pun tinggal landas meninggalkan aspal Desa Lambaro. Sepeninggal helikopter, penduduk bertanya-tanya, “Mana bantuan buat kami, kenapa tak langsung dibagikan?” Pertanyaan ini dijawab dengan teriakan tentara.“Saya tidak butuh barang-barang ini. Semuanya untuk masyarakat, tapi jangan dibawa lari. Nanti kita koordinir. Sekarang, ambil biskuit dan aqua ini. Sisanya kita bawa ke Kantor Koramil untuk koordinasi,” kata seorang tentara sambil membuka beberapa kotak bantuan. Penduduk bubar sambil menggerutu. **** Selama sepekan di Lamno, beberapa kali kami melihat pasukan Koramil membagikan bantuan. Biasanya pembagian diikuti keriuhan dan kecurigaan. Penduduk kasak-kusuk tentang aneka dugaan buruk.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 10 Sejarah Mati di Kampung Kami
“Coba perhatikan, Kak. Pasar Lamno sebetulnya sudah sepi, tak ada lagi yang bisa dijual,” kata Tajudin, seorang warga. Tapi, pada pekan ketiga setelah tsunami, kios-kios di pasar mulai penuh terisi dagangan minyak goreng, mi siap saji, dan telur. “Semuanya dijual dengan kemasan yang persis sama dengan yang disalurkan sebagai bantuan,” lanjut Tajudin gemas. Kecurigaan yang cukup beralasan mengingat saat itu, belum ada satu pun pedagang yang bisa”kulakan,”membeli barang dagangan dari luar Lamno. Lalu dari mana semua dagangan itu berasal? Bisik-bisik beredar, dagangan itu berasal dari pintu yang sama: koordinator pembagian logistik, yaitu tentara. Benar demikian? Entahlah.” Pahit memang. Pelbagai dugaan manipulasi bantuan membuat perut saya mulas. Sayang, saya tak bisa mengecek kanan-kiri. Selain lelah fisik dan mental, teman-teman mengingatkan agar saya tak terlalu ngotot melakukan investigasi. “Kita masih harus memelihara hubungan baik, termasuk dengan tentara. Demi kepentingan kerja panjang kita sebagai tim relawan,” kata seorang kawan. Pada saat seperti ini, kegelisahan sebagai wartawan terpaksa harus saya redam. Suatu sore, di hari ke-16 pascatsunami, kami melihat truk Koramil keliling pos pengungsian membagikan karung baju yang telah dua pekan lebih ngendon di gudang. Sayang, ketika karung dibuka, banyak pakaian yang basah dan koyak di sana-sini. Seorang lelaki memandang tumpukan baju yang sama sekali tak pantas pakai itu. “Kalau saja pakaian ini bisa dimanfaatkan,” katanya lirih. ***** Pagi itu, setelah empat hari di Lamno, Eric pamit Mengantri bantuan di Lamno, Januari 2005 (Mardiyah Chamim)
pulang ke Banda Aceh. “Saya harus segera mengirim foto ke agen saya,” katanya. Tak ada gunanya berlama-lama di Lamno bila gambar tak
terkirim. Jangankan koneksi internet, aliran listrik di kota ini hanya tersedia beberapa jam di malam hari. Selebihnya, gelap tanpa lampu. Ransel Eric sudah siap. Dia menuju lapangan sepak bola, helipad Lamno, menunggu helikopter tumpangan datang. “Ini seperti menunggu bis di halte,” katanya mencoba menghibur. Dia tahu betul saya agak sedih karena kami akan berpisah. Bersama dia, hari-hari berat di Lamno serasa lebih mudah ditanggung. Saya masih harus tinggal dua-tiga hari lagi di Lamno untuk menuntaskan satu dua hal. Dan, begitu saya sampai di Banda Aceh, nanti Eric mungkin sudah terbang pulang ke rumahnya di Los Angeles. Hm, ayolah, bukan waktunya sentimentil begini. *****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
8
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 11 Kota Berkode Pos 23654
Senja di Calang, kota yang rusak total dihajar tsunami, Januari 2005 (Air Putih)
Kota Berkode Pos 23654
11
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 11 Kota Berkode Pos 23654
Setelah Lamno, mari kita berpindah ke Calang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya. Apa boleh buat, saya tak sempat mengunjungi kota ini karena tak sanggup melanjutkan perjalanan 8 jam perjalanan Lamno-Calang dengan kapal. Mabuk laut cukuplah sudah. Oleh karena itu, laporan tentang Calang berikut ini saya sarikan dari p e n u t u r a n d a n t u l i s a n A b d i P u r m o n o , w a r t a w a n Te m p o y a n g j u g a anggota tim relawan
Bagi Abdi Purmono, yang tiba bersama tim pertama pada 10 Januari 2005, kondisi Calang jauh lebih
buruk dari yang bisa dibayangkan. Kota ini nyaris tak berbekas. Bagaikan kota hantu. Begitu hancurnya Calang sehingga ibukota Aceh Jaya dipindahkan ke Keude Krueng Sabe, enam kilometer di selatan Calang. Sebuah titik, dengan kode pos 23654, nyaris terhapus dari wajah negeri ini. Sebelum tsunami, catatan resmi menunjukkan kota ini dihuni 11.500 warga. Kini, setelah pagi nahas 26 Desember itu, penduduk Calang hanya tersisa 30 persen atau 3.500 jiwa. Menurut beberapa warga, gelombang menerjang maju dengan ketinggian 15 meter, menggempur Calang dari tiga penjuru: Teluk Rigah, Teluk Calang, dan Teluk Lhok Leubu. Semua
Pak Bupati menaksir, sedikitnya 8.000 warganya tewas. Sejumlah warga yang selamat mengungsi di perbukitan yang medannya sulit dijangkau.
bangunan bertekuk lutut. Satu-satunya yang tegak berdiri, meski compang-camping, adalah rumah milik seorang pengusaha, Tauke Nyek Beng. Rumah putih bertingkat di seberang posko marinir itu pun segera berubah fungsi menjadi gudang penyimpanan logistik. Zulfian Ahmad, Bupati Aceh Jaya, kehilangan istri dan keempat anaknya. Pak Bupati selamat karena pada saat musibah ia sedang berada di Jakarta.
“Saya kalut dan tak tahu pasti apa yang terjadi,”
katanya. Sehari setelah tsunami, begitu Zulfian bercerita, ia langsung terbang ke Banda Aceh. Dari sana dia menyewa kapal cepat menuju Calang dengan membawa puluhan kardus mi instan. “Begitu mendarat, mi langsung ludes dilahap warga tanpa dimasak dulu,” katanya. Menyaksikan kondisi warganya, Selasa 28 Desember, Zulfian kembali menyewa kapal menuju Banda Aceh untuk membeli 12 ton beras –yang habis dibagikan hanya dalam beberapa jam. Pada hari-hari inilah Zulfian mendapat kepastian bahwa anak-istrinya telah meninggal. “Kalut pikiran saya,” katanya. Pandang matanya menerawang jauh.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 11 Kota Berkode Pos 23654
Pak Bupati menaksir, sedikitnya 8.000 warganya tewas. Sejumlah warga yang selamat mengungsi di perbukitan yang
Berbeda dengan situasi Lamno, tentara tidak turut campur dalam distribusi bantuan di Calang.
medannya sulit dijangkau. Tak ada satu pun alat transportasi yang bisa dimanfaatkan. Jalanan hancur. Mayat-mayat berbau anyir masih bertebaran di jalanan. Pengungsi yang mau mendapatkan bantuan harus berjalan kaki puluhan kilometer, menuruni perbukitan. “Perjalanan begitu jauh, hanya demi
mendapatkan sekantung beras yang tak seberapa berat,” kata Abdi Purmono. Pada momen seperti inilah, kendaraan lapangan seperti jip yang dibawa Indonesian Off Roader sangat berguna. Jip-jip keluar-masuk membawa karung-karung berisi bantuan logistik untuk pengungsi yang jauh di perbukitan. **** Berbeda dengan situasi Lamno, tentara tidak turut campur dalam distribusi bantuan di Calang. “Kami tak mau terjadi fitnah, distribusi bantuan biar diurus Pak Bupati dan asistennya,” kata Brigjen (Marinir) Djunaidi Djahri, Komandan Satkorlak Penanggulangan Bencana Alam TNI Angkatan Laut di Pantai Barat Aceh. “Kami mengurus keamanan saja.” Pak Bupati Zulfian sudah pasti tak bisa bergerak sendirian. Penduduk pun dalam keadaan syok, sulit diharapkan bisa membantu. Itu sebabnya tenaga relawan sangat dibutuhkan. Ratusan personil TNIMarinir dikerahkan, terutama untuk tenaga tim kesehatan. Belasan personel Satuan Siaga Bencana Palang Merah Indonesia (Satgana PMI) Kabupaten Malang, Jawa Timur, juga datang membawa ambulans, truk, mobil bak terbuka, dan jip kanvas. Datang pula 54 personel Indonesian Off Roader, termasuk aktor Bucek Depp, komplit dengan jip perkasa yang siap menembus pedalaman. Beberapa dokter dari GED (German Emergency Doctors) turut serta turun tangan. Tim medis dan evakuasi dari Spanyol dan Norwegia ikut bergabung. Bukan sekadar mengurusi pasien, para dokter juga ikut menyalurkan bantuan. Biar pun relawan dari segala penjuru angin sudah turun gelanggang, Calang tetap saja terasa kekurangan tenaga, terutama karena medannya yang sulit dijangkau. Begitu banyak kerja, begitu sedikit waktu, begitu terbatas tenaga. Tak bisa tidak, warga harus dilibatkan. Persoalannya, melibatkan pengungsi bukanlah pekerjaan gampang. Entah mengapa ratusan pengungsi pria hanya menonton, sementara aparat dan sukarelawan mandi keringat melakukan evakuasi, mengangkut bantuan makanan dan obat-obatan. “Kami terpaksa teriak-teriak meminta bantuan pengungsi,” kata Abdi. Syukurlah, warga akhirnya ikut memeras keringat menyalurkan bantuan logistik. ****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 11 Kota Berkode Pos 23654
Pagi hari, 13 Januari 2005, pasar darurat pertama dibuka di Bukit Carak, salah satu pusat pengungsian di Calang. Tak ada kios, yang ada hanya satu dua lembar alas plastik yang dihampar di tanah untuk memajang barang dagangan. Awalnya, hanya ada satu pedagang menjual sembako. Harganya selangit. Satu setengah kilogram gula dipatok Rp 5.000, padahal normalnya Rp 2.500. Minyak goreng Rp 20.000, biasanya Rp 7.500. Ikan kembung, bawang merah, ikan teri, hampir semuanya dua sampai empat kali lipat harga normal. Meskipun mahal, kehadiran pasar ini tetap membesarkan hati. Begitulah, meski terseok-seok, kehidupan dan optimisme warga mulai bersemi. Selain pasar darurat yang mulai
Di atas sekeping lantai dari reruntuhan bangunan di Calang, seorang pengungsi menuliskan tulisan besar-besar dengan arang:”Tolong kami, bawa pergi dari sini.”
bernapas, para pria mulai sibuk memperbaiki sepeda dan sepeda motor yang mereka angkut dari reruntuhan kota. Dua perempuan dan tiga lelaki tua tekun merajut jaring-jaring ikan yang awut-awutan dihantam tumpahan air laut. Hari-hari berikutnya, makin ramai saja pedagang yang bergabung di pasar darurat Bukit Carak. Perekonomian mulai berputar, biar pun masih teramat lambat seperti roda mesin
yang kekurangan minyak pelumas. **** Tak terasa hari terakhir Tim Relawan Tempo di Lamno dan Calang telah tiba. Sejumlah pengungsi meminta kami tak segera kembali ke Jakarta dan memperpanjang masa tinggal di Aceh. Permintaan yang sulit dipenuhi mengingat rentang perjalanan kami sudah dipatok maksimal dua pekan. Lebih dari masa itu, kami tak punya cukup sumber dana untuk perbekalan tim. Lagipula, secara lahir-batin tim kami sudah lelah dan perlu istirahat. Tentu saja, niat kembali ke Aceh tetap menyala karena kami masih ingin sekuat tenaga membantu korban tsunami. Pagi itu, Tim Relawan Tempo berkumpul di dermaga Lamno, bersiap bertolak kembali menuju Banda Aceh dengan kapal laut. Saya memilih untuk tidak lagi menumpang kapal. Kapok mabuk laut. Bersama Mayor Malissa, saya menuju Banda Aceh dengan menumpang helikopter tentara Malaysia. Menurut catatan Abdi Purmono, di atas sekeping lantai dari reruntuhan bangunan di Calang, seorang pengungsi menuliskan tulisan besar-besar dengan arang: “Tolong kami, bawa pergi dari sini.” Kalimat yang makin sayup ketika kapal yang membawa Tim Relawan Tempo perlahan-lahan meninggalkan pantai. *****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 11 Kota Berkode Pos 23654
Siang sudah matang. 16 Januari 2005. Tim relawan kami sudah komplit kembali ke Banda Aceh. Lega rasanya telah melakukan sesuatu, meskipun sangat kecil, di wilayah yang masih terisolasi di Lamno dan Calang. Suatu saat insya Allah kami kembali lagi ke sana. Kami tidak lagi menginap di Pendopo Gubernuran. Sore hari, sesudah makan siang, kami menuju Kampung Sukadame, Simpang Surabaya. Kami menginap di rumah Bapak Ratino, tempat teman-teman wartawan Tempo bermarkas sementara. Tak sabar saya ingin segera sampai. Membayangkan air dingin menyiram tubuh yang sedang gerah, alangkah segarnya. Sore hari datang. Makan sudah, mandi sudah, ngopi sudah, nyicip pisang goreng hangat juga sudah. Apalagi? Segera saya mencari becak motor, hendak menuju Pendopo Gubernuran. Selain mengecek keadaan Satkorlak, bertemu kawan-kawan wartawan, pendopo merupakan satu-satunya lokasi yang memiliki koneksi internet. Berhari-hari di perbukitan Lamno yang rimbun, kangen rasanya ingin segera mengakses kotak surat elektronik saya. “Hai, Diyah,” tanpa saya duga ada suara yang saya kenal. Ah, Eric, belum pulang kembali ke LA! Sebuah kejutan yang menyenangkan. Kami bertukar cerita. Setiap detil perkembangan terasa berharga.
“Kemarin saya memotret gadis cilik yang menceboki
adiknya di tepi sumur kamp pengungsi,” katanya, “Melihat mereka, saya teringat
keponakan-
keponakan saya di Amerika. Sungguh beruntung mereka bisa hidup nyaman.” Selagi kami seru berbincang, James Nachtwey fotografer kawakan, pemenang delapan kali World Press Photo, melintas di pendopo. Seluruh mata fotografer di ruangan tertuju padanya. Bisik-bisik kagum pun muncul. “Hi, James,” sapaan hangat muncul dari berbagai sudut. Sejak terkena pecahan granat, tahun 2002, di tengah perang Irak, tampaknya baru kali ini Nacthwey turun lapangan untuk memotret. Menilik dari aura yang dipancarkan Nachtwey di pendopo, jelas sekali fotografer yang satu ini menyedot perhatian begitu besar di kalangan pewarta foto. Kebetulan saya pernah mewawancarai Nachtwey untuk Majalah Tempo, beberapa tahun lalu. Waktu itu, di Jakarta, saya ingat betul tubuh liatnya bergerak lentur dengan ketenangan mengagumkan saat membidikkan kamera di keriuhan jalanan. Kalem dan penuh percaya diri. Karena itu, tak terbayangkan senangnya hati ketika dia menjabat tangan saya. “Yes, I remember you,” katanya tersenyum. Entah ingat beneran atau sekadar basa-basi.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Mengenang keluarga dan kerabat di atas reruntuhan kampung halaman di Ulee Lheu, Maret 2005. (Eric Gregorian)
Rasanya Seperti Kiamat Donya
12
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Ini sepetik hikayat tentang anak rindu dia akan kampung. Rindu biru teduh, awan bergulung senja berwarna j
Aceh pada bagai ingga.
jauh di rantau. B nangroe tempat p lukisan, dan mat A d a c a m a r, a d a l
e a a a
gitu ntai hari yar.
Beuneung raja di dalam paya, Limpah cahaya langet bumoe, Ku’eh han teunget, kubleut han jaga Pajan masa kuteumee woe Ada’na sayeueb kuteureubang Nyeum bereujang troih u nanggroe Pelangi di paya, Langit dan bumi berlimpah cahaya, K u t e r b a r i n g t a n p a t e r t i d u r, Ku duduk tanpa terjaga, Bisakah tiba saatnya kukembali? Andai kumiliki sayap, aku kan terbang Agar segera kembali ke negeri (Hikayat Ranto)
Jangan kaget jika tak banyak warga Aceh yang ingin menceritakan kenangan mereka tentang tsunami.
Keengganan ini mudah dipahami karena mereka bosan ditanya hal yang sama berulang kali. Aktivis LSM yang sebagian hanya bisa berjanji dan jurnalis yang lapar cerita, datang silih berganti dan mengajukan pertanyaan serupa. Selain merasa bosan dan terganggu, korban yang selamat agaknya juga tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Mengingat musibah itu sama artinya dengan menggali kembali kenangan terhadap istri, suami, bapak, ibu, adik, kakak, keponakan, juga anak-anak yang telah tiada. Kepergian orang-orang tercinta secara tiba-tiba, dalam keadaan yang mengenaskan pula, membuat kenangan tentang tsunami selalu memilukan. Apalagi, banyak di antara jenazah, sampai hari ini sulit dikenali atau tak bisa ditemukan. Saya memahami situasi itu. Sangat jarang saya bertanya, “ada keluarga yang jadi korban, bu?”, atau “bagaimana ceritanya ibu bisa selamat?” Jika mereka segan mengisahkan hal-hal pribadi, saya memilih berdiam diri. Untunglah saya tidak sedang mengemban tugas jurnalistik, saya tak dituntut harus menggali kisah-kisah kepahlawanan yang mendebarkan. Saya datang hanya sebagai relawan. Barangkali justru karena itu, hubungan saya dengan keluarga korban malah lebih mendalam. Barangkali bentuk hubungan seperti ini pulalah yang akhirnya mengantarkan saya pada cerita-cerita yang gagah berani. Panglima Laot Cut Nyak Daud, misalnya, mengisahkan pengalamannya di hari Minggu itu dengan rinci, ketika saya mengunjungi baraknya, di hari Idul Fitri yang lalu. Seorang warga, namanya Abdullah Yahya bahkan mempercayakan catatan hariannya kepada saya. Begitu pula ada Yudha Nurdin yang mengisahkan pengalaman ibunya, perempuan tangguh yang enggan menceritakan kisahnya sendiri. Bagi saya, ini merupakan amanah untuk mengisahkannya kepada dunia.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Bidan Erni (49 tahun), Lampulo
Bidang Erni dengan latar belakang foto keluarga yang telah hilang, hanya tinggal Yudha (tengah, berdiri), (Mardiyah Chamim)
A l a s a n
S a y a
T e t a p
H i d u p
Jangan coba-coba membangkitkan kenangan tsunami kepada perempuan ini, tanpa alasan yang kuat. “Sudah jangan tengok masa lalu,” katanya tegas, “sekarang kita harus menatap masa depan.” Saya memahami perasaan Erni. Namun agar ingatan kolektif tentang sebuah hari bersejarah tak hilang meluntur, perempuan ini akhirnya menyilahkan saya mendengar kisahnya melalui penuturan Yudha Nurdin, satu-satunya anak Erni yang selamat. Maka di suatu sore yang gerah, berceritalah Yudha, 26 tahun, mahasiswa Fakultas Teknik Mesin, Institut Teknologi Bandung mewakili ibunya yang sedang sibuk melayani pasien di kliniknya, di Leung Bata, Banda Aceh. ***** Pagi itu rumah di Jalan Sisingamaraja, Lampulo, Banda Aceh, tampak sibuk. Erni dan suaminya, Dr Erwin Nurdin, dosen kimia di Universitas Syiah Kuala, bersiap menghadiri undangan resepsi pernikahan. Jam delapan, acara dandan belum tuntas ketika bumi terasa bergoyang. Gempa. Seluruh isi rumah terlontar berhamburan. Hrrgggggghhhhh Kepanikan tiba-tiba melanda, menggantikan usara Minggu pagi yang tenang. Erni dan Erwin Nurdin menggelandang tiga putri mereka, Lydia (22 – mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala), Ilona (17 – kelas 3 SMA III Banda Aceh), dan Diana (10 – kelas 5 SD), lari menyelamatkan diri.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Baru beberapa menit berlari, sampai di depan Hotel Rajawali, Lampulo, Erni melihat ratusan orang berlarian panik. Gaduh. “Ie laot naik. Air laut naik,” orang riuh berteriak. Dari arah pelabuhan ombak datang bergulung-gulung. Bingung, takut, campur aduk. Satu demi satu permata keluarga, Ilona, Lydia, Diana, tercerai berai terseret arus.
Seandai budaya kita mengenal nama tengah, barangkali kata “ketegaran amat layak diselipkan diantara nama Erni”
Tiga kali gelombang melambung jauh setinggi pohon nyiur, lalu menghempas ke bumi sekuat-kuatnya. Tangan Erni dan Erwin masih berpegangan. Sekali lagi gelombang datang. Kali ini pegangan tangan keduanya terlepas dan terpisah. Di dalam hati, Erni telah mengikhlaskan mereka pergi menghadap Sang Pencipta. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Segalanya milik Allah.
Gelombang kelima datang. Allah Maha Besar. Erni masih hidup, tersangkut pada kuda-kuda rumah di Kampung Kramat, tiga kilometer dari Lampulo. Tubuhnya penuh luka tergores seng, pecahan kaca, remukan papan. Seluruh kain bajunya habis tercabik. Syukurlah, seorang pemuda berbaik hati memberikan setelan baju olah raga. Pukul 5 sore, air laut surut. Lumpur menggenang bersama paku, papan, dan ribuan mayat. Perempuan ini berjalan pelahan. Tanpa menghiraukan tubuh letih, dia mencari suami dan tiga putrinya. Setiap tumpukan jenazah dia tengok, tak ada. Ketika malam tiba, Erni beristirahat seadanya di pos-pos pengungsian darurat yang ada di pinggir jalan. Keesokan paginya, dia kembali mencari orang-orang yang disayanginya. Segala rupa mayat ada, tapi tetap dia tak menjumpai Erwin, Ilona, Lydia, atau Diana. Hari ketiga setelah tsunami. Erni bertemu kawan lama, seorang dokter yang sedang menolong korban luka-luka. “Tolong, saya pinjam telepon genggam Ibu. Saya butuh menelpon anak saya di Bandung, memberi kabar bahwa saya selamat,” katanya. Komunikasi estafet pun dilakukan. Erni menghubungi kerabat di Banda Aceh, si kerabat menelpon Yudha di Bandung, dan Yudha mengontak sang ibu. Itulah kontak telepon pertama antara Erni dan Yudha setelah tsunami. Waktu itu Yudha sedang dalam perjalanan ke Cengkareng, mau cari pesawat menuju Aceh. “Sudah tiga hari hati saya risau betul,” kata Yudha. Percakapan ibu-anak ini cukup emosional. “Ibu mengabarkan dia selamat, tapi ayah dan tiga adik saya sudah tiada,” kata Yudha. Suaranya tercekat. Ketika akhirnya Yudha sampai di Bandara Sultan Iskandar Muda, malam tengah merangkak sampai pukul sembilan. Karena tak ada angkutan, Yudha berjalan kaki menuju Neusu, tempat ibunya berada. Menjelang tengah malam, barulah Yudha bertemu ibunya sambil bertangisan. “Kini tinggal kami berdua,” kata Yudha.**** Seandainya budaya kita mengenal nama tengah, barangkali kata “ketegaran” amat layak diselipkan diantara nama Erni. Perempuan yang kehilangan suami dan ketiga anaknya itu menolak tenggelam dalam kesedihan. Untuk membantu melupakan msuibah, dia bisa saja hijrah ke Bandung, menemani kuliah anak lelaki satu-satunya yang tersisa, sambil membangun hidup baru yang barangkali lebih
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
menyenangkan. Namun tidak demikian dengan Erni.”Saya ingin menolong orang. Itulah alasan mengapa saya dibiarkan hidup oleh Tuhan,” katanya. Pada hari ke-15 setelah tsunami, ketika yang lain masih tenggelam dalam kesedihan, Erni sudah bangkit. Dia mencari tempat untuk membuka klinik. Dalam situasi yang begitu kacau, tak mudah menemukan rumah sewaan. Beruntung banyak teman lama yang membantu. Sebuah ruko tiga lantai di Leung Bata akhirnya setuju disewakan Rp 17,5 juta setahun.
Tak sampai dua bulan setelah musibah, persisnya 11 Februari 2005, klinik kecil bernama “BPS (Bidan Praktek Swasta)- Bidan Erni” berdiri
Persiapan pun digelar. Beberapa bidan senior di Jakarta, teman-teman lama Erni, membantu dengan mengirim peralatan persalinan dan obat-obatan. “Yang membantu, kawan-kawan saya. Tak ada LSM atau donor yang datang,” katanya. Ia juga tak terpikir minta bantuan LSM. Dia tak terbiasa mengajukan proposal dan syarat-syarat lain. “Lagipula,” lanjutnya, “cuma kita yang bisa menolong diri sendiri.” Tak sampai dua bulan setelah musibah, persisnya 11 Februari 2005, klinik kecil bernama “BPS (Bidan Praktek Swasta) - Bidan Erni” berdiri. Tiga bulan pertama Erni memberikan layanan gratis. Setelah itu, memang ada tarif, namun untuk mereka yang tak mampu tetap tak perlu bayar. Belakangan, Erni dibantu sebuah produsen kebutuhan bayi untuk menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Di klinik kecil itu, ratusan pasien telah diberi bantuan pengobatan. Puluhan bayi telah dilahirkan. Tak jarang, klinik menangani pasien korban tsunami yang merasa tak punya masa depan. Kepada mereka, Erni tak hanya memberi obat tapi juga meneguhkan semangat. “Saya juga kehilangan suami dan anak-anak. Sekujur badan saya penuh luka,” katanya kepada pasien. Suntikan semangat dan dukungan Erni membuat pasien tidak merana sendirian. Agustus lalu, Erni mendapatkan penghargaan dari The White Ribbon Alliance for Safe Motherhood. “Bukan karena penderitaan Mama,” kata Yudha, “Tapi karena dia mampu bangkit dari pengalaman buruk dan mengabdikan dirinya pada orang yang membutuhkan.”
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Cut Nyak Daud (73 years old,seasoned fishermen), Lampuuk
Mardiyah Chamim
A y a m
d a n
B e b e k
I k u t
S e r t a
Berulang kali saya berjumpa Panglima Laot Lampuuk Cut Nyak Daud. Dalam setahun terakhir saya terlibat berbagai kegiatan dalam Lembaga Adat Panglima Laot, baik di Jakarta maupun Aceh. Ada banyak kesempatan untuk menggali kisah hidup lelaki tegap ini, namun entah mengapa saya selalu merasa tak tega. Sampai suatu kali dalam suasana Idul Fitri, saya mampir ke barak pengungsi yang ditinggali keluarga Panglima Daud, di Desa Lam Lhom, Aceh Besar. Pelaut tangguh, pemimpin adat nelayan di Teluk (Lhok) Lampuuk ini tahu bahwa saya sedang menulis buku. Itu sebabnya dia merasa perlu menceritakan kisahnya bergulat dengan maut. Bagi saya, kepercayaan ini merupakan amanah. “Sampaikan cerita kami kepada dunia dengan lebih komplit,” katanya. Sabtu malam, 25 Desember, Panglima Daud berlayar bersama pawang dan anak buahnya. Heran, malam itu suasana terasa aneh. Sekelompok anak muda berpesta di sebuah resort di Pulau Kapuk, tak jauh dari Lhok Nga. Suara musik membahana membelah lautan. “Sampai dua jam kami berlayar, suara itu masih terdengar,” katanya. Kapal terus berlayar sampai jauh ke tengah lautan. Namun Panglima Daud terlanjur risau. Dua tahun terakhir dia kerap bermimpi tentang air laut yang naik menjulang sebelum akhirnya melabrak daratan.
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Tidak sekali, Panglima Daud menceritakan mimpinya kepada istrinya, Nurhayati. Suasana dalam mimpimimpi ganjil tersebut mirip dengan situasi malam itu. “Saya mengajak teman-teman pulang, kembali ke darat. Kencangnya suara musik pertanda ada yang tak beres,” katanya. Ajakan ini disambut tanda tanya anak buah kapal. Ikan belum didapat, mengapa sudah putar haluan? Apa sudah surut nyali pelaut gaek ini? Akhirnya di bawah gerundelan anak buah, kapal kembali ke dermaga. Ahad dini hari, kapal sudah merapat. Sholat subuh telah didirikan. Panglima Daud membenahi perangkat melaut sambil ngobrol dan minum kopi di Bale Pasi, balai laut tempat nelayan berkumpul.
Warga perlu dibangunkan, katanya, agar punya kesempatan menyelamatkan diri.
Tak lama setelah itu, tiba-tiba bumi berguncang. Gempa. “Saya ingat saat itu pukul 7.55 karena saya tengok jam tangan,” kata Panglima Daud. Lima menit gempa bergetar. Lalu terdengar dua ledakan jauh di ujung pulau diikuti semacam kilat. Mungkin itu suara gesekan benda-benda samudra yang diguncang gempa tektonik. Seiring dengan ledakan itu, air laut muncrat, menjulang tinggi seolah
menjemput langit. Tak berapa lama, ledakan ketiga terdengar. Kali ini sumbernya dari arah yang berbeda. Gentar seluruh benda dan makhluk hidup. Orang-orang berdiri sempoyongan. Perahu terguling. Air laut bergolak membentuk pusaran. Mendadak air laut seperti ditarik surut dengan kekuatan penuh. Dua kilometer jauhnya. Ikan-ikan menggelepar. Dari kejauhan ombak menggemuruh membawa pesan agar mereka yang ada di permukaan bumi memasang kewaspadaan tinggi. Awalnya, Panglima Daud dan anak buahnya terpesona. Seluruh aksi alam raya yang susul-menyusul itu begitu dahsyat dan langka. Tapi lelaki yang sudah kenyang asam-garam kehidupan ini tak tinggal diam. Isyarat alam sudah jelas. Akan terjadi sesuatu yang luar biasa mengerikan. Doa-doa dipanjatkan. Sang panglima bahkan sempat mengumandangkan adzan, menyerukan kebesaran Tuhan. Warga perlu dibangunkan, katanya, agar punya kesempatan menyelamatkan diri. “Saya perintahkan anak buah berlari, memberi kabar orang-orang di desa,” katanya. “Hai, Fulan, kamu lari ke sana, beri kabar pada kampung anu. Polan, kamu lari ke situ. Tugasmu memberi kabar pada desa itu.” **** Sambil mendengarkan ceritanya, saya merasakan aura kepemimpinan lelaki sepuh ini. Suaranya berat dan tegas. Tatapan matanya tajam. Tanda ketuaan sudah nyata dalam dirinya, namun tubuhnya tetap liat, hasil tempaan pesisir dan lautan luas. Tiga jam lebih Panglima Daud bercerita dengan sepenuh perasaan, dengan ingatan yang fotografik. Kosa katanya mengalir lancar dengan ragam yang tak terduga. Begitu kaya. Segenap isi ruangan barak, 4x4 meter, berdinding triplek serasa menyimak takzim. Karisma bapak tiga anak ini kuat melindas suasana gerah di ruangan yang nyaris tanpa ventilasi itu. Beberapa kali warga kampung datang menyela pembicaraan kami, meminta nasehat Panglima Daud tentang ini dan itu terkait proses distribusi bantuan.****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Sang Panglima tak hanya lihai memerintah. Dia menyambar vespa merah keluaran tahun 70-an, kendaraan operasionalnya sehari-hari, yang diparkir di dekat Balai Pasi. Kunci diputar, pedal starter disepak kuat-kuat, grreeenggg, vespa terbang ke perkampungan. “Saking ngebutnya, ngepot kiri-kanan, vespa sempat berputar seperti gasing. Saya tak sadar kenapa bisa begitu,” katanya. Terbang dengan vespa, Panglima Daud menghampiri kedai kopi, masjid, meunasah, pasar, tempattempat orang berkumpul. Sepanjang jalan ia berteriak, “Lari, selamatkan diri. Laut akan menghancurkan alam.” Mereka yang percaya lari secepat angin, yang lain Terbawa arus ke segala arah, terbengong-bengong. Ada juga yang bergegas pulang ke Panglima Daud menyaksikan puluhan rumah menyelamatkan barang dan keluarga yang bebek, ayam, juga kursi tertinggal. Usai berkeliling, Panglima Daud menjemput penggilingan kelapa mengikutinya. anak-istri. Sampai di rumah, dia tinggalkan vespa dan berlari kencang bersama Nurhayati (istri, 63 tahun), Rahmat (anak pertama, 30 tahun), Cut Iin (anak kedua, 27 tahun), Fahrumi (anak ketiga, 25 tahun), dan Cut Ina (anak keempat, 20 tahun). Tapi tak sampai delapan puluh langkah berlari, ombak datang menyerbu. Bergulung-gulung anak-beranak ini dihempas air laut. Terpisah tercerai-berai. “Saya tetap pegang erat Cut Ina. Ada jerigen minyak, saya raih dia supaya kami bisa tetap terapung,” katanya. Terbawa arus ke segala arah, Panglima Daud menyaksikan puluhan bebek, ayam, juga kursi penggilingan kelapa mengikutinya. Kwek, kwek, petok, petok, panik mereka. “Saya sempat tersenyum. Masya Allah, mungkin hewan-hewan ini tahu bahwa saya tidak panik dan itu yang dibutuhkan dalam situasi bencana,” katanya. “Saya ucapkan kepada mereka: Selamat tinggal, saya ada urusan yang jauh lebih besar.” Sekali lagi Panglima Daud menunjukkan sikap seorang pemimpin. Dia tak hanya memikirkan keselamatan diri dan keluarganya. “Waktu itu saya yakin, keluarga saya dilindungi Tuhan,” katanya, “tugas saya adalah memandu warga agar tidak panik dan sebisa mungkin menyelamatkan diri.” Sebuah kasur yang datang mendekat segera diraih untuk tempat mengapung Cut Ina, anaknya. Sambil tetap mengawasi Cut Ina, Daud terus meneguhkan semangat mereka yang hanyut terseret gelombang. Tanpa kendur, dia berteriak, “Sabar, pertolongan akan datang,” atau, “Ada papan di dekatmu, raihlah,” atau, “Coba ke sana, arusnya lebih lemah.” Kali yang lain dia berseru, “Atur napas, jangan sampai panik.” Ketenangan, pada situasi kacau balau seperti ini, adalah kunci. Tak seluruh jiwa bisa diselamatkan komando Panglima Daud. Dengan hati tersayat, dia melihat warganya tenggelam satu demi satu, kehabisan napas dan tenaga. “Sedih bukan main melihat mereka meratap,” katanya, “melihat kawan-kawan tak bisa bertahan.” Menjelang sore, barulah gelombang mereda. Ribuan mayat berserakan di jalanan. Lampuuk yang semula dihuni 6.000 jiwa, kini tersisa 700 warga. Sore itu jua Panglima Daud dan Cut Ina sampai ke daerah kering. Alhamdulillah, selamat. Mereka bertemu Cut Iin dan Rahmat yang juga tidak cedera. Tinggal satu, Nurhayati, sang istri yang belum ketemu. “Tapi saya tidak cemas. Saya tahu istri saya dilindungi Tuhan.” ****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Tak berlama-lama memikirkan Nurhayati. Panglima Daud segera menemui tokoh-tokoh masyarakat di Desa Lam Lhom, tempat ratusan warga Lampuuk terdampar. Kepada para tokoh, Panglima Daud minta mereka menggerakkan kemurahan hati warga Lam Lhom. “Tolong, bantu kami. Beri makan yang lapar, obati yang luka, kuburkan yang mati. Satu sarung yang disumbangkan setiap keluarga akan sangat berarti,” katanya. Kepada warga Lampuuk yang tersisa, Panglima Daud juga berpesan. “Ingat-ingatlah, tetangga kita di Lam Lhom ini yang memberi kita kehidupan setelah bencana. Ibaratnya mereka inilah bidan kita semua,” katanya. Berbekal pesan inilah warga kedua desa saling menolong. Esok pagi, tanpa sempat beristirahat, Panglima Daud bergerak cepat. Proses evakuasi digelar dengan ala kadarnya. Ada yang bertugas menggali tanah, yang lain bekerja mengusung mayat. Jenazah yang diketemukan langsung dibungkus kain sarung, pemberian warga Lam Lhom, dan dikebumikan di tempat yang paling memungkinkan. Sore hari, ketika mendekati gedung sekolah yang menjadi pos pengungsian, mata Panglima Daud bersiborok dengan Nurhayati, sang istri. Air mata meleleh di pipi lelaki kokoh Kerja yang berat pada hari-hari itu ini. “Keyakinan saya terbukti. Istri saya selamat. Pakaiannya adalah evakuasi. Ribuan mayat pun lengkap, tak sedikitpun tercabik biar dua hari terbawa tersebar di setiap jengkal tanah. arus. Keduanya bersalaman, bertukar peluk. **** Hari ketiga. Kebutuhan obat-obatan dan makanan meningkat. Persediaan warga Lam Lhom sudah menipis. Sementara itu bantuan dari luar belum juga datang. “Waktu itu saya berpikir, ke mana orang Banda Aceh? Apa mereka tak tahu kalau Lampuuk sudah hancur?” katanya. Sama sekali tak terlintas dalam bayangannya, Banda Aceh juga tak kalah berantakan. Panglima Daud memutuskan mencari bantuan. Dia berjalan kaki menuju Blang Bintang, bandara militer di Banda Aceh. Nalurinyaa mengatakan bandara militer merupakan tempat paling strategis bagi penyaluran bantuan dari luar. Insting yang tajam. Berjalan kaki, satu jam, dua jam, sepuluh jam, akhirnya Panglima Daud sampai di Blang Bintang. Sepanjang jalan dia menjumpai kerusakan tak terhingga. Ketika itulah dia sadar bahwa bencana bukan hanya terjadi di Lampuuk. Seperti diduga, Blang Bintang penuh lalu-lalang helikopter pengangkut relawan dan bantuan. Panglima Daud menemui tim medis, entah dari mana, dan mengabarkan kondisi Lampuuk. Satu kotak besar obatobatan diangsurkan ke tangannya. “Ayo, Pak, kita bawa ke Lampuuk,” kata petugas medis. Hari kelima setelah tsunami, tim medis yang lebih komplit datang. Begitu pula tim relawan yang khusus membantu evakuasi mayat. Lampuuk tak lagi sendirian. Panglima Daud terus bergerak, memimpin proses tanggap darurat. Membagi logistik, mengatur layanan medis, membuat dapur umum dan evakuasi mayat. Nurhayati dan ketiga anaknya juga terlibat. Ada yang bantu memasak, mengatur administrasi, membalut perban pada korban luka, pokoknya segala jenis kegiatan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
8
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Kerja yang berat pada hari-hari itu adalah evakuasi. Ribuan mayat tersebar di setiap jengkal tanah. Bukan hanya mayat warga Lampuuk tapi juga jazad yang terbawa air, entah dari mana. Baru pada hari kesepuluh, jalanan bisa dibersihkan dari taburan mayat. “Kami semua bekerja keras menguburkan mereka di pemakaman massal,” kata Panglima Daud. Sepuluh hari itu pula Panglima Daud nyaris tak pernah menghela napas panjang. Tak ada waktu untuk menghayati perih pegal di sekujur badan. “Minum seteguk air pun, ibaratnya tak sempat,” katanya. Seolah ada baterai ajaib yang tak putus memasok tenaganya, entah dari mana. **** Masa darurat telah berlalu, Panglima Daud belum juga berhenti. Di barak sempit itu, lelaki sepuh ini kerap mengumpulkan anak-anak muda Lampuuk dan Lam Lhom. Mereka membahas aneka hal, rumah bantuan, renovasi masjid, juga pemulihan pendidikan. “Anak muda sekarang yang harus ambil kendali. Saya cuma seorang bapak yang suka memberi nasehat,” katanya merendah. Sembari mengawasi proses pemulihan Lampuuk, Panglima Daud kerap merenung di tepi pantai. Masih takjub dia menyaksikan tak ada lagi batu-batu sebesar rumah yang dulu banyak melekat di tebing pantai. Bebatuan raksasa yang lenyap tanpa bekas. Lautan sudah tenang. Panglima Daud pun sesekali sudah kembali melaut dengan perahu bantuan. “Ah, laut. Dia seperti berkata kepada saya, kenapa kau ini manusia? Aku masih tetap biru. Aku masih tetap kawanmu.”
