SEJARAH KAMPUNG NAGA Asal-usul kampung adat ini tidak begitu jelas. Tidak diketahui dengan terang kapan, siapa yang mendirikan serta bagaimana kampung ini berdiri. Hal ini konon disebabkan manuskrip-manuskrip peninggalan leuhur yang bisa menceritakan sejarah kampung terbakar pada saat pemberontakaan DI/TII tahun 1956. Gerombolan pemberontak yang tidak senang karena masyarakat kampung tidak mendukung perjuangan mereka, membumihanguskan kampung termasuk tempat penyimpanan pusaka. Penamaan Naga sendiri cukup aneh, karena sebagaimana diketahui naga adalah ciri khas budaya Tiongkok. Sedangkan kampung tersebut bisa dikatakan jauh dari pengaruh itu. Tidak terdapat ornamen-ornamen atau pun gambaran tentang hewan naga di Kampung Naga. Ada yang mengatakan, nama Naga berasal dari “Na Gawir”, yatu bahasa sunda yang artinya “berada jurang.” Ini karena kampung ini berada pada lereng lembah sungai Ciwulan. Mengenai asal-usul terbentuknya kampung, konon berasal dari seorang tokoh bernama Sembah Dalem Eyang Singaparana. Beliau adalah murid dari Sunan Gunung Jati yang ditugaskan menyebarkan agama Islam ke barat. Dalam perjalanannya, beliau singgah di desa Neglasari, saat ini menjadi bagian dari kecamatan Salawu Tasikmalaya. Dari desa tersebut, Singaparana bersama murid-muridnya kemudian membuka tempat yang saat ini menjadi Kampung Naga. Makam Sembah Dalem Singaparana terletak di hutan di sebelah barat kampung dan dikeramatkan oleh warga.
Baca juga Kampung Kuta: Asal Usul, Tradisi dan Kehidupan Berkesenian
LOKASI KAMPUNG NAGA
Wisata Kampung Naga Kampung Naga terletak pada sebuah lembah yang subur seluas kurang lebih 1,5 hektar. Topografinya berbukit dan sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan dan kolam. Selebihnya digunakan untuk lahan pertanian berupa sawah yang dapat dipanen 2 kali dalam setahun. Di sebelah barat dibatasi oleh hutan keramat, sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk serta di sebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari gunung Cikuray, Garut. Secara administratif, kampung ini berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi kampung tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Dari kota Tasikmalaya kampung ini berjarak sekitar 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut sekitar 26 kilometer atau kira-kira bisa ditempuh kira-kira kurang dalam satu jam. Patokannya adalah koordinat S7.36440 E107.99470. Untuk memudahkan, klik kampung naga maps.
Bila menggunakan kendaraan pribadi, dari Jakarta rutenya adalah: Tol Jakarta – Cikampek -> Tol Purbaleunyi -> Gerbang Tol Cileunyi -> Nagreg -> arah Garut Kota -> Cilawu -> Lokasi. Sedang dari Bandung mengambil rute: Cileunyi -> Rancaekek -> Nagreg -> Leles dan Garut Kota -> Cilawu -> Lokasi. Apabila menggunakan kendaraan umum, dari Jakarta naik bus jurusan Kampung Rambutan – Garut – Singaparna turunkan di Lokasi. Sedang dari Bandung menggunaka bus jurusan Bandunng – Garut – Tasikmalaya (Singaparna) di terminal Cicaheum, lalu berhenti di Kampung Naga. Bila telah sampai, dari pinggir jalan raya Garut-Tasikmalaya (tempat parkir) untuk menuju kampung kita harus menuruni tangga (sunda: sengked) yang sudah ditembok sampai ke tepi sungai Ciwulan sejauh 500 meter dengan kemiringan sekitar 45 derajat . Tandanya adalah sebuah tugu kujang raksasa. Dari tugu ini kita harus berjalan kaki menyusuri tangga berbatu yang menurun ke Kampung Naga. Sebuah perjalanan yang sangat indah yang dikelilingi keindahan panorama sawah yang menghijau.