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
9
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Fahrumi (32 tahun), Blang Oi, Ulee Lheu
Mardiyah Chamim
B e r u m a h
d i
T a k s i
Lelaki ini memilih berumah di taksi milik majikannya. Tinggal di pengungsian membuat Fahrumi selalu teringat pada mereka yang dicintainya – istri, anak, yang keduanya ikut menjadi korban. Untuk melarikan diri dari kenangan yang menyayat, sepanjang hari, pagi-siang-sore-malam, Fahrumi terus berkeliling kota tanpa henti. Setoran taksinya memang cukup mahal, Rp 75 ribu sehari. “Kadang banyak penumpang, kadang tidak sama sekali,” katanya, “kalau sudah begitu, saya musti nombok.” Tapi itu bukan masalah benar. Yang penting, dia bertemu orang-orang baru, penumpang yang memiliki kehidupan “normal”. Ini membuat Fahrumi terhibur. “Kalau tinggal di pengungsian, bertemu kawan senasib, saya bisa gila,” katanya. Dia merelakan segala hak sebagai pengungsi, jatah hidup Rp 300 ribu per bulan selama setengah tahun, barak atau pun rumah sementara. “Biar saya hidup sendiri, putar-putar keliling kota menghibur hati.” Beberapa hari mengantar saya, Fahrumi mulai menceritakan hari-hari lampaunya. “Nama istri saya Malena,” katanya, “dia atlit taekwondo.” Berulang kali istrinya mengikuti kompetisi di pelbagai daerah. Bali, Jakarta, Surabaya, bukan tempat-tempat yang asing bagi Fahrumi. Ke kota-kota itulah ia sering pergi mengantar Malena bertanding. Terakhir, beberapa bulan sebelum tsunami, Fahrumi, Malena, dan Afra –empat tahun, putra tunggal mereka— menginap dua pekan di Jakarta. “Malena menjadi pelatih kontingen Aceh. Hebat kali dia,” katanya. Ahad pagi itu, tanpa firasat apa pun, Fahrumi bertolak ke bandara jam enam pagi. “Biasa, narik taksi seperti biasa,” katanya. Malena bersantai bersama Afra, menikmati hari libur. Kurang l e b i h j a m 8 , ketika gempa mengguncang, Fahrumi melihat orang-orang berlarian panik menuju arah bandara yang tanahnya relatif lebih tinggi. Orang-orang berteriak, “Ie laot naik, ie laot naik, air laut naik.” Tak
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
10
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
terbayang oleh Fahrumi bahwa air laut naik setinggi puluhan meter, tumpah, dan menelan sebagian besar isi kota Banda Aceh. Teringat anak-istri, Fahrumi berbalik ke arah kota. Rumahnya di Blang Oi tak jauh dari tepi pantai Ulee Lheu. Kalau air laut naik, “Saya harus berenang kampungnya bisa terkena masalah. Sayang, perjalanan menuju menabrak papan, seng, Blang Oi tidak gampang. Arus manusia deras menerjang ke macam-macam, tapi saya arahnya. Klakson mobil, motor, truk tak henti-hentinya tidak peduli,” katanya. menyalak. Fahrumi bergerak melawan arus. Perjalanan kian tersendat ketika Fahrumi mendekati area Masjid Raya, jauh sebelum masuk Ulee Lheu. Air laut telah sampai dan melabrak kawasan itu, tanpa ampun. Jerit-tangis melengking di segala sudut. Jantung Fahrumi berdentam. “Mobil saya parkir di Simpang Surabaya, lalu jalan kaki menuju rumah,” katanya Entah berapa lama ia berjalan. “Saya harus berenang menabrak papan, seng, macam-macam, tapi saya tidak peduli,” katanya, “yang penting harus segera sampai rumah.” Malena, Afra, hanya nama-nama itu yang berputar di benaknya. Menjelang senja, Fahrumi sampai kampungnya. Air laut sudah reda. Jalanan tertutup lumpur berlendir. Mayat bertumpuk, jangan ditanya berapa banyaknya. Semakin kencang jantung Fahrumi berdetak risau, jangan-jangan ada jenazah anak-istrinya di antara tumpukan itu. “Saya bolak-balik tumpukan mayat, tak ada mereka,” katanya. Penat berjalan, akhirnya Fahrumi menjejak bekas rumahnya. Tiada sepotong pun tembok berdiri. Yang tinggal hanya sepetak tanah berlantai. “Habis semua, Kakak,” katanya parau.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
11
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Ramli Hasyem (32 tahun), Lamsenia, Leupung
Mardiyah Chamim
H a n y a
T i n g g a l
P o t
B u n g a
Ramli Hasyem juga kehilangan segalanya. Saniah, istrinya, dan dua buyung kebanggaannya, Afrizal dan Bahroni. Jenazah istri dan sulungnya bisa ditemukan. “Tapi si kecil tidak,” katanya sambil dalam-dalam menghisap rokok kretek. Sudah hampir setahun kejadian itu berlalu, tapi Ramli merasakannya baru kemarin. “Rasanya seperti ada yang menyedot hati,” katanya. Minggu pagi itu Ramli berangkat ke Lampulo, Banda Aceh, kira-kira 30 kilometer dari kampungnya. Dia pedagang ikan keliling, muge, istilah lokalnya. Ketika gempa datang, dia belum selesai belanja ikan. Orang-orang berteriak dan menyerukan nama Tuhan. Kepanikan belum reda, air laut yang tegak menjulang setinggi pohon kelapa, melabrak daratan. Tanpa pikir panjang, Ramli berlari ke arah Lamsenia. Istrinya baru melarikan si kecil Bahroni, 20 hari lalu. Pastilah Sainah sedang kepayahan menyelamatkan kedua anaknya. Ramli bertekad secepat mungkin sampai rumah. Tapi apa daya, kota telah berantakan. Tak ada mobil yang bisa ditumpangi. Ramli terus berlari. Langkahnya terhenti di Kedai Bing, Lampisang, Lhok Nga. Air laut setinggi dada menghadangnya. Mustahil berenang tanpa ikut terseret air. Bersama puluhan orang yang juga sedang menuju Leupung, Ramli menginap menunggu air reda. Baru dua hari kemudian, air laut di Lampisang menyurut. Perlahan Ramli bergerak maju menghindari jebakan lumpur dan gunungan mayat. Di jembatan Lhok Nga yang terputus Ramli menumpang rakit yang dibuat sekadarnya. Setelah naik turun bukit, esoknya Ramli sampai Lamsenia, kampung yang tak lagi bernyawa. Hijau rimbun pohon tak bersisa. Jalanan terangkat bagai gulali. Sunyi. Tercenung Ramli menyaksikan kesunyian yang mengiris. Rumahnya tinggal segaris puing fondasi. Tak ada tangis anak, tak ada sambutan istri. Ramli hanya bertemu beberapa teman sekampung yang juga tengah mencari
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
12
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
“Warga bekerja sendiri karena jembatan Lhok Nga terputus. Relawan dari luar tak bisa sampai kesini,”katanya.
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
keluarga yang hilang. “Kakak saya, Bang Syamsuddin menangis mengatakan istri dan ketiga anaknya juga sudah tiada.” Lelah bertangisan, Ramli, Syamsuddin, Abdullah Yahya (adik ipar Ramli), dan beberapa warga bersembahyang lohor di atas reruntuhan meunasah. Doa dipanjatkan, supaya beban hati diringankan. Usai sembahyang, mereka bergegas mencari mayat. Satu demi satu mayat
dievakuasi dan dimakamkan. “Warga bekerja sendiri karena jembatan Lhok Nga putus. Relawan dari luar tak bisa sampai ke sini,” katanya. Baru belakangan, hampir sebulan setelah tsunami, para relawan –termasuk dari Jesuit Refugee Service dan Yayasan Puter—mulai berdatangan membantu Lamsenia. Kini Ramli mulai merintis hidup baru. Seorang gadis dari Lhok Nga sepakat mau menikah dengannya. “Saya tak mau berlama-lama sendirian. Hidup seperti tak ada tujuan kalau tak ada yang menemani,” kata Ramli. Sebulan setelah tsunami, Ramli mendirikan rumah darurat di atas fondasi rumah lamanya. Hanya papan beratap seng. Lumayan sebagai tempat berteduh di bawah matahari Lamsenia yang sungguh terik. Beberapa pot Euphorbia berbunga merah berjajar di halaman. Sebatang pohon pisang yang rapuh, pertanda baru ditanam beberapa hari, juga sudah berdiri. “Sengaja pot-pot ini saya bawa dari Banda Aceh. Saya ingin terus mengenang istri saya. Dulu dia suka kali bertanam,” katanya tersenyum.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
13
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
A b d u l a h Ya h y a , L a m s e n i a , L e u p u n g
Mardiyah Chamim
R a s a n y a
B a g a i
K i a m a t
Beruntung saya mendapatkan catatan asli Abdullah Yahya tentang kisah hidupnya. Catatan ini diketik sendiri oleh Abdullah di komputer milik teman-teman relawan Yayasan Puter. Cerita yang cukup runtut seperti yang tertuang berikut ini. **** Malam minggu itu tidak seperti biasanya. Anak istriku manja kali. Kami terus bercanda sambil menonton televisi. Lalu, Cut Mardalena, istriku bercerita tentang mimpinya yang aneh. Dia merasa kiamat donya segera datang. Saya yakinkan dia itu pertanda Tuhan membukakan pintu surga untuknya. “Bukankah selama ini kau tak pernah tinggal sholat?” kata saya. Larut datang. Kami beristirahat tidur. Ahad pagi, pukul 5.00, saya bangun. Heran, istri saya belum bangun. Biasanya sepagi ini dia sudah siap dengan nasi goreng dan kopi kesukaanku. Mulia Saputra, anakku satu-satunya, juga belum bangun. Tumben. Pukul 5.30, aku bangunkan istriku untuk sholat subuh. Aku pamit hendak ke Banda Aceh, belanja ikan untuk dagangan. Nafkah sehari-hari memang kudapat dari berjualan ikan alias muge. Hari masih gelap. Mesin kereta (sepeda motor) kunyalakan. Pelan-pelan saya melaju menuju Lampulo, pasar ikan di Banda Aceh. Saya mulai mencari nafkah untuk anak dan istri. Pukul 7.00, saya sampai di Lampulo. Sayang, ikan sedang mahal. Saya harus berputar-putar mencari ikan yang harganya murah. Tapi, tak juga ketemu. Tiba-tiba, gempa hebat kali. Toko-toko dan kios pedagang penjual ikan hancur. Teringat saya akan mimpi istri. Apakah ini kiamat donya? Merasa khawatir, saya mondar-mandir pasar mencari Muslim, adik saya yang juga sedang belanja ikan di Lampulo. Begitu bertemu, kami segera memacu kereta pulang ke Lamsenia.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
14
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Di tengah perjalanan, kami dihadang air di Lhok Nga. Tinggi kali air laut yang datang. Orang-orang berteriak menyuruh kami kembali ke Banda Aceh. “Ie laot naik, balek saja ke Banda,” kata mereka. Mendengar ini Muslim langsung memutar balik keretanya, menyelamatkan diri menuju Banda Aceh. Saya hanya terpaku, teringat anak-istri di kampung. Bagaimana nasib mereka? Sepuluh menit berlalu, Muslim kembali lagi ke tempat saya terpaku. Dia mengajak saya menyelamatkan diri ke Banda. Saya masih belum mau, hati saya ingin ke kampung. Tapi saya berpikir, anak saya akan menjadi yatim kalau saya mati di sini. Air laut saat itu memang bertambah kencang. Akhirnya, saya menuruti ajakan Muslim lari ke Banda.
Berulang kali gempa terjadi. Orang-orang panik dan kami naik ke gunung yang lebih tinggi.
Belum jauh kereta berlari, di Kedai Bing, air laut sudah menggenangi jalan. Kencang kali arusnya. Saya dengar orang-orang minta tolong tapi saya tidak berani menolong karena khawatir terseret arus. Saya dan adik berlari ke Lam Gaboh, daratan yang lebih tinggi. Kami beristirahat di sini. Beberapa jam kemudian, air surut. Kami melanjutkan perjalanan menuju kampung. Kereta entah ke mana, kami berjalan kaki. Sampai di Lhok Nga, kami kaget karena jembatan putus. Arus begitu kencang, tak mungkin menyeberang. Dari kejauhan kami melihat arus kencang menyeret bangunan PT. Semen Andalas Indonesia (SAI) hingga hancur lebur. Mayat-mayat bergelimpangan tanpa baju dan celana. Masya Allah. Tidak terbayangkan musibah yang diberikan Tuhan kepada hambanya. Saya dan Muslim kembali lagi ke Kedai Bing. Kami menolong orang yang luka-luka, membawa mereka ke rumah sakit, dan mencarikan obat, sampai kami kelelahan. Pantas, sudah pukul 3 sore. Berarti sudah tujuh jam lebih sejak gempa tadi pagi. Tidak saya sangka, di Kedai Bing saya bertemu Ramli, suami kakak saya, Sainah. Ramli sempat berenang di Glui Genteng dengan bantuan kaleng roti dan bola voli. Kini kami bertiga, saya, Muslim, dan Ramli, sama-sama mencari tempat istirahat. Kami naik ke Lam Gaboh dan tidur di sana. Berulang kali gempa terjadi. Orang-orang panik dan kami naik ke gunung yang lebih tinggi. Bertiga kami bersalawat. Meminta kepada Allah, semoga air jangan naik lagi. Pagi datang, matahari bersinar. Kami bertiga turun dari gunung mencari makanan. Usai makan sekadarnya, kami mencari papan untuk digunakan sebagai rakit darurat menyeberangi Lhok Nga. Alhamdulillah, kami berhasil sampai ke seberang. Di tengah jalan menuju Lamsenia, kami bertemu dengan Syamsuddin dan Sufrandi, dua kawan sekampung. Kami berpelukan, Syamsuddin menangis. Dia menceritakan keadaan kampung kami yang telah hancur binasa. Tak ada satu pun yang tersisa. Syamsuddin menyarankan kami kembali ke Banda Aceh. “Tak ada makanan, tak ada air di Lamsenia. Tak ada keluarga kita yang selamat,” kata Syamsuddin. Berhari-hari ini Syamsuddin hanya minum air kelapa tua. Sedih sungguh mendengar keadaan ini. Bang Syamsuddin sendiri kehilangan istri dan tiga anaknya yang masih kecil.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
15
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Kami kembali berjalan ke Banda Aceh, tapi kaki Sufrandi patah. Dia tak bisa berjalan lagi sehingga kami menggendongnya bergantian. Saat menyeberangi Lhok Nga, kami menjaga Sufrandi agar tak tenggelam. Bisa juga kami sampai di di seberang Lhok Nga. Kelaparan, kami mencari buah kelapa untuk dimakan.
“Tinggal kita yang selamat. Saudara yang lain sudah tidak ada semua,” katanya
Pelan-pelan, kami berjalan kaki menuju Kedai Bing. Sampai di sini terlihat banyak kali mayat dikumpulkan di pinggir jalan. Orang-orang di situ memberi kami makan. Hanya Tuhan yang membalas budi baik mereka.
Dua malam kami menginap di Lam Gaboh, sambil menunggu keadaan Sufrandi membaik. Hari ketiga kami berjalan kaki menuju Mata Ie, tempat pengungsian di Banda Aceh. Di sini kami bertemu beberapa orang Lamsenia yang selamat. Di sini pula saya mendengar kabar tentang adik perempuan saya, Ernawati, selamat tetapi kakinya patah. Dia terbaring sendirian di Lamsenia, tak ada yang menolong. Segera saja saya berjalan kaki menjemput adik bersama Ramli, Abubakar, dan Muslim. Sampai di kampung, kami bertemu adik yang sudah lemas. Dia berbaring di pondasi rumah Om Khairon, tetangga dekat. Kami berpelukan dan bertangisan. Dia minta makan nasi. Kami memberinya makanan yang kami bawa dari Banda. Setelah makan, adik bertanya kabar istri dan anak saya. “Mereka di Banda Aceh,” kataku. “Nanti kita juga akan pulang ke Banda Aceh.” “Nggak. Saya mau pulang ke rumah, bukan ke Banda Aceh,” kata adik. “Ya. Nanti kita pulang ke rumah,” saya menjawab. Dalam hati saya tahu bahwa adik telah mengetahui kejadian sesungguhnya. Dia telah mengetahui bahwa istri, anak, dan keluarga kami telah tiada. Lalu, tiba-tiba, adik diam. Sore itu, pukul 6.30, adik meninggal di hadapanku. Adik kami meninggal donya. Kami berdoa untuk keselamatan jiwanya. Malam itu saya tak bisa tidur. Teringat kali saya dengan anak dan istri saya. Entah di mana jenazahnya. Hanya Allah yang tahu. Pagi tiba. Pukul 6.30. Tanpa makan dan minum, kami langsung bekerja, menggali kubur adik. Suasana mencekam. Kami semua sedih. Teringat keluarga masing-masing. Bang Tarmizi kemaren sudah dapat jenazah anaknya di dekat Bukit Sarah. Setelah menguburkan jenazah adik, kami berjalan kaki lagi ke Mata Ie, Banda Aceh. Sepanjang jalan kami jumpa mayat-mayat bergelimpangan. Saya tengok satu satu, kalau-kalau ada jenazah anak dan istri saya. Ternyata tidak ketemu. Saya hanya bisa berserah diri kepada Tuhan. Sampai di Mata Ie, abang saya Razali sudah menunggu. Dia berlari memeluk saya dan Muslim. “Tinggal kita yang selamat. Saudara yang lain sudah tidak ada semua,” katanya. Kami sembilan bersaudara, tinggal tiga yang selamat. Ayah, ibu, adik, kakak, semua telah kembali ke Baitullah.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
16
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Hanya semalam saya dan Muslim menginap di rumah Bang Razali, di Lambaro. Esok harinya saya kembali ke Mata Ie, bertemu kawan-kawan sekampung. Bang Tarmizi, Bang Syamsuddin, Abubakar, Bukhori, Adnan Harun, Martunis, Nurdin, Syamsul Bahri, M Jamil, Dahri, saya, dan Muslim. Semuanya tiga belas orang. Kami setuju untuk kembali ke Lamsenia mencari jenazah keluarga yang telah tiada. Hari itu juga kami diantar mobil menuju Lhok Nga. Sampai di sana, kami menyeberang dengan rakit dan melanjutkan perjalanan ke Lamsenia dengan jalan kaki. Kami beristirahat di Desa Meunasah Mesjid yang juga hancur. Pukul 3 sore. Di sini kami beristirahat dan mendirikan tenda darurat. Haus dan lapar, kami hanya makan mi instan yang belum dimasak. Tak ada air. Kami menggali sumur untuk minum, tapi yang ada hanyalah air asin. Terpaksa kami memasak dan minum air asin.
Tanpa kami, kedatangan kami diawasi tentara TNI. Kami dikepung. Kami dikira pasukan GAM yang sedang turun gunung.
Malam hari kami beristirahat. Tidur tak nyenyak karena sebentar-sebentar ada gempa. Begitu matahari bersinar, kami bangun dan sholat subuh bersama. Setelah minum secangkir kopi asin, kami langsung menuju Lamsenia. Dua puluh jenazah hari itu kami dapat dan kami kuburkan. Sore hari dengan kelelahan kami kembali ke tenda. Kami tak sanggup makan nasi asin. Maka, sore itu juga kami bermusyawarah mencari tempat lain yang lebih enak, yang ada sumber air tawarnya. Kami setuju mendirikan tenda darurat di daerah Keberayeng, di atas Desa Sarah Ie Mameuk. Berjalan kaki kami berombongan menuju Keberayeng membawa perlengkapan seperti beras dan panci memasak. Ada gubuk kecil di Keberayeng. Kami masuk ke gubuk itu. Tanpa kami ketahui, kedatangan kami diawasi tentara TNI. Kami dikepung. Kami dikira pasukan GAM yang sedang turun gunung. Syamsuddin melambaikan tangan ke arah tentara TNI. Mereka keluar satu per satu, menanyakan siapa kami dan sedang ngapain di sini. Untung kami tidak langsung di-dorÖ! Setelah kami jelaskan, TNI menawari kami untuk tidur di pos mereka nanti malam. Kami tidak menuruti ajakan itu dan tetap tidur di gubuk. Hari keempat kami mendapat bantuan dari orang asing, Portugis katanya. Mereka memberikan beras, kue-kue, dan menanyakan kami butuh apa lagi. Air yang kami butuhkan. Oke, jawab orang asing itu. Mereka pamit dan pergi dengan helikopter. Keesokan harinya mereka kembali dengan membawa air dan kue-kue lagi. Begitulah, hari demi hari hari, minggu demi minggu, pekerjaan kami menguburkan mayat saudarasaudara kami. Sudah kewajiban kami untuk menguburkan mereka. Bantuan relawan tidak ada karena jalanan dan jembatan menuju Kecamatan Leupung rusak total. Kami harus bekerja. Tim relawan yang datang pertama kali adalah Mercy Corps. Tapi kali itu kami tak kebagian bantuan karena mereka singgah dulu di beberapa desa sebelum Lamsenia, yaitu Meunasah Bak’u dan Meunasah Mesjid. Barulah pada 11 Februari, Tim JRS dan Puter datang. Mereka berlima, yaitu Eko, Ajum, Franky,
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
17
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
John Hendri, dan Robi. Mereka mendirikan tenda di dekat tenda kami. Gempa yang hebat membuat mereka gelisah ketakutan malam itu. Tidak pernah mereka merasakan gempa sekuat itu. Esok harinya, Tim JRS dan Puter ikut serta membantu kami mengubur mayat. Sejak itu pula mereka membantu kami dalam berbagai peristiwa. Kami menjadi dekat dan akrab. Bersama Tim JRS dan Puter, kami membuat gudang dan wc, membantu pengadaan tenda untuk tiap orang, juga membuat proposal permohonan bantuan kepada lembaga donor dan NGO lain. Meunasah berupa rumah panggung dari papan kayu beratap seng dibikin dengan bantuan material dari JRS dan OXFAM. Malam hari kami tidur di meunasah. Musyawarah, rapat, ngobrol, tidur, kami lakukan di sini. Hari demi hari pun kami lalui dengan sabar. Sudah banyak lembaga yang datang dan membantu desa. Kami terus berjuang, berdoa, dan sabar, menghadapi hari-hari baru.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
18
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 12 Rasanya Seperti Kiamat Donya
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
19
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 13 Abu Laot, Panglima Kami
Melaut dengan peralatan yang tersisa, Krueng Raya, Februari 2005 (Nefransjah)
Abu Laot, Panglima Kami
13
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 13 Abu Laot, Panglima Kami
S a m b i l m e n g e p a l k a n t a n g a n n y a k e u d a r a , Te u k u U m a r b e r t e r i a k lantang, “Panglaot! Kita serbu kape-kape itu..” Dengan teriakan itulah, Eros Djarot, sutradara film Tjut Nyak Dhien, memperkenalkan tokoh Panglaot kepada publik film Indonesia.
Terus terang, semula saya menyangka Panglaot itu sekadar nama seorang tokoh, pembantu setia
Teuku Umar yang kemudian —ketika Teuku tertangkap— meneruskan perjuangan bersama Tjut Nyak Dhien. Sudah lama saya melupakan tokoh ini sehingga ketika seorang nelayan Aceh menyebut nama tersebut, dua pekan setelah tsunami, ingatan saya tidak “berdering” lagi. Bahkan saya sempat menyangka, Panglaot itu semacam jendral marinir.
“Tolong, temuilah Panglima Laot. Bantu pemimpin kami, jenderal kami, menolong nelayan Aceh,”kata Usman.
Ketika itu saya dan Tim Relawan berada di tengah hiruk-pikuk evakuasi dan distribusi bantuan. Beberapa orang menyarankan agar kami menjumpai Panglima Laot. “Tolong, temuilah Panglima Laot. Bantu pemimpin kami, jendral kami, menolong nelayan Aceh,” kata Usman yang kami temui ketika sedang termangu di Pelabuhan Lampulo. Selain kehilangan rumah dan seluruh hartanya, nelayan Ulee Lheu ini tak bisa lagi menjumpai anak, istri, dan kedua orang tuanya. Pernyataan ini mengherankan kami: mengapa harus ketemu jendral? Bukankah telah lama masyarakat Aceh kehilangan respek terhadap militer? La, ini kok ada rakyat biasa yang menyebut panglima laot sebagai “pemimpin dan jendral kami” dengan nada takzim? Ada apa gerangan? Pertanyaan semakin menggunung ketika kami mendapat pesan pendek melalui telepon genggam dari Ir. Sarwono Kusumaatmadja. “Tolong, segera temui Panglima Laot. Ada banyak yang bisa dilakukan bersama lembaga adat ini,” demikian pesan Pak Sarwono. Apa benar lembaga yang satu ini benar-benar istimewa? Perlu beberapa hari untuk mendapatkan kontak petinggi Panglima Laot. Ketua Umum Panglima Laot NAD, T H Bustamam, sedang terbaring terkena serangan stroke setelah tsunami. Untunglah kami bisa menghubungi Adli Abdullah, Sekretaris Jendral Panglima Laot Propinsi NAD, yang sedang repot menerima kunjungan ratusan nelayan di rumahnya. Lelaki berumur 40-an ini berperawakan kecil, gesit, tapi sama sekali tak menyerupai sosok bajak laut yang gahar. Adli, kandidat doktor di University Kebangsaan, Malaysia, memang bukan pelaut murni. Dia orang sekolahan yang paham betul peran dan
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 13 Abu Laot, Panglima Kami
sejarah lembaga panglima laot. “Silakan tanya apa saja tentang panglima laot, saya akan berusaha menjelaskan,” katanya. Setelah obrolan panjang bersama Adli, menjadi gamblang bagi
Panglima Laot lebih merupakan pemimpin adat nelayan yang mengatur segala praktek kenelayanan dan kehidupan sosial di sebuah wilayah.
saya bahwa panglima laot tak ada urusannya dengan marinir atau bajak laut. Panglima Laot merupakan lembaga pemimpin adat nelayan yang ada sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai, abad 14. Saat itu, panglima laot adalah kepanjangan tangan sultan untuk memungut pajak dari rakyat pesisir. Tapi peran ini terus bergeser seiring perubahan zaman.
Pergeseran peran panglima laot terutama terjadi pada zaman kolonial Belanda. Seperti dijelaskan Snouck Hurgronje dalam bukunya “Aceh di Mata Kolonial”, panglima laot lebih merupakan pemimpin adat nelayan yang mengatur segala praktek kenelayanan dan kehidupan sosial di sebuah wilayah. Kaum nelayan sendiri yang memilih panglima mereka — umumnya pilihan jatuh pada pawang laut yang dianggap bijaksana dengan kemampuan kelautan yang telah teruji. Teritori jendral nelayan yang terkecil adalah lhok (teluk atau kuala) tempat nelayan menyandarkan perahu mereka. Di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam kini tercatat 140 lhok yang masing-masing dipimpin panglima lhok. Seiring kebutuhan dan makin luasnya jangkauan wilayah nelayan, para panglima kemudian berorganisasi di tingkat kecamatan, kabupaten, dan propinsi. Ada dua tugas pokok Abu Laot, ayah laut, sebutan lain panglima laot. Pertama, menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang, termasuk menentukan hari-hari dilarang melaut, antara lain pada hari raya, hari Jumat, hari kemerdekaan 17 Agustus, juga hari-hari ketika ikan di laut sedang kawin atau bertelur. Kedua, panglima laot wajib menyelesaikan sengketa dan perselisihan di kalangan nelayan. “Haram hukumnya perselisihan dibawa langsung ke polisi,” kata Adli. Sebisa mungkin, sengketa antar nelayan dibereskan di antara kaum nelayan sendiri. Jika ada persengketaan yang terkait tata-tertib meupayang, misalnya, para nelayan akan mendatangi panglima laot. Kemudian, pada hari Jumat, ketika nelayan sedang libur, digerlah persidangan di masjid, meunasah, atau di balai nelayan. Pada saat inilah Abu Laot akan mencari jalan keluar dengan seadil-adilnya. Setelah ditimbang kiri-kanan, pihak yang bersalah akan dikenai sanksi. Misalnya larangan melaut selama tiga sampai tujuh hari, juga pemotongan hasil penjualan ikan, atau bahkan penyitaan seluruh hasil tangkapan ikan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 13 Abu Laot, Panglima Kami
Sayang sekali, rincian hasil keputusan persidangan panglima laot ini tidak terdokumentasi dengan baik. Sebagian besar berkas catatan, yang ditulis ala kadarnya, ikut hanyut bersama gelombang tsunami yang menyapu bumi Aceh. “Air laut waktu sampai di lantai dua ruko kantor kami. Padahal, buku-buku disimpan di lantai satu. Habis sudah,” kata Pak Adli. Adakah keputusan persidangan ini dipatuhi kalangan nelayan? “Tentu saja,” kata Pawang Mahyeddin. Panglima Laot dari Kabupaten Aceh Jeumpa ini lalu menyebut ungkapan Aceh: umong meu ateung, lampoih meupageu, rumoh meu adat, pukat meu kaja. Sawah ada pematangnya, kebun ada
Periode 1999-2000, ikatan emosional antara panglima laot dan komunitas nelayan makin menguat.
pagarnya, rumah ada tata-tertibnya, dan pukat ada tandanya. Segala sesuatu ada batasnya dan semua tingkah laku kita tak boleh mengganggu hak orang lain. Batas-batas adat ini, dalam komunitas pesisir, ditegakkan panglima laot dan dipatuhi para nelayan. Mahyeddin menambahkan, “Orang lebih rela disebut bodoh daripada dibilang tak tahu adat.” Kepatuhan ini, menurut tesis Syamsuddin Daud, dari Program Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU), juga dikokohkan karakter panglima laot sebagai ayah para nelayan. Tak jarang anak kapal mengalami musibah di lautan sehingga sakit, cacat, atau sampai meninggal. Padahal tak ada jaminan asuransi apa pun untuk para nelayan sehingga panglima laot yang biasanya menjadi tumpuan. Mereka merogoh kocek sendiri atau mengerahkan komunitas nelayan untuk menyantuni keluarga korban. Tak jarang, panglima harus menjemput nelayan yang terdampar jauh di kepulauan India atau Filipina. Dari hubungan inilah tercipta ikatan emosional yang kuat antara nelayan dan panglimanya. Periode 1999-2000, ikatan emosional antara panglima laot dan komunitas nelayan makin menguat. Ketika itu, 20 kapal nelayan Thailand disita dan ditahan di perairan Aceh karena menangkap ikan secara ilegal. Seperti bisa diduga, di negeri yang rawan korupsi ini, banyak pihak yang berkepentingan agar seluruh kapal dikembalikan kepada Thailand dengan segala cara. Beberapa pejabat tinggi, yang konon telah menikmati uang pelicin sampai Rp 7 miliar, turut melakukan manuver. Tentu saja, membebaskan kapal pencoleng bukan tindakan yang bisa dibenarkan secara hukum maupun moral. Kapal-kapal bermesin ribuan PK ini telah mencuri ikan di wilayah perairan Aceh. “Nelayan lokal saja kena sanksi bila melanggar aturan adat penangkapapan. Masak ini kapal-kapal besar yang mencuri ikan ratusan ton dibiarkan lolos,” kata Adli Abdullah.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 13 Abu Laot, Panglima Kami
Para panglima laot dengan dukungan Sarwono Kusumaatmadja, saat itu Menteri Kelautan dan Perikanan, mengupayakan agar seluruh kapal sitaan dilelang dan hasilnya dikelola untuk kepentingan nelayan Aceh. “Tak gampang prosesnya. Saya pernah diancam mereka yang terlanjur kebagian uang miliaran rupiah untuk membawa pulang kapal-kapal itu ke Thailand,” kata Sarwono. Akhirnya, setelah proses berliku-liku termasuk bentrok dan gertak-menggertak dengan mafia perkapalan, seluruh kapal yang disita resmi dilelang. Hasil pelelangan, setelah dipotong ongkos sandar dan pemulangan anak buah kapal, tersisa Rp 13,5 miliar yang dimasukkan dalam kas dana abadi Yayasan
Musibah tsunami juga menjadi penanda kokohnya posisi panglima laot di hati masyarakat pesisir.
Beasiswa Panglima Laot. “Sampai sekarang, sedikitnya ada 4.000 anak nelayan yang dibantu pendidikannya dengan dana ini,” kata Adli. Kini, di hari-hari setelah tsunami, dana abadi diharapkan makin berperan dalam membantun pembiayaan pendidikan anak-anak nelayan. Musibah tsunami juga menjadi penanda kokohnya posisi panglima laot di hati masyarakat pesisir. Para bapak laut inilah yang bangkit dan menyemangati warganya untuk tegak menjalani kehidupan. Tak heran bila seorang nelayan sebatang kara berkata hikmat: “Datanglah, jumpai panglima kami. Bantu dia menolong kami.” **** Beberapa kali saya terlibat dalam sejumlah program yang diselenggarakan Panglima Laot Propinsi NAD. Dua program yang cukup berarti adalah pembuatan website www.panglimalaot.or.id dan penyelenggaraan Pameran Foto Struggle Continues bersama beberapa fotografer, yakni Eric Grigorian, Kemal Jufri, Jeffry Aries, Maha Eka Swasta, dan Zarqoni Maksum. Dari beberapa hubungan kerja ini, saya menyimpulkan bahwa lembaga adat ini masih sangat lemah. Hampir pada segala lini, administrasi, manajemen, kepemimpinan, Lembaga Hukom Adat Laot Panglima Laot masih memakai cara tradisional. Serba ala kadarnya. Cara kerja seperti ini mustahil dipertahankan ketika lembaga harus menangani ribuan nelayan serta menjaga kelangsungan relasi dengan lembaga donor. Tak bisa ditawar, lembaga Panglima Laot harus dikuatan di segala sisi. Lalai merapatkan barisan, sulit merebut kepercayaan publik. Benar, ada banyak pemimpin berkualitas pada tingkat teritori terkecil, yakni lhok atau teluk. Panglima Laot Lhok Lampuuk Cut Nyak Daud, Panglima Laot Lhok Krueng Raya Zakaria Achmad, adalah beberapa contoh. Saya juga sempat bertemu dengan Panglima Laot Propinsi NAD T. Bustamam yang dengan senyum sejuk kebapakannya menjadi “abu laot” bagi seluruh nelayan Aceh.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 13 Abu Laot, Panglima Kami
Tapi harus diakui ada beberapa noda serius. Pada beberapa lhok dilaporkan adanya panglima laot yang mendulukan kepentingan pribadi dan keluarga. Penyaluran bantuan kapal di beberapa lhok juga dilaporkan tidak tepat sasaran. Sebagian yang mendapatkan perahu justru bukan nelayan.
Pada beberapa lhok dilaporkan adanya panglima laot yang mendahulukan kepentingan pribadi dan keluarga.
Para nelayan sejati justru harus menyewa boat lantaran tak kebagian bantuan. Kini, lembaga adat kenelayanan ini tengah berbenah diri. Berbagai kajian strategis dilakukan dengan bantuan berbagai lembaga, termasuk Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) dan Yayasan Laut Lestari Indonesia (YLLI) mendukung proses Mudah-mudahan lembaga ini segera tumbuh menjadi rumah “abu laot” yang profesional dan bisa diandalkan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 14 Cleaning Service Provided by CNN
Tim evakuasi mayat menyusuri sungai Peunayong, Banda Aceh, Januari 2005 (Air Putih)
Cleaning Service Provided by CNN
14
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
Ta k b i s a d i i n g k a r i , penanganan korban itu ikut berjasa me pemberitaan yang
BAB 14 Cleaning Service Provided by CNN
barisan wartawan turut berjibaku membantu tsunami. Para juru warta dari penjuru jagat nggerakkan solidaritas internasional melalui cepat seketika, bertubi-tubi, dan mendalam.
Dibandingkan
dengan pemberitaan tsunami di negara-negara lain, kabar dari Indonesia relatif terlambat. Pada jam-jam pertama setelah tsunami, jaringan televisi internasional sudah menayangkan situasi di Thailand dan Srilanka. Pada hari kedua setelah tsunami, ketika fotografer India Arko Datta merekam gambar perempuan India meratapi jenazah korban —foto yang kemudian memenangkan penghargaan World Press Photo 2004— masyarakat Indonesia, apalagi dunia, belum tahu persis apa yang terjadi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias. Segalanya serba gelap. Magnitude kerusakan akibat bencana dan masifnya jumlah korban masih jauh dari bayangan. Bahkan, pemerintah pada hari-hari itu menyebutkan jumlah korban “hanya”
“Ini lokasi yang paling susah dijangkau sepanjang karir jurnalistik saya,”kata Eric Grigorian.
sekitar 1.000 dan kemudian beranjak menjadi 3000-an jiwa. Menjangkau lokasi bencana itu pun bukan persoalan gampang. Para jurnalis harus berebut kursi pesawat menuju Banda Aceh. “Ini lokasi yang paling susah dijangkau sepanjang karir jurnalistik saya,” kata Eric Grigorian yang karyanya tentang pemakaman massal berjudul “By His Father Grave”, dengan setting gempa di Proponsi Gavince, Iran, memenangkan World Press Photo 2003. Edy Chandra, wartawan Koran Tempo, juga kelimpungan pada hari-hari pertama meliput Aceh. Berhubung informasinya amat terbatas, Edy Chandra tak membayangkan beratnya medan yang akan dia hadapi saat berangkat dari Jakarta. “Saya nggak bawa peralatan untuk survival. Cuma bawa beberapa kantung biskuit dan satu botol air mineral,” katanya. Begitu sampai di Banda, tak ada satu pun yang fasilitas publik –listrik, air, pasar—yang berfungsi. “Saya harus berjalan kaki berkilo-kilometer. Makan, ya, cuma biskuit. Dua hari berikutnya, setelah bertemu seorang relawan, saya baru makan mi instan,” kata Edy. Wartawan lokal juga mengalami kegalauan yang sama hebatnya. Yuswardi Suud (Tempo), Bedu Saini (fotografer Serambi Indonesia), Hotli Simanjuntak (fotografer Kantor Berita AFP) adalah sebagian dari sedikit jurnalis lokal yang berada di Banda Aceh pada saat kejadian. Keluarga mereka ikut menjadi korban. Namun gambar dan foto yang berhasil direkam para jurnalis ini tak bisa segera dikirim ke Jakarta karena jaringan infrastruktur telekomunikasi babak belur. Akibatnya, situasi Aceh tak bisa sepenuhnya sampai ke telinga dan mata dunia.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 14 Cleaning Service Provided by CNN
Awal Januari 2005, pintu menuju Aceh mulai terbuka. Wartawan dari pelbagai penjuru dunia berdatangan. Fotografer berbagai agency ternama seperti James Nachtwey, Eric Grigorian, Christoph Bangerd, Ben Lowy hilir-mudik menenteng kamera aneka jenis. Pewarta foto lokal pun tak kalah hebat beraksi. Mereka termasuk Oscar Motuloh, Kemal Jufri, Arie Basuki, Maha Eka Swasta, Hendra Suhara, dan lain sebagainya. Tsunami adalah arena yang tak boleh dilewatkan. Reporter dari berbagai media internasional juga menyerbu Aceh. Newsweek, Time, National Geographic, New York Times,
Awal Januari 2005, pintu menuju Aceh mulai terbuka. Wartawan dari pelbagai penjuru dunia berdatangan.
Stern, CNN, World Report, Sidney Morning Herald, sampai Al Jazeerah. Semua ada. Pernah suatu kali seorang jurnalis televisi dari Perancis datang. Dengan wajah panik dia mendatangi saya, “Please, tolong saya. Di mana saya bisa menemukan hotel yang nyaman? Saya juga lapar, di mana ada restoran buka?”
What? Hotel, restoran? Memangnya dia pikir sedang meliput di mana? Lantas, si nona cantik menjelaskan bahwa ini pertama kalinya dia melakukan tugas jurnalistik di tengah situasi bencana. “Biasanya saya meliput bidang fashion dan gaya hidup,” katanya. Ah, begitu. Dari dalam negeri, kita bisa melihat kesibukan awak media berlomba menjala liputan paling komplit, paling eksklusif, dan paling menarik. Surat kabar, majalah, televisi, radio, tumplek di sini. Tempo, Kompas, Media Indonesia, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, SCTV, RCTI, Metro TV, Trans TV, Indosiar, TPI, Global TV, dan lain sebagainya, Anda tinggal sebut namanya. Metro TV termasuk yang beruntung. Stasiun televisi ini berhasil menggaet beberapa rekaman video amatir yang menggambarkan drama Minggu pagi itu. Meskipun demikian, penayangan berulang-ulang, hampir tiap jam, video rekaman Cut Putri itu sempat dikritik sebagai langkah “menimba air mata, mendulang miliaran iklan”. Tapi bagaimana pun, tayangan ini turut berperan menggugah kesadaran publik tentang hebatnya dampak bencana. Dari segi lokasi markas peliputan, Metro TV juga beruntung mendapatkan kapling yang manis. Dengan markas persis di halaman Pendopo Gubernuran, mereka membuat posko gratis pelaporan orang hilang. Persis di sebelah posko Metro ada beberapa boks telepon gratis yang disediakan Telkom. Praktis, area ini menjelma menjadi semacam hot spot bagi relawan, jurnalis, dan masyarakat umum untuk saling bertukar informasi.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 14 Cleaning Service Provided by CNN
Tak hanya itu. Reporter Metro TV yang cantik-cantik itu mendapatkan jatah kamar tertutup, dengan kamar mandi sendiri, di salah satu sayap Pendopo Gubernuran. Sungguh sebuah kemewahan tak terhingga. Terlebih bila diingat bahwa pada saat itu belum ada satu pun hotel yang beroperasi. Ratusan jurnalis dan relawan terpaksa harus rela bekerja dan tidur bergeletakan di ruang-ruang publik yang ada.
Delapan kamar mandi itulah yang melayani sedikitnya 500 orang, termasuk relawan, wartawan, pegawai pemerintah, dan aktivis LSM, yang tinggal di tenda-tenda di halaman pendopo atau yang sekedar bergeletakan di lantai ruangan.
Suatu sore, dengan badan lunglai-penat-lesu luar biasa setelah seharian bekerja, saya mengantri di kamar mandi umum pendopo. Kira-kira ada 15 orang yang menunggu giliran. Aduh, bisa jadi giliran saya baru jam 9 malam. Untunglah, seorang ibu pejabat menyilakan saya untuk meminjam kamar mandi yang ada di dekat kamar yang –menurut si ibu— ditempati Dessy Anwar, wartawan Metro TV. “Walaah, terimakasih, Ibu,” langsung saya jabat tangannya erat-erat.
Mandi sore itu merupakan pengalaman menyenangkan. Segar rasanya bisa mandi di tempat layak setelah berhari-hari mandi ala kadarnya – itu pun setelah mengantri berjam-jam. Antrian ini, saudarasaudara, makin mengerikan apabila Tim Relawan STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) ada dalam barisan. Entah mengapa, para lelaki muda gagah berambut cepak ini betah berlama-lama di kamar mandi. Jika diingatkan, tak jarang mereka memasang tampang angker, “Siapa tadi yang ketukketuk pintu? Tidak tahu apa kita sedang mandi?” Berlama-lama mandi sebetulnya juga beresiko. Hari-hari itu, masih kerap terjadi aftershock atau gempa susulan. Seorang kawan bercerita, suatu sore ada belasan orang sedang antre kamar mandi Pendopo. Tiba-tiba, rrrrgggghhht., bumi bergetar. Kontan, semua orang berlarian menuju area terbuka. Dan, seorang lelaki bule, melompat keluar dari kamar mandi. Tanpa busana. Wow, sejak mendengar cerita itu, saya tak pernah mau berlama-lama di kamar mandi. **** Kamar mandi plus sarana buang hajat, memang persoalan serius hari-hari itu, di Pendopo Gubernuran hanya tersedia delapan kamar mandi plus toilet. Itu termasuk kamar mandi kecil yang ada di dekat masjid pendopo. Sudah begitu, airnya amat menyedihkan, baik jumlah maupun tampangnya. Delapan kamar mandi itulah yang melayani sedikitnya 500 orang, termasuk relawan, wartawan, pegawai pemerintah dan aktivis LSM, yang tinggal di tenda-tenda di halaman pendopo atau yang sekadar bergeletakan di lantai ruangan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 14 Cleaning Service Provided by CNN
Soal kebutuhan mandi sebetulnya masih bisa diatasi. Tak sedikit relawan yang hanya melap tubuh penat dengan tisu basah. Lumayan segar, daripada sama sekali tidak mandi. Solusi lainnya, yang ini hanya untuk relawan laki-laki, adalah mandi bertelanjang dada di bawah kran yang ada di tempat terbuka. Pemandangan yang menarik, terutama jika yang mandi open air ini relawan Mexico setampan Antonio Banderas dan bertubuh langsing dengan perut rata ala six packs stomach yang sanggup membuat jantung berdetak kencang. Kawanan pria ganteng Mexico ini pula yang rajin membuat tontonan menghibur. Malam-malam, usai seharian kerja, mereka sesekali menggelar pentas teater boneka dengan peralatan seadanya. “Mari kita lepaskan sedikit ketegangan,” ajak mereka. Lumayan. Berbeda dengan mandi, urusan buang hajat besar tentu lebih rumit. Yang ini tak mungkin dipamerkan secara terbuka. Semrawut adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kekacauan ini. Sebagian orang memilih menahan diri tidak buang hajat berhari-hari dengan resiko sembelit dan ambeien. Sebagian lainnya bersikap tak peduli, tetap menunaikan panggilan alam dan masa bodoh dengan toilet yang mampet tak keruan. Akibatnya, tak sedikit yang
Denyut kehidupan Banda Aceh perlahan-lahan mulai pulih sehingga jurnalis dan relawan tak lagi hanya bertumpu pada pelayanan dan fasilitas darurat pendopo.
khawatir para pekerja sosial dan jurnalis yang terpusat di pendopo ini justru bakal kena wabah diare. Berabe. Suatu kali, dengan wajah cerah kami membaca pengumuman di pintu kamar mandi. “Cleaning service provided by CNN”, begitu bunyi pengumuman itu. Dan, betul, selama beberapa hari kamar mandi tampak relatif bersih. Para wartawan mencantumkan rasa terimakasih, “thank you, CNN, that’s very kind of you”, atau “terimakaseeh, CNN, elo baek banget,” di ruang kosong yang tersisa pada kertas pengumuman. Tapi kebersihan itu hanya bertahan beberapa hari. Selebihnya, kotor lagi, mampet lagi! Situasi yang membikin frustrasi ini bahkan juga dialami Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab yang saat itu berkantor di Pendopo. “Pak Jusuf Kalla, tolong, kami dikirimin penyedot tinja,” katanya menitip pesan kepada Wakil Presiden melalui seorang reporter. Wajah Pak Menteri tampak pucat. Mungkin karena irama alamnya agak terganggu lantaran keterbatasan sarana kamar mandi. **** Kemeriahan, kesemrawutan, dan kehebohan pendopo tak bertahan terlalu lama. Terimakasih, Tuhan. Denyut kehidupan Banda Aceh perlahan-lahan mulai pulih sehingga jurnalis dan relawan tak lagi hanya bertumpu pada pelayanan dan fasilitas darurat pendopo. Syukurlah. Dengan begini, mudah-mudahan, Pak Menteri Alwi Shihab bisa bekerja lebih tenang, tidak direcoki ratusan jurnalis dan relawan yang mengacaukan sistem sanitasi kompleks pendopo.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 14 Cleaning Service Provided by CNN
Pekan demi pekan, Banda Aceh kembali berdenyut. Kedai
Rumah-rumah penduduk memang disewakan. Tapi ampun, harganya super mahal, bahkan jauh melampaui harga pasaran di Jakarta.
kopi, warung makan satu demi satu mulai beroperasi. Satu dua hotel mulai buka kembali. Tentu dengan kondisi yang tidak maksimal lantaran telah terendam air laut bermingguminggu. Bukan mustahil masih ada sisa-sisa mayat yang terjebak di lantai bawah hotel. Membayangkan kengerian ini sebagian kawan tak mau menginap di hotel. “Gue lebih baik
numpang di rumah penduduk yang nggak kena tsunami,” kata Kemal Jufri, fotografer yang hari-hari itu menginap di rumah penduduk di kawasan Mata’ie, Banda Aceh. Rumah-rumah penduduk memang disewakan. Tapi ampun, harganya super mahal, bahkan jauh melampaui harga pasaran di Jakarta. Ongkos sewa rumah type 45, misalnya, bisa sampai Rp 40 juta setahun. Ongkos ini akan melangit jika penyewanya lembaga asing ternama. Rumah tak seberapa besar di Ateuk Pahlawan, misalnya, disewakan Rp 300 juta untuk satu bulan. Bisa dibayangkan, dalam tempo tiga bulan si empunya rumah sudah bisa membeli satu rumah baru seharga hampir satu miliar rupiah. Inflasi gila-gilaan. Anggaran yang kita patok di Jakarta hampir tak ada artinya. Biar pun gila-gilaan, adanya hotel, rumah sewaan, kamar kos, otomatis menghalau jurnalis dan relawan dari pendopo. Para wartawan sesekali masih mampir untuk updating informasi dan memanfaatkan jaringan internet yang disediakan teman-teman Yayasan Air Putih. Tim tempat saya bergabung –tidak lagi dengan bendera Tempo tapi Yayasan Puter—juga tidak lagi tinggal di Pendopo. Kami menumpang di rumah penduduk di Jalan Sukadame, Simpang Surabaya. Bersama kami juga menginap beberapa wartawan Tempo, seperti Prabandari, Yophiandi, Agus Hidayat, dan Sunariyah yang bergantian meliput Aceh. Melalui kawan-kawan wartawan inilah kami saling bertukar informasi dan saling membantu di lapangan. Biaya sewa markas Simpang Surabaya ini relatif terjangkau, Rp 2 juta saban bulan. “Nggak sanggup kita menyewa rumah yang puluhan juta,” kata Bambang Eko, salah satu koordinator Tim Relawan Yayasan Puter. Benar, rumah ini tak terlalu besar. Kami bahkan tak punya kamar khusus. Biasanya kami –bisa sampai sepuluh orang—bergelimpangan tidur di lantai ruang tamu yang beralas tikar. “Memang di sini cuma apa adanya, Mbak,” begitu kata Pak Ratino, pemilik rumah.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 14 Cleaning Service Provided by CNN
Namun, yang paling penting, kamar mandi di rumah Simpang Surabaya ini cukup bersih. Tak harus antri, tak perlu berebutan, air pun relatif melimpah. Mandi dan buang hajat tak lagi menjadi masalah serius. Penat badan serasa hilang setelah tubuh diguyur air dingin segar. Apalagi setelah mandi pagi atau sore, biasanya secangkir kopi panas dan kue pulut (semacam kue lemper, dari ketan) sudah disediakan di
Seiring dengan kian hidupnya Aceh, gairah peliputan jurnalistik ikut mengendur.
meja oleh Ibu Ratino yang baik hati. “Ayo-ayo, diminum kopinya. Mumpung hangat,” katanya. Langsung saja hidangan yang menggugah selera ini habis tandas. **** Seiring dengan kian hidupnya Aceh, gairah peliputan jurnalistik ikut mengendur. Satu demi satu jurnalis pulang kandang meskipun persoalan masih menggunung, mulai dari pembangunan barak yang banyak mendapat tentangan, pembagian jatah hidup pengungsi yang simpang-siur, bantuan perahu yang tidak cocok dengan kondisi alam, sampai fasilitas pendidikan yang masih awut-awutan. Memang, masih ada satu-dua perwakilan, koresponden, yang mengirimkan laporan rutin ke kantor pusat media massa besar. Namun jelas bahwa perhatian media cetak maupun elektronik sudah jauh mengendur. Peristiwa-peristiwa lain yang lebih panas, sidang kasus korupsi di KPU, busung lapar, kehebohan pemilihan kepala daerah secara langsung, berebut sebagai berita utama. Hanya sesekali ketika ada tokoh ternama, Bill Clinton, Jackie Chan, Miss Universe, juga Nicole Kidman berkunjung, Aceh kembali menghiasi headline surat kabar. Sebagai sumber berita, Aceh sudah tak lagi seksi.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 15 Perjuangan Berlanjut
Merobohkan sisa-sisa bangunan, Banda Aceh, tiga bulan setelah tsunami. (Eric Grigorian)
Perjuangan Berlanjut
15
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
Ketika Aceh mulai persoalan justru nelayan, aktivis, menulis pelbaga bantuan boat yang
BAB 15 Perjuangan Berlanjut
menjauh dari pantuan radar wartawan, sejumlah mulai bermunculan. Berkali-kali saya dihubungi dan relawan yang masih setia di lapangan untuk i hal: pembangunan barak pengungsi yang kacau, tak sesuai kebutuhan nelayan, jatah hidup yang menguap ditengah jalan, dan macam-macam lagi.
Apa
boleh buat, meskipun penting bagi nasib korban tsunami, drama-drama seperti itu dianggap tak cukup menjual untuk ditampilkan pada halaman utama surat kabar. Sebulan setelah tsunami, berita-berita tentang Aceh harus terima nasib, nyungsep, tersembunyi di halaman dalam.
Pemulihan Aceh harus menempatkan media sebagai mitra strategis.
Sebagai orang yang pernah melibatkan diri dalam penanganan korban, saya gerah melihat situasi ini. Tapi gerah saja tidak cukup. Harus ada sesuatu yang dilakukan. Mesti ada sesuatu yang bisa mencuri perhatian media. Pemulihan Aceh harus menempatkan media sebagai mitra strategis. Jika sang mitra mulai bosan, kita harus melakukan sesuatu yang atraktif. Ah, mengapa tak mencoba pameran foto? Kebetulan, hari-hari itu menjelang peringatan 100 hari tsunami, barangkali akan banyak momen berharga yang bisa direkam kamera. “Ide bagus, Diyah,” tulis Eric Grigorian melalui surat elektronik menyambut gagasan itu. Dia akan terbang dari Los Angeles menuju Aceh untuk menjadi relawan. Bersama beberapa fotografer lain, kami akan mencoba membuat foto-foto yang berteriak, tentang Aceh yang masih membutuhkan perhatian dan solidaritas dunia. Memasuki Maret 2005, situasi di Aceh tak menentu. Satuan Koordinasi Penganggulangan Bencana yang dipimpin Menko Kesra Alwi Shihab tengah bersiap-siap mengakhiri tugas masa tanggap darurat yang ditetapkan hanya tiga bulan. Sebagian besar relawan dan organisasi nirlaba, terutama yang dari luar negeri, sudah berkemas mau pulang ke negaranya. Tenggat 26 Maret yang ditentukan pemerintah sebagai batas keberadaan relawan asing di Aceh, sudah makin dekat. Sementara itu, lembaga baru –BRR, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi—belum terbentuk. Kabarnya, ada tarik ulur seru pada elite politik. Maklumlah, lembaga ini akan mengelola dana miliaran dolar. Banyak kepentingan yang bertarung untuk memperebutkan posisi paling menentukan dalam pemulihan Aceh. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi resmi dibentuk pada 30 April. Praktis ada kevakuman kendali di Aceh-Nias selama lebih dari sebulan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 15 Perjuangan Berlanjut
Di Aceh, kata-kata “kevakuman kendali” itu terasa mencemaskan. Di sejumlah kamp pengungsi, situasi tampak mundur. Pasokan logistik tersendat, tangki air bersih tidak datang, orang-orang termenung dalam depresi. Lembaga donor tampaknya masih menunggu arah angin. Mereka masih mau mengukur keseriusan pemerintah melalui orang-orang yang akan duduk di BRR. Sementara BRR belum terbentuk, berbagai komitmen bantuan menggantung di awan. “Sumber-sumber di lembaga donor mengatakan mau lihat-lihat dulu komposisi kepengurusan BRR,” kata Adli Abdullah, Sekretaris Lembaga Adat Panglima Laot Propinsi
Risau juga saya melihat rekaman kamera Eric yang hampir semuanya menggambarkan situasi yang muram, gelap, dan mengenaskan
Nanggore Aceh Darussalam. Karena itu, kata Pak Adli, “Melalui pameran foto, kita bisa berseru agar pemerintah lebih serius.” Akhirnya, kami –Yayasan Puter—sepakat menjadikan rencana pameran foto ini sebagai program Panglima Laot. **** Peunayong. Jantung bisnis Banda Aceh ini belum juga pulih. Seorang ibu menyiapkan makan siang keluarganya di tengah puing pertokoan. Air berlumpur hitam mengepung kaki si ibu. Pada sudut lain, seorang lelaki mencuci piring juga di tengah kubangan lumpur. Tak jauh dari situ, seorang bapak membelah perut ikan yang akan menjadi menu makan siang. Lendir lumpur ada di mana-mana. Tiga bulan berlalu, namun lumpur hitam belum juga menghilang. Sudah beberapa hari saya dan Eric berkeliling mengumpulkan foto untuk pameran. Risau juga saya melihat rekaman kamera Eric yang hampir semuanya menggambarkan situasi yang muram, gelap dan mengenaskan. Tak tega hati melihat orang-orang ini berkubang lumpur, sedangkan di luar sana, ada miliaran dolar dana bantuan. Ke mana saja uang bantuan ini mengalir? “Mestinya kita cari foto yang optimistik,” saya memprotes Eric, “bukan gambar yang sedih begini.” Nelayan yang kembali melaut, pasar yang riuh, anak sekolah yang bermain di kelas darurat, rasanya lebih cocok untuk tema pameran. Menanggapi protes saya, Eric keheranan. “Kenapa? Bukankah kita mestinya bersikap jujur? Ini fakta yang kita peroleh di lapangan. Tak semua mencerminkan optimisme, Diyah.” “Oke, tapi saya ingin mencari sudut pandang yang lebih cerah,” saya berkeras.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 15 Perjuangan Berlanjut
Kami pun meneruskan perjalanan. Saya tak bisa lagi ngotot mencari angle yang serba optimistik. Seperti halnya Peunayong, kampung-kampung lain seperti Lampasse, Ulee Lheu, Peukan Bada, Gampong Kahju, Darussalam, Lambada, hingga Krueng Raya, memperlihatkan warna senada. Gelap dan muram. Perjuangan terus berlanjut. Perjuangan hari ini mungkin sama, atau bahkan lebih berat dari hari-hari pertama tsunami. Tak banyak yang berubah di sepanjang Banda sampai Krueng
Eric agak kesulitan mencari obyek foto.”Sejauh ini yang saya dapat barulah fishermen doing nothing,”katanya.
Raya, kecuali jalanan yang bersih dari mayat. Sampah menggunung di sana-sini. Barak-barak pengungsian belum rampung. Tenda-tenda tampak rapuh, terlebih jika hujan turun. “Tenda kami kemarin roboh. Anginnya kuat kali,” kata seorang ibu yang kami jumpai di pengungsian Seulimeum, Aceh Besar.
Kios, toko, kedai, memang sudah bermunculan. Sebagian besar gubuk-gubuk ini dibangun sendiri oleh warga. “Kami punya sikit sisa uang, kami bikinlah kedai ini pakai papan-papan bekas,” kata Martunis, pemuda Ulee Lheu. Upaya pemulihan yang terkelola dan digerakkan oleh pemerintah, sama sekali belum terlihat. Kami bergerak ke perkampungan nelayan. Lhok Lambada, dulu teluk paling ramai di perbatasan Banda Aceh dan Aceh Besar. Tapi keadaan tak jauh berbeda. Sepi. Perahu-perahu rongsokan yang ditinggalkan pemiliknya bergelimpangan. Di Krueng Raya, siang itu, Panglima Laot Zakaria Ahmad tengah berunding dengan warga membicarakan rencana bantuan perahu dari beberapa lembaga yang akan dibagikan secara bertahap. Tapi semuanya sebatas rencana. Tak ada yang bisa dilakukan selain membicarakan teknis pembagian bantuan, siapa yang mendapat perahu duluan dan siapa belakangan. Eric agak kesulitan mencari obyek foto. “Sejauh ini yang saya dapat barulah fisherman doing nothing,” katanya. Para nelayan mengobrol di kedai, nyeruput kopi panas, serta menghisap rokok. Tak jarang kepulan asapnya begitu tebal, menghasilkan efek teatrikal dalam foto: laki-laki berkulit legam dengan raut wajah keras, duduk termenung berlatar laut biru lepas. Tapi bagi sebuah pameran bertema kebangkitan pascatsunami, fisherman doing nothing tentu bukan obyek foto yang menarik.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 15 Perjuangan Berlanjut
Kami pun sepakat mencari obyek foto ke tempat yang lebih jauh. Pulau Sabang menjadi pilihan. Wilayah ini tak terlalu parah terkena tsunami sehingga mungkin kami bisa mendapat gambar nelayan yang sibuk. *** Pulau Sabang, Dermaga Pasiran. Saya, Eric, dan beberapa kawan dari Yayasan Laut Lestari Indonesia (YLLI), Sapto, Andaman, dan Samuel, sedang mengikuti kegiatan nelayan di pulau paling barat di Indonesia ini. Pulau elok dengan laut teduh dan terumbu karang perawan yang tetap indah biar pun telah dihantam tsunami. Sepanjang siang kami mengikuti selusin nelayan bergotong-royong menarik bale pasi (balai laut –tempat pertemuan nelayan) yang terseret ombak sampai 15 meter ke daratan. Rumah panggung dari papan kayu itu ditarik pelan-pelan mengikuti komando seorang nelayan senior. “Satu, dua, tiga, tarik!” Sesenti demi sesenti, akhirnya bale pasi itu sampai juga ke tempat semula. “Sekarang tinggal diperbaiki yang penyok-penyok ini,” kata nelayan tadi. Menjelang senja, kami meluncur ke dermaga. Beberapa orang tampak sibuk menyiapkan tetek-bengek kebutuhan melaut. Perahu yang bocor ditambal. Jala yang robek dirajut beramai-ramai. “Benang nilon untuk jala ini mesti dibeli di Medan,” kata Yusuf, Panglima Laot Sabang. Perbaikan jala, yang kira-kira seluas satu kilometer persegi, tidak murah. “Butuh 20 juta perak,” katanya.
Salat berjamaah di reruntuhan mushola, di desa Aso Nanggroe 3 bulan setelah tsunami (Mardiyah Chamim)
Benar, Sabang memang lebih bergairah. Namun tetap saja ada catatan buram di sini. “Biasanya, hasil tangkapan kami dijual ke Banda Aceh,” kata Panglaot Yusuf. Sejak tsunami, pembeli ikan di Pasar Lampulo, Banda, jauh merosot. Sementara itu, fasilitas pabrik es di dermaga Sabang sudah rontok digebrak tsunami. Akibatnya, hasil tangkapan nelayan tak bisa diawetkan dan bertahan lama. “Ikanikan numpuk saja di sini,” katanya. Ketika senja datang, saya dan Eric menunggu beberapa nelayan yang tengah bersiap menuju bagan (palung) di tengah laut. Bagan ini khusus untuk menangkap ikan teri nasi yang biasa dikenal sebagai teri medan. Ini komoditi lumayan mahal. Satu ember ikan teri nasi berkualitas bagus bisa laku Rp 500 ribu. Zaman normal dulu, sebelum tsunami, satu bagan bisa mendapat ikan teri sampai Rp 2-5 juta tiap malam.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 15 Perjuangan Berlanjut
Para nelayan meluncur ke tengah laut dengan perahu kecil. Setiba di bagan, mereka menyalakan lampu-lampu penerang bertenaga genset untuk memikat kawanan teri. Setiap palung hanya boleh dilengkapi lima lampu neon masing-masing berkekuatan 25 watt. Tak boleh lebih karena akan mengacaukan konsentrasi kawanan ikan teri. Nelayan yang melanggar aturan akan berurusan dengan panglima Laot. Satu jam, dua jam, kami menunggu palung bergerak. Biasanya, begitu ikan teri didapat, awak palung akan memberi
“Begitulah, Kak. Sejak tsunami, laut disini belum stabil. Air masih keruh, ikan teri tak suka itu. Sekarang air lumayan bening, eh, bulan datang,”kata Zulkifli, nelayan yang menemani kami.
tanda –dengan sinar lampu senter—kepada kawan nelayan yang menunggu di darat. Mereka segera menjemput ikan teri tangkapan dan membawanya ke daratan. Eric menanti momen ini dengan kamera siap di tangan. Tapi, tanda-tanda itu belum juga muncul. Kami mulai bosan. Eric dan saya berbaring di atas aspal di pinggir dermaga. Memandang bintang yang muncul satu demi satu. Seperti dua
bocah cilik, kami berebut dulu-duluan menunjuk bintang yang sedang mengintip malam. Satu, dua, sepuluh, seratus tak terhitung. Mendadak, seorang nelayan berseru. “Bulan!” katanya. Ada nada kecewa di dalamnya. Bulan muncul di langit. Pertanda tak ada teri nasi malam itu. Sinar bulan akan mengacaukan kerumunan ikan teri yang tadinya tersedot ke arah lampu neon. Sinar bulan, yang lebih alami, tentu lebih menyenangkan buat kawanan teri itu. Gagal, deh, rencana kami menyaksikan hiruk-pikuk kedatangan ikan teri. “Begitulah, Kak. Sejak tsunami, laut di sini belum stabil. Air masih keruh, ikan teri tak suka itu. Sekarang air laut lumayan bening, eh, bulan datang,” kata Zulkifli, nelayan yang menemani kami. **** Tiga hari di Pulau Sabang, kami merasa sedikit bersalah. Alih-alih bekerja, kami malah menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Makan ikan bakar di pinggir Pantai Paradiso, menengok tugu kilometer nol, melihat terumbu karang di Iboih. Benar-benar seperti liburan. “Ayo, kembali kerja. Enak saja liburan di sana,” kata Eko, dari Yayasan Puter menghardik saya melalui telepon seluler.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 15 Perjuangan Berlanjut
Kembali ke Banda Aceh, kami langsung keliling kota, berburu obyek foto dan mewawancarai banyak orang. Hampir tengah malam, ketika kami sudah sangat kelelahan, kami masih dihadapkan pada tugas utama: mencari penginapan. Sayang, semua kamar hotel sudah penuh. Tinggal satu kamar tersedia di Hotel Rasamala Indah di dekat Terminal Setui. Bagaimana mungkin? Telepon seluler beberapa kawan tidak aktif, tak mungkin menumpang di rumah mereka. Apakah boleh saya dan Eric tinggal satu kamar? Resepsionis hotel memastikan kami tak bisa menginap di kamar yang sama, biar pun dengan double bed. “Kecuali ada surat nikah, Kak,” kata pemuda di bangku resepsionis. Tentu saja tidak ada, kami hanya berkawan. Saya menjamin bahwa tidak akan terjadi apa-apa di dalam kamar. Bila perlu pintu kamar dibuka lebar, yang penting kami bisa tidur. Tetap saja resepsionis bergeming. “Kalau ada polisi syari’ah datang, kami juga yang repot, Kak.” Syukurlah, akhirnya datang solusi. Seorang tamu merelakan kamarnya dikosongkan untuk saya tempati. Sang tamu bergabung dengan kawannya di kamar lain. Kok, boleh? “Ya, mereka sama-sama laki-laki, Kak,” kata resepsionis. Hm, bagaimana kalau mereka gay? Saya ingin usil bertanya. Tapi, ya, sudahlah.
Dokter Makmun, dari Medan, keheranan menjumpai begitu banyak kasus PMS atau penyakit menular seksual (sexually transmitted diseases-STD) di kalangan pengungsi.
Kamar sudah siap. Mandi air dingin. Lumayan, segala penat langsung lenyap. Saya tercengang membaca peraturan di balik pintu kamar. “Tak boleh membawa tamu perempuan yang bukan muhrim.” Aha, jadi mereka berasumsi tamu hotel hanya laki-laki. Perempuan tak mungkin melakukan perjalanan sendirian, apalagi menginap di hotel. Sangat maskulin. Entah mengapa saya teringat percakapan dengan beberapa dokter relawan. Dokter Makmun, dari Medan, keheranan menjumpai begitu banyak kasus PMS atau penyakit menular seksual (sexually transmitted diseases – STD) di kalangan pengungsi. “Segala macam jenis STD ada. Kaget juga kami, lebih-lebih karena ini wilayah yang menyatakan diri ketat dengan hukum syariah. Angka pasti memang belum diketahui tetapi lumayan tinggi,” katanya. Dokter Makmun kemudian membahas hal ini dengan beberapa kolega yang rutin bertemu tiap pekan. “Apakah penularan PMS ini terjadi di lingkungan kamp pengungsian?” dokter Makmun bertanya. Tentu saja terlalu dini untuk mengambil kesimpulan. Dibutuhkan penelitian serius untuk mengetahui asalmuasal PMS di Aceh.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 15 Perjuangan Berlanjut
Saya sempat mendiskusikan hal ini dengan beberapa ahli epidemiologi di Jakarta. Menurut mereka, kemungkinan besar ini bukan problem dadakan namun permasalahan yang ada sejak bertahun-tahun lampau tetapi tak pernah dibicarakan. PMS, toh, bukan seperti demam berdarah yang mewabah begitu cepat pada suatu masa. Lagipula, masyarakat Aceh sebagian besar adalah saudagar dan komunitas pesisir yang menjelajah banyak pantai dan kota. Medan, Riau, bahkan India bukan tempat persinggahan yang asing. Bukan mustahil, di sanalah mereka tertular PMS dan kemudian membawanya ke rumah, kepada istri-istri mereka. Bagi perempuan di tengah budaya patriarkal yang kuat, tak ada pilihan lain selain menerima suami tanpa mempertanyakan apa pun, termasuk dalam hal seksualitas. Lalu, apa hubungan fenomena PMS dengan tulisan menerima tamu perempuan di hotel? Mungkin ada, mungkin tidak. Saya terlalu lelah memikirkan soal ini. Waktunya tidur. **** Hari-hari berikutnya kami isi dengan kunjungan ke beberapa desa, terutama daerah yang menyiapkan peringatan seratus hari pascatsunami. Memang akan ada acara besar-besaran yang melibatkan 10 ribu orang di Ulee Lheu, pada 5 April 2005. Tapi kami lebih suka singgah di desa yang melakukan peringatan tsunami secara lokal. “Lebih personal,” kata Eric. Lepas tengah hari, di Lamsenia, kami mengikuti kenduri 100 hari tsunami. Sekitar 50-an orang berkumpul, mereka warga Lamsenia yang sedang mengungsi di berbagai kamp. Perempuan, tua, muda, menangis saat memanjatkan doa. Seperti tengah trance, mereka terus berdoa. La ilaha illallah, diucapkan ribuan kali. Air mata menetes, berleleran. Siang terik berikutnya kami mampir di Ulee Lheu. Seorang perempuan muda merenung di atas tapak rumah abang satu-satunya. “Mereka sekeluarga, abang dan ponakan-ponakan saya hilang. Sepuluh hari kami mencari jenazah mereka, tak dapat satu pun,” kata perempuan ini. Payung ungu yang dipegangnya tertiup angin. Di latar belakang tampak kota yang runtuh seluas pandang. Momentum melankolis ini diabadikan Eric dengan sangat bagus. Komposisi warna, emosi yang muncul, membuat foto “A Woman and An Umbrella” ini jadi favorit saya. **** Dua pekan saya menemani Eric berburu foto di Aceh. Tiba saatnya kembali ke Jakarta. Saya punya pekerjaan rumah yang tidak enteng, merangkul berbagai pihak untuk penyelenggaraan pameran. Eric sendiri terbang ke Iran untuk meliput persiapan pemilu presiden di sana.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 15 Perjuangan Berlanjut
Syukurlah, dukungan datang dari mana-mana. Sebagian besar bantuan dana kami peroleh dari PT MEDCO yang dipimpin Hilmi Panigoro. Pak Fikri Jufri, pendiri Majalah Tempo, membantu saya menghubungi banyak orang penting. Deborah Iskandar, dari Balai Lelang Christie, Jakarta, turun tangan membantu penggalangan dana. Pak Sarwono Kusumaatmadja, lagi-lagi, membantu kami dengan mengerahkan relasinya untuk ikut mengulurkan tangan. Oscar Motuloh, Direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), mengerahkan pasukan fotografer untuk menunjang teknis pelaksanaan. Beberapa kawan pewarta foto, masing-masing Kemal Jufri (Polaris), Maha Eka Swasta (GFJA), Jefry Aries (GFJA), Zarqoni Maksum (GFJA), dan Rully Kesuma (Tempo), dengan senang hati ikut terlibat. “Ini saatnya fotografi
Kehadiran seorang aktris senior, yang memiliki pertalian erat dengan Aceh, seperti Mbak Christine tentu amat bermakna.
melakukan sesuatu demi kebangkitan Aceh,” kata Oscar bersemangat. Oscar juga berperan sebagai kurator pameran ini. Ary Sutedja, pianis dan pendiri JakArt Foundation, berbaik hati menyiapkan malam pembukaan di halaman gedung Galeri Foto Jurnalistik Antara. Katering, bunga, penerima tamu, dan lain sebagainya, beres di tangan Mbak Ary. Belakangan, Mbak Ary juga membantu dana puluhan juta rupiah untuk pembangunan Desa Lamsenia, salah satu lokasi program pendampingan Tim Puter. Tanpa saya duga pula, Christine Hakim bersedia membuka acara. Kehadiran seorang artis senior, yang memiliki pertalian erat dengan Aceh, seperti Mbak Christine tentu amat bermakna. Hadirin, terutama para panglima laot, yang datang pada acara pembukaan antusias menyambut bintang besar ini. “Dalam film Cut Nyak Dien, memang ada pengkhiatan panglima laot. Tapi di sini, kami semua bisa diandalkan. Kami adalah teman dan saudara Mbak Peringatan 100 hari tsunami di desa Aso Nanggroe (Eric Grigorian)
Christine,” kata Adli Abdullah, Sekretaris Lembaga Hukom Adat Panglima Laot NAD. Malam itu, dengan uluran tangan begitu banyak pihak, saya merasa berbesar hati. Masih banyak orang baik siap membantu kebangkitan Aceh.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
8
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Menangisi kepergian ayah setelah gempa di Gunung Sitoli, Nias, 30 Maret 2005. (Eric Grigorian)
Antara Nias dan Sri Paus
16
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Tiga bulan sesudah tsunami, gempa di Sumatera kembali menjadi magnet perhatian dunia. Kali ini pusatnya berada di Pulau Nias, arah tenggara Pulau Simeuleu. Meskipun jauh dari Aceh, getaran kehebohannya tetap terasa hingga ke Ta n a h S e u l a w a h .