MASYARAKAT KAMPUNG NAGA Menurut catatan yang ada di Desa Neglasari Kecamatan Salawu, tahun 2010 jumlah penduduk kampung adat ini berjumlah 312 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga 108 Kepala Keluarga (KK). Baca juga Astana Gede Kawali – Ibukota Kerajaan Galuh Masa Lalu Sedangkan jumlah bangunan 113 buah bangunan 55 rumah termasuk bangunan khusus yaitu satu balai pertemuan, satu mesjid dan satu bumi ageung. Namun sebenarnya jumlah masyarakat Naga yang termasuk adat ”SaNaga” masih banyak. Yaitu mereka yang tinggal di luar kampung. Bahkan ada juga orang Naga yang bertempat tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Garut, Tasikmalaya dan lain-lain. Mereka yang bertempat di luar kampung, masih tetap terikat oleh adat Naga dan setiap penyelenggaraan upacara adat mereka datang ke kampung untuk berziarah ke makam keramat. Namun mereka tidak terikat lagi oleh ketentuan adat seperti membuat rumah panggung dan aturan lainnya. Untuk kelangsungan hidupnya, masyarakat kampung memiliki sumber mata pencaharian dari pertanian sawah dan ladang. Baik sebagai pemilik, penggarap, maupun buruh. Sebagai mata
pencaharian tambahan, sebagian masyarakatnya membuat barang anyaman atau kerajinan tangan dari bambu.
SISTEM RELIGI Masyarakat Naga mengaku beragama Islam. Walau demikian mereka juga amat taat memegang adat-istiadat serta keyakinan nenek moyangnya. Dalam kata lain, meskipun mereka menyebutkan memeluk agama Islam, namun syariat yang mereka lakukan agak berbeda dengan pemeluk Islam yang lain. Contohnya, salat lima waktu hanya dilakukan pada hari Jumat, sedang hari-hari biasa tidak. Pengajaran mengaji untuk anak-anak di kampung ini dilakukan pada malam Senin dan malam Kamis. Sementara untuk orang tua pada malam jumat. Menunaikan ibadah haji, mereka berasumsi tak perlu jauh-jauh pergi Mekkah, cukup melaksanakan upacara hajat sasih yang waktunya bertepatan dengan Idul Adha 10 Rayagung (Dzulhijjah).
Kampung Naga
TRADISI KAMPUNG NAGA Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati tradisi leluhur. Mereka menolak segala hal yang tidak berasal dari ajaran nenek moyang. Mereka mempercayai keberadaan mahluk halus, seperti jurig cai, ririwa dan kunti anak yang tinggal di tempat-tempat angker dan jarang disinggahi manusia. Tradisi lain yang dimiliki oleh komunitas tersebut adalah berbagai upacara adat yang sering dilaksanakan. Yaitu diantaranya:
MENYEPI Dilakukan pada hari Selasa, Rabu, dan Sabt, upacara ini wajib dilaksanakan oleh semua penduduk kampung dan bersifat individual. Tujuannya menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat.
HAJAT SASIH Upacara ini diikuti oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di kampung maupun di luar. Waktu pelaksanaannya biasanya bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Upacara Hajat Sasih dilakukan dengan ziarah dan membersihkan makam leluhur. Tujuannya memohon berkah dan keselamatan serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikan kepada seluruh warga.
KAWINAN Upacara ini dilakukan setelah selesainya akad nikah. Dilaksanakan dengan sangat sakral, mulai dari penentuan tanggal baik untuk perayaan sampai dengan resepsi berakhir. Tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak endog, buka pintu, ngariung, ngampar, dan diakhiri dengan munjungan.
WISATA KAMPUNG NAGA Dengan daya tarik sebagai mana disebutkan di atas, maka kampung ini menjadi magnet bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Setiap hari sekitar 20-an orang asing berkunjung ke kampung ini. Memang tidak ada atraksi khusus untuk menyambut atau menghibur para wisatawan. Kalau pun ada bukanlah diperuntukkan bagi para pengunjung melainkan sebagai bentuk pertunjukkan warga lokal saja. Masyarakat Naga menolak kampung mereka disebut sebagai obyek wisata. Alasannya: mereka tidak ingin dijadikan tontonan, sebaliknya mereka ingin agar dijadikan tuntunan.
TIKET MASUK KAMPUNG NAGA GARUT Untuk berwisata ke kampung tidak dipungut biaya sepeser pun. Tapi, kita masih dapat berkontribusi dengan membeli cinderamata dan menyewa jasa pemandu. Selama musim liburan, Kampung akan semakin ramai oleh para pelancong. Biasanya wisatawan yang mampir