S
engaja saya mengisahkan “interupsi” Nias ini karena ada pelajaran pahit di dalamnya: negeri-kaya-musibah ini tak pernah belajar. Bencana siap meledak kapan saja di mana saja di setiap jengkal tanah dari Sabang sampai Merauke, tapi kita tak punya persiapan apa-apa untuk menghadapinya. Jumlah korban berlipat bukan karena hebatnya gempa, tapi lantaran lamban dan semrawutnya sistem penanggulangan,
Jumlah korban berlipat bukan karena hebatnya gempa, tapi lantaran lamban dan semrawutnya sistem penanggulangan, pertolongan, dan evakuasi korban.
pertolongan, dan evakuasi korban. Kepanikan dan sulitnya akses menuju lokasi hanya membuat keadaan bertambah parah. Minggu malam, tanggal 28 Maret 2005, pukul 23.15, saya berada di Banda Aceh sedang menyiapkan penerbitan media untuk Panglima Laot sekaligus menyusun rencana Pameran Foto “100 Days After, Struggle Continues – Perjuangan Berlanjut”. Bersama beberapa kawan, saya sedang rapat di kantor Panglima Laot, Propinsi NAD, Jalan Lamnyong. Mendadak, bumi bergetar hebat. Aftershock, pikir saya. Gempa susulan yang sudah ratusan kali muncul setelah tsunami. Bedanya, kali ini getarannya terasa sangat kuat dan seperti tak kunjung berakhir. Orang-orang berhamburan keluar ruangan. Begitu kuatnya getaran sampai mobil yang diparkir bergerak maju-mundur. Di jalan, orang-orang berlari menuju dataran yang lebih tinggi. “Ayo, lari ke Darussalam,” mereka berteriak. Ada yang menumpang mobil, sebagian lainnya lari telanjang kaki. Baru kali itu saya merasakan gempa hebat. Panik tentu saja. Gemetar seluruh badan hingga saya tak sanggup melangkah. Maurizal Hamzah dan Helmy Hass, dua wartawan lokal, menuntun saya berjalan keluar halaman gedung kantor Panglima Laot. Rasa panik kian berkecamuk ketika kawanan sapi yang biasanya berbaring santai di dekat Tugu Mesra, Lamnyong, ikut berhamburan. Pasti ada yang tak beres kalau binatang sudah kebingungan. “Masuk mobil, kita ke Darussalam,” seorang kawan berseru. Entah berapa orang berdesak-desak menumpang mobil kijang itu. Pokoknya, kami ingin segera menuju tempat lebih tinggi. Khawatir gempa diikuti tumpahan air laut.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Syukurlah, kekhawatiran akan datangnya tsunami tak terjadi. Sapi-sapi mulai tenang kembali. Getaran bumi perlahan mereda. Alhamdulillah…. Kelegaan tak berlangsung lama. Beberapa puluh menit kemudian televisi menyiarkan kabar bahwa pusat gempa ada di sekitar Pulau Nias dan Pulau Simeuleu, dengan kekuatan 8,7 skala richter. Luar biasa. Tsunami akhir tahun lalu didahului gempa 8,9 skala richter. Artinya, gempa kali ini juga dahsyat. Entah berapa korban jiwa akibat gempa ini, saat itu belum ada laporan resmi. Mendengar angka 8,7 skala r i c h t e r, p a r a w a r t a w a n , terutama jurnalis asing pada jumpalitan. “Kita harus segera berangkat. Kalau perlu kita sewa helikopter komersial,” kata Eric Grigrorian yang saat itu juga tengah menyiapkan Di antara puing kota Gunung Sitoli. Maret 2005 (Eric Grigorian)
foto untuk Pameran Struggle Continues. Tak lama setelah percakapan ini, Eric mendapat
penugasan dari Newsweek memotret Nias. Persoalan biaya mestinya tak terlalu merisaukan – dugaan yang ternyata kemudian keliru. Persoalannya, menuju Nias bukan soal gampang. Malam itu juga, jam 1 dini hari, saya menelpon Monica Tanuhandaru. Kawan saya ini punya jaringan kuat. Dia bukan hanya “pengawal” Menteri Alwi Shihab selama di Aceh, tapi juga punya segudang kontak, mulai dari petinggi militer, pejabat sipil, tokoh LSM, sampai bos para preman. Moga-moga saja dia bisa membantu. “Ayo, Mon, kerahkan jaringanmu. Besok pagi aku harus ke Nias, bisa dengan menumpang pesawat militer, sewa helikopter, atau apa saja,” kata saya. Sayang, biar pun sudah berupaya mengontak sana-sini, para pejabat sipil dan militer yang mestinya siap siaga merespon bencana tak bisa dihubungi. Tak ada satu pun pejabat maupun institusi yang bisa diandalkan pada situasi darurat semacam ini.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Senin pagi, tanpa kepastian apakah bisa berangkat ke Nias, saya dan Eric meluncur ke Lapangan Udara TNI-AU Sultan Iskandar Muda, di Blang Bintang, Aceh Besar. Anehnya, bandara tampak sepi. Seolah tak ada gempa besar yang terjadi semalam. Satu dua wartawan datang bergabung dengan kami, mencari kemungkinan berangkat ke Nias bersama tim militer. Kami bertemu Letnan Kolonel TNI AU Achmad Sajili, Komandan Lapangan Udara Sultan Iskandar Muda. “Sampai saat ini belum ada rencana operasi penerbangan ke Nias. Kami masih menunggu kabar dari pusat,” kata Pak Sajili. Jika berminat, dia menawarkan, bisa saja kami menyewa pesawat ringan atau helikopter milik TNI-AU dengan tarif komersial. “Itu ongkos beli bahan bakar dan sebagian lainnya untuk perbaikan Lanud,” katanya, “Anda tahu, sejak helikopter dan pesawat militer asing keluar-masuk, gedung ini jadi berantakan karena tak dirancang untuk menangani begitu banyak pesawat canggih.” Perangkat komunikasi, kacakaca jendela, misalnya, rontok tiap kali heli milik militer Amerika, Singapura, dan negara-negara lain tinggal
Korban gempa Nias menunggu diterbangkan ke rumah sakit di Medan, Maret 2005. (Eric Grigorian)
landas. Jangankan untuk perbaikan, anggaran buat kepentingan logistik pasukan saja compang-camping. Letkol Sajili yang harus putar otak mencari jalan keluar. Syukurlah, kami tak perlu bayar mahal untuk sewa heli. Akhirnya Pak Sajili berbaik hati membolehkan kami menumpang pesawat Fokker 27 yang akan terbang ke Nias, secara gratis. Tapi pesawat ini tak akan mendarat. “Ini misi pertama yang tugasnya melakukan assesment dari udara, melihat bagaimana kondisi landasan udara di sana,” kata Pak Sajili menjelaskan. Menurut rencana, pukul 10.00 pesawat berangkat. Tapi terus terunda sampai lewat tengah hari. Beberapa wartawan turut bergabung, antara lain dua kawan dari Kantor Berita AP dan seorang dari Reuters. “Kita hanya mengitari Nias. Anda bisa memotret melalui jendela saat kita terbang rendah,” kata Kapten TNI AU Riva Yanto, komandan penerbangan yang kami tumpangi. Beberapa jendela yang
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
punya sudut pandang strategis sudah disiapkan. “Silakan membiasakan diri dengan situasi pesawat,” katanya. Tengah hari, Fokker-27 terbang menembus langit biru. Berdebar hati menanti pengalaman mengitari Nias dari udara. Satu setengah jam kemudian, pesawat mendekati pulau yang semalam dilanda bencana itu. “Ayo, silakan bersiap mengambil gambar. Saya akan terbang rendah, 1500-2000 kaki, dan mengitari Nias tiga kali,” kata Kapten Riva. Segera kami menyiapkan kamera dan duduk di dekat jendela yang paling strategis. Dari jendela Fokker-27 tampaklah pemandangan yang menyesakkan. Gedung-gedung runtuh, ambles, bagai rumah kartu. Meskipun tak seluruh Nias hancur total, tapi 10-15 persen bangunan di Gunung Sitoli, ibukota Kabupaten Nias, hancur berantakan. Sisanya tetap tegak berdiri. Terkejut juga melihat wujud Nias yang tak seseram kami bayangkan. Tapi ini hanya pengamatan sepintas dari ketinggian. Moga-moga saja keadaan di darat lebih baik lagi. Tiga kali kami dibawa Kapten Riva Yanto mengitari Nias. Dari ketinggian, tampak beberapa bagian landasan Bandara Binaka retak-retak cukup parah. “Hanya pesawat ringan yang bisa mendarat,” kata Kapten Riva. Beberapa pesawat jenis CASA terlihat sudah ada di bandara. Dua helikopter bertuliskan UN juga berada di Lapangan Sepakbola Pelita, Gunung Sitoli, siap menyalurkan bantuan. Sayang, rombongan kami tak bisa ikut mendarat. Fokker-27 harus terbang ke Lapangan Udara TNI AU Medan, Sumatera Utara, untuk melaporkan misinya. Namanya juga menumpang, kami tak bisa berbuat banyak.
Sebenarnya siang itu, Mike Griffith, Direktur Yayasan Leuser Internasional (YLI), berbaik hati menawarkan tumpangan ke Nias. Lembaga yang bermarkas di Medan ini telah menyewa sebuah helikopter. Syaratnya kami harus berada di Bandara Polonia, Medan, tepat pukul 14.00. Suatu hal yang mustahil lantaran pada saat yang sama kami sedang mengitari Nias dan baru mendarat di Polonia pukul 15.00. Tawaran menarik dari
Masalahnya, ongkos sewa pesawat ringan cukup mahal, US$2.500 pulang pergi, belum termasuk biaya tunggu yang dihitung per jam.
YLI terpaksa terlewat begitu saja.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Begitu sampai di Polonia, saya menelpon Pak Mike Griffith. Mudah-mudahan masih ada pesawat ringan lain yang akan berangkat. Memang betul, ada. “Anda siap-siap saja berangkat jam 6 besok pagi,” kata Pak Mike. Masalahnya, ongkos sewa pesawat ringan cukup mahal, US$ 2.500 pulang-pergi, belum termasuk biaya tunggu yang dihitung per jam. Saya jelas tak punya uang begitu banyak. Eric, dengan assignment dari Newsweek, juga merasa keberatan untuk memikul ongkos yang kira-kira Rp 25 juta itu. Akhirnya, saya dan Eric berkeliling Bandara Polonia, mencoba mencari kawan-kawan wartawan yang mungkin mau bergabung dan berbagi ongkos. Akhirnya, kami bertemu beberapa orang yang sepakat bergabung. Seth Mydans (wartawan senior New York Times), Mita (kontributor New York Times di Jakarta), Kemal Jufri (fotografer lepas yang sedang dalam assignment dengan Time), dan Sebastian Berger (Daily Telegraph). Dua wartawan Kantor Berita AP, yakni Michael dan Binsar, juga turut serta. Esok paginya, Selasa, 30 Maret, kami berdelapan sudah siap berangkat di bandara. Namun, pesawat ringan yang kami sewa tak kunjung tiba. Kontak per telepon selalu gagal. Jam demi jam kami menunggu dengan cemas. “Kita bisa kehabisan waktu,” kata Kemal tak sabar. Satu demi satu wartawan dalam tim kami berkurang. Seth Mydans mendapat tumpangan helikopter dari CRS (Catholic Relief Service). Michael dan Binsar mengundurkan diri dari rombongan. Kemal memutuskan menempuh cara yang lebih sulit tapi relatif lebih pasti: bermobil tujuh jam menuju Sibolga. Perjalanan disambung dengan semalaman menumpang ferry menuju Gunung Sitoli. Total jendral, butuh waktu 20 jam belum termasuk molor-molor yang tak terduga. “Biarin aja, deh, gua ambil risiko. Ketimbang nunggu pesawat yang tidak pasti,” katanya. Risiko yang dihadapi Kemal memang tidak main-main. Bisa-bisa dia baru sampai di Nias ketika deadline sudah mepet atau sudah lewat. Tinggal saya dan Eric yang tersisa. Keder juga membayangkan kami berdua harus membayar ongkos sewa helikopter. Mana mungkin saya sanggup?
“SMAC, siap mati atau cacat,” kata Budi. Julukan yang cukup beralasan.
Akhirnya, kami memutuskan sekali lagi berkeliling Bandara Polonia. Sekali lagi mencari wartawan atau relawan yang tertarik bergabung. Waktu itu ratusan orang berkerumun di bandara, baik wartawan, relawan, maupun sanak-kerabat korban, yang menanti kesempatan menumpang pesawat militer yang hendak menuju Nias. Kesempatan yang sudah ditunggu berjam-jam tapi tak kunjung datang.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Tapi apa daya, biar sudah seperti calo penumpang di terminal saat heboh mudik lebaran, saya dan Eric tak berhasil menggaet mitra baru. Termangu-mangu kami duduk di hanggar bandara. Menatap hilirmudik relawan, jurnalis, aktivis, dan tentara di setiap sudut ruangan. ***** Tanpa dinyana, di tengah penat-lesu-lunglai, seorang kawan lama datang. Budiyono, produser berita di Metro TV, sedang bersiap mengurus penerbangan ke Nias. Dia dan empat kru Metro TV lain menyewa pesawat ringan CASA dari perusahaan penyewaan PT SMAC Airline. “Ayo, ikut aku aja, masih banyak tempat. Jangan kuatir, buat kalian gratis,” kata Budi. Sejuk sekali rasa hati mendengar tawaran ini. Sejatinya, PT SMAC adalah kepanjangan dari Sabang Merauke Air Charter. Perusahaan penyewaan pesawat ringan ini berkonsentrasi pada wilayah Sumatera Utara dan Tengah. Namun, melihat gaya pilot SMAC menerbangkan pesawat, para jurnalis punya julukan baru buat mereka. “SMAC, siap mati atau cacat,” kata Budi. Julukan yang cukup beralasan. Budi telah berulang kali menumpang SMAC dengan rute Banda Aceh– Meulaboh. “Gua kenal, deh, ama karakter pesawat ini,” katanya. Pesawat CASA milik SMAC maksimal hanya mampu menampung beban 850 kilogram. Peralatan siaran langsung yang dibawa Budi dan kawan-kawan sudah mencapai 600 kilogram. Tinggal 250 kilogram tersisa, artinya paling banyak cuma 5 orang penumpang yang bisa diangkut. Setelah hitung punya hitung, syukurlah, semua rombongan Metro, saya, dan Eric, bisa ikut terangkut SMAC.
Bagian dalamnya bodynya dilapisi kayu tripleks, benar-benar tripleks biasa, bukan plastik fiber atau jenis lainnya yang terkesan “canggih”.
Memasuki pesawat, hati mulai dag-dig-dug. Sudah terbayang akan banyak tanda seru dalam tulisan perjalanan ini. Betapa tidak, profil pesawat sama sekali kurang meyakinkan. Bagian dalam body-nya dilapisi kayu tripleks, benar-benar tripleks biasa, bukan plastik fiber atau jenis lain yang terkesan “canggih”. Tapi, sudahlah, saya menghibur diri, toh, ini cuma penampakan luar.
Begitu pesawat tinggal landas, hati mulai tenang. Langit biru, pesawat menari nyaman di udara, kami bertukar canda. Di sela guyonan, tiba-tiba berdering suara telepon genggam. Lo, memang boleh? “Boleh saja, silakan bertelepon selagi ada sinyal,” kata Budi.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Di layar telepon genggam saya, tampak beberapa teks pesan dari Kemal, Seth, dan Sebastian. Mereka menanyakan kabar dan sudah sampai di mana perjalanan kami. Baik benar, penuh perhatian juga teman-teman ini. Kata Eric, mereka bukan sekedar menanyakan kabar tetapi memeriksa sejauh mana “kompetitor” liputan berada di tengah medan. “Malu, dong, kalau kompetitor sudah sampai di Nias sementara kita belum,” kata Eric. Belakangan ketika sampai di darat, dari kejauhan saya melihat Kemal Jufri beraksi meliuk-liukkan badan sambil membidikkan kamera. Syukurlah, kawan yang satu ini sampai juga di Nias. Belum habis tercengang lantaran bisa bertelepon di udara, dari arah depan tampak asap mengepul. Pilot dan co-pilot merokok…! Lebih kaget lagi, para penumpang, Budi, Eric, dan dua kawan lain, juga ikut-ikutan merokok. “Jangan kuatir, inilah SMAC,” kata sang pilot sambil menoleh ke arah kami. Walah, walah…. Dua jam kami di udara. Tibalah saat mendarat di Bandara Binaka, Nias. Lagilagi, SMAC menunjukkan aksi. Pesawat tak mendarat secara gradual bertahap seperti umumnya pesawat. Dia langsung menukik di landasan dan, wuuuutttt, pesawat sudah terparkir rapi. Masih dengan ngos-ngosan saya turun dari pesawat. “Hebat, hebat, kita seperti
Seorang warga menunjukkan korban gempa yang terhimpit bangunan, Gunung Sitoli, Maret 2005. (Eric Grigorian)
ikut Formula-1. Bedanya ini pesawat udara, man,” komentar seorang kawan. Kami bersalaman dengan pilot, bersyukur bisa sampai dengan selamat. **** Drama perjalanan dengan SMAC merupakan awal serangkaian drama di Nias. Malam hampir jatuh ketika rombongan kami menjejakkan kaki di pulau ini: empat puluh jam setelah gempa. Sementara teman-teman Metro TV mendirikan pos siaran di dekat bandara, saya dan Eric meneruskan perjalanan ke Gunung Sitoli. Tak ada taksi. Kendaraan roda empat tak mungkin melintas. Badan jalan
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
banyak yang putus. Hanya ojek yang tersedia. Tarifnya lumayan mahal, Rp 200 ribu sekali jalan. “Maklum, Kak, tak ada minyak di Nias,” kata si tukang ojek. Pelan-pelan, ojek yang kami tumpangi menuju kota. Pada saat itulah terasa betul apa yang kami lihat melalui jendela Fokker-27 sehari sebelumnya, berbeda sekali dengan keadaan sebenarnya. Gunung Sitoli rusak 40-50 persen. Bahkan, pada beberapa kawasan padat, pasar dan pertokoan, seratus persen remuk. Tak banyak bangunan yang tersisa utuh. Gelap
perlahan-lahan
menampakkan kuasa. Tak ada listrik, tak tersedia pula lampu petromaks. Hanya kelap-kelip lilin dan lampu minyak muncul di beberapa sudut. Gunung Sitoli tak ubahnya kota mati dalam komikkomik. Angker, gahar, memendam kepedihan. Hantu duka cita gentayangan di Korban luka dirawat di rumah sakit dengan penerangan lampu petromaks. Nias, 30 Maret 2005. (Eric Grigorian)
udara. Anyir bau mayat yang tertimbun bangunan meruap memenuhi setiap hirupan napas. Di
halaman gereja, di masjid, di vihara, jejeran mayat yang dikumpulkan penduduk, tentara, maupun relawan terus bertambah, makin panjang. Sebagian dimasukkan dalam peti kayu, lainnya cuma dibungkus plastik hitam, bahkan ada yang dibalut kain ala kadarnya. Darah kering berceceran di sekitar jenazah. Tak sedikit mayat yang menggelembung seolah mau meledak, dikerumuni lalat atau bahkan ulat. Di tengah kaharuan seperti itu, saya dan Eric menjelajah Gunung Sitoli. Perjalanan cukup rumit karena jalanan patah dan merekah di sana-sini. Mencari mobil atau motor sewaan tak mudah karena persediaan bensin terus menipis. Kalau pun ada ojek yang mau disewa, ongkosnya amat mahal, antara Rp 300.000– 1.000.000 sehari. “Kalau Kakak bawa bensin sendiri, saya bisa kasih murah,” kata Adi, pengemudi ojek yang kami jumpai. Boleh juga Si Adi. Jadi, saya mesti balik ke Medan, membeli satu dua jerigen bensin dan kembali ke Nias. Pintar...
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
8
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Di sepanjang jalan, orang-orang berpelukan dan bertangisan. Percakapan yang terdengar bukanlah tegur sapa atau bertukar kabar. “Berapa orang famili kau yang mati? Itu mayat Mama kau sudah dapat? Bagaimana dengan adik kau? Sudah kau antar suami kau ke Tuhan Yesus?” begitu pertanyaan yang kerap terucap. Pertanyaan yang biasanya disusul hujan air mata atau sekadar tatapan kosong. Hampa. Dengarlah cerita Hwa, 39 tahun, penduduk Jalan Sudirman, suatu kawasan padat di Gunung Sitoli. Ia kehilangan ibu, suami, dan tiga anaknya. “Tak ada apa-apa lagi buat saya,” katanya sambil menangis di bahu seorang kawan. Rumah Hwa remuk ketiban bangunan berlantai dua milik tetangganya. Ada pula kisah lain. “Cuma lima detik. Hhhhrrrttt…., rumah kami langsung ambruk. Hancur,” kata Deswinta, 40 tahun, mengenang dahsyatnya kejadian Minggu malam itu. Sorot matanya, raungan histerisnya, juga segenap urat di wajahnya berbicara tentang ketakutan dan kehilangan yang teramat sangat. “Suami dan tiga anak saya habis sudah,” katanya. Deswinta selamat dengan badan penuh luka karena terlempar sejauh dua meter ke jalanan. Wajah-wajah duka merata di segala sudut Nias. Di pojokan Rumah Sakit Umum Gunung Sitoli, seorang lelaki terbaring tanpa daya dengan selang infus di tangan kiri. Sebuah borgol dingin mengikat pergelangan tangannya dengan rangka tempat tidur. Rupanya, lelaki malang ini sempat mengamuk hebat, merasa hidupnya tak berguna lagi. Dia bahkan mengancam akan membunuh orang-orang di sekelilingnya. “Dia tertekan, stress berat, karena anak-istrinya semua jadi korban,” seorang paramedis menjelaskan. Di rumah sakit yang sama, seorang dokter membedah kepala pasien perempuan yang terluka akibat terbentur benda keras. Darah terus mengucur selagi dokter berusaha menjahit kulit yang luka. Operasi ini berlangsung di lantai yang diceceri darah, dengan penerangan lampu petromaks. Tangan sang dokter terpaksa berhenti bekerja manakala seseorang melintas dan menutupi cahaya petromaks. Nyeri. Malam sudah benar-benar berkuasa. Sekitar jam delapan, seorang bapak tergopoh-gopoh menemui tim penyelamat gabungan dari Spanyol dan Norwegia yang bermarkas kompleks pendopo kabupaten. “Tolong, bapak, saya dengar ada suara minta tolong dari bangunan yang runtuh. Mungkin orang di dalam masih hidup,” kata bapak tadi. Olaf Lingiaerae, salah satu anggota penyelamat, bergegas menyiapkan timnya. “Ayo, ayo, jangan sampai terlambat. Satu menit sangat berharga,” kata lelaki berperawakan besar ini. Tak berapa lama enam orang anggota tim ini sudah beraksi di reruntuhan bangunan berlantai tiga. Pelan-pelan mereka
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
9
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
menyingkirkan batu demi batu reruntuhan bangunan. “Hello, hello..., ada orang di dalam?” begitu berulang kali tim penyelamat berteriak sambil menajamkan kuping. Tak ada alat berat yang digunakan. Sebagian besar
usaha
penyelamatan dilakukan dengan tangan kosong, Mengungsi di gedung sekolah, Nias,30 Maret 2005. (Eric Grigorian)
m e n g a n d a l k a n keluwesan tubuh meliuk-liuk mencari
siasat memasuki celah-celah bangunan yang ambruk. “Penggunaan alat berat berisiko membuat bangunan runtuh lebih hebat,” kata Miguel Roncero, anggota tim yang berasal dari Bombero (kesatuan pemadam kebakaran), Spanyol. Pukul 2 dini hari, kerja keras Olaf dan kawan-kawan berbuah. Bocah berusia 12 tahun itu berhasil selamat dikeluarkan dari bangunan. Kakinya cedera akibat 52 jam terjepit reruntuhan. Kondisi tubuhnya pun lemas. Maklum, lebih dari dua hari si bocah tak tersentuh makanan dan minuman. “Wow, bahagia tak terkira kalau kita berhasil menyelamatkan hidup orang seperti ini,” kata Roncero. Namun operasi penyelamatan tak selalu berakhir bahagia. Sering kali, informasi warga lebih banyak berlandaskan harapan yang terlampau melambung. Harapan akan adanya kemungkinan bahwa anak, istri, atau kerabatnya masih bisa diselamatkan bagaimana pun berat situasinya. Esoknya, seorang bapak meminta Olaf dan kawan-kawannya datang ke sebuah gedung di dekat Pasar Gunung Sitoli. “Semalam saya lihat ada sinar senter, warna merah, berkelebat dari dalam celah reruntuhan gedung. Mungkin adik saya masih hidup di sana,” kata si peminta tolong.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
10
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
“Sampai hari keempat ini kami belum dapat bantuan.Mau beli makanan pun tak ada yang jual,” kata seorang pengungsi.
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Upaya penyelamatan langsung digelar. Batu-batu telah disingkirkan, kuping telah ditajamkan, berbagai jalan menembus reruntuhan pun sudah ditempuh. Namun, tak ada tanda-tanda kehidupan yang terdeteksi. Satu, dua, tiga jam berlalu sampai akhirnya Miguel Roncero menggelengkan kepala dengan lemah. “Mohon maaf, bapak-ibu, I am so sorry. Tak ada tanda kehidupan di dalam sini,” katanya dengan tangan kanan menempel di dada.
Akhir yang tidak happy, kata Roncero, wajar terjadi karena tim penyelamat datang relatif terlambat. Olaf dan kawan-kawan, misalnya, baru tiba di lokasi pada hari ketiga setelah bencana lantaran sulitnya transportasi. Tim serupa yang datang dari Singapura, Perancis, dan Jepang juga baru menjejak bumi Nias pada hari keempat dan kelima setelah gempa. “Seandainya tim penyelamat datang pada hari pertama,” kata Olaf, “mungkin akan lebih banyak nyawa bisa diselamatkan.” Kelambanan pengerahan regu penyelamat hanya satu soal. Ada banyak lagi masalah lain, terutama lemahnya tali koordinasi, yang menjadikan penanganan bencana di Nias lamban dan cenderung amburadul. “Sampai hari keempat ini kami belum dapat bantuan. Mau beli makanan pun tak ada yang jual,” kata seorang pengungsi. Keluhan seperti ini hampir merata di desa maupun kota. Barangkali untuk itu pula seorang ibu, Nyonya Gulo, warga Jalan Soekarno, Gunung Sitoli, menyampaikan harapan. Katanya, “Jangan kami ini ditinggalkan sendirian.” Apa daya, energi dan kemampuan saya amat terbatas. Yang bisa saya lakukan untuk membantu Nyonya Gulo dan warga Nias adalah secepatnya meninggalkan pulau ini menuju Medan. Dari Medan saya bisa mengirim berita ke Jakarta. Begitu pula Eric, Kemal, dan banyak fotografer lain, mereka harus segera keluar dari Nias untuk mengirim foto-foto dan mengabarkan apa yang terjadi di Nias pada seluruh dunia. **** Harapan Nyonya Gulo agar masyarakat Nias tak ditinggal sendirian, tidaklah muluk-muluk. Keinginan Nyonya Galo bersama keluarga dari 546 korban meninggal dan 3000-an korban luka-luka sederhana saja: agar bantuan cepat sampai ke tangan yang berhak, agar mereka bisa memulai lagi hidup secara mandiri.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
11
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Namun, negeri ini agaknya belum punya sistem untuk mempedulikan warga yang tertimpa musibah, seperti Nyonya Gulo. Penanganan bencana masih “ala kadarnya”. Belum ada, misalnya, sistem mobilisasi bantuan untuk mengatasi sarana transportasi yang payah. Yang ada hanyalah kepanikan, kepanikan, dan kepanikan di segala lini. Bagi Nias, kepanikan berdampak cukup serius. Sampai akhir pekan kedua, bantuan logistik belum bisa dibagikan. Insiden ini sempat meletupkan kehebohan dan
Menangisi dua anggota keluarga yang meninggal akibat gempa, Nias, 30 Maret 2005. (Eric Grigorian)
demonstrasi yang menuntut pemerintah, terutama pemerintah daerah, agar bekerja lebih serius. Kawasan di luar kota Gunung Sitoli lebih menderita lagi karena infrastruktur hancur total sehingga wilayah-wilayah terpencil ini sulit dijangkau. Kawan-kawan jurnalis juga sempat mengalami kesulitan logistik di Nias. Tak ada dapur umum, toko, apalagi warung makan yang beroperasi. San Tirta, fotografer Tempo News Room, terpaksa menyantap sup anjing yang ditawarkan orang-orang di lorong jalanan gelap. “Habis, aku udah mau pingsan. Hampir tiga hari nggak makan. Itu situasi darurat,” katanya. Anjing yang berkeliaran tanpa tuan, mungkin majikannya sudah meninggal karena gempa, memang menjadi penolong mereka yang sedang berjuang melawan kelaparan. Saya juga menghadapi soal serupa. Tiga hari di pulau ini, saya hanya makan biskuit bekal dari Medan. David, tukang ojek yang setia menemani saya selama di Nias memang sempat memberi tawaran makan siang. “Kami masih punya persediaan beras,” katanya. Tapi, mana tega hati ini. Keluarga David sudah pasti lebih membutuhkan persediaan pangan akibat transportasi dan lalu-lintas logistik belum menentu. ****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
12
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Seharian berkeliling Nias, menyaksikan kepiluan jatuh di setiap sudut, terasa amat meletihkan. Gelap malam telah turun sempurna. Matahari siang berganti cahaya lilin dan lampu minyak. Malam itu wartawan dan relawan, berkumpul di Pendopo Kabupaten Nias mirip dengan hari-hari awal setelah tsunami di Banda Aceh. Bedanya, di Pendopo Nias tak ada dapur umum, tak ada pejabat yang bisa siap memberikan data-data dan penjelasan rinci tentang apa yang terjadi dan telah dilakukan. Terasa benar, dari sisi diseminasi informasi serta koordinasi relawan, Nias jauh lebih buruk dibanding Aceh.
Sayangnya, sampai saat ini, pemerintah belum memiliki sistem transportasi dan armada darurat yang siap di mobilisasi secara cepat, pada saat dibutuhkan.
Di luar pendopo, situasinya tak kalah mengenaskan. Tak ada toko atau kedai makanan. Malam itu, kami yang kelaparan, kebingungan mencari-cari cara untuk menghabiskan waktu dan melupakan perut yang melilit. Tiba-tiba seorang kawan berseru senang. “Ada satu warung kecil buka, di dekat kantor Telkom,” katanya. Segera saya mengajak Eric menuju tempat yang ditunjuk. Benar saja, ada
warung yang buka. Menunya: teh panas, mi instan, dan biskuit ala kadarnya. Lumayan. Antrian telah mengular di warung yang “monopolistik” itu. Olaf, Roncero, Miguel, dan kawan-kawan dari Bombero, Spanyol, sudah lebih dulu sampai di sana.“Kami yang menemukan tempat ini. The hottest place in town,” kata Miguel tersenyum lebar. Lelaki tampan ini bahkan mengumpulkan bocahbocah kecil yang penasaran ingin berbincang dengan bule. Wajah-wajah cilik itu mengintip dari balik jendela rumah.“Ayo, ayo, ke sini,” ajak Miguel, “kita menyanyi sama-sama.” Tak lama kemudian beruntun terdengar tembang-tembang dari masa silam: Bintang kecil, Satu Satu Aku Sayang Ibu, dan lain-lain. Anak-anak itu yang menyanyi? Bukan. Siapa lagi kalau bukan Miguel dan kawan-kawan. “Kami sudah dua bulan berada di Calang. Menyanyi adalah satu cara mendekati anak-anak,” katanya gembira. Malam itu udara Nias menjadi sedikit bergairah. “Jangan sebut kami orang Spanyol jika tak bisa menciptakan keriangan,” kata Roncero. Hm, flamenco dance, please…. ***** Kesulitan transportasi merupakan biang kerok kacau-balaunya penyaluran logistik. Soal ini pula yang menghambat penyebaran berita dari Aceh dan Nias kepada masyarakat dunia. Medan yang berat, pulau-pulau kecil yang dipisahkan samudera raya, merupakan beberapa faktor yang mempersulit situasi. Begitu sulitnya medan, sebuah helikopter militer Australia jatuh ketika menuju Teluk Dalam,
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
13
PEKAN-PEKAN MENEGANGKAN
BAB 16 Antara Nias dan Sri Paus
Nias Selatan, wilayah terisolir berjarak 56 kilometer dari Gunung Sitoli. Sembilan dari sebelas awak helikopter meninggal dunia. Sayangnya, sampai saat ini, pemerintah belum memiliki sistem transportasi dan armada darurat yang siap dimobilisasi secara cepat, pada saat dibutuhkan. ***** Sama seperti sulitnya memasuki Nias, keluar dari pulau ini pun tak gampang. Kami harus berebut menumpang pesawat militer asing yang hilir-mudik mengangkut korban luka ke Medan. Pesawatpesawat ini hampir selalu penuh karena pasien yang mengalami pendarahan akibat benturan benda berat, begitu banyak.
Beruntung, saya, Eric, dan sejumlah wartawan lain bisa menumpang heli Chinok milik tentara Singapura. Kapten pesawat berbaik hati memprioritaskan para jurnalis karena sadar bahwa berita Nias harus segera beredar dan diketahui masyarakat dunia. Kamis sore, 31 Maret, kami terbang menuju Medan sambil berharap bisa menyelesaikan berita dan foto Nias sesegera mungkin.
“hanya, rasanya kurang adil.Kematian satu orang bisa meniadakan porsi berita untuk sebuah peristiwa demikian penting dengan ratusan korban jiwa.”
Namun dunia punya iramanya sendiri, dan seringkali tak terduga. Sabtu malam, 2 April, pukul 21.47 waktu Vatikan, Paus Yohannes Paulus II menghembuskan napas terakhir. Seluruh dunia guncang. Halaman-halaman media internasional sepenuhnya didedikasikan untuk mengenang Sri Paus. Bagaimana dengan peliputan Nias? Majalah Tempo dan media nasional masih memberi tempat pada gempa Nias, tapi tidak media internasional. Majalah Time hanya menurunkan tiga halaman tentang Nias, dengan foto-foto Kemal Jufri yang mengesankan. Sebaliknya, Newsweek mendedikasikan sebagian besar jatah halamannya untuk Paus. Soal Nias, simpan saja dahulu. Tentu saja, banyak wartawan yang menelan ludah dengan situasi seperti ini. Tapi, yah, begitulah jagad media. Sebuah peristiwa bisa serentak menjadi headline menghebohkan pada satu hari, tapi kemudian menghilang dan sama sekali terlupakan sehari kemudian. “Saya bukannya risau karena foto-foto saya tidak dimuat Newsweek setelah semua kesulitan yang harus saya tempuh,” kata Eric, “hanya, rasanya kurang adil. Kematian satu orang bisa meniadakan porsi berita untuk sebuah peristiwa demikian penting dengan ratusan korban jiwa.”
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
14
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 17 Tahun Para Relawan
Jembatan terputus, harus menggunakan rakit menuju tenda pengungsian, Lamsenia, Maret 2005 (Mardiyah Chamim)
Tahun Para Relawan
17
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 17 Tahun Para Relawan
Ribuan pahlawan-tanpa-nama telah lahir karena tsunami...
Mari kita mulai dengan kisah berikut. Di antara rintik gerimis, mereka berjajar genit di halaman
Gedung DPRD Jember. Dengan spanduk bertuliskan “Sexy Boys Peduli, Bagaimana dengan Anda?” dan
kotak amal dari kardus bekas, rombongan berdandan meriah ini mencegat dan merayu anggota dewan agar mau memberi sumbangan untuk Aceh. Sukses “menodong” anggota dewan yang terhormat, orangorang muda ini bergerak ke arah kota. Tak peduli dengan bedak yang luntur oleh hujan, mereka merayu para pengguna jalan. Setelah empat jam berpayung gerimis, kelompok ini berhasil menjala dana bantuan Rp 661 ribu, yang kemudian dititipkan ke sebuah stasiun radio untuk diteruskan kepada korban tsunami di Aceh. “Kami sebenarnya ingin jadi relawan, tapi para korban mungkin belum bisa menerima eksistensi
“Sexy Boys” adalah kelompok waria, wanita pria Jember, orangorang pinggiran yang harus berjuang bukan hanya untuk menunjukkan eksistensinya bahkan juga untuk mempertahankan hidup.
kami,” kata Memey, anggota Sexy Boys. “Sexy Boys” adalah kelompok waria, wanita pria Jember, orang-orang pinggiran yang harus berjuang bukan hanya untuk menunjukkan eksistensinya bahkan juga untuk mempertahankan hidup. Apa yang mendorong mereka, orang-orang yang barangkali letak Sumatra pun tidak tahu, berhujan-hujan di jalan, kadang-kadang di bawah olok-olok sebagian warga, untuk menggalang bantuan bagi korban tsunami Aceh? Dan Sexy Boys tidak sendiri. Di hari-hari pertama tsunami saya bertemu ratusan mungkin ribuan relawan dari delapan ratus penjuru angin. Malang, Semarang, Jakarta, Bandung, Surabaya, sebutlah mana saja! Dari luar negeri, lebih beragam lagi. Seakan-akan di Aceh bakal digelar konferensi warga dunia. India, Swedia, Afrika Selatan, Norwegia, Denmark, Pakistan, Filipina, Austria, Amerika Serikat, Australia, Singapura, Jerman, Meksiko, Inggris – bahkan dari Palestina dan Armenia, dua negeri yang tengah berkutat dengan persoalannya sendiri. Seribu satu bendera negara dan organisasi ada di Aceh, namun dengan satu niat yang dikerek tinggi-tinggi: bendera kemanusiaan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 17 Tahun Para Relawan
Memang benar, tak semua relawan memiliki komitmen tulus seratus persen untuk kemanusiaan. Ada juga yang sekadar memanfaatkan situasi dengan beragam motif – sebetulnya sah-sah saja. Ada yang ingin disorot televisi. Ada yang ingin menemukan teman yang menghilang. Begitu si teman ditemukan, si relawan langsung kabur dari Aceh tanpa peduli apa pun. Saya juga pernah bekerja dengan seorang relawan yang terlalu banyak menuntut. Meminta fasilitas ini itu yang hampir mustahil dipenuhi di Aceh, serba kaku dan selalu berwajah masam bagai air cuka ketika menemui kesulitan di lapangan. Sungguh model relawan yang melelahkan. Orang seperti ini mungkin cukup membantu dengan doa saja dari
Namun secara umum, solidaritas kemanusiaan merupakan motif utama yang menggerakkan semangat voluntarisme di Aceh.
jauh, agar tak merepotkan orang lain. Namun secara umum, solidaritas kemanusiaan merupakan motif utama yang menggerakkan semangat voluntarisme di Aceh. Mereka diikat dan disatukan dua spirit: kemanusiaan dan petualangan. Biasanya relawan datang bersama tim. Ada yang atas nama negara, LSM, lembaga donor atau lembaga lainnya. Tapi tak sedikit yang datang secara individual, seperti Agil Daeng, mahasiswa pemburu mayat yang kisahnya telah diceritakan. Empat dokter dari India juga datang bergabung bersama kru Bulan Sabit Merah tanpa dukungan dana dari pihak mana pun. Mereka menempuh ribuan kilometer dan memberi pelayanan medis di Aceh dengan menguras tabungan pribadi. Tersebut pula Sara Henderson, 70 tahun, yang terbang dari rumahnya di New York. Di kampung halamannya Ibu Henderson menggalang dana dengan menggelar makan malam dan berbagai kegiatan lain. Ribuan dolar dana yang terkumpul digunakan untuk membangun ratusan unit rumah di berbagai lokasi. Saya menyaksikan barisan rumah panggung cantik di kawasan Lamno, Aceh Jaya, dengan papan bertuliskan “Sara Henderson”. Luar biasa. Perempuan tujuh dasawarsa ini punya semangat-memberi yang meluap. Ade Rostina Sitompul, 67 tahun, juga tampil di barisan depan. Seperti Henderson, penerima penghargaan Yap Thian Hiem 1995 ini memanfaatkan jaringannya di seluruh dunia. Tanpa bendera LSM mana pun, Ade bergerak lincah mulai dari penggalangan dana sampai mengawasi penyaluran bantuan langsung di lokasi yang dituju, termasuk membangun puluhan unit rumah di beberapa tempat. Hanya beberapa hari setelah tsunami, saya bertemu Ibu Ade di Bandara Sultan Iskandar Muda. Sebuah kejutan: menemukan Ibu Ade, lengkap dengan rambut disasak dan aksesoris etnis menghiasi tubuhnya,
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 17 Tahun Para Relawan
di Banda Aceh yang kacau-balau. Bagaimana bisa? Kapan ibu kita ini punya kesempatan berdandan? “Hehe, saya tidak konsentrasi di Banda Aceh,” katanya, “terlalu kacau di sini, kesehatan saya tidak memungkinkan.” Ibu Ade memilih berkiprah di Sigli, Kabupaten Pidie, yang hanya sebagian wilayahnya “tercium” tsunami. “Air bersih masih melimpah dan, yang terpenting, saya masih bisa dandan,” kata Ibu Ade. Senyum lebar mengembang. “Jangan salah. Biar pun dengan dandanan full kayak gini, saya bisa lebih lincah dibanding
Sengaja Hariadi memilih bekerja sendirian. Dia segan bergabung dengan tim dokter di berbagai rumah sakit lapangan yang bertebaran di Banda Aceh, karena merasa lebih bebas bergerak.
pejabat-pejabat kita di lapangan,” katanya sambil tertawa berderai. Tentu saja, Ibu, siapa sih yang meragukan kapasitas pejuang hak asasi manusia ini. Di Sigli, Ibu Ade menyewa ruko kecil. “Di situ kami mengkoordinir bantuan, mengajak anak-anak bernyanyi, macam-macam deh,” katanya. Kegiatan Ibu Ade juga tak
sekedar hangat-hangat tahi ayam. Sampai kini perempuan gagah ini masih kerap mondar-mandir Jakarta-Aceh, turut serta memberi warna cerah pada proses pemulihan pascatsunami. Dari dunia medis, kisah heroik relawan tak kalah melimpah. Salah satunya tentang Hariadi, seorang dokter berusia 40 tahun. Seperti ditulis Koran Tempo, sehari-harinya lelaki ini masih menumpang di rumah mertuanya di Bandung. Setahun yang lalu, Hariadi akhirnya bisa mewujudkan impian membeli rumah baru. Rumah yang betul-betul gres di kawasan sejuk nyaman di Lembang. Pak dokter belum sempat mengisi rumah dengan perabot apa pun, mungkin lantaran kelewat sibuk di klinik. Lalu musibah itu datang. Seperti disentuh malaikat, segenap sel-sel hati Dokter Hariadi bergetar terpanggil. Tanpa ragu, rumah impian itu langsung dijual. “Saudara-saudara kita menderita di Aceh,” kata Hariadi, “sementara saya punya rumah yang tidak saya tempati.” Rumah gres itu terjual dalam tempo dua hari dengan harga Rp 70 juta, hanya separo dari harga semestinya. Berbekal uang ini Hariadi bergegas membeli obat-obatan, makanan, minuman, dan peralatan medis. Sabtu, 30 Desember 2004, dia sudah terbang ke Aceh. Sampai di Banda Aceh, Hariadi bergegas membuka klinik kecil di Mata Ie yang dipenuhi tenda-tenda pengungsi. Saban hari puluhan korban memenuhi klinik itu. Hariadi dengan sigap mengobati korban yang kebanyakan mengalami luka yang mulai membusuk, sakit dada, sakit kepala, nyeri sendi, demam, juga diare. “Mereka yang sakit parah saya beri rujukan ke rumah sakit setempat,” katanya.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 17 Tahun Para Relawan
Sengaja Hariadi memilih bekerja sendirian. Dia segan bergabung dengan tim dokter di berbagai rumah sakit lapangan yang bertebaran di Banda Aceh, karena merasa lebih bebas bergerak. “Saya lebih suka mendatangi kamp pengungsian,” katanya. Tak sedikit pengungsi yang sakit tetapi takut keluar kamp karena masih trauma pada gempa. “Mereka ini yang harus didatangi langsung,” katanya. Selain Hariadi ada pula Gunawan, yang sehari-hari menangani sebuah klinik swasta di Jombang, Jawa Timur. Pada Bersiap menuju Lamno, Januari 2005. (Mardiyah Chamim)
hari ketiga pascatsunami, dia terbang ke Banda Aceh. Klinik dia titipkan pada
teman sejawatnya. Menginjak Banda Aceh, Gunawan bergabung dengan tim medis Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), seluruhnya ada empat dokter dan dua perawat. Mereka mendirikan tenda yang berfungsi sebagai rumah sakit lapangan di Lambaro, Aceh Besar. Siang-malam, mereka menyediakan layanan medis kepada ratusan pengungsi. Luka-luka membusuk lantaran tak segera mendapat penanganan medis merupakan menu sehari-hari yang ditangani Gunawan. Keterbatasan peralatan merupakan persoalan utama Tim BSMI. “Banyak pasien patah tulang yang hanya bisa diberi penyangga dari kardus,” kata Gunawan. Tak sedikit kasus luka terbuka yang tak bisa dijahit karena ketiadaan benang jahit. **** Sepak terjang para relawan terasa mengharukan. Bagi saya, tsunami ikut menambah keyakinan saya bahwa ada banyak orang baik di dunia ini. Ada banyak orang dermawan. Sebuah bukti yang membesarkan hati. Salut yang mendalam mari kita sampaikan pada para relawan yang pada pekan-pekan pertama mengerahkan seluruh tenaganya untuk Aceh. Salut yang teramat dalam lagi mari kita tujukan pada relawan yang bekerja dalam jangka panjang. Mereka bukan hanya bekerja pada hari-hari ketika Aceh menjadi pusat perhatian, tapi masih setia mendampinginya ketika lampu sorot sudah jauh meredup.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 17 Tahun Para Relawan
Relawan jangka panjang memang tak banyak. Belasan anak muda yang tergabung dalam Tim Air Putih, misalnya, sampai hari ini masih menjaga koneksi internet di seantero Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dari Banda sampai Simeuleu. “Anak-anak muda ini tak peduli uang saku. Kami bekali mereka uang seadanya. Di akhir bulan, ternyata uang itu nyaris masih utuh. Rupanya mereka sangat prihatin dan tak mau boros,” kata Protus Tanuhandaru, salah satu koordinator Air Putih. Tak kalah heroiknya adalah relawan Yayasan Puter, WALHI, Jesuit Refugee Service, Uplink, dan beberapa LSM lain yang serius mendampingi masyarakat. Mereka berada di jantung pengungsian dari hari ke hari, tinggal di tenda yang sama, menyantap makanan dari kuali yang sama, merasakan serbuan batalion nyamuk, juga
Dengan melakukan pendampingan, para relawan bisa menggali ide dan gagasan lokal secara optimal.
saling meledek dan menertawakan kekonyolan sehari-hari. Dengan melakukan pendampingan, para relawan bisa menggali ide dan gagasan lokal secara optimal. Pada pertemuan malam hari, setelah semua obrolan dan kerja fisik selesai, biasanya muncul pendapat dan gagasan yang betul-betul aspiratif. Keruwetan persoalan kepemilikan tanah, pembangunan rumah, juga model-model kegiatan ekonomi, dibicarakan dalam pertemuan di malam hari. Dengan cara seperti ini, warga akan senang hati menghidupi program yang mereka putuskan sendiri. Masyarakat tetap giat serta saling menjaga semangat, meskipun program yang mereka pilih tak ada bayaran seperti halnya program cash for works yang hari-hari ini ramai digelar berbagai lembaga donor di Aceh. Dan bukan hanya soal gagasan yang partisipatif, model pendampingan seperti ini juga mengentalkan persahabatan dan membangun rasa kekeluargaan “Pada tengah malam, tak jarang ada yang terbangun dari tidur, lalu menangis sesenggukan mengenang anak-istri yang hilang. Pada saat seperti ini, semua jadi ikut hanyut dalam kesedihan. Kami berangkulan,” kata Rahmat Budiyono, 30, salah satu relawan Puter. Relasi ini sulit terjadi bila relawan tinggal di tempat terpisah – apalagi di rumah yang mewah, berjarak, dan hanya sesekali waktu mengunjungi pengungsi. Peran utama relawan “long-lasting” ini adalah menyediakan hati dan telinga untuk warga. Mereka mendengarkan, membangkitkan motivasi, dan berbagi ketulusan dengan pengungsi. “Kami menjadi teman,” kata Rahmat. Ini gampang dikatakan tapi tak mudah diwujudkan. Pertemanan menghendaki hubungan yang sejajar, tidak ada posisi di atas dan di bawah, tidak ada posisi yang memberi dan yang diberi. Semua berlangsung dua arah.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 17 Tahun Para Relawan
Relasi yang terjalin memang bukan semata relawan-pengungsi. Orang-orang yang telah kehilangan segalanya ini merasa mendapatkan teman, yang jauh lebih bernilai ketimbang sekadar bantuan beras, perahu, atau bahkan rumah tinggal. Relawan juga mendapatkan pengkayaan batin tak ternilai. Jalinan persaudaraan pun terpintal. Bahkan, beberapa warga lokal meminta kawan-kawan relawan Puter untuk menjadi anak mantu. “Adek orang baik, saya akan sangat senang kalau Adek bersedia menjadi mantu saya,” demikian lamaran yang datang. Bukan sesuatu yang mustahil.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 18 Servis Starbuck Ala Air Putih
Servis Starbuck Ala Air Putih
Memasang tower koneksi internet di Banda Aceh. Maret 2005. (Air Putih)
18
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 18 Servis Starbuck Ala Air Putih
Air Putih, nama yang sederhana. mencerminkan ketulusan. Tim relawan i biasa: anak-anak muda, di akhir nyentrik, suka bertualang
Logonya tak berteriak, ni digerakan generator 20-an dan awal 30-an, dan berbagi dengan ses
tapi luar yang ama.
Saya sebut nyentrik karena gaya hidup mereka yang serba asyik dan ringan tangan. Begitu saja mereka meninggalkan karir cemerlang, tanpa pikir panjang untuk ikut serta mengulurkan tangan kepada masyarakat korban tsunami. Tak ada keraguan, bahkan cenderung menjadi kecanduan. Addicted to be in Aceh. Aneh dan sulit dimengerti. Tapi, begitulah mereka. “Kami ini cuma sekumpulan orang bodoh, Mbak,” kata Edwardo Rusfid, Ketua Yayasan Air Putih. “Bukan sok idealis, sederhana saja: kami ini bodoh,” kata Edo, nama panggilannya. Begitulah mereka meledek diri sendiri. Ledekan yang langsung meledakkan perang olok-olok antar personil. Sangat seru dan gayeng. Mungkin bumbu canda antar kawan ini pula yang membuat mereka kerasan dan kecanduan untuk selalu berada di Aceh. Edo mungkin ada benarnya. Dari kacamata orang “normal”, yang dilakukan teman-teman Air Putih memang tergolong bodoh. Pekerjaan mapan lagi keren, sebagai tenaga ahli utama di berbagai perusahaan penyedia jasa internet, bergaji belasan juta rupiah ditinggal begitu saja demi Aceh. Imron Fauzi, salah satu personil Air Putih, misalnya, tidak ragu mengucapkan selamat tinggal pada pekerjaan dan tempat tinggalnya yang nyaman, di Apartemen Taman Rasuna, Kuningan, Jakarta Selatan. Dia menyusul kawan-kawannya yang sudah lebih dulu berada di Aceh. “Apa ndak bodoh itu namanya,” kata Suwandi Ahmad, 28 tahun, seorang relawan Air Putih. Orang-orang nyentrik ini ternyata juga rendah hati. Susah sekali menggali informasi komplit tentang asal-muasal Yayasan Air Putih. Informasi yang muncul cuma sepotong-sepotong lantaran mereka tidak merasa harus menggarisbawahi, taking credit, atas segala yang mereka lakukan. Tak ada penjabaran visi, misi, serta program serba gagah seperti yang biasa dilakukan LSM. “Biasa wae, Mbak. Nggak ada yang luar biasa,” begitu komentar mereka setiap kali saya menanyakan riwayat Air Putih. Baru setelah bergaul rada intensif, ikut merasakan kegilaan mereka, saya mendapatkan cerita yang lumayan komprehensif. ***** Awalnya adalah percakapan di ruang maya, mailing list atawa milis. Komunitas anak muda yang punya keahlian teknologi informasi ini bergabung dalam sebuah milis bernama Air Putih.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 18 Servis Starbuck Ala Air Putih
Kemudian, pada Jumat-Sabtu, 24-25 Desember 2004, selusin personil Air Putih berkumpul di Puncak, Jawa Barat. Menghirup sejuk udara gunung sekaligus membahas potensi bisnis yang akan mereka lakukan. “Kami suka kegiatan outdoor. Panjat tebing, naik gunung, menyusuri gua, ayo aja,” kata Suwandi Ahmad. Berbekal uang patungan, kecintaan pada alam dan petualangan, mereka akan merintis bisnis ekowisata. Petualangan berbasis ekologi. Semua sudah siap. Mereka akan memulai langkah dengan membuat situs di internet. Server, nama domain, dan segala yang dibutuhkan sudah siap. Tinggal
Membantu Aceh, dalam kapasitas mereka, bukanlah dengan obatobatan atau makanan.
meluncur menuju status online di jaringan maya. Minggu malam, 26 Desember 2004, mereka kembali ke Jakarta. Pada saat itulah berita di televisi mengabarkan adanya bencana dahsyat di Aceh. Belum jelas betul korban dan magnitude kerusakan bencana. Semua serba belum pasti. “Kami langsung berchatting-ria. Membahas apa yang bisa kami lakukan untuk Aceh,” kata Anjar Ari Nugroho, lajang berusia 30 tahun. Membantu Aceh, dalam kapasitas mereka, bukanlah dengan obat-obatan atau makanan. “Yang kami bisa adalah membangun jaringan internet,” kata Anjar. Pada hari-hari itu memang informasi tentang Aceh berseliweran serba semrawut. Adanya jaringan internet pastilah akan menguraikan benang ruwet dan menyajikan kondisi Aceh kepada dunia dengan lebih terang. Tanpa diskusi panjang lebar, tanpa menunggu sponsor, anak-anak muda ini sepakat mengalihkan tabungan yang semula dicadangkan untuk memulai bisnis ekowisata ke Aceh. Server, peralatan pemasangan jaringan internet nirkabel, nama domain, semuanya didedikasikan untuk Aceh. Ayo, singsingkan lengan baju. Mereka bekerja menyiapkan peralatan untuk diberangkatkan menuju medan tempur. Tapi ada persoalan lain. Bagaimana dengan ongkos operasional? Bukankah ongkos transportasi dan juga biaya hidup sehari-hari di daerah yang sedang khaos ini sama sekali tidak murah? Namanya orang nyentrik lagi ringan tangan, solusi segera didapat. “Ayo, ayo, kumpulkan kartu rekening anjungan tunai mandiri (ATM) kita semua. Plus nomor PIN sekalian,” kata Anjar. Untuk apa? Tentu untuk ditarik isi uang cash-nya.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 18 Servis Starbuck Ala Air Putih
Selusin ATM terkumpul. Sempat terjadi salah pengertian dalam urusan ini. Sebenarnya yang disepakati untuk disumbangkan adalah uang gaji terakhir. Tapi kawan yang bertugas malah “menguras” isi rekening ATM sampai licin tandas. Habis sudah tabungan sebagian teman. “Untung, ATM saya memang isinya cuma satu bulan gaji. Sisanya sudah masuk ke rekening istri, haha….,” kata Suwandi. Belakangan, acara mengumpulkan kartu ATM ini terulang beberapa kali dalam setahun terakhir. “Kami ini bukan orang
“Kami ini bukan orang LSM, tak terbiasa membuat proposal permohonan dana,” kata Heru Nugroho, mantan Ketua Asosiasi Penyedia Jasa Internet (APJI).
LSM, tak terbiasa membuat proposal permohonan dana,” kata Heru Nugroho, mantan Ketua Asosiasi Penyedia Jasa Internet (APJI) yang menjadi Koordinator Tim Air Putih. Dana operasional hanya didapat dari hasil telepon-menelpon antara Heru Nugroho dan relasi bisnisnya di bidang teknologi informasi. Jaminannya hanya nama baik pribadi dan kesanggupan teman-teman Air Putih bekerja keras.
Ada kelemahan dan keunggulan penggalangan dana model Air Putih. Keunggulannya, gerak di lapangan berlangsung relatif cepat. Kita tinggal menelpon kawan atau relasi bisnis, menanyakan kesediaan mereka untuk membantu, uang ditransfer, dan program berjalan. Bandingkan dengan proses pengajuan proposal kepada lembaga donor. Butuh waktu tiga sampai enam bulan sebelum dana benar-benar cair. Itu pun bila pemberi bantuan tergolong progresif dan tak birokratis. Di wilayah normal, prosedur ketat semacam ini mungkin tak jadi masalah. Tapi, lain halnya di Aceh yang membutuhkan respon bergegas. Pada saat dana turun, setengah atau satu tahun kemudian, kondisi lapangan sudah jauh berbeda dan boleh jadi program yang dimaksud sudah ketinggalan zaman. Ada juga kelemahan model penggalangan dana ala Air Putih. Tak setiap orang bersedia membuka kantong kapan saja dan di mana saja dibutuhkan. Cuma minuman bersoda yang bisa begitu. Walhasil, “dapur” Air Putih tak selalu berasap dan kerap kobol-kobol.“Kalau itu terjadi, ya, kita patungan lagi,” kata Suwandi. Tidak profesional memang. Tapi, begitulah Air Putih. “Namanya juga orang bodoh, Mbak,” katanya sambil tergelak. ******* Kita kembali pada kisah Anjar dan kawan-kawan yang sedang menyiapkan perjalanan menuju Aceh. Kesulitan transportasi di hari-hari awal tsunami mereka atasi dengan menumpang pesawat Hercules milik TNI-AU. Kala itu hanya ada dua seat kosong, sehingga diputuskan hanya Anjar dan seorang kawan, Alfian dari Yayasan Pena Indonesia, yang berangkat. “Saya akan menyiapkan jaringan internet. Alfian menulis berita yang akan disebarkan pada dunia,” kata Anjar. Misi pertama menuju Aceh dimulai.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 18 Servis Starbuck Ala Air Putih
Hari keempat setelah tsunami, 29 Desember 2005, Anjar dan Alfian sampai di Bandara Sultan Iskandar Muda. Barang bawaan mereka alangkah berat, total sekitar 320 kilogram. Mereka berteriak ke sanakemari di tengah kepanikan bandara, “Tolong, ini peralatan komunikasi. Penting. Kalian nggak bisa ngapa-ngapain kalau tak ada alat komunikasi.” Akhirnya, relawan lain ikut membantu. Anjar, Alfian, dan peralatan ratusan kilogram diangkut dengan truk pembawa mayat menuju pusat kota. “Biarin, deh, bekas ngangkut mayat juga nggak apa,” kata Anjar, “Yang penting sampai ke kota.” Paginya, Anjar mulai memasang jaringan internet di halaman kantor BRI, Jalan Sudirman, Banda Aceh. Lokasi ini dipilih karena kebetulan Anjar-Alfian banyak dibantu tim relawan lain yang bermarkas di kantor ini. “Sebenarnya saya tak punya pengalaman memasang jaringan internet nirkabel mulai dari nol, apalagi di medan yang susah. Pada saat itulah saya memahami gunanya buku panduan,” katanya. Hampir seharian Anjar mengutak-atik peralatan. Berulang kali dia memanjat tiang bambu setinggi 18 meter untuk memastikan tower jaringan terpasang sempurna. Tanpa pelindung apa pun. Tidak juga helm pengaman. Nekad. Sore harinya, jaringan internet resmi terpasang di Banda Aceh. Hot spot pertama di kota bencana telah tersambung. Sementara itu, Tim Air Putih yang masih tertingal di Jakarta juga terus bergerak. Sugeng Wibowo, pembuat program dan perancang website, telah menyiapkan situs www.acehmediacenter.or.id. Nah, jaringan internet sudah siap. Situs pun telah tersedia. Komplit. Walhasil, pada hari itu Alfian menulis berita pertama tentang situasi Aceh pascatsunami yang langsung online di jaringan maya. Satu langkah penting telah tercapai. Titik hot spot pertama itu telah membuat Aceh mulai terekspos kepada dunia. Laporan kebutuhan pengungsi mulai lancar dikomunikasikan kepada donor di segala penjuru. Dua kapal induk milik Amerika Serikat yang bersandar di tengah lautan, antara lain Abraham Lincoln dan Pusat Pelayanan Medis USNS Mercy, juga berkomunikasi dengan staf di lapangan melalui jaringan internet yang disiapkan Air Putih. “Kami butuh pil malaria, tolong disiapkan peralatan penyedot air laut dari paru-paru, tolong dikirim helikopter untuk evakuasi pasien,” demikian informasi yang bertukar deras. Informasi yang menyelamatkan nyawa ribuan orang. Selanjutnya, kawan-kawan Air Putih yang lain datang susul-menyusul. Edwardo Rusfid, Sugeng Wibowo, Valens Riyadi, Sholahudin, Bidin, Imron Fauzi, Ade, Okta, Heru, Sulis, Hengki, dan lain-lain. Bersamasama mereka memasang jaringan internet di tempat-tempat lain. Dua lokasi utama menjadi pilihan. Pertama, Pendopo Gubernuran, di Peuniti. Kedua, markas sementara Tim Relawan Palang Merah
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 18 Servis Starbuck Ala Air Putih
Indonesia (PMI), di Leung Bata, Banda Aceh. Kedua titik ini merupakan melting point tempat ribuan relawan dan wartawan bertemu, bertukar info, dan bila perlu berbagi tugas. Wartawan termasuk yang paling diuntungkan hasil kerja Air Putih. Termasuk juga saya yang hari-hari itu ditugasi membuat catatan harian untuk dimuat di Majalah Tempo dan Koran Tempo. Tanpa koneksi internet di pendopo, mustahil mengirim berita ke Jakarta.
Sampai sebulan sesudah tsunami, para relawan dan wartawan tak paham betul siapa penyedia internet gratis ini.
Layak dicatat pula, Tim Air Putih tak seperti tim relawan lain yang bekerja dengan bekal spanduk, jaket, atau kaos gagah bertuliskan nama organisasi dengan huruf mencolok. Sampai sebulan setelah tsunami, para relawan dan wartawan tak paham betul siapa penyedia jaringan internet gratis ini. Mereka hanya duduk, buka laptop, mengetik, mengakses internet, dan mengirim foto atau berita. Bila ada kesulitan dan hambatan jaringan, biasanya mereka hanya bisa menjerit dan menoleh pada anak-anak muda lusuh yang berkeliaran di Pendopo Gubernuran. “Nah, itu anak-anak yang tahu internet. Minta bantuan mereka saja,” kata wartawan. Mereka tidak paham bahwa anak-anak muda lusuh inilah otak di balik tersedianya jaringan internet yang mereka nikmati. ****** Niat Air Putih diapresiasi banyak kalangan. Perusahaan teknologi informasi, Intel Corp, IBM, Hewlett Packard, Indonet, Yogya, bersedia memasok peralatan yang bukan main mahalnya. Cisco System Indonesia membantu pengadaan boat untuk menjangkau lokasi-lokasi yang sulit diraih dengan transportasi darat. Total jendral, peralatan yang dipasok berbagai perusahaan ini bernilai US$ 5 juta, baik berupa laptop, menara pemancar jaringan nirkabel, juga berbagai peralatan pendukung. Ampun, pembaca, saya kurang paham peralatan apa saja yang dimaksud serta bagaimana cara kerjanya. Tim Air Putih berulang kali memberi penjelasan tetapi saya yang dodol bin gagap teknologi ini tetap belum juga mengerti. Yang jelas, peralatan komplit ini berguna untuk memasang koneksi internet dari Simeuleu sampai Banda Aceh, dari Meulaboh sampai Nias. Lalu, siapa operatornya? Tim Air Putih kemudian mengundang relawan lain yang nekad yang mau bersusah-susah berkeliling ke berbagai tempat, dari Banda sampai Simeuleu, untuk memasang perangkat koneksi internet. Dan, bum!, melalui alamat email
[email protected], undangan Air
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 18 Servis Starbuck Ala Air Putih
Putih mendapat sambutan luas. Puluhan anak muda mendaftar sebagai relawan. Total ada 70 relawan tapi yang bertahan terus ada 24 orang, sebagian besar mahasiswa dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mereka, relawan Air Putih, tidak rewel meributkan uang saku, asuransi perjalanan, bahkan tak peduli minimnya peralatan yang terkait keselamatan anggota tim. Kerap kali mereka harus menguras uang pribadi untuk keperluan operasional. Jika diminta pulang kampung, misalnya untuk merampungkan studi yang tinggal satu langkah terakhir, anak-anak muda ini dengan santai menjawab: “Masiyo aku mbambung nang Aceh, sampeyan katene lapo?” Makna kalimat dalam bahasa Suroboyoan itu kuranglebih: “meskipun saya menggelandang di Aceh, sampeyan mau apa?” Waduh, sejenis bonek, bondo nekad, rupanya. Pernah saya berjumpa dengan seorang relawan Air Putih terjatuh dari atap bangunan kantor LSM yang hendak dipasangi peralatan koneksi internet nirkabel. Kakinya dibalut gips, tampaknya ada patah tulang yang serius. “Atap yang kami naiki sudah rapuh,” kata Anjar. Tapi, orang-orang muda itu tak peduli dan terus bekerja. “Sudah resiko, Mbak,” katanya. Termasuk yang paling berkesan adalah pemasangan jaringan internet nirkabel di Desa Krueng Raya, Aceh Besar, tepatnya di Sekolah Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA). Satu bulan penuh lamanya proses pemasangan instalasi internet tak kunjung berhasil. Pohon kelapa setinggi 20 meter sudah dipanjat berulang kali, tapi sinyal yang dipancarkan dari menara Universitas Syiah Kuala belum juga didapat. Apa yang salah? Apakah cara memanjat yang keliru? Apakah Nekat, tanpa peralatan pengaman. (Air Putih)
pemasangan menara harus digeser beberapa sentimeter ke kiri? Ke kanan?
Setelah berbagai eksperimen gagal, disimpulkan bahwa menara yang diperlukan harus jauh lebih tinggi dari pohon kelapa. Maka, didatangkanlah menara khusus berbentuk segitiga setinggi 30 meter dari Jakarta. Begitu menara dipasang, koneksi internet di sekolah ini langsung tok-cer. Puluhan siswa yang belajar di ruang kelas dari bambu, bilik gedhek, bersorak riang: “Asyik….” Kini mereka terhubung dengan dunia virtual.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 18 Servis Starbuck Ala Air Putih
**** Keterbatasan dana dan fasilitas memang menu sehari-hari bagi Air Putih. Tak ada tiang menara yang canggih, pohon kelapa pun boleh. Tak ada mobil angkutan, mereka sendiri yang mengangkut peralatan. Tak ada kecil hati dalam kamus anak-anak muda nyentrik ini. Di tengah keterbasan dana dan fasilitas, mereka terus menelusuri Banda, Lamno, Calang, Simeuleu, juga Nias. Supaya ngirit, mereka tak menyewa kendaraan tapi menumpang helikopter tentara atau pesawat yang dikoordinir badan PBB. Ada resikonya. “Kami sering kesasar,” kata Anjar. Suatu hari, dua orang kawan dari Air Putih mau ke Meulaboh. Helikopter yang ditumpangi mendarat di sebuah landasan
Catatan paling muktahir, November 2005, ada 45 titik koneksi internet nirkabel yang sudah terpasang di seantero AcehNias.
darurat. “Is it Meulaboh, Sir?” tanya Lukman dari Air Putih. “Yeah, yeah, it is,” jawab si pilot. Segera Lukman turun dari helikopter. Lima menit kemudian baru ketahuan tanah yang mereka darati bukan Meulaboh tetapi Teunom, kota kecil sebelum Calang. Mau balik tak mungkin, heli tumpangan sudah terbang jauh. Walhasil,
Teunom mendapat akses internet dan Meulaboh malah lepas dari jangkauan Air Putih. Kerja keras tim Air Putih akhirnya berbuah. Titik demi titik koneksi internet tanpa kabel sudah terpasang di seantero Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Catatan paling mutakhir, November 2005, ada 45 titik koneksi internet nirkabel yang sudah terpasang di seantero Aceh-Nias. Wilayah yang dihantam tsunami ini menjelma menjadi surga internet nirkabel. Wireless connection. Sambil menyeruput isi cangkir kopi yang kemebul di kedai, yang berlokasi sampai radius 80 meter dari menara hot spot (berkat piranti Pre-WIMAX sumbangan Intel Corp.), kita bisa membuka laptop, mengobrol, chatting, dan mengirim surat elektronik kepada siapa pun di delapan penjuru angin. Kenikmatan ala Starbuck Coffee. Hingga kini, puluhan kantor LSM dan lembaga donor, baik lokal maupun internasional, stasiun radio, lembaga adat, sekolah, telah menikmati jaringan internet nirkabel yang dirintis Air Putih. Bahkan, Kantor Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga telah menikmati fasilitas yang sama. Teman-teman mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, juga termasuk yang bersyukur dengan adanya jaringan ini. Tak sedikit mahasiswa yang kemudian
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 18 Servis Starbuck Ala Air Putih
menuangkan pikirannya dalam blog, catatan harian online, berkat kemudahan akses internet. Salah satu yang cukup terkenal adalah www.tintamerah.blogspot.com. Blog milik Alex, mahasiswa Universitas Syiah Kuala, ini cukup ekspresif dan eksploratif dalam gagasan dan pengamatan situasi Aceh pascatsunami. Dan jangan lupa pula, kinerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias bakal makin lelet bila tidak didukung fasilitas jaringan internet nirkabel rintisan Air Putih. Tanpa jaringan internet, Pak Kuntoro dan kawan-kawan harus bekerja ekstra keras mendatangi berbagai titik Aceh-Nias yang terentang ribuan kilometer dengan tingkat kesulitan alam yang tinggi. Hebatnya, semua layanan tersedia gratis. Akses pun tak terbatas. Silakan online sepanjang waktu, tak ada pungutan apa pun. Terlintas di benak saya, mengapa Air Putih tak mengenakan ongkos sekedarnya? Bukankah lembaga ini selalu kembang-kempis memikirkan dana operasional?
Lembaga internasional pengguna jasa internet yang dirintis Air Putih berlagak seolah sudah selayaknya mereka menikmati fasilitas gratis, seratus persen gratis.
Suatu kali, Protus Tanuhandaru berkisah, “dapur” Air Putih sama sekali tidak berasap. Usai berdiskusi, tim memutuskan untuk menarik sejumlah biaya internet terutama bagi pengguna kelas kakap, yakni LSM internasional dan lembaga donor. “Sebenarnya mereka punya pos dana ratusan ribu dolar untuk fasilitas internet,” kata Protus. Ini terbukti di beberapa tempat yang tak dijangkau Air Putih, seperti Meulaboh, ada organisasi internasional yang memasang sendiri jaringan internet dengan anggaran ribuan dolar. Jaringan internet model begini tidak dibagikan kepada lembaga dan lapisan masyarakat lain tetapi hanya sekadar dinikmati si pemilik. Jadi pada banyak organisasi yang menikmati aliran internet gratis Air Putih, kata Protus, “Wajar, dong, kalau kita tarik ongkos sedikit. Paling ndak sampai sepuluh juta rupiah sebulan.” Permintaan ini sebenarnya wajar saja. Bandingkan dengan fasilitas hot spot di kafe-kafe Jakarta yang baru bisa dimanfaatkan bila kita membeli kartu voucher senilai Rp 25.000 untuk setengah jam pemakaian. Eh, tak dinyana, permohonan yang wajar dan rendah hati ini dicuekin. Lembaga internasional pengguna jasa internet yang dirintis Air Putih berlagak seolah sudah selayaknya mereka menikmati fasilitas gratis, seratus persen gratis. Jadi, “Sebenarnya kita, anak-anak kere ini, yang menyubsidi lembaga gede-gede itu,” kata Protus. Mudah-mudahan, setelah membaca buku ini lembaga-lembaga internasional berkantung tebal itu mau berbagi beban, sedikit meringankan beban Air Putih. ****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
8
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 18 Servis Starbuck Ala Air Putih
Sesungguhnya, bukan sekedar dana operasional yang merisaukan Air Putih. Ada yang lebih mendasar dari urusan dapur. Masa depan dan kelangsungan koneksi internet di Aceh-Nias masih menjadi tanda tanya besar. “Marai ngelu. Bikin pusing,” kata Suwandi. Masalah ini muncul bukan karena tak direncanakan dari awal, tapi lantaran ada beberapa skenario yang berantakan. Semula
Sayang, GSML berubah pikiran. Perusahaan ini batal menyumbangkan kabel optik.
Global Marine Satelit System Limited (GSML), perusahaan asal Inggris, berkomitmen membantu penyediaan kabel optik yang menghubungkan Medan, Lhok Seumawe, Banda Aceh, Calang, dan Meulaboh. Pada tiap kota, internet dari jaringan kabel optik akan dipancarkan melalui akses Alvarian Access VL bantuan Intel Corp. Dengan cara ini, seluruh Medan-Aceh-Nias
akan menjadi kawasan paling progresif dalam hal koneksi internet dibanding kota mana pun di Indonesia. Sayang, GSML berubah pikiran. Perusahaan ini batal menyumbangkan kabel optik. Kontan skenario menjadikan Aceh-Nias sebagai surga nirkabel menjadi berantakan. Rencana harus ditata ulang. Edwardo Rusfid memberi penjelasan tentang rencana tersebut. Pertama, Air Putih akan melobi Intel Corp untuk memberikan 40 unit piranti Pre-WIMAX tambahan. Perangkat tambahan ini untuk menjamin terpancarnya jaringan internet nirkabel yang menjangkau Aceh-Nias-Medan. Langkah kedua. Air Putih telah dan sedang melakukan pendekatan serius kepada masyarakat pengguna internet di seluruh Aceh-Nias. Mereka terdiri dari perguruan tinggi, radio komunitas, LSM, lembaga donor, pengusaha penyedia jasa layanan internet (internet service provider), dan pengusaha warung internet. Kelompok konsumen ini akan diminta untuk membentuk semacam konsorsium. Tugasnya: mengelola jaringan yang sudah ada dan, syukur-syukur, bila ada tambahan jaringan dari Intel. “Supaya infrastruktur yang sudah ada tidak sia-sia,” kata Edo. Rambu-rambu penggunaan, menentukan mana yang gratis dan mana yang harus dikenai tarif, tergantung pada kesepakatan konsorsium. Dengan cara ini, 45 titik hot spot di Aceh-Nias tetap berfungsi dan dipelihara bersama oleh masyarakat. Di samping itu, peran pengusaha lokal, ISP dan warnet, juga tetap berjalan. Tinggal atur saja, mana yang untuk bisnis dan mana yang untuk pelayanan masyarakat.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
9
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 18 Servis Starbuck Ala Air Putih
Lalu, peran Air Putih? “Program volunter kami hanya satu tahun dan resmi selesai pada Desember 2005,” kata Heru Nugroho. Tapi, jika dibutuhkan, Air Putih tak keberatan menempatkan beberapa orang sebagai konsultan. “Gratis. Paling hanya minta dibantu ongkos transportasi kawan-kawan. Tidak banyak. Kami tidak akan menerapkan tarif ribuan dolar seperti halnya konsultan asing,” kata Heru Selanjutnya adalah langkah ketiga. Edo menekankan bahwa langkah ini hanya diambil jika konsorsium pemakai internet tak berjalan efektif dan apabila Intel Corp tidak bersedia menyumbang Pre-WIMAX tambahan. “Kami akan meminta BRR untuk menanggung pengadaan pemancar tambahan di 40 kota di Aceh-Nias. Masyarakat yang membutuhkan internet bisa terhubung dengan pemancar ini,” katanya. Tapi, sekali lagi, langkah meminta BRR ini hanya digelar bila konsorsium masyarakat pengguna internet tak berjalan lancar. Kata Edo, “Kami ingin jaringan internet tetap menjadi milik masyarakat, bukan pemerintah.” Mudah-mudahan, pening kepala pengurus Air Putih segera reda. Mudah-mudahan pula masyarakat Aceh-Nias mafhum bahwa jaringan internet yang telah ada sangat layak untuk dirawat dan “diopeni” sepenuh hati. Ada banyak alasan untuk hal ini. Seperti yang saya tulis dalam bagian prolog, koneksi internet punya andil besar dalam akselerasi perubahan dan semangat transparansi menuju pemulihan Aceh yang lebih baik.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
10
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 19 Ketika Lampu Sorot Meredup
Suasana di tenda pengungsian Seulimum, Aceh Besar, Februari 2005. (Nefransjah)
Ketika Lampu Sorot Meredup
19
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 19 Ketika Lampu Sorot Meredup
Ya y a s a n P u t e r bisa dibilang mas ukuran kegiatan LSM, begitu P u t e r b e r d i r i 1 9 9 7 d i B o g o r, d i Puter yang
ih muda. Masih bau kencur untuk k o m e n t a r s e o r a n g a k t i v i s s e n i o r. sebuah rumah kontrakan di Gang kemudian menjadi nama yayasan.
Saya
kerap meledek teman-teman: kok tidak kreatif mencari nama. Kosa kata “puter” tak mengisyaratkan visi dan misi apa pun selain sekadar gerak sirkuler yang terus-menerus. Seperti halnya Air Putih, Yayasan Puter tidak punya logo yang berteriak. Puter memilih untuk bersahaja, berkonsentrasi pada program pendampingan masyarakat, seperti di Ujung Kulon, Banyuwangi, sebelum akhirnya ke Aceh. Tak seperti LSM lain yang berfokus pada kegiatan advokasi, program Puter sepi dari liputan media massa. Hasil yang dicapai dari proses pendampingan pun sulit didefinisikan secara hitam-putih, meskipun bukan berarti tak bisa dievaluasi. Kesederhanaan Puter sekali lagi tampak di Desa Lamsenia, Leupung, Aceh Besar, tempat selusin relawan berkantor. Markas ini bukan kantor mentereng, tapi tenda regu yang serupa dengan tendatenda pengungsi di sampingnya. Pada kain tenda ditempel kutipan dari Lao Tse, filsuf Cina yang hidup sekitar abad ke-7 sebelum masehi, yang menjadi sumber semangat bagi teman-teman. Datanglah kepada rakyat, hidup bersama mereka, belajar bersama mereka, cintai mereka, mulai dari apa yang mereka tahu, bangun dari apa yang mereka punya, tapi menjadi pendamping yang baik adalah, ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, rakyat berkata: “Kami sendirilah yang mengerjakannya.” Awalnya, Puter berangkat ke Aceh dengan bendera Tim Relawan Tempo yang saya koordinir, awal Januari. Aktivitas kami bermula dari evakuasi, pengumpulan data, membantu pelayanan medis, sampai distribusi bantuan ke wilayah terisolasi seperti Lamno dan Calang. Usai bekerja dua pekan, Tempo tidak lagi memberi dukungan operasional pengiriman relawan. Saya sempat kecewa tapi kemudian datang permakluman. Sebagai media, memang bukan kompetensi Tempo untuk bekerja pada tataran praktis mengirim relawan ke negeri antah-berantah.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 19 Ketika Lampu Sorot Meredup
Setelah program Tim Relawan Tempo usai, kami pulang kembali. Saya kembali pada kehidupan Jakarta, teman-teman kembali ke sejuknya Bogor. Ambil napas, beristirahat, meluruskan otot-otot yang melungker kesana-kemari, nonton bioskop –film apa saja, yang penting nonton dan menikmati aura gedung bioskop yang sudah punah di Aceh, juga menyantap makanan yang tak ada atau jarang kami temui di Aceh. Seorang kawan bercerita, dia amat menikmati pesona Jakarta yang penuh gadis-gadis berambut hitam alami, terburai indah. “Di Aceh,” katanya, “semua perempuan berambut kerudung, hehehe.” Tak lama bersantai, teman-teman Puter merancang program pendampingan jangka panjang. Puter ingin terus bekerja, biar pun lampu sorot untuk panggung Aceh telah meredup. Tim kecil ini tak mau sekadar membagi bantuan
Kelak pada akhir program, masyarakat yang didampingi dengan bangga bisa berkata:”Kami bangkit dengan kekuatan sendiri.”
dalam dua atau tiga pekan masa darurat dan kemudian pulang kandang dan mengucapkan salam perpisahan kepada semua orang. Saya juga kembali bergabung dengan mereka meskipun bukan sebagai tim inti yang mendampingi masyarakat secara total. Saya hanyalah bagian dari tim pendukung dan seksi repot ke sana-kemari. Tentu saja kembali ke Aceh menuntut perencanaan yang jauh lebih matang, terutama karena ada satu cita-cita cukup ambisius. “Kita ingin ada suatu wilayah di Aceh, tak perlu luas, tapi kita dampingi mulai dari masa kritis sampai warganya bisa pulih dengan penuh harga diri,” kata Rezal Kusumaatmadja, salah satu pendiri Puter. Napas ekstra panjang pasti dibutuhkan untuk program semacam ini. Orang Betawi bilang, kudu kagak ada matinye. Rentang waktu yang dibutuhkan bukan mustahil sampai dua tahun setelah tsunami. Sama sekali bukan perkara mudah. Satu atau dua tahun kemudian pasti banyak kepentingan yang bertarung hebat. Korupsi, berbagai jenis silang sengkarut, bukan mustahil akan pekat mewarnai kehidupan Aceh di tahun-tahun mendatang. Pada saat yang sama, Puter wajib terus menjaga api voluntarisme dan spirit kerja pendampingan ala Lao Tse. Puter berniat mengawali perjalanan panjang ini dengan mendampingi warga di satu wilayah kecil, cukup satu kampung atau satu desa atau satu kecamatan jika sanggup. Memang bukan luasan wilayah yang jadi penting, tapi totalitas dan kesungguhan melibatkan masyarakat lokal sepenuhnya, menempatkan mereka sebagai pemain utama. Kelak, pada akhir program, masyarakat yang didampingi
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 19 Ketika Lampu Sorot Meredup
dengan bangga bisa berkata: ”Kami bangkit dengan kekuatan sendiri.” Relawan pendamping hanya berperan seperti katalis dalam reaksi kimia. Terus-terang, semula saya kurang percaya diri dengan target ambisius itu. Kepala saya berdenyutdenyut. Apa bisa saya bergabung dalam perjalanan yang demikian jauh? Waktu, energi, emosi, biaya yang tak sedikit pastilah tercurah untuk program pendampingan dengan semangat partisipatif ini. Apa mungkin saya sanggup? Karlina Supeli, aktivis Suara Ibu Peduli, meyakinkan saya
“Pendampingan adalah proses dua arah. Yang terjadi nanti adalah rasa saling menguatkan, antara pengungsi dan relawan,” kata Karlina yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya.
bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut adalah“sanggup”. “Pendampingan adalah proses dua arah. Yang terjadi nanti adalah rasa saling menguatkan, antara pengungsi dan relawan,” kata Karlina yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Belakangan, saya menemukan kebenaran ucapan Karlina ini pada sosok kawan-kawan Puter yang intensif mendampingi masyarakat.
Perbincangan dengan Pak Sarwono Kusumaatmadja, yang kami sebut dengan sapaan akrab SK, juga meyakinkan saya bahwa Puter adalah kawan yang tepat untuk bergabung. “Mereka anak-anak baik. Bekerja tidak neko-neko,” kata Pak Sarwono. Singkat kata, dengan menimbang sana-sini, saya memutuskan bergabung dengan Tim Puter. Pada keberangkatan kali kedua ini, Tim Puter lebih rapi. Seluruh “pasukan” disuntik vaksin kotipa terlebih dulu. “Kalian harus vaksin, biar saya kontak klinik Departemen Kelautan dan Perikanan,” kata Sarwono. Oke, Pak. Tapi, pembaca, jangan berharap kelewat banyak, saya hanya bagian dari tim pendukung yang sesekali datang ke Aceh membantu ini dan itu. Selebihnya saya hidup normal di Jakarta. Nonton film, belanja, bertemu pacar, makan enak, sambil sesekali melobi berbagai lembaga donor. Bagian paling susah, yakni hidup bersama, totally live in, sepanjang hari dengan pengungsi biarlah menjadi porsi kawan-kawan Puter. Anak-anak muda yang terlibat dalam Yayasan Puter, seperti halnya Air Putih, juga disatukan dua semangat: kemanusiaan dan petualangan. Hampir semuanya pernah tergabung dalam organisasi pecinta alam. Gunung, tebing terjal, hutan rimbun, lautan luas, adalah sumber ilham mereka. “Kami di
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 19 Ketika Lampu Sorot Meredup
sini seperti main-main saja. Jambore. Kemping satu tahun penuh,” kata Franky, 23, asal Tegal yang telah bertahun-tahun merantau ke Bandung. Akhir Agustus lalu, ketika angin musim barat sedang seru-serunya, teman-teman Puter masih setia di lapangan. Hujan deras berangin kencang datang saban hari. Tenda-tenda kebanjiran dan terapung seperti perahu kertas. Hampir setiap hari, ransel perbekalan mesti diungsikan ke tempat lebih tinggi. “Kami sempat semalaman tidur dengan memangku komputer. Data-data pengungsi di dalamnya jauh lebih berharga. Biar saja kaki ini pegal dan kram,” kata Franky. Harus saya akui, luar biasa keteguhan Tim Puter. Lebaran lalu sebagian mereka tidak mudik bertemu keluarga tetapi bertahan di Aceh. Ikut merasakan Idul Fitri pertama setelah tsunami. “Lebih mengharukan lebaran di sini, Mbak,” kata Rahmat Budiyono, salah satu relawan Puter.
Puter harus dipacu untuk menggalang dana yang lebih profesional.
**** Tak ada gading yang tak retak. Lepas dari dedikasi dan ketulusan teman-teman Puter, ada satu keberatan saya bekerja bersama tim ini: dukungan keuangan yang amburadul. Rupanya Puter tidak terbiasa melakukan penggalangan dana untuk kegiatan berjangka panjang. Ini sempat membuat saya kalang-kabut, perut terasa diaduk, kepala nyut-nyutan, memikirkan kawan-kawan di lapangan yang kekurangan logistik. Situasi yang kami hadapi agak mirip dengan persoalan Yayasan Air Putih. Bedanya, Air Putih masih punya figur seperti Heru Nugroho, Suwandi Ahmad, Edwardo Rusfid, serta kakak-beradik Monica dan Protus Tanuhandaru yang giat memaksimalkan relasi dengan tokoh dari berbagai latar belakang. Sedangkan Puter hanya dimotori kawan-kawan pekerja keras di lapangan, yang nota bene bukan ahli lobi. Pada awal-awal kegiatan, saya sempat hanyut dengan semangat empat-lima menutup sebagian biaya operasional tim dengan isi kantung pribadi. Lama-lama, saya sadar, ini tindakan tidak sehat. Lagipula, kantung saya yang tak seberapa dalam cepat mengering. Puter harus dipacu untuk menggalang dana yang lebih profesional. Syukurlah, melewati pertengahan tahun Puter mendapat dukungan dana yang lumayan dari beberapa lembaga donor. Kini, napas Puter bisa jauh lebih panjang. ****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 19 Ketika Lampu Sorot Meredup
Kembali pada kiprah Puter di lapangan, pada 5 Februari 2005 setelah merapatkan barisan, Tim Puter berangkat kembali ke Aceh. Seperti perjalanan yang pertama, kali ini kami juga bergandeng tangan dengan Jesuit Refugee
“Lebih baik kami tak dikenal tapi bekerja nyata ketimbang dikenal luas tapi tak bekerja,” kata Romo Sudri.
Service dan Romo Sudrijanta. Ada alasan kuat mengapa kami memilih bermitra dengan JRS. Lembaga ini sudah sejak tahun 2001 mendampingi masyarakat korban konflik di Aceh. Romo Sudrijanta, misalnya, telah keluar-masuk memberi pelayanan medis maupun bantuan fisik. Lembaga ini juga memilih bersikap low profile bukan
gagah-gagahan mengerek bendera. Seperti Puter, logo JRS sederhana dan terkesan reflektif. “Lebih baik kami tak dikenal tapi bekerja nyata ketimbang dikenal luas tapi tak bekerja,” kata Romo Sudri. Istilah jesuit juga menjadi sebagian alasan bagi JRS untuk tetap low profile. “Tak bijaksana mengibarkan bendera jesuit di tengah masyarakat Aceh yang muslim. Kami menghormati itu,” kata Romo. Walhasil, di lapangan, JRS lebih banyak dikenal sebagai Jaringan Relawan Sosial. Jam terbang yang lumayan, kaki yang kuat di Aceh, dan jaringan kerja yang cukup luas menjadikan JRS sebagai mitra yang cocok untuk melakukan program pendampingan masyarakat. Kebetulan niat JRS juga sejalan dengan ambisi Puter: tak mau semata-mata membagikan logistik tetapi juga ingin mendampingi masyarakat agar mampu bangkit dengan bermartabat. Bersama JRS kami memilih lokasi pendampingan. Apa boleh buat, jumlah kami cuma sedikit, mustahil mengambil wilayah yang luas. Enam lokasi kami pilih, yakni Desa Krueng Tunong (Lamno, Aceh Jaya), Desa Jambomase (Lamno, Aceh Jaya), Lhok Krueng Raya (Aceh Besar), Desa Lamsenia (Aceh Besar), dan Pulo Breueh (Pulo Aceh). Dua puluh relawan Puter tinggal disebar di enam lokasi tersebut, sebagian bertugas bergantian dan susul-menyusul. Sementara itu, Taryono Darusman dan Bambang Eko Budiyanto dipercaya sebagai koordinator lapangan. Sejak itulah Tim Relawan Puter dan JRS tinggal di pengungsian –tidur di tenda, makan dari kuali dan piring yang sama, bersama pengungsi. Tak ada jarak antara yang dibantu dan membantu agar, kata Taryono,–“tumbuh saling percaya.” Mungkin ini juga yang kemudian menumbuhkan perasaan saling menguatkan dari dua arah, persis seperti kata Mbak Karlina. Masyarakat yang muram, tenggelam dalam depresi kehilangan harta dan orang-orang terkasih, bisa ditulari semangat baru oleh tim relawan. “Kalau tak ada teman-teman, kami mungkin hanya melamun saja setiap hari,” kata Panglima Laot Lhok Krueng Raya Zakaria Achmad.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 19 Ketika Lampu Sorot Meredup
Panglima Zakaria begitu terharu ketika kami sama-sama membangun meunasah. Bangunan yang lama telah hancur diterjang ombak. Lelaki
separo
baya
ini
berterimakasih pada JRS dan Puter yang mendampingi Krueng Raya di hari-hari sulit. “Seandainya nanti kalian ikut pemilu,” katanya, “saya pasti akan kerahkan warga untuk mencoblos JRS dan Puter.” Air mata mengambang di mata lelaki gagah Salat berjamaah setelah menguburkan mayat, pemakaman massal Lambaro, Januari 2005.(Air Putih)
berkulit legam ini. Jalan politik agak jauh dari impian kami. Namun itulah ekspresi kepercayaan dari
seseorang yang telah kehilangan seorang anak, kedua orang tua, kedua mertua, dan seluruh keponakannya, sekaligus dalam tempo singkat. Dari sisi lain, kerja keras pengungsi yang berusaha bangkit dari titik nadir juga memberi injeksi semangat kepada tim relawan yang tidak jarang merasa kecapaikan, lelah, lesu, “bete” atau kangen rumah. “Saya belajar menghargai hidup dari para pengungsi ini,” kata Achmad Sobirin, 28 tahun, teman Puter yang kebagian tugas mendampingi masyarakat Krueng Raya. Achmad kemudian direkrut JRS untuk lebih intensif menangani program di Aceh Besar. **** Memang, pendampingan ala Puter ada konsekuensinya. Jika tak dijalankan dengan bijak, masyarakat justru akan tergantung pada keberadaan relawan. Begitu relawan pergi atau mengendorkan proses pendampingan, warga seperti kehilangan daya untuk bangkit dengan kekuatan mereka sendiri. Karena itu, seperti kata Lao Tse, sukses pendampingan bukanlah diukur dari situasi sekarang tetapi bertahuntahun kemudian ketika warga yang telah bangkit dari titik nol dan berkata dengan bangga, “Kami sendirilah yang mengerjakannya.” ****
.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 20 Krueng Raya, Tanah Malahayati
Memperbaiki kapal yang rusak, Krueng Raya, Agustus 2005 (Dwi Setyo Irawanto)
Krueng Raya, Tanah Malahayati
20
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 20 Krueng Raya, Tanah Malahayati
Desa Meunasah Keudee, Lhok Krueng Raya. Perkampungan di tepian Te l u k M a l a h a y a t i i n i s a l a h s a t u f a v o r i t s a y a d i a n t a r a b e b e r a p a lokasi pendampingan JRS dan Puter: mereka cepat sekali bangkit.
Dari sebuah kampung yang semula habis, rata dengan
tanah, dengan cepat Krueng Raya mencoba berdiri tegak, “menyembuhkan” lukanya sendiri. Hanya sebulan setelah
Kemampuan self healing ini tentu tidak jatuh dari langit.
tsunami, para nelayan telah kembali melaut, pelabuhan mulai berdenyut, pasar, kedai, pondok-pondok pengolahan ikan dan hasil laut mulai mengepul kembali. Kemampuan self healing ini tentu saja tidak jatuh dari langit. Sejauh yang saya lihat, Krueng Raya memiliki paling tidak empat modal keunggulan sekaligus. Pertama: pemimpin yang adil dan bersih, tidak mementingkan diri sendiri. Kedua, warga yang tangguh dengan etos kerja yang patut dibanggakan. Ketiga, relawan yang berdedikasi menjadi pendamping masyarakat, dan empat, lembaga donor bersedia mengikuti kehendak warga. Peran aktif pemerintah, mohon maaf, tidak termasuk dalam keunggulan yang saya amati karena memang tidak tampak di lapangan. Keempat modal tadi sungguh merupakan persenyawaan ideal yang saling mendukung. Di daerah lain, keunggulan seperti ini bukannya tidak ada– pemimpin yang adil dan mengedepankan kepentingan warga, misalnya, ada di Lampuuk, warga dengan semangat kerja seperti pejuang empat-lima, banyak di Lamsenia– tapi jarang, bahkan mungkin tak ada, desa yang beruntung punya keempat-empatnya sekaligus, seperti Krueng Raya. Ada satu lagi faktor pendukung yang tak kalah penting: soal sejarah. Turun-temurun warga Krueng Raya terus berusaha untuk menjaga kelangsungan marwah tanah Malahayati. Tahun 1599, Laksamana Malahayati memimpin 2.000 inong balee (janda pahlawan) berperang melawan Belanda. Semangat ini rupanya mendarah daging hingga sekarang, “Ada tugu kecil untuk memperingati Malahayati di dekat masjid. Suatu saat nanti, bila situasi sudah tenang, kami akan perbaiki,” kata Panglima Laot Zakaria. Dan tak hanya Malahayati, telah berabad-abad Krueng Raya dikenal sebagai bandar nelayan yang riuh. Pengunjung dari berbagai titik penting dalam peta perdagangan dunia, seperti Kota Raja Banda Aceh dan Gujarat, India, singgah di perairan ini. Kebanggaan akan sejarah inilah yang membuat warga
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 20 Krueng Raya, Tanah Malahayati
merasa wajib menjaga Krueng Raya sebagai kota nelayan. Karena itu, mudah dipahami pula jika warga menolak keras recana yang sempat digagas pemerintah untuk memindahkan mereka hingga tiga kilometer dari garis pantai. Pindah ke gunung dan menjadi petani? No way lah yauw. **** Krueng Raya merupakan “ibukota” teri nasi di Propinsi Aceh. Di teluk inilah, teri putih lembut nan gurih itu dijaring, direbus, dijemur dan kemudian diangkut dengan truk ke Banda Aceh, Medan bahkan Jakarta. Sebelum tsunami, tak kurang dari 45 palung (bagan apung), masingmasing dilengkapi jaring seluas satu kilometer persegi, beroperasi di Krueng Raya. Di hari-hari itu, puluhan ton teri dikirim ke Medan. Di
Menjemur ikan, Krueng Raya, Agustus 2005. (Dwi Setyo Irawanto)
sanalah cap “Teri Medan” diberikan. Padahal, “Aslinya, teri nasi itu berasal dari Krueng Raya,” kata Panglima Zakaria. Kisah kejayaan teri nasi untuk sementara memang berakhir, sejak tsunami. Semua bagan apung, total jendral bernilai sekitar Rp 9 miliar, dalam sekejap berubah jadi puing dan rongsokan. Delapan puluh perahu penarik palung, ikut hancur. Sekitar 50 pondok pengolahan teri-nasi (biasa disebut jambo rebus) hilang terbawa ombak. Jantung perekonomian, mesin utama yang selama ini menghidupi masyarakat pesisir, habis sudah. Krueng Raya persis padang kehancuran massal. Beruntung, alam laut Krueng Raya dilindungi perbukitan landai yang berjajar tak jauh dari garis pantai. Ketika air laut naik, orang-orang berlarian ke bukit. Dari 1.600 warga Desa Meunasah Keudee, lebih dari seribu yang berhasil selamat. “Kami gendong anak-anak dan orang tua naik ke bukit,” kata Zakaria, “Tuhan memberi kami 20 menit untuk menyelamatkan diri sebelum air laut datang bergulung-gulung.”
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 20 Krueng Raya, Tanah Malahayati
Ratusan orang tidak selamat kebanyakan karena melongo terheran-heran atau tak percaya air laut bisa naik setinggi. “Maklum, hal ini belum pernah terjadi dalam sejarah,” kata Zakaria yang juga menjabat sebagai Keuchik Desa Meunasah Keudee. Februari 2005, ketika JRS dan Puter mendatangi Krueng Raya, Panglaot Zakaria lebih banyak duduk nongkrong
Hari-hari berikutnya, semakin banyak warga yang mengikuti langkah Zakaria, kembai ke pesisir, kembali ke tanah Malahayati,kembali ke Bandar Krueng Raya.
bersama warganya yang tersisa di bekas meunasah. Hanya ngobrol ke sana-kemari, paling-paling diselingi salat di masjid. “Kalau sendirian di tenda, kita sedih terus,” kata Zakaria. Bengkak dan nyeri di kakinya, gara-gara tersabet seng dan paku, belum hilang total. Pada hari-hari itu, warga Krueng Raya pasrah tanpa tenaga, nyaris putus asa. Kejutan dan kesedihan begitu dalam. Mereka mengikut saja tanpa bertanya saat diungsikan jauh di perbukitan. Warga juga diam saja ketika aparat melarang mereka kembali ke kampung di dekat pantai. Kedatangan Tim Puter dan JRS ikut memulihkan kepercayaan diri warga, apalagi, dua relawan Puter, yakni Agus Rahmat Gumelar, 25, dan Achmad Sobirin, 28, ikut bermukim di tenda. “Kami merasa punya kawan,” kata Abidin, warga Meunasah Keudee. Malam hari sampai larut, Tim JRS dan Puter mendampingi pertemuan warga desa di meunasah. Perbincangan demi perbincangan akhirnya meyakinkan warga bahwa mereka harus bangkit kembali ke laut. Sebagai nelayan, kata Zakaria, mereka tak bisa dipisahkan dari garam laut, “seperti ikan dipisahkan dari air.” Kini saatnya turun dari bukit, kembali mendatangi pesisir. “Saya pimpin warga turun ke bekas kampung kami yang dulu,” kata Zakaria. Tenda-tenda mulai dipindahkan. Ada juga warga yang membuat rumah darurat dari papan bekas yang terseret arus.“Saya tidak peduli larangan pemerintah untuk tidak kembali ke wilayah di dekat pantai. Ditembak Brimob pun tak apa, pokoknya kami harus pulang ke tanah Malahayati,” kata Zakaria. Sementara para lelaki pindah ke pesisir, para perempuan dan anak-anak tetap “disimpan” di bukit, khawatir bila ada bencana susulan. Syukurlah, tak ada insiden berarti. Tentara dan polisi yang menyaksikan kepindahan masyarakat hanya berpesan agar mereka berhati-hati. Hari-hari berikutnya, semakin banyak warga yang mengikuti langkah Zakaria, kembali ke pesisir, kembali ke tanah Malahayati, kembali ke Bandar Krueng Raya.****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 20 Krueng Raya, Tanah Malahayati
Angin dan aroma laut menggarami naluri kenelayanan warga Meunasah Keudee. Perahu yang rusak diperbaiki. Sebulan setelah tsunami, sebagian nelayan sudah kembali bekerja. “Perahu ini memang belum ada mesinnya. Kami dayung ke tengah laut, ke lokasi palung,” kata Pawang Abidin sambil mempersilakan saya ikut berperahu menuju palung.
Berhubung perahu penarik palung hanya ada dua yang berfungsi, maka Panglima Zakaria dan Pawang Abidin mengatur pemakaian.“Dua perahu itu digunakan bergantian. Malam ini kelompok si A, besok kelompok si B yang melaut. Bagi-bagi rezekilah,” kata Abidin.
“Sebab kami tak mungkin mengandalkan bantuan selamanya. Tidur di tenda tak apa, asal kami bisa bekerja kembali,” kata Panglima Zakaria.
Teri yang ditangkap memang tak melimpah seperti dulu. Peralatan terbatas, jaring nilon koyak, laut pun masih keruh dan belum lagi tenang. Dulu, pada hari baik, mereka bisa membawa pulang teri senilai Rp 10-15 juta. Kini, penghasilan semalam tak lebih dari puluhan ribu rupiah. Tapi, kata Abidin, “Lumayan, buat menghibur hati.” Krueng Raya memang berbeda dengan desa-desa lain yang juga diamuk tsunami. Di tempat lain, pembangunan perumahan adalah prioritas utama. Bantuan perekonomian pun kerap berujung pada barang konsumtif. Tapi di Tanah Malahayati ini, penduduk tak mau menunggu lebih lama untuk memutar roda perekonomian.“Sebab kami tak mungkin mengandalkan bantuan selamanya. Tidur di tenda tak apa, asal kami bisa bekerja kembali,” kata Panglima Zakaria yang mengeluh sakit gigi bila berada jauh dari rakyatnya. Bantuan perahu, palung, jambo rebus pun mengalir. Panglima Zakaria harus berpikir dan bekerja keras mengatur distribusi bantuan. Ini bukan perkara mudah. Satu lembaga, misalnya, ingin membagikan perahu gratis tetapi lembaga lain hendak menerapkan sistem kredit lunak. Alokasi bantuan pun bukannya tak terbatas. Donor tak mungkin menyediakan seluruh kebutuhan Krueng Raya sekaligus. Pada titik inilah kearifan masyarakat Krueng Raya diuji: siapa yang berhak menerima bantuan lebih dulu? Siapa yang harus mengalah? Pertemuan warga pun digelar makin sering, kadang sampai sangat larut. “Tak jarang ada yang emosional. Parang keluar dari sarung, situasi tegang sekali,” kata Achmad Sobirin yang selalu mendampingi pertemuan warga. Untunglah, kepemimpinan Panglima Zakaria cukup tangguh meredam konflik. Relawan yang hadir kerap pula diposisikan sebagai penengah yang independen demi menghindari bentrokan tak perlu.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 20 Krueng Raya, Tanah Malahayati
Akhirnya, setelah rapat-rapat melelahkan, warga Krueng Raya mendapatkan cara jitu: memakai undian, persis seperti arisan. Hasil undian, siapa lebih dulu dan siapa yang belakangan, wajib ditaati. “Saya mendapat giliran paling buncit, haha….,” kata Panglima Zakaria. Baru belakangan saya tahu, Panglaot bukan “kebetulan” mendapatkan nomor buncit. Dia sengaja mengantungi nomor urut paling Teuku Zakaria. (Dwi Setyo Irawanto)
terakhir itu agar tidak jatuh ke orang lain.
Kerja keras warga Krueng Raya akhirnya berbuah. Agustus lalu, ketika kampung lain masih menantikan bantuan alat kerja, nelayan Krueng Raya telah mengoperasikan 15 palung teri dan 40 pondok rebus. Memang masih ada 30 pemilik bagan yang harus menunggu giliran, namun, dengan peralatan yang ada saja, hampir tiga perempat kepala keluarga di Krueng Raya sudah kembali bekerja. “Insya Allah, akhir tahun ini 70 persen roda perekonomian sudah bergerak,” kata Zakaria optimistik. Tak lama lagi, satu dua tahun lagi, bukan mustahil kejayaan Krueng Raya pulih seperti dulu, atau lebih cemerlang. Bukan mustahil pula kelak kita akan mengenal “teri nasi Krueng Raya” dan bukannya “teri nasi Medan”. Selamat datang kembali, Krueng Raya…. !
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 21 Kabar Baik dari Lamsenia
Berembug merancang masa depan, Lamsenia, April 2005.(Mardiyah Chamim)
Kabar Baik Lamsenia
dari
21
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 21 Kabar Baik dari Lamsenia
H a r i - h a r i b e r l a l u , k e h i d u p a n b e r p u t a r. M e r e k a y a n g p e r g i , p e l a n pelan mulai bisa dilupakan, sampai tiba saatnya hari lebaran. Ketika itulah jiwa-jiwa yang hilang seperti hadir kembali ke tengah keluarga. Anak, istri, ayah, bunda, orang-orang terdekat yang selama ini pergi, terasa seperti kembali pulang ke kampung dengan senyuman dan oleh-oleh di tangan. Mereka yang ditinggalkan menyambut dengan tangisan. Dan mereka pun berpelukan setidaknya dalam kenangan...
Pagi itu, bersama 300-an warga Kecamatan Leupung, saya baru saja selesai salat ied. Meunasah di
pinggir pantai mulai sepi ditinggalkan jemaah. Suara ombak terdengar lamat-lamat. “Ayo, ikut kami.” Saya melihat Kak Neh, 29, melambaikan tangan. Bersama suaminya, Martunis, 32, saya mengikuti Kak Neh menuju satu tempat yang terendam air setinggi lutut. “Ini dulu kampung padat,” katanya, “sekarang sudah jadi empang.” Tiba-tiba dia menunjuk sebuah titik. “Persis di sebelah sana rumah ayah kami,” katanya. Sarung dan celana mesti digulung setinggi paha agar kami bisa mendekat ke titik itu. Di sana, hanya ada sebentuk tiang gompal dan beberapa ruas tembok yang mencuat ke permukaan. Kak Neh dan suaminya duduk di atas serpihan bata, membuka kitab Yasin. “Di sinilah anak-anak, keluarga dan teman-teman kami meninggal,” kata Martunis sebelum mulai berdoa.
Di antara doa yang mengalun perlahan, Kak Neh berbisik. Dia teringat dua anaknya, Andri (6 tahun) dan Intan (2 tahun), yang sampai hari ini tak ditemukan jenazahnya. Dia terkenang ayah, ibu, kakak dan adik-adiknya yang semuanya habis tak bersisa. Pipi Kak Neh berlelehan air mata… **** Inilah lebaran pertama setelah tsunami di Lamsenia, Kecamatan Leupung. Tak seperti biasanya, hari raya kali ini meja makan di Lamsenia telanjang tanpa toples penganan. Jangankan gulai pli’u, bahkan kue pulut pun tak tersedia. “Kek mana mau bikin kue, air minum saja susah,” kata seorang ibu dari balik tenda pengungsi. Jika meja sepi dari kue pulut, halaman rumah sunyi dari tawa riang bocah. Riuh anak-anak, jerit bayi, balon tiup, senapan plastik, warna warni pesta yang biasanya memeriahkan Idul Fitri kali ini menghilang. Yang ada hanya tenda-tenda lapuk,
orang-orang dewasa yang murung dengan sarung dan
telekung. “Anak-anak kami sudah habis, tak ada lagi kanak-kanak di tempat ini,” kata Sulasmi. Dari 838 warga yang tinggal di Lamsenia, kini tinggal tersisa 153 jiwa.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 21 Kabar Baik dari Lamsenia
Sebelum tsunami, Leupung merupakan salah satu kecamatan paling makmur di Aceh Besar. Setiap keluarga paling tidak punya satu sepeda motor. Di wilayah ini, mobil pribadi juga bukan lagi barang mewah. Ratusan truk milik warga, tiap pagi berderet di tanah lapang dekat pasar menanti muatan. Belum lagi ribuan hektar kebun buah, Kak Neh berdoa di atas reruntuhan rumah, Lamsenia, November 2005.(Mardiyah Chamim).
ratusan palung (bagan apung) penangkap teri, tambak-tambak, perahu pancing, buldozer, chain-
saw, dan beberapa kilang penggergajian kayu. Bumi Leupung yang subur dan lautnya yang makmur tak pernah berhenti mengalirkan durian, pala, rambutan, manggis, cabe, cengkeh, pinang, ikan, udang, teri besar, kepiting, kayu, bahkan juga sapi-sapi gemuk penuh lemak. Tapi semuanya tanda-tanda kemakmuran itu, kini tinggal catatan sejarah. Tsunami membuat Lamsenia dengan segala kekayaannya, bertekuk lutut. Harta, jiwa, keluarga, sapi, chain-saw, buldozer, truk-truk pengangkut, semua tinggal bangkai. Untunglah harapan tak ikut mati bersama tsunami. Pelan-pelan warga Lamsenia bangkit, merayap, dan terus bergerak membangun kehidupan yang baru. Kini, setahun setelah musibah, sebuah lahan untuk mengganti kampung mereka yang terendam laut, sudah disiapkan. Rancangan tata ruang kampung sudah pula dibuat. Awal Desember 2005 ini, para tukang sudah mulai bekerja. Kalau semua lancar, paling lambat awal tahun nanti, warga Lamsenia sudah menempati kampungnya yang baru. Mengingat hari-hari awal setelah tsunami, tak pernah saya bayangkan, desa yang bertekuk lutut ini bisa merayap bangkit. Hal-hal besar seringkali harus harus diawali dengan langkah-langkah kecil, bahkan kadang dengan tertatih-tatih. *** Memasuki bulan kedua setelah tsunami, Lamsenia hanya memiliki satu tenda terpal sumbangan Departemen Sosial. Tak ada makanan, tak ada listrik, tak ada air bersih. Semua sumur masih tergenang air garam. “Kami terbiasa minum kopi asin yang berbuih,” kata Jamil, penduduk desa. Bantuan logistik
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 21 Kabar Baik dari Lamsenia
hanya datang sesekali. Jembatan Lhok Nga, penghubung Lamsenia dengan Banda Aceh dan dunia luar, terputus. Desa ini nyaris tanpa nyawa, kecuali 10 lelaki yang bertekad membangun kembali kampungnya dari titik nol. Kesepuluh lelaki pemberani inilah, masing-masing Syamsuddin, Abdullah Yahya, Nurdin, Muslim, Tarmizi, Bukhori, M. Jamil, Syamsul Bahri, Adnan Harun, dan
Maret 2005, Lamsenia mulai bernafas. Meunasah darurat, berupa rumah panggung beratap seng bantuan OXFAM dan JRS, sudah didirikan lengkap dengan pengeras suara.
Martunis, yang memulai kelahiran kembali Lamsenia. Ketika malam mereka tidur berdesakan di tenda terpal. Jika siang mereka mengevakuasi jenazah famili dan kerabat yang berserakan di kaki Bukit Sarah – pekerjaan yang tak mudah. Beberapa jenazah sudah sangat rusak, sedangkan yang lain tertimbun pohon-pohon besar.–“Ada yang nyangkut di pucuk pokok bambu, sulit sekali mengambilnya,” kata Franky, relawan Puter yang sejak awal mendampingi masyarakat Lamsenia. Pada pekan-pekan pertama, tim relawan memusatkan seluruh perhatian pada bantuan logistik. Bersama JRS, Tim Puter mengoptimalkan segala jaringan agar bantuan logistik bisa mengalir lancar. Romo Sudrijanta harus mengisi sendiri puluhan jerigen plastik dengan air di Banda Aceh dan mengusungnya dengan mobil bak terbuka menuju Lamsenia. Ketika tiga jembatan yang semula rusak selesai diperbaiki Batalion Zeni Tempur TNI, isolasi Leupung dan Lamsenia mulai terbuka. Berbagai lembaga swadaya masyarakat mulai berdatangan. Mercy Corps, Oxfam, World Vision, Ratna Sarumpaet Crisis Center, dan banyak lagi. Arus batuan logistik boleh dibilang tidak lagi menjadi masalah. Maret 2005, Lamsenia mulai bernafas. Meunasah darurat, berupa rumah panggung beratap seng bantuan Oxfam dan JRS, sudah didirikan lengkap dengan pengeras suara. Gudang penyimpan barang bantuan juga dibangun. Air bersih mulai mengalir berkat kerja Tim Oxfam. Generator mini bantuan JRS setidaknya mampu menyalakan lampu penerangan saban malam. Dapur umum, kamar kecil, sampan dan jaring untuk mencari ikan ala kadarnya, telah tersedia. Keperluan bertani, pupuk, cangkul, bibit cabe, juga sudah ada. Beberapa warga bahkan mulai mencoba menanam cabe di Blang Ateuk, di kaki Bukit Sarah. Satu demi satu warga Lamsenia yang tinggal di kamp pengungsian Mata’ie, Banda Aceh, mulai pulang kampung. Tenda regu kini tak lagi cukup memuat pengungsi. Untuk itu, tiga puluh tenda baru didirikan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 21 Kabar Baik dari Lamsenia
Satu tenda untuk satu keluarga. Kebanyakan setiap tenda hanya dihuni seorang duda yang kini tinggal sebatang kara. Toh hidup tak lagi sesepi dulu karena kawan-kawan sekampung mulai ramai berdatangan. Setiap malam, tenda-tenda ramai dengan obrolan. Topik yang paling hangat: mencari istri baru yang sering dipelesetkan sebagai “mencari sampan”. Terdengar suara di pojok, “Kek mana kau ini bang, mau cari ukuran berapa PK?” Seseorang menjawab,”“Badannya kecil begitu, carikan tipe robin (sampan kecil untuk mancing di perairan dekat-dekat pantai) yang langsing saja. Biar dia tidak kebanting.” Kalau sudah begitu, suara tawa pun bergelak-gelak sampai pagi.
Siang hari, jika pekerjaan bersih-bersih kampung sudah beres, biasanya mereka “menyerbu” tempat-tempat pengungsi lain, tengok-tengok barangkali ada kembang yang belum dipetik. “Mana enak hidup sendiri, tak ada teman berbagi,” kata Ramli. Tentu saja ini “perburuan” yang tak mudah mengingat banyak kampung yang juga kehabisan warga perempuan.
Pendeknya: hidup belum selesai dan tak mungkin mereka hidup bergantung bantuan orang lain selamanya. Sesuatu harus dirancang dan dikerjakan.
Selain mencarikan jodoh untuk diri sendiri, warga juga giat berburu “sampan” untuk anggota Tim Puter yang masih bujangan. “Ayo, kita carikan inong Aceh saja. Biar mereka tinggal lama di sini,” kata M.Jamil. Setiap kali ada perempuan muda yang kira-kira potensial untuk Franky dan Rahmat, dua relawan Puter, mereka pun sibuk melakukan serangkaian pendekatan. Kabar terakhir, kedua relawan kesayangan warga ini, belum juga dapat jodoh. **** Memasuki bulan keempat, ketika bantuan logistik sudah lancar dan sarana kehidupan (air bersih, listrik, obat-obatan dan meunasah) tidak lagi menjadi persoalan, dengan pendampingan dari Tim Puter, warga mulai merancang masa depannya sendiri: bagaimana mereka akan memetakan kampung yang kini terendam laut, bagaimana mereka akan membangunnya kembali, bagaimana kelak kehidupan ekonomi akan diputar. Pendeknya: hidup belum selesai dan tak mungkin mereka hidup bergantung bantuan orang lain selamanya. Sesuatu harus dirancang dan dikerjakan. Untuk itu, sejak pekan terakhir April 2005, warga mulai mengelar pertemuan maraton. Setiap malam, setelah salat Isya, dengan suguhan kopi kental dan kabut asap rokok yang tak pernah menipis, mereka berdebat dan bersilang pendapat. Warga sendiri yang menetapkan rambu-rambu pertemuan: siapa yang boleh ikut, agenda pembicaraan, cara pengambilan keputusan, dan sebagainya. Perserta hampir semuanya lelaki karena 41 warga perempuan yang tersisa semuanya mengungsi di kamp-kamp di luar
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 21 Kabar Baik dari Lamsenia
Lamsenia. “Kadang-kadang, kami relawan tak diizinkan ikut rapat karena mereka ingin membahas sesuatu secara internal,” kata Rahmat. Agar bisa maju ke depan, kerap kali warga harus menengok ke belakang, ke arah asal usul dan sejarah mereka. Begitulah, suatu malam mereka memetakan riwayat pemerintahan desa (setingkat keuchik) di Lamsenia, sejak sebelum kemerdekaan RI, tahun 1937 hingga saat ini. Selama masa hampir tujuh dekade itu, mereka telah dipimpin delapan keuchik. Yang terakhir, Pawang Sulaiman meninggal saat tsunami. Sebagai pengganti, warga memilih Syamsuddin, 35, yang kehilangan istri dan ketiga anaknya menjadi pemimpin baru sekaligus salah satu lokomotif kebangkitan Lamsenia.
Satu agenda paling penting adalah soal pemukiman. Kampung lama yang kini terendam tak mungkin dibangun kembali.
Malam yang lain, mereka menengok kembali “daya saing” Lamsenia untuk menentukan usaha mereka di masa depan. Selain hasil laut, daerah subur ini unggul dengan pelbagai hasil usaha tani. Padi, kacang hijau, cabe, jagung, pala, durian, rambutan dan manggis merupakan beberapa komoditi yang sempat mengharumkan nama Lamsenia.“Bagus sekali kalau bisa kembali makmur seperti
dulu,” kata Pak Keuchik Syamsuddin. “Namun tak mungkin kita bisa meraihnya sekaligus,” lanjutnya, “kita mesti memperjuangkannya sedikit demi sedikit.” Satu agenda paling penting adalah soal pemukiman. Kampung lama yang kini terendam tak mungkin dibangun kembali. Jika musim angin barat tiba, genangan bisa mencapai setinggi paha orang dewasa, seperti yang saya saksikan bersama Kak Neh dan Martunis di pagi Idul Fitri itu. Warga kemudian bersepakat mencari lokasi pemukiman baru.“Kita cari tanah yang tak langsung berhadapan dengan laut dan bebas banjir,” kata Pak Keuchik. Akhirnya terpilih Blang Ateuk, satu lapangan kecil di kaki Bukit Sarah, yang hanya satu kilometer dari kampung lama. Namun, ada persoalan, lahan 1,5 ha itu milik beberapa orang yang bukan warga Lamsenia. Apakah mungkin tanah itu dihibahkan? Atau kalaupun harus dibeli, apakah bisa dengan harga khusus? Syukurlah, soal ini cepat terjawab. Sebagian pemilik ikhlas menghibahkan tanahnya, sebagian yang lain bersedia menjual dengan harga khusus. “Kami akan membayar dengan cara mencicil selama dua tahun,” kata M. Jamil, “tiap bulan, tiap keluarga membayar Rp 75.000.” Rencana pembelian lahan sudah matang, ketika tanpa dinyana, eh, JRS bersedia memberi bantuan dana. Klop sudah. Soal lahan beres terselesaikan. Kini tinggal memikirkan bagaimana membangunnya.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 21 Kabar Baik dari Lamsenia
Langkah pertama: merancang pembagian lahan. Dengan pinjaman alat GPS (global positioning system) dari Tim Puter, warga melakukan survei lapangan. Malamnya hasil survei ini dibahas di meunasah. Kertas, spidol warna-warni, dan kopi kental ikut meramaikan diskusi. Rancangan pemukiman dan fasilitas umum dikerjakan bersama-sama. “Ini nantinya jadi tempat istirahat warga yang sudah berumur. Namanya panti raheeng,” kata Syamsuddin sambil menunjuk sebuah sketsa rumah panggung. Rencana pendirian meunasah, sekolah, balai pertemuan buat ibu-ibu, dan rumah tinggal, semua dibahas dan digambar bersama. Ada 108 kepala keluarga yang tersisa di Lamsenia, kebanyakan duda sebatang kara. Selain itu, ada juga beberapa yatim piatu yang orang tuanya ikut jadi korban. Semuanya mendapat jatah rumah. Untunglah, UN Habitat dan Oxfam, telah bersedia membantu seluruh pendirian rumah tinggal. UN Habitat menyediakan dana tunai Rp 28,8 juta setiap unit untuk ongkos tukang, sedangkan Oxfam membantu pengadaan bahan bangunan. Seluruh proses pengerjaan ditangani penduduk dengan model cash for works. Jika lancar, akhir 2005 warga Lamsenia sudah bisa menempati rumah baru. Insya Allah. Tepat dua pekan setelah pertemuan maraton, sejarah baru bertunas di Lamsenia. Hari itu, Rabu 4 Mei 2005, menjelang tengah malam, 25 warga berfoto bersama. Pakaian mereka ala kadarnya, tapi senyum dan sorot mata Perencanaan desa Lamsenia, November 2005. (Puter)
mereka tampak optimistik. Itulah malam ketika warga merampungkan rancangan Lamsenia masa datang. Sebuah dokumen
perencanaan yang diteken semua tokoh, dengan tulisan berbahasa Indonesia, bahasa Aceh, dan bahasa Arab, menjadi saksi terciptanya sejarah baru Lamsenia. Lamsenia terus bergerak, bukan cepat melaju tapi juga tak lamban merayap. Saban hari ada saja kemajuan dan berita baru. Warga saling jaga dan saling dorong. “Semuanya jadi antusias. Heboh,” kata Iriana, relawan Puter. Salah satu yang paling heboh adalah pengundian rumah. Pengundian untuk menentukan giliran pembangunan dan letak rumah ini, diumumkan terlebih dulu secara terbuka, melalui radio dan ditempel di meunasah. Persis arisan, warga menetapkan siapa tinggal di mana dan kapan giliran rumahanya akan dibangun. “Pak Keuchik akan tinggal di lorong A. Ini gambar hasil undian,” kata Jamil.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 21 Kabar Baik dari Lamsenia
Hasil undian ternyata tak memuaskan semua orang. Seorang laki-laki separo baya protes. Ia tak mau tingal bersebelahan dengan rumah mertua. “Mamak suka cerewet,” katanya, “dia suka usil kalau saya ada tamu perempuan, Padahal saya mau cari pengganti almarhumah istri. Tak enaklah kalau terus diteropong mertua” Protes diterima. Si empunya protes dipersilakan bernegosiasi dengan warga lain yang mau bertukar lokasi rumah . **** Bagi saya Lamsenia bukan hanya sebuah desa. Daerah ini merupakan satu titik kecil di peta yang mencerminkan harapan baru Aceh masa depan. Bagi aktivis lain yang terbiasa main cepat, pendekatan Tim Puter mungkin terasa lamban. Namun kita merasa bersyukur bisa mengajak warga
Bukan hanya soal pemilihan pemimpin, warga juga belajar cara mengelola uang bersama dengan transparan.
bersama-sama belajar berorganisasi, menyusun rencana, serta menguatkan tali hubungan antar mereka. Ini merupakan satu kemajuan yang amat bermakna. Agaknya peran dan kekuatan warga sipil Aceh hari-hari ini terus membesar. Masyarakat tak lagi pasrah habis-habisan kepada birokrat seperti yang puluhan tahun terakhir. Proses pemilihan keuchik Lamsenia bisa menjadi contoh. Kira-kira tiga pekan setelah tsunami, lima warga Lamsenia diundang ke Kecamatan Leupung. Mereka diminta membentuk perangkat desa, keuchik dan stafnya, untuk memudahkan penyaluran bantuan. Kelima warga itu begitu saja menyebut nama Syamsuddin sebagai keuchik baru. “Kami yang ada di desa terkejut. Lo, kok keuchik dipilih oleh lima orang, padahal ini menyangkut nasib kita semua,” kata Abdullah. Menyikapi kabar ini, warga segera menggelar pertemuan kilat. Kawan-kawan sekampung yang tersebar di pelbagai kamp pengungsian dipanggil. Setelah terkumpul, kira-kira hadir dua lusin warga mengingat keterbatasan transportasi, mereka beremuk di bekas pondasi meunasah yang hancur. Akhirnya, warga memang sepakat memilih Syamsuddin. Keputusan final memang boleh sama, tapi prosesnya sangat berbeda. “Yang penting semua warga ikut menentukan,” kata Abdullah. Bukan hanya soal pemilihan pemimpin, warga juga belajar cara mengelola uang bersama dengan transparan. “Kami punya dana kas bersama Rp 23 juta,” kata Jamil. Dana ini disisihkan dari sebagian upah cash for works –bersih-bersih kampung, gali sumur, pengerukan kuala (teluk), tanam bakau, dan sebagainya. Dari upah kerja Rp 35 ribu sehari, warga menyisihkan sebagian kecil untuk kas bersama. Dana ini dipakai untuk membeli bensin kereta Pak Keuchik jika sedang ikut rapat di kecamatan, membeli solar genset yang dipakai untuk penerangan kampung, juga membeli beli kopi saat pertemuan
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 21 Kabar Baik dari Lamsenia
warga.–“Sekali-sekali untuk mentraktir makan relawan, hahaha…,” kata Jamil bangga. Memang, ada juga warga yang menuntut uang kas dibagi sama rata. Tapi, pengurus desa menolak.“Kalau uang itu habis dibagi,” kata Syamsuddin, “saya berhenti jadi keuchik.” Jamil dan warga Lamsenia memang patut berbangga. Ketika kampung lain banyak yang masih bergantung kepada
Jamil dan warga Lamseni memang patut berbangga. Ketika kampung lain banyak yang masih bergantung kepada lembaga donor, Lamsenia sudah punya duit sendiri untuk modal.
lembaga donor, Lamsenia sudah punya duit sendiri untuk modal. Di banyak kampung lain, masyarakat mulai terbiasa membuat proposal semata-mata untuk menjala bantuan. Kegiatan apa pun, mulai dari membuat tempat wudlu sampai biaya konsumsi rapat, selalu didahului dengan pengajuan proposal permintaan dana. Tentu bukan hanya masyarakat yang patut disalahkan. Lembaga donor yang sembrono —yang begitu saja menyebar bantuan tanpa konsep jelas— ikut punya andil dalam menciptakan ketergantungan ini. Bagi Lamsenia, pertalian warga sipil yang menguat membantu mereka untuk berdiri tegak penuh martabat di tengah lalu lintas bantuan yang kadang tidak masuk akal. Keuchik Syamsuddin punya cerita. Agustus lalu mereka baru saja memprotes birokrat di Kecamatan Leupung karena —tanpa persetujuan warga—enak saja kecamatan menjual beras untuk orang miskin (raskin) yang menjadi jatah warga Lamsenia. Sebagai ganti rugi, warga diberi ganti rugi Rp 2 juta, tapi warga menolak. “Kami lebih membutuhkan beras,” kata Syamsuddin, “lagipula, mana tahu kita kalau uang Rp 2 juta itu sudah dipotong berapa persen?” Kepada Pak Camat, uang ganti rugi itu dikembalikan. Akhirnya Pak Camat setuju membagikan jatah raskin kepada warga. Urusan lancar, semua senang. **** Sejarah baru memang tengah ditulis. Bukan hanya di Lamsenia tapi juga di berbagai tempat di Aceh. Pendampingan yang dilakukan sejumlah LSM telah mendorong masyarakat lokal lebih berani dan lebih gigih memperjuangkan nasib mereka sendiri. Di Peukan Bada, Meuraxa, masyarakat didampingi relawan dari Uplink – Urban Poor Consortium, sedangkan di Gampong Baru ada tim relawan dari Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI). Bukan itu saja, di Calang ada Nurani Dunia, di Krueng Raya, di Lamno, dan Pulau Nasi ada tim relawan JRS, dan di Samatiga (Meulaboh) ada tim relawan dari WALHI yang gigih membangun klinik kesehatan. Saya juga terkesan dengan pendampingan yang dilakukan Tim
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
8
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 21 Kabar Baik dari Lamsenia
Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) di Desa Kuala Tuha, Nagan Raya. Banyak sekali LSM yang berhasil membangkitkan kepercayaan diri warga sehingga mereka bisa bangkit mandiri. Memang, semua program pendampingan ini masih bersifat sporadis. Belum ada koordinasi dan sinergi yang maksimal antar-lembaga yang terlibat. Alangkah elok jika energi positif spirit pendampingan di pelbagai titik ini bisa dioptimalkan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
9
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 22 Gerilya Kemanusiaan
Bersama membuat perahu, Meulaboh, Maret 2005. (Jaringan Relawan Kemanusian
Gerilya Kemanusiaan
22
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 22 Gerilya Kemanusiaan
Sepotong sore di sebuah rumah kontrakan di Jalan Bonang, jakarta Pusat. Saya bertemu Romo Sandyawan Sumardi yang memotori Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK).
Wajah Romo tampak sumringah. Ceritanya mengalir antusias, terutama tentang seluk-beluk program JRK di Aceh.
“Romo tampak jauh lebih cerah dibanding waktu kita bertemu akhir tahun lalu,” saya berkomentar. Lelaki santun berusia 47 tahun ini tertawa lepas, “Ya…., waktu itu keadaan masih kacau-balau. Makan tak enak, tidur tak nyenyak.” La, kok, seperti orang putus cinta. Romo Sandy tidak berlebihan. Akhir Desember lalu, ketika kabar gempa dan tsunami masih simpangsiur, saya mampir ke Sanggar Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Timur. Ratusan orang hilir-mudik di sanggar rumah di pinggir kali ini. Hampir semuanya membawa bantuan untuk Aceh dan Nias. Ratusan karung dan kotak berisi obat-obatan, makanan instan, pakaian layak pakai segala rupa, terkumpul dalam waktu singkat. Deras aliran bantuan ke Sanggar Ciliwung membuat lelaki kelahiran Janeponto, Sulawesi Selatan, ini nyaris tak punya waktu untuk beristirahat. Bahkan untuk sekedar makan dan tidur sekejap. Setiap menit, dari dini hari sampai jauh malam, ada saja orang yang ingin bertemu dan menyampaikan sumbangan. Seorang kawan, Rosiana Tendean, terpaksa “mengawal” ketat Romo Sandyawan yang sedang menyempatkan diri untuk makan.“Romo sedang makan, tidak bisa diganggu,” begitu biasanya Rosi menolak tegas tamu-tamu yang sudah mengantri ingin bertemu peraih penghargaan Yap Thian Hien 1996 ini. Figur Romo Sandy rupanya bagaikan garansi terlaksananya program kemanusiaan. Jam terbang lelaki ini sebagai penggerak solidaritas kemanusiaan di belantara Jakarta, antara lain pada berbagai penggusuran, peristiwa 27 Juli 1996, banjir besar 1998, penculikan mahasiswa dan aktivis, serta peristiwa Semanggi, telah menjadi semacam jaminan mutu bahwa segenap uluran bantuan akan tersalurkan dengan tepat. Apalagi, hari-hari itu kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan lembaga resmi penanganan bencana jauh merosot. “Bagaimana pemerintah bisa menyalurkan bantuan, melaporkan situasi terakhir saja ndak bener,” kata seorang ibu yang saya jumpai di Sanggar Ciliwung. Mengharukan pula keterlibatan tetangga kiri-kanan Sanggar Ciliwung, orang-orang kecil yang hidupnya juga susah dan jadi pelanggan banjir. Warga kampung-kampung kumuh ini turut serta mengulurkan tangan. Mereka dengan sigap mengemas barang-barang bantuan dalam karung-karung sehingga siap
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 22 Gerilya Kemanusiaan
diangkut menuju Aceh-Nias. Ada juga yang menyediakan diri menjadi sopir truk, mondar-mandir ke segala penjuru Jakarta untuk menjemput dan menyalurkan barang bantuan. Tidak sedikit pula yang mengumpulkan rupiah demi rupiah dari kantong sendiri. Lima ratus perak, seribu perak, dihimpun. Warga RT 006/RW 12, Bukit Duri, misalnya, berhasil mengumpulkan Rp 620.000, sedangkan warga RT 007/RW 12 menghimpun uang RP 530.000. Setiap lembar uang yang terkumpul terasa amat bermakna. “Orang-orang ini hidupnya juga susah tetapi mereka dengan suka-rela membagi hati kemanusiaan,” kata Romo. Semangat solidaritas kemanusiaan yang tampak pada hari-hari itu memang menakjubkan. Hanya dalam tempo satu bulan, sampai akhir Januari 2005, terkumpul dana Rp 2,5 miliar bantuan dari dalam dan luar negeri. Individu, perusahaan, kumpulan mahasiswa di berbagai negara, lembaga agama, berbondong mengalirkan bantuan melalui JRK. Bantuan terus mengalir dan mengalir. Suatu saat, JRK bahkan terpaksa berhenti menampung
aliran bantuan berupa obat, makanan, dan pakaian lantaran Sanggar
Ciliwung
kebanjiran. “Daripada barang rusak, lebih baik kami stop sementara waktu,” kata Isnu Hardono, salah seorang koordinator JRK. Layak pula disoroti adanya 390 relawan dari seluruh penjuru negeri bergabung dengan JRK. Batasan suku, agama, runtuh, semuanya digantikan oleh ideologi Layanan pengobatan di pengungsian, Meulaboh, Maret 2005. (Jaringan Relawan Kemanusiaan)
kemanusiaan. Gantiberganti para relawan berangkat ke Aceh,
melakukan kerja volunteer mulai dari evakuasi mayat, menggelar layanan kesehatan, sampai menggelar proses pendampingan jangka panjang. Sampai akhir tahun 2005, tercatat ada 16 relawan JRK yang masih setia bertahan di lapangan. Yanti, 40-an tahun, istri pengusaha sukses, misalnya, meninggalkan hidup nyaman di Jakarta untuk diberangkatkan sebagai relawan ke Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Di lapangan, Yanti dengan gesit
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 22 Gerilya Kemanusiaan
mengajar anak-anak bernyanyi, memasak di dapur umum, membantu layanan kesehatan, bahkan menjadi sopir truk pengangkut logistik bantuan. “Kerjaan apa pun dia sabet,” kata Prihamangku, koordinator relawan JRK, sambil memamerkan foto-foto kegiatan Yanti yang segunung. Tidak hanya satu dua minggu, Yanti bertahan sebagai relawan sampai delapan bulan di lapangan.
JRK juga menjadi inisiator sebuah program bernama “Misi Indonesia Bersatu”. Fokus utama misi ini adalah menyalurkan bantuan secepat mungkin dalam tahap tanggap darurat. Tujuh helikopter dan dua pesawat ringan CASA milik TNI-AL beroperasi sebulan penuh, tanpa henti,
JRK juga menjadi inisiator sebuah program bernama “Misi Indonesia Bersatu”.
untuk mendistribusikan bantuan kepada pengungsi di sepanjang pesisir barat Aceh, yakni Singkil, Meulaboh, Calang, dan Teunom. Pesisir barat Aceh sengaja dipilih karena wilayah ini mengalami kerusakan paling parah akibat tsunami. Wilayah ini juga teramat susah dijangkau karena ratusan ruas jalan dan jembatan hancur berantakan. Belasan pilot relawan tak kenal lelah turut bergabung dalam “Misi Indonesia Bersatu” yang bermarkas di Blangpidie ini. Sebuah misi yang luar biasa mengingat sama sekali tidak mudah menggerakkan armada transportasi udara sedemikian banyak di hari-hari itu. Lebih mengesankan lagi karena misi ini sepenuhnya digerakkan oleh jaringan masyarakat sipil, termasuk dengan dukungan
berbagai
perusahaan, antara lain PT Dirgantara Indonesia, PT Intan Angkasa Air Service, dan PT Gudang Garam. Saya memang tidak secara langsung bergabung dengan Tim JRK. Persoalan teknis dan kesulitan transportasi membuat saya kesulitan menjangkau Aceh Jaya dan Aceh Barat, dua wilayah tempat konsentrasi kerja JRK. Namun demikian, berita tentang kiprah JRK terbang kian-kemari menjadi perbincangan kawan-kawan sesama relawan. “Hebat, Tim JRK bisa menembus daerah terisolasi di Teunom,” adalah salah satu komentar yang kerap muncul. JRK juga dikenal cukup lincah dalam menyalurkan bantuan. Pada pekan-pekan pertama pascatsunami, pihak TNI mengkonsentrasikan seluruh bantuan logistik di Markas TNI, Kompi C, Meulaboh. Obatobatan, makanan, pakaian, seluruhnya ditumpuk di sini untuk diperiksa aparat. Penyaluran ke masyarakat pun harus melalui koordinasi TNI. Alasannya, dicurigai ada banyak sarang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di sekitar Meulaboh. Persoalannya, kendali TNI yang sentralistik sangat menyulitkan proses distribusi bantuan. Respon cepat dan bergegas yang menjadi tuntutan tahap tanggap darurat jadi melambat. Banjir bantuan pun
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 22 Gerilya Kemanusiaan
tertahan di Kompi C. Tidak sedikit wilayah yang sama sekali belum tersentuh bantuan, terutama di desa-desa yang diduga berdekatan dengan sarang GAM. “Akhirnya, kita bergerilya,” kata Romo Sandy. Sebisa mungkin barang bantuan tidak dilewatkan Kompi C tetapi langsung disalurkan kepada pengungsi yang membutuhkan. JRK pun membangun posko di wilayah yang belum terjangkau TNI dan LSM lain, semata-mata demi menghindari radar pantauan dan
Adalah Desa Kuala Tuha, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, yang terpilih sebagai fokus kerja JRK.
melancarkan arus distribusi ke wilayah yang terisolasi. Ada resiko tentunya. “TNI sempat menuduh kami memasok logistik untuk GAM tetapi setelah dijelaskan mereka mengerti alasan kami bergerilya,” kata Romo Sandy. **** Lepas masa tanggap darurat, JRK sejenak mengambil napas. Bukan untuk mundur dan kembali ke Jakarta. Romo Sandy
dan kawan-kawan merapatkan barisan dan meneruskan langkah di Aceh dengan program kemanusiaan jangka panjang. Memang disadari bahwa sumber daya JRK terbatas. Tak mungkin dan tak bisa menebar program di wilayah yang luas. Satu lokasi harus dipilih agar JRK bisa melakukan program rehabilitasi yang komprehensif. Adalah Desa Kuala Tuha, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, yang terpilih sebagai fokus kerja JRK. “Awalnya, banyak yang menentang pilihan ini,” kata Prihamangku, koordinator relawan JRK. Maklum, Kuala Tuha adalah daerah“sangar” yang banyak dihuni personil GAM, baik yang masih aktif atau yang sudah berstatus eks. Potensi konflik sangat tinggi karena karakter masyarakat Kuala Tuha dikenal teramat keras, susah diajak berunding, dan cenderung menolak hal-hal baru. “Banyak yang bertanya-tanya, ngapain JRK cari perkara di wilayah ini,” kata Prihamangku. JRK terus berjalan. “Kami berbaik sangka saja,” kata Prihamangku, “Yang penting kami bekerja keras semaksimal mungkin.” Pelahan-lahan, menyaksikan kerja keras tim relawan JRK, hati masyarakat Kuala Tuha berangsur melunak. Respek dan kepercayaan mulai tumbuh. Pada suatu ketika, JRK menggelar program lokakarya manajemen usaha kecil di Bogor. Beberapa utusan warga Desa Kuala Tuha diundang mampir ke Sanggar Ciliwung. Bu Aulia dan Pak Joni, dua utusan Kuala Tuha, berkeliling keluar-masuk perkampungan dan berbincang dengan penduduk Ciliwung. Pada saat itulah baru dia tahu bahwa uang sumbangan yang dikelola JRK antara lain berasal dari orang-orang kecil yang hidup di pinggir kali. Kontan Pak Joni menangis menyesal di hadapan Romo. “Saya jadi malu, Romo. Kami selama ini begitu banyak menuntut ini dan itu. Padahal, kami ini disumbang oleh saudarasaudara yang juga susah,” kata Pak Joni seperti ditirukan Romo.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 22 Gerilya Kemanusiaan
Beberapa hari kemudian, ketika tiba kembali di kampung halaman, Pak Joni mengabarkan pengalamannya kepada warga Kuala Tuha. Sejak itu pula kerja sama relatif lebih terjalin mulus antara warga dan Tim JRK. **** Dengan ditemani Tim Relawan JRK, proses kebangkitan Kuala Tuha bisa dibilang relatif cepat. April 2005, warga mulai diajak berembug tentang masa depan desa. Gagasan pendirian rumah untuk 126 kepala keluarga yang tersisa mulai dilontarkan. “Pembangunannya harus melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama,” kata Prihamangku. Hampir saban malam rembug warga digelar di meunasah, mereka berunding menentukan seperti apa rumah dan perkampungan yang akan mereka bangun kelak. “Ngomongin atap rumbia atau atap seng saja bisa berminggu-minggu. Lama juga prosesnya,” kata Prihamangku. Beberapa lembaga donor
sudah
sepakat bakal mendanai program di Kuala Tuha. Pembangunan 128 unit rumah –126 untuk warga, dua unit rumah untuk dokter dan perawat—yang akan difasilitasi Tim JRK. Satu gedung klinik, satu unit sekolah, satu gedung meunasah, dan satu masjid melengkapi rencana. Galangan kapal juga akan dibangun demi memudahkan kelancaran roda perekonomian warga yang kebanyakan adalah nelayan.
Kampung Nagan Raya, Meulaboh 2005. (Jaringan Relawan Kemanusiaan)
JRK bergerak cepat. Mei 2005, rumah contoh selesai dibangun. Rumah panggung yang cukup cantik dan nyaman. Masyarakat setuju. Lalu, sebuah bengkel pembuatan rumah panggung didirikan. Tenaga ahli didatangkan dari berbagai kota di Pulau Jawa. Warga setempat dilatih bertukang kayu dan terlibat dalam pembangunan rumah mereka sendiri. Semua antusias. Tidak semuanya berjalan mulus, memang. Saat warga dan Tim JRK bergegas membangun, dana yang dijanjikan pihak donor tidak juga cair. “Pusing juga kami,” kata Romo Sandy. Maklum, program yang
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 22 Gerilya Kemanusiaan
sudah dirancang harus jalan terus. Pantang surut ke belakang. Kepercayaan rakyat sudah teraih. Begitu program berantakan, akan sangat susah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Apa akal? Romo Sandy, seperti yang saya kenal, adalah seseorang yang berdedikasi penuh pada rakyat. Janji yang sudah dipasang tak mungkin diingkari. Tidak peduli bahwa untuk memenuhi janji tersebut dia harus akrobat jungkir-balik. “Kami tambal sulam sana-sini,” kata Romo Sandy. Pos donor untuk berbagai program lain dialihkan demi terlaksananya pembangunan rumah. Romo Sandy bahkan terpaksa berhutang ratusan juta rupiah ke berbagai pihak. “Jaminannya hanyalah kami bekerja keras dan tulus. Lagipula, MoU, kesepakatan dengan lembaga donor sudah resmi diteken. Tinggal menagih mereka untuk memenuhi janji,” kata Romo Sandy. Oktober 2005, sebagian besar pembangunan fisik di Kuala Tuha sudah terlaksana. Rumah yang sudah dibangun ada 97 unit, satu klinik, satu sekolah, satu meunasah, dan perbaikan s a t u m e s j i d s u d a h k e l a r. Sebuah prestasi yang layak d i a c u ngi jempol. Di saat pengungsi di wilayah Aceh yang lain masih berhimpitan di barak dan tenda reyot, sebagian besar warga Desa K u a l a Tu h a s u d a h b i s a
Kampung Nagan Raya, Meulaboh, 2005. (Jaringan Relawan Kemanusiaan)
menikmati puasa Ramadhan dan berlebaran di rumah. Awal Desember lalu, di Banda Aceh, saya sempat bertemu dengan Sulaiman Toha, Sekretaris Panglima Laot Kabupaten Nagan Raya, yang sehari-harinya tinggal di Desa Kuala Tuha. “Kami senang sekali. Lebaran lalu sudah bisa menerima tamu di rumah sendiri. Masih banyak saudara-saudara kami yang masih tinggal di tenda,” kata Sulaiman.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
SEJARAH TUMBUH DI KAMPUNG KAMI
BAB 22 Gerilya Kemanusiaan
Sementara itu, bagi Tim JRK, kesulitan belum juga surut. Sampai awal Desember 2005, dana dari lembaga donor yang dijanjikan cair pada Juli 2005 belum juga ada tanda-tanda hendak turun. “Rupanya, tidak semua lembaga internasional memegang teguh etika. Biar pun MoU sudah diteken, ada saja alasan penundaan pencairan dana,” kata Romo. Setiap kali ditagih, ada saja alasan penundaan yang
“Lagipula, sejak awal pihak donor ikut terlibat dalam pembuatan rancangan rumah,” kata Romo menambahkan,”Kenapa belakangan bicara begitu?”
disampaikan lembaga donor. Satu ketika alasan itu berupa kurang lengkapnya laporan, padahal laporan lengkap sudah dikirim tiga bulan sebelumnya dan malah ketlingsut di tumpukan arsip lembaga donor. Kali lain, lembaga donor menyampaikan alasan rumah yang dibangun tidak kebal tsunami. Alamak, mana ada bangunan yang bisa kebal tsunami sedahsyat itu? “Lagipula, sejak awal pihak donor ikut terlibat dalam pembuatan rancangan rumah,” kata Romo menambahkan, “Kenapa, belakangan bicara begitu?” Mudah-mudahan saja, setelah membaca buku ini lembaga donor bersangkutan segera sadar diri. “Buat apa mereka menahan dana yang memang diperuntukkan bagi warga Aceh. Kami, toh, bukan sekadar NATO, no action talk only. Kami telah melaksanakan program dengan benar dan bertanggung jawab,” kata Romo Sandy. Nada bicaranya agak senewen, tapi lalu disusulnya dengan tawa enteng. “Ya, ini namanya dinamika perjuangan, hehe.” ****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
Menempati rumah baru, Lamno, Agustus 2005. (Dwi Setyo Irawanto)
E
P
I
L
O
G
Menuju Aceh Masa Depan
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
H a n y a “ t a n g a n Tu h a n ” y a n g b i s a m e n u n t u n p e m u l i h a n A c e h d a n Nias.
K
etua BRR, Kuntoro Mangkusubroto, gemar memakai jargon ini untuk menggambarkan betapa pemulihan kedua daerah bencana tersebut tak bisa hanya mengandalkan kerja keras. Dibutuhkan ketulusan, kesungguhan, dan barangkali juga, doa. Bekerja dengan pola biasa, apalagi pas bandrol, tidak mungkin bisa membangun Aceh - Nias yang lebih baik.
Namun, tak bisa diingkari, banyak pula yang menjadi “parasit tsunami” yaitu mereka yang bekerja serampangan dengan semangat aji mumpung dan ambil untung.
Di lapangan, saya telah menjumpai relawan, pemimpin lokal, NGO, lembaga donor, wartawan, pejabat, dokter, perawat, yang bekerja tanpa pamrih dengan dedikasi penuh. Boleh dibilang mereka berjuang dalam bimbingan tangan Tuhan. Namun, tak bisa diingkari, banyak pula yang menjadi “parasit tsunami” yaitu mereka yang bekerja serampangan dengan semangat aji mumpung dan ambil untung. Ditambah dengan pemerintahan yang korup dan
sistem sosial kita yang serba ringkih semrawut, maka jargon pemulihan dengan “tangan Tuhan” tadi kerap terasa bagai mimpi yang jauh. Saya memang tak terlibat penuh dalam proses rekonstruksi Aceh, namun dalam setahun terakhir ini, berulang kali saya berkunjung ke Aceh membantu teman-teman melakukan pendampingan masyarakat. Pengalaman, hubungan dan interaksi saya dengan berbagai pihak rasanya cukup untuk memetakan sejumlah persoalan penting dalam proses pemulihan Aceh-Nias. Berikut ini peta persoalan pemulihan Aceh-Nias, saya mulai dari yang kadar masalahnya paling parah. 1. Pemerintah Panik Boleh, Tapi Jangan Cuci Tangan Pemerintah pusat dan daerah mestinya mampu menjadi tumpuan utama proses pemulihan. Kenyataannya, alih-alih bisa diandalkan, pemerintah justru paling abai dan paling sulit diperbaiki. Tiga bulan setelah bencana, pada 26 Maret 2005, pemerintah menyatakan tahap-tanggap-darurat resmi berakhir. Masa berduka sudah habis, tapi lalu apa? Tak ada keputusan berikut. BRR belum dibentuk, pemerintah daerah juga tak tahu mesti berbuat apa. Aceh dan Nias seperti daerah lumpuh yang tak bertuan, seperti kapal rongsok di tengah laut tanpa nahkoda. Mogok. Terombang-ambing.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
1
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
Kekosongan terjadi. Jalan gelap, lampu-lampu di Lambreh, Lampineng, Peuniti, di jalan-jalan protokol, masih padam. Kota masih lumpuh, carut marut, centang perentang, serbaberantakan. Terasa betul birokrasi tengah membeku. Padahal, satu demi satu kios dan kedai kopi mulai tumbuh. Gubuk-gubuk reyot mulai dibenahi. Warga, dengan kekuatannya sendiri dan ketabahan yang masih tersisa, mulai bergerak bangkit tapi pemerintah malah mendengkur
Lalu siapa yang mengurus setengah juta manusia tenda di Aceh dan Nias? Bisa dibayangkan mirisnya kecemasan dan ketidakpastian yang membekap masyarakat di daerah musibah itu.
dalam selimut. Bersamaan dengan berakhirnya masa tanggap darurat, sebagian besar
badan sosial yang semula
sukarela membantu, ditarik dari Aceh. NGO angkat kaki, pasukan militer pulang kampung, relawan mudik, dan pemerintah seperti mau cuci tangan. Lalu siapa yang mengurus setengah juta manusia tenda di Aceh dan Nias? Bisa dibayangkan bagaimana mirisnya kecemasan dan ketidakpastian yang membekap masyarakat di daerah musibah itu. Awal April 2005, saya bertemu beberapa warga di wilayah Darussalam yang mulai mengumpulkan umbiumbian. “Khawatir tidak ada bantuan lagi sedangkan kami belum bisa beli beras,” kata seorang warga. Badan sosial dan NGO yang masih bertahan pun seperti membekukan kegiatan. Mereka masih menunggu keputusan pemerintah dan melihat-lihat arah angin. Akhir April 2005, barulah BRR terbentuk dengan Kuntoro Mangkusubroto sebagai nahkoda. Beragam reaksi muncul. Sebagian besar merasa lega karena akhirnya ada juga lembaga yang menjadi koordinator di tengah rimba bernama Aceh-Nias. Jajaran birokrasi mestinya juga bersyukur karena BRR bisa menjadi mitra kerja yang sejalan. Tapi apa yang terjadi? Pemerintah justru seperti menjauh. Para pejabat merasa semua tanggung jawab seribu persen ada di pundak BRR. Pemerintah seolah berganti peran menjadi tamu yang sesekali mengamati dari kejauhan. Simaklah data berikut. Sampai akhir Oktober, departemen teknis belum mencairkan satu rupiah pun bantuan untuk Aceh. Alasannya: mereka belum membentuk satuan kerja, juga belum ada orang-orang yang akan ditempatkan dan diberi tugas mengelola pekerjaan di Aceh. Masya Allah. La, selama ini mereka ngapain? Tidur? Main game komputer? Di lapangan, tabiat para birokrat lebih menyedihkan lagi. Seperti dikeluhkan Kuntoro Mangkusubroto, tak sedikit pejabat pemerintahan Nias yang mangkir tak berdinas selama berbulan-bulan setelah gempa, 28 Maret 2005. Pak Bupati, Pak Camat, jarang sekali terlihat turun ke tenda-tenda mengungsi
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
2
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
dan mendengar keinginan warga. Masuklah ke kamp-kamp pengungsian, Anda akan terbiasa mendengar suara sinis. “Ke mana pemerintah? Mana ada Pak Camat datang kemari? Kami ini tak pernah ditengok pemerintah,” kata Kak Neh, 29 tahun, seorang warga di Kecamatan Leupung. Kemandekan seperti ini cepat merayap memacetkan banyak hal. Soal fasilitas umum. Di masa tanggap darurat, pengadaan air bersih layak minum, armada truk sampah, dan tong sampah disediakan berbagai lembaga donor asing, militer maupun sipil. Selepas masa tanggap darurat, pelbagai fasilitas yang dibangun dengan duit bantuan ini diserahkan kepada dinas teknis pemerintah daerah. Lalu bagaimana nasibnya? Anda bisa menebak: terbengkalai. Jeda lebaran, awal November 2005, adalah contoh yang gamblang. “Kami tak ada air bersih, Kak,” kata Kak Nia, seorang warga di barak pengungsian Riting, Gunung Yudha, Leupung. Siang itu Kak Nia terpaksa mengambil air di Krueng Sarah, lima kilometer dari barak pengungsian. “Untung ada saudara yang punya mobil dan bisa dimintai tumpangan,” kata Kak Nia. Biasanya, para relawan dari berbagai LSM, termasuk Oxfam, Unicef, dan THW, datang memasok air bersih secara rutin tiap pekan di kampkamp pengungsian, termasuk di Riting. Saat libur lebaran, para relawan pulang kampung dan hampir semua LSM libur panjang selama dua pekan. Sialnya, pemerintah daerah tidak merasa perlu mengambil oper distribusi air bersih untuk sementara sehingga pasokan air bersih tidak terbengkalai. Sepertinya pemda beranggapan bahwa sudah kewajiban relawan untuk bekerja siang-malam tanpa henti, termasuk menggantikan tugas pemerintah daerah. Seorang sumber di BRR punya cerita lain. Kali ini cerita tentang sebuah proyek pengadaan rumah pengungsi terpaksa mandeg gara-gara Pak Pejabat minta komisi. Ceritanya, satu badan sosial sepakat membangun ratusan rumah penggungsi. Tahap perencanaan yang melibatkan BRR sudah matang, bahkan tender pun sudah digelar. Tapi, menjelang pelaksanaan pembangunan, eh, tiba-tiba seorang pejabat berkirim surat. Singkat kata, surat itu menanyakan mengapa lembaga donor mesti bekerja sama dengan BRR. Bukankah umur BRR cuma empat tahun? Mestinya, kata Pak Pejabat tanpa malumalu, donatur itu bekerja sama dengan departemen yang dia pimpin. Ujung-ujungnya, mohon mafhum, bapak bersafari itu minta proyek plus komisinya. Gara-gara surat cinta Pak Pejabat, lembaga donor ini urung melanjutkan bantuan karena tak mau duitnya hilang dicuri. Mereka juga tak ingin ribut dengan para pejabat karena begitu hubungan retak sedikit, dengan angkuh pemerintah akan menyilahkan lembaga donor angkat kaki. Sampai November 2005, seluruh program pengadaan rumah yang dimotori lembaga ini membeku pada sebatas rencana *****
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
3
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
Pemerintahan yang majal, invalid, tidak jalan di saat-saat genting sebenarnya juga terjadi di negara lain. Satu miliar dolar bantuan dunia untuk korban gempa bumi di Bam, Iran, tahun 2000, misalnya, hanya terserap US$ 17 juta. Antara lain ini juga disebakan karena lemahnya fungsi pemerintahan. Pemerintah Amerika Serikat yang kelihatannya hebat itu juga dikritik habis-habisan lantaran
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
Bencana dengan skala Katrina, dengan 228 korban meninggal, sudah sanggup menjadikan negara sekelas Amerika Serikat kalang kabut.
tak becus menangani korban badai Katrina. Presiden Bush dinilai tidak tangkas mengatasi situasi darurat. Evakuasi lamban, pembangunan perumahan tak menentu. Isu rasisme sempat meletup lantaran sebagian besar korban berkulit hitam yang melarat — sebagian bahkan dilaporkan harus bergulat hidup dengan US$ 2 atau sekitar Rp 20 ribu sehari. Tokoh masyarakat, kolumnis koran-koran berwibawa, juga selebritis berteriak, “Situasi tak akan seburuk ini jika korban berkulit putih.” Bencana dengan skala Katrina, dengan 228 korban meninggal, sudah sanggup menjadikan negara sekelas Amerika Serikat kalang kabut. Pelbagai kelemahan sebuah bangsa, seperti ketidaksiapan negara menghadapi bencana, kebobrokan sistem sosial, kemiskinan dan pemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, dan lemahnya masyarakat madani, tiba-tiba muncul ke permukaan pada situasi darurat. Namun itu semua tidak membuat kita maklum jika pemerintah seperti tak bisa berbuat apa-apa untuk menangani korban tsunami. Hilang akal untuk sementara itu wajar, panik sesaat bisa juga dimaklumi, tapi jika hampir setahun departemen teknis tak kunjung melakukan program pemulihan, ini, mah sudah keterlaluan. Pemerintah Indonesia, pusat maupun lokal, sudah selayaknya 1000 persen serius dalam menanggapi komitmen bantuan. Dunia memberikan amanah pada kita semua untuk mengelola miliaran dolar bantuan. Teramat tinggi taruhannya apabila kita menanggapi kedermawanan dari segenap penjuru bumi ini dengan seenak perut. 2. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh di Nias Singa yang Dicabut Giginya Melambung betul harapan masyarakat kita dan dunia terhadap BRR. Seolah lembaga ini merupakan badan supersakti yang bisa menjawab semua persoalan Aceh dan Nias. Namun percakapan dengan Kuntoro Mangkusubroto di kantor Majalah Tempo, Ramadhan lalu menunjukkan BRR ini hanyalah singa ompong yang giginya sudah habis dicongkel dan cakarnya sudah rata dihaluskan. “Sulit sekali proses
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
4
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
pencairan dana untuk operasional kami,” kata Kuntoro. Dia bahkan sempat menguras saku pribadi sampai ratusan juta rupiah untuk BRR sebelum Departemen Keuangan akhirnya mencairkan dana. Secara formal, BRR memiliki otoritas setingkat menteri dengan kewenangan multidisipliner. Lembaga ini mestinya juga leluasa melakukan manuver ke segala penjuru, untuk meretas segala hambatan, demi cepatnya pemulihan Aceh. Tapi, kenyataan berkata lain. Ada banyak pagar tinggi yang tak bisa ditembus BRR.
Dari 428 lembaga yang bekerja di Aceh, sampai Oktober 2005, hanya sekitar seperempat yang mau menyerahkan konsep programnya kepada BRR .
Pengadaan sertifikat tanah adalah sebuah contoh. Bank Dunia sebenarnya sudah mencairkan dana bantuan pengukuran tanah dan pengurusan sertifikat untuk m a s y a r a k a t . G r a t i s , c u m a - c u m a . Pe r s o a l a n n y a , “Departemen Keuangan belum memberi lampu hijau,” kata Kuntoro.
Sertifikat gratis berarti juga mengurangi pendapatan pajak untuk negara. Padahal, pos pajak dari pengurusan sertifikat ini sudah diatur undang-undang dan Dirjen pajak juga dibebani target. Itu sebabnya para petinggi di Departemen Keuangan segan menyalakan lampu hijau. Celakanya, BRR sebagai pemegang otoritas rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh-Nias tak sanggup mencarikan jalan keluar. Kegagalan BRR menembus pelbagai hambatan, sedikit banyak mengurangi wibawa lembaga ini. Data berikut bisa menjadi petunjuk. Dari 428 lembaga yang bekerja di Aceh, sampai Oktober 2005, hanya sekitar seperempat yang mau menyerahkan konsep programnya kepada BRR. Selebihnya, memilih bekerja sendiri atau boleh jadi tak punya program. Apapun sebabnya, keengganan lembaga-lembaga donor “melapor” ke BRR akan menghambat koordinasi. Nota konsep sangat diperlukan guna memantau dan memetakan kemajuan pemulihan Aceh. Dengan nota konsep ini bisa dilihat mana daerah yang sudah ditangani, sejauh mana penanganannya dan mana daerah yang sama sekali belum tersentuh. Kuntoro memberi tenggat sampai Desember 2005 bagi lembaga donor untuk menyerahkan nota konsep. Jika sampai batas waktu tersebut mereka tidak juga nongol dan melapor, mereka akan “diusir” dari Aceh. Ini memang langkah tegas, meskipun sedikit terlambat. Beberapa lembaga yang bekerja serius jauh lebih baik ketimbang ratusan lembaga yang bekerja tanpa kejelasan.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
5
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
Betapa pun lemahnya posisi BRR, saya masih menaruh harapan besar pada Pak Kuntoro dan kawankawan. Seperti remaja belasan tahun, BRR masih perlu waktu mengenali diri dan medan kerja yang teramat kompleks penuh labirin persoalan. Jadi, mari kita berbesar hati memberi waktu pada BRR. “Kita beri waktu setengah tahun lagi. Nanti, barulah kita lihat bagaimana Pak Kuntoro dan kawankawan bekerja,” kata seorang aktivis LSM internasional. **** Seperti halnya BRR, badan yang menangani korban badai Katrina di Amerika Serikat, FEMA (Federal Emergency Management Agency), juga kedodoran. Bahkan, Michael Brown, petinggi FEMA, yang mengaku tak bisa menggerakkan pemerintah lokal untuk melakukan evakuasi,
Jika FEMA tak berdaya, bagaimana pula BRR, singa tanpa gigi itu bertarung di Aceh?
harus lengser dari jabatan. FEMA juga dinilai tak becus memenuhi target pemukiman bagi 150.000 korban. Sampai tenggat tiga bulan yang dijanjikan terlampaui, ribuan korban masih memenuhi pengungsian sementara di kamar-kamar hotel di Texas. Desember 2005, FEMA terpaksa menyetop pengungsian di hotel karena biaya sewanya melambung. Ini membuat nasib para korban kian merana, karena apartemen yang dijanjikan juga belum rampung. Jika FEMA tak berdaya, bagaimana pula BRR, singa tanpa gigi itu bertarung di Aceh? Tak bisa tidak: harus ada upaya untuk mendongkrak kewibawaan BRR, misalnya, dengan merilis peraturan pemerintah atau undang-undang yang memaksimalkan fungsi koordinasi BRR. Di sisi lain, Pak Kuntoro, perlu terus mengasah cakarnya dengan cara memperketat pengawasan publik, agar tak ada lagi pejabat atau siapa pun yang berani-beraninya memperalat tsunami untuk kantong pribadi.
Lembaga Donor dan Lembaga Swadaya Masyarakat N i ne t o F iv e dan Le mb aga Spe s ialis Se r o b o t “Is Aid the problem, not the solution?”, begitu judul laporan Der Spiegel yang menyentak saya. Laporan majalah Jerman, edisi 6 Juli 2005, ini menyoroti nasib negara-negara Afrika, yang selama beberapa dekade terakhir menjadi “darling” lembaga-lembaga donor. Hujan bantuan hingga miliaran dolar ternyata tak membuat kawasan ini membaik. Sebagian besar Afrika tetap saja melarat, salah urus, dan disesaki problem serius seperti kelaparan dan wabah HIV/AIDS. Salah satu contoh Der Spiegel adalah bantuan US$ 500.000 dari Norwegia buat pengungsi Rumbak, Sudan, April lalu. Uang sebanyak itu habis dipakai untuk membangun tenda pengungsi yang dihuni 500 orang. Bagaimana mungkin seribu dolar habis untuk tenda seorang pengungsi? Keruan saja, model
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
6
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
Der Spiegel menyimpulkan, sesungguhnya bukan hanya uang semata yang dibutuhkan negaranegara dalam situasi kepepet seperti di Afrika itu.
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
bantuan seperti ini menciptakan serentetan biaya serba mahal tapi tanpa bekas. “Jika cara-cara seperti ini tetap diteruskan,” kata Lammart Zwaagstra dari Departemen Bantuan Kemanusiaan, Uni Eropa, “penduduk lokal tak pernah mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri.” Der Spiegel menyimpulkan, sesungguhnya bukan hanya uang semata yang dibutuhkan negara-negara dalam situasi
kepepet seperti Afrika itu. Ada banyak perkara yang harus dibenahi. Salah satu yang terpenting: rantai birokrasi yang cenderung serakah dan rawan korupsi. Selain itu, kebanyakan lembaga donor tak punya kompetensi perencanaan, prioritas penyaluran cenderung keliru, dan akhirnya selalu mencari cara termudah dan tercepat untuk menghabiskan uang. Pos bantuan hanya disebar sana-sini tanpa menimbang kebutuhan masyarakat lokal dan tak memikirkan tindak lanjutnya. Ulasan Der Spiegel agaknya bisa menjadi cermin bagi Aceh. Berbagai insiden yang mirip kasus Afrika kerap saya temui di lapangan. Program cash for work, misalnya. Semangat program ini adalah menyediakan pekerjaan bagi pengungsi agar mereka tak melamun dan tenggelam dalam depresi. Untuk itu disediakan upah. Yang dimaksud pekerjaan bisa berupa pembersihan kampung, perbaikan los pasar, pengerukan lumpur di dermaga, penanaman bakau, atau sekadar mengepel lantai gedung pemerintah. Awalnya, beberapa lembaga menetapkan upah Rp 100 ribu per hari, yang tentu saja jauh melampaui pasaran harga tenaga kerja di Aceh. Angka ini kemudian disesuaikan hingga menjadi Rp 35 ribu per hari untuk tiap orang. Pada tahap ini program cash for work masih masuk akal dan bisa dimengerti. Terlebih bila program ini digelar pada bulan-bulan awal pascatsunami, ketika pengungsi belum tahu harus berbuat apa. Persoalannya, program cash for work cenderung tak terkendali dan meluas sampai hal-hal yang tak perlu. Sering kali program ini menjadi “tujuan” bagi perencana dan pelaksana program yang malas berpikir. Rapat anu, pertemuan itu, musyawarah ini, bahkan acara buka puasa bersama diperlakukan sebagai program cash for works... Akibatnya, sebagian komunitas pengungsi cenderung malas melibatkan diri dalam program pemulihan, apapun bentuknya, kecuali jika diberi upah. “Lama-lama untuk ngundang pengajian atau sholat berjamaah saja harus menyediakan upah,” kata Irwan, aktivis Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI), prihatin. Kekhawatiran ekstrim seperti ini memang belum pernah terjadi – dan moga-moga saja tidak akan pernah.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
7
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
Contoh lain. Berbagai NGO, terutama lembaga internasional berduit tebal, jor-joran memberikan bantuan kredit mikro, sebuah program yang layak diacungi jempol. Berikan kail, bukan ikan. Repotnya, program ini menuntut supervisi ketat. Bantuan yang cair harus benar-benar dimanfaatkan sesuai peruntukan, bukan sekedar numpang lewat atau dibelanjakan untuk keperluan konsumtif.
Tapi, ahoi, kerja keras, bung! Tak semua lembaga punya daya tahan, tekad, serta kebesaran hati menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan. Sebagian lembaga donor bekerja selayaknya business as usual, model kerja kantoran nine to five, mulai dari pukul 9 pagi sampai lima sore. Lewat itu, mohon maaf, kami sudah tutup.
“Maaf, kami harus pulang. Lewat pukul 5, pintu gerbang kantor ditutup dan besok kami bisa ditegur pimpinan,” kata seorang diantara mereka.
Maka, tersebutlah satu kisah, suatu hari di bulan Ramadhan. Rencananya, sore itu warga di sejumlah desa mau buka bersama sekaligus bermusyawarah membicarakan bantuan kredit mikro. Beberapa NGO internasional pun diundang. Sore hari, hadirin sudah memenuhi meunasah. Namun perbincangan belum memasuki wilayah serius, maklum puasa, kadar gula lagi rendah-rendahnya. Pembicaraan tentang kredit rencananya disimpan buat nanti setelah buka. Tapi menjelang pukul 5 sore, beberapa tamu dari NGO internasional mulai gerah. Posisi duduk mereka berubah setiap dua menit. Jam tangan seperti terus berteriak minta diperhatikan. “Maaf, kami harus pulang. Lewat pukul 5, pintu gerbang kantor ditutup dan besok kami bisa ditegur pimpinan,” kata seorang di antara mereka. Menanggapi permintaan pamit ini, Pak Keuchik terlihat agak kesal dan kecewa.“Lain kali, waktu buka bersama kita sesuaikan dengan jadwal kantor Ibu, ya,” kata Pak Keuchik, kecut. Dengan pola kerja kawan-kawan NGO yang nine to five, kita akan frustrasi dan merana bila berharap terlalu banyak dari mereka. Menyelami persoalan warga, mencairkan kredit mikro agar tepat sasaran, jeli mengenali tokoh-tokoh lokal, apalagi memotivasi warga untuk meraih kemandirian, adalah jauh dari jangkauan. Hasil akhir dari program pun ala kadarnya. Kenyataannya di lapangan, penyaluran kredit mikro Rp 20 juta atau Rp 5 juta per kepala keluarga, sebagian besar berujung pada sepeda motor baru, telepon genggam, celana jins, atau cincin dan kalung emas untuk bekal melamar gadis. “Pagi hari warga diberi uang untuk beternak kambing. Eh, sorenya, sudah pada keren dengan baju dan sepatu baru,” kata Irwan dari YRBI. Penerima kredit pun
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
8
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
tak sungkan bercerita bahwa baju dan sepatu baru itu merupakan akrobat uang kambing. “Nanti kan dikasih uang lagi,” kata seorang warga tersenyum luebar. Tak semua lembaga donor dan NGO bersikap sembrono serta kaku. Teman-teman di Urban Poor
Verifikasi penerima bantuan, misalnya, dilakukan berulang-ulang dengan melibatkan peran warga.
Consortium (UPC) Uplink adalah contoh lembaga yang bekerja habis-habisan. Rapat dengan masyarakat sampai larut malam, bahkan sampai jam 2 pagi, pun tak jarang mereka lakukan. “Yang penting persoalan beres, tak ada ganjalan, kita buka-bukaan sejak awal,” kata Sulistiono, 32 tahun, salah seorang aktivis Uplink.
Verifikasi penerima bantuan, misalnya, dilakukan berulang-ulang dengan melibatkan peran warga. “Pernah suatu kali ada keuchik yang memasukkan nama-nama kerabatnya yang tinggal di Medan. Warga sendiri yang mengecek dan mencoret nama-nama itu,” kata Sulis yang pernah tiga tahun mendampingi masyarakat di pedalaman Papua. Wilayah yang didampingi Uplink cukup luas, meliputi 23 desa di Meuraxa, Aceh Besar. Kawasan urban padat ini diwarnai problem yang kompleks. Latar belakang perekonomian pengungsi di wilayah ini dulunya amat beragam, mulai dari orang-orang kaya dengan rumah mewah, pegawai negeri, tukang becak, preman, pedagang ganja, bahkan juga calon-calon pengikut GAM. Tak heran bila interaksi aktivis Uplink dengan warga tak selalu mulus. Tak jarang ada warga yang dulunya orang kaya bersikap sok, memerintah si aktivis untuk mengerjakan ini-itu yang bisa dia kerjakan sendiri. “Anda kan dapat gaji karena kami kena tsunami,” begitu komentar sinis beberapa warga. Komentar ini hanya ditanggapi Sulis dengan senyuman, “Betul, kami dapat gaji karena Anda. Tapi, kami bukan pelayan yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Kami di sini untuk bekerja sama dengan Anda.” Setelah menegaskan posisi yang sejajar, barulah kerja terasa lebih mengalir lancar. Kali lain, ada truk pengangkut material bangunan yang dihadang preman. “Truk masuk harus bayar Rp 50.000, Bang. Ini buat kas desa,” kata seorang dari tiga pemuda yang menghadang truk. Sulis tahu uang itu bukan untuk kas desa. Pak Keuchik bahkan tidak tahu menahu ada pemuda menarik pungutan untuk truk yang mengangkut bantuan untuk desanya. Jurus-jurus persuasi sudah dilancarkan, tapi tetap gagal. Diskusi halus tak mempan. Menyerah pada kemauan preman juga tak mungkin. Berhari-hari truk tak bisa masuk wilayah bantuan. Sulis pun mengambil langkah dramatis.“Oke, mari bertukar KTP. Kita sama-sama ke gunung nanti malam,
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
9
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
selesaikan urusan ini sampai tuntas. Kalau saya mati, tolong serahkan KTP saya kepada keluarga saya. Kalau sampeyan yang mati, saya yang mengabari keluarga sampeyan,” kata Sulis yang berbadan kecil itu menantang. Belakangan, Sulis mengaku sebenarnya gentar juga saat melontarkan tantangan ini.
Syukurlah, tantangan tak bersambut. Gerombolan pemuda itu keder juga. “Wah, jangan begitu, Bang. Kita ini cuma bercanda. Masak jadi serius begini,” kata mereka. Ketegangan langsung mencair. Tawa dan jabat tangan
Kadang dibutuhkan “perjuangan” agar kita bisa benar-benar mendengar suara warga.
mengalir. “Ayo, ayo, Bang, ngopi dulu sebelum kerja.” Mendadak para pemuda gahar berubah ramah dan sejak itu mereka beralih haluan menjadi kawan setia dalam proses pendampingan yang dilakukan Uplink. Ilustrasi tadi menegaskan bahwa meraih respek warga kadang tak mudah. Tak cukup hanya sekadar naik mobol keren, pakai kacamata hitam, melakukan assesment singkat, lalu kembali ke kantor dingin berAC. Kadang dibutuhkan “perjuangan” agar kita bisa benar-benar mendengar suara warga. Begitu kita memberikan yang terbaik, warga akan membalas dengan kerja yang maksimal, percaya sama saya. Soal lain: tak sedikit LSM yang suka main serobot, kita sebut saja mereka lembaga spesialis serobot (LSS). Lembaga seperti ini malas bersusah-susah mendekati warga, membangun kepercayaan mereka atau menyiapkan fondasi bagi kebangkitan komunitas. Mereka lebih senang model bantuan instan, tinggal membagi pada komunitas yang siap. Yang penting, bantuannya besar dan menarik perhatian media. Persoalannya bagaimana bisa membangun rumah bila komunitasnya belum siap? Bagaimana menyumbang 1.000 perahu pada kelompok nelayan yang masih kocar-kacir? Nah, sedikit tipu sana tipu sini yang diterapkan LSS, kadang kala bisa berhasil. Lembaga Spesialis Serobot biasanya aktif berkeliling dari satu kamp ke kamp lain dengan tongkrongan superkeren. Sambil menebar bantuan logistik, beras, sarden, dan daging kaleng, aktivis LSS “belanja” lokasi. Komunitas yang sudah siap untuk diberi bantuan fisik akan segera dimasuki, tak peduli apakah mereka sudah punya komitmen dengan donatur lain. Tujuannya, semata-mata untuk mengibarkan bendera setinggi-tingginya. “Hai dunia, kami bekerja, lo, di Aceh.” Elis, aktivis Jesuit Refugee Service (JSR), memberi contoh. Sejak pekan-pekan awal tsunami, awak JRS mendampingi pengungsi dari Pulau Nasi di Mata’ie, Banda Aceh. Tiap pekan, JRS menyediakan kapal di Lampulo untuk menyeberangkan 30-an warga agar mereka bekerja membenahi kampungnya yang hancur, bersih-bersih, sekaligus menyiapkan areal pembangunan rumah. Seminggu penuh mereka
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
10
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
tinggal di pulau, untuk kemudian dipulangkan ke kamp pengungsian dan digantikan rombongan warga yang lain. “Mereka bekerja penuh semangat, tak perlu dibayar,” kata Elis. Bulan demi bulan proses gotong royong berlangsung. Hambatan bukan tak ada, tapi bisa diatasi. Warga kian bersatu padu menyiapkan kebangkitan mereka sendiri. Eh, mendadak muncul kerisauan. Rupanya ada lembaga spesialis serobot yang hendak memanfaatkan komunitas “siap pakai” tersebut untuk diberi bantuan fisik ini dan itu.
Paul Dillon, aktivis International Organization of Migration, menghimbau agar BRR lebih tegas menyaring NGO yang bekerja di Aceh-Nias.
Caranya? LSS merebut perhatian warga dengan iming-iming uang dan harta benda. Kerja bakti yang tadinya suka-rela, kini diiming-imingi uang saku, cash for work. LSS juga menebar janji akan segera membangun rumah yang jauh lebih bagus. Masih belum cukup, LSS juga membagikan sepeda motor gratis untuk tokoh-tokoh masyarakat. Kontan, terjadi perpecahan di kalangan masyarakat.
Sebagian masyarakat ingin terus bekerja dengan format lama bersama relawan JRS, sebagian lain tergiur iming-iming LSS. Akhirnya, “Demi kebaikan warga, kami memutuskan mundur dari wilayah tersebut,” kata Elis, “Silakan, deh, LSS bekerja penuh di situ. Kami mencari desa lain yang juga membutuhkan pendampingan.” ***** Persoalan lembaga donor memang amat beragam dan berlapis-lapis. Saya menempatkannya dalam peringkat ketiga peta persoalan karena yakin sektor ini lebih fleksibel dan mau mendengarkan kritik. Paul Dillon, aktivis International Organization of Migration, menghimbau agar BRR lebih tegas menyaring NGO yang bekerja di Aceh-Nias. Audit kinerja sangat dibutuhkan. “Lembaga yang cuma mengumbar janji, segera saja dikeluarkan. Mereka ini yang membuat kita semua jadi kelihatan buruk dan tidak becus bekerja,” katanya. Bila saringan ketat diterapkan, lembaga-lembaga yang tersisa akan berlari kencang, bekerja keras dan bersaing dalam kebaikan.
Masyarakat Lokal B eri Raky at K ep e rcayaan Pramoedya Ananta Toer, dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 Februari 2005, berkata yakin bahwa Aceh akan segera bangkit karena keberanian rakyatnya yang khas. Pramoedya
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
11
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
percaya bahwa keberanian rakyat Aceh adalah keberanian individu, berbeda dengan keberanian rakyat Indonesia dari suku-suku lain berupa keberanian kelompok. “Dalam hal watak dan keberanian, saya mengatakan di Aceh ada banyak seorang, sementara di Jawa dan daerah lain ada banyak orang,” kata Pramoedya. Frasa “banyak seorang”, yang orisinil Pramoedya, sungguh benar adanya. Di lapangan kita banyak berjumpa dengan sosok individu dengan keberanian dan ketabahan yang menggetarkan. Bukti-bukti ketangguhan “banyak seorang” ini dengan mudah bisa kita jumpai di sepanjang pesisir Aceh. Di Desa Kahju (Baitussalam), Desa Meunasah Keudee (Krueng Raya), dan Desa Jambo Mase (Lamno), contohnya, sebagian warga telah mendirikan gubuk darurat dari papan dan seng yang terbawa tsunami. Gubukgubuk ala kadarnya ini berdiri hanya tiga hari setelah tsunami, ketika bantuan dan relawan belum menjangkau Aceh. Dan, biar pun sifatnya darurat, gubuk semacam ini terbukti jauh lebih manusiawi, tahan banting, dan murah dibanding tenda jenis apa pun yang dibagikan lembaga donor dari mana pun.
Secara khusus saya juga terkesan dengan perjuangan Bidan Erni, 49 tahun, yang membuka klinik bersalin hanya 15 hari setelah tsunami. Klinik yang dibangun untuk menolong korban tsunami, terutama ibu hamil dan balita, ini beroperasi tanpa uluran dana dari lembaga mana pun. “Saya tak mau bergantung pada bantuan dan hanya menunggu uluran tangan. Cuma kita sendiri yang mampu menolong diri senndiri,” kata Bidan Erni.
“Kami sudah disiapkan untuk mati sejak di dalam ayunan ibunda. Hidup ini milik Allah, kapan pun Dia bisa mengambilnya,”kata Panglima Laot Lampuuk Tengku Mohamad Cut Nyak Daud.
Jangan keliru, Bidan Erni juga korban tsunami. Tiga putri dan suaminya hilang ditelan gelombang. Tinggal putra sulungnya, yang kebetulan sedang kuliah di Bandung, yang selamat dari bencana. “Saya sendiri terseret air bah sampai berkilo-kilometer,” kata Erni, “Tapi, saya tidak mau membuka lembaran itu. Sudah saatnya kita maju ke depan.” Masyarakat Aceh memang punya daya tahan yang tinggi. “Kami sudah disiapkan untuk mati sejak di dalam ayunan ibunda. Hidup ini milik Allah, kapan pun Dia bisa mengambilnya,” kata Panglima Laot Lampuuk Tengku Mohamad Cut Nyak Daud. “Itu sebabnya,” Tengku Daud melanjutkan, “Mana ada kita dengar ada orang Aceh bunuh diri gara-gara stres di pengungsian?” Pendapat ini ternyata memiliki dukungan ilmiah. Kawan saya, Dr. Irmansyah, Kepala Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, melakukan survei problem kesehatan mental masyarakat Aceh-Nias setelah tsunami. Sebagai pembanding, tim Dr. Irmansyah meneliti pula warga
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
12
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
Aceh, Nias, dan Jakarta yang tak terkait secara langsung dengan tsunami. Survei melibatkan 648 korban tsunami dan 223 pembanding yang tersebar dari Banda Aceh, Calang, Meulaboh sampai Nias dan Jakarta. Hasilnya menarik.“Masyarakat Aceh punya kemampuan pulih dari stres melebihi kemampuan orang Jakarta,” kata Irmansyah. Berdasarkan patokan metodologi Connor-Davidson, warga Aceh mencatat skor daya reslisinesi 655, warga Nias 125, dan Jakarta hanya 87 atau tak sampai 15% daya resiliensi orang Aceh. Meskipun demikian, harus dicatat bahwa berbagai persoalan kesehatan mental masih tetap ada di bumi Aceh-Nias dan membutuhkan penanganan serius. ****
Dari perbincangan itu tampak jelas, ada persoalan serius: harga diri sebuah bangsa yang telah dilukai berulang kali.
Keberanian, daya tahan, kemampuan pulih masyarakat Aceh memang luar biasa. Aset yang tak ternilai untuk segera bangkit lagi. Namun, seperti saya singgung dalam beberapa bagian dalam buku ini, konflik berlarut-larut selama tiga dekade terakhir telah merapuhkan kekompakan warga Aceh. Masyarakat tidak mudah bergerak secara bersama-sama menuju sebuah cita-cita bersama. Syak wasangla dan kecurigaan gampang merebak. Sifat “banyak seorang”, mau tidak mau, turut memperparah situasi serta menuntut pelaksanaan koordinasi yang ekstra tinggi. Memang ada banyak sosok pemberani penuh inisiatif seperti Bidan Erni, Panglima Laot Lampuuk Cut Nyak Daud, Panglima Laot Krueng Raya Achmad Zakaria, Panglima Laot Meulaboh Teuku Risman, dan Keuchik Jambo Mase Ali Bahsyah. Namun harus diakui pula, sebagian besar warga Aceh masih tak berdaya, terutama lantaran sistem sosial yang rusak akibat konflik berpuluh-puluh tahun. “Setiap kali bertemu warga, saya berusaha menggali aspirasi mereka. Dan, setiap kali pula pembicaraan selalu kembali pada sejarah,” kata Kuntoro Mangkusubroto. Orang Aceh akan mengingatkan Kuntoro soal Seulawah, pesawat pertama pemerintah RI yang dibeli dari sumbangan emas warga Aceh. Juga soal janji Presiden Soekarno yang awalnya bukan mau menjadikan Aceh propinsi tersendiri, tapi malah disatukan dengan Sumatera Utara. Juga soal status daerah istimewa yang selalu dipersoalkan dan tentang Medan yang cenderung diistimewakan ketimbang Banda Aceh. Dari perbincangan itu tampak jelas, ada persoalan serius: harga diri sebuah bangsa yang telah dilukai berulang kali. Ketimpangan taraf perekonomian, pemerintahan pusat yang korup dan menyedot
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
13
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
kekayaan daerah dan pendekatan militeristik, telah membuat luka yang dalam. Masyarakat yang terbiasa dilukai itu kemudian menjadikan curiga sebagai perisai. Perbincangan dengan relawan juga menyimpulkan adanya kecenderungan sikap selalu curiga di kalangan masyarakat.“Awalnya saya dikira sebagai intel, SGI (Satuan Gabungan Intelijen) Kopassus, hanya karena rambut cepak dan perawakan tinggi,” kata Asep Mulyana, 28 tahun, seorang relawan dari Yayasan Puter. Diskusi pun tak bisa leluasa. Sering kali warga menolak berbicara dalam bahasa Indonesia, bukan karena tak bisa tapi semata-mata ingin melindungi diri dari penyadapan informasi oleh tentara. Baru setelah berbulan-bulan bergaul dan menghadapi pahitnya situasi yang sama, pelanpelan kepercayaan warga mulai tumbuh. “Sekarang kita biasa ledek-ledekan dengan relawan, malah saling mencarikan pacar, haha…,” kata Abu Bakar, penduduk Desa Lamsenia.
Rumah darurat yang dibangun warga, tiga hari setelah tsunami, Krueng Raya (Mardiyah Chamim)
Sulistiono, aktivis UPC - Uplink juga merasakan hal serupa. Bagi masyarakat Aceh, janji NGO, janji relawan, juga janji pemerintah, dipandang sebagai utang. “Kalau kita ingkar, mereka akan mencatat di dalam hati. Tiga kali ingkar, kita langsung disepelekan,” katanya. Sebagai contoh, masyarakat di
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
14
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
wilayah Ulee Lheu sempat marah dan merobohkan papan kayu bertuliskan : “Di sini akan dibangun rumah oleh NGO Anu.” Hampir setahun berlalu, janji si NGO tak kunjung terbukti meski sudah ditagih berulang kali. Walhasil, papan nama jadi korban dan NGO tersebut kehilangan respek.
Yang juga penting, Uplink langsung menyerahkan supervisi pembangunan rumah kepada calon pemilik.
Sebaliknya, janji warga kadangkala sulit dipegang. “Kalau mereka janji mau kerja tapi kemudian mangkir, mereka cuek saja,” kata Sulis. Agaknya memang dibutuhkan kesabaran ekstra untuk mengorganisir masyarakat yang rapuh, seperti kata Marco Kusumawijaya, arsitek yang bergabung dengan UPC – Uplink.–“Kita juga harus rela mempercayai mereka,” katanya.
Mempercayai berarti juga melibatkan warga. Dalam hal pembangunan rumah, misalnya, Uplink hanya menyediakan dana, material, serta garis besar rancangan. Warga berhak mengatur sendiri warna rumah, tata letak ruangan, bahkan jumlah kamar. Ini berebeda dengan lembaga donor atau NGO lain yang umumnya memberikan paket perumahan yang seragam, mulai dari spesifikasi bangunan, interior, sampai warna cat. Sepintas, pendekatan Uplink terasa sepele namun dampaknya besar: warga merasa mempunyai kedaulatan atas calon rumahnya dan berusaha keras untuk mewujudkan rumah impian mereka. Yang juga penting, Uplink langsung menyerahkan supervisi pembangunan rumah kepada calon pemilik. Sebuah rumah di Peukan Bada, Marco memberi contoh, selesai dikerjakan sepasang suami-istri hanya dalam tempo 28 hari. “Kualitasnya pun bagus. Bahkan, temboknya dibikin lebih tebal dari ukuran biasa,” kata Marco. **** Saya menempatkan kapasitas masyarakat lokal dalam peringkat keempat dalam peta persoalan pemulihan Aceh, sebab saya yakin mereka sanggup bangkit serta menata diri. Cerita tentang rumah Uplink membuktikan bahwa warga mampu mewujudkan yang terbaik bagi mereka, bukan terbaik dalam pandangan donor atau NGO. Kita hanya perlu mendengar dan memberi kepercayaan. Dengan cara ini, masyarakat sendiri yang menghidupi berbagai program dan mereka akan berusaha maksimal menuju masa depan yang lebih baik.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
15
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
Damai yang Masih Rapuh Te n t a ng Cengkeh dan Kembang Pala “Insya Allah, perdamaian kali ini akan tahan lama,” kata Panglima Laot Lampuuk Tengku Cut Nyak Daud memberi komentar atas Kesepakatan Helsinki.“Kami, rakyat Aceh, sudah capek terjebak di tengah,” katanya. Panglima Cut Daud tahu betul rasanya terpanggang konflik, meskipun dia tak ikut-ikutan angkat senjata. Selama masa DOM maupun Tertib Sipil warga dilarang naik ke perbukitan untuk menengok kebun cengkeh, kebun pala, kebun manggis, atau ladang cabe mereka. Kalau mau nekad, resikonya mahal: didor…! Gubuk-gubuk kayu di kebun Tengku Daud pun dibakar tentara lantaran diduga menjadi tempat berlindung GAM. “Ada kerabat kami yang meninggal gara-gara ditembak tentara waktu mencoba naik ke bukit untuk petik cengkeh,” kata Cut Indirayani, 27 tahun, putri sulung Te n g k u
Daud
mengisahkan. Akibatnya, berbilang tahun ladang cengkeh, pala, duren dan manggis di perbukitan menganggur. Pepohonan kehilangan kesempatan untuk berbakti pada manusia. Bunga cengkeh gugur tersia, kembang
pala
membusuk, buah durian
Dari atas bukit Babad Dua, Lamno. Januari 2005 (Mardiyah Chamim)
jatuh tak bertuan. Barulah Oktober lalu, ketika perdamaian tumbuh setelah kesepakatan Helsinki, Cut Nyak Daud membulatkan tekad naik ke bukit, menyambangi kebun yang lebih dari enam pasang musim terbengkalai. Syukurlah, meskipun tersia-sia, bumi masih pemurah. “Ayah dapat tiga karung cengkeh,” kata Cut Indirayani. Berbinar wajah cantiknya.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
16
CATATAN DARI ACEH, JANTUNG ZONA PANAS TSUNAMI
EPILOG Menuju Aceh Masa Depan
Bunga cengkeh, kembang pala, buah durian, semoga engkau tak tersia-siakan lagi. Ratusan ribu petani di Aceh bersujud syukur menyambut kesepakatan damai RI-GAM. Hanya damai yang memungkinkan mereka kembali merawat tanah yang telah begitu pemurah, tanah subur yang ditinggalkan begitu saja setiap kali ada kontak senjata.
Proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh juga akan menjadi batu ujian yang penting.
Sejauh ini, proses perdamaian relatif lancar. Beberapa ganjalan, seperti penyerahan senjata GAM yang dinilai tak memenuhi syarat atau insiden pemukulan warga, masih bisa diatasi. Namun, ada perlunya kita tetap waspada. Proses perdamaian masih harus menempuh jalan panjang. Ujian mungkin akan datang ketika pengamat internasional dan
orang-orang asing sudah angkat koper dari Aceh. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh juga akan menjadi batu ujian yang penting. Jika pemulihan berlangsung lamban, berlarut-larut, bahkan mungkin dianggap gagal dan penuh korupsi, ketidakpuasan rakyat bisa memuncak. “Bukan tidak mungkin akan terjadi mass frustration, keputusasaan massal,”kata Humam Hamid, seorang tokoh intelektual Aceh. Resiko keputusasaan massal, celakanya, bisa bersenyawa dengan peluang ketegangan yang mungkin terjadi ketika pemilihan kepala daerah langsung, tahun 2006. Persaingan antar partai politik bukan mustahil akan memicu ketegangan dan kerisauan sosial. Bukan siapa kalah dan siapa menang yang jadi persoalan betul. Tapi, “Apakah pihak-pihak yang bersiap menuju Pilkada 2006 siap menerima kekalahan dengan legowo?” kata Humam Hamid. Ketidaksiapan menerima kekalahan inilah poin yang paling krusial untuk menciptakan ledakan sosial yang bisa dijadikan alasan untuk kembalinya pendekatan militeristik. Cerita lama pun bisa terulang. Mudah-mudahan mimpi buruk itu tak terjadi. Mudah-mudahan doa anak yang kehilangan bapak, istri yang ditinggal suami, ibu yang jantung anaknya diterjang serpihan peluru, akan tetap mujarab menjaga perdamaian. Mudah-mudahan pula meunasah yang kembali diramaikan tengku yang mengaji Al Qur’an, kembang pala dan cengkeh yang tak lagi berbunga sia-sia, juga perahu yang kembali mendapatkan nelayan, akan terus bertambah subur. Doa dan harapan saja memang tidak cukup. Bangsa ini harus bekerja keras mewujudkan perdamaian dan hari yang lebih baik.
Catatan dari Aceh, Jantung Zona Panas Tsunami
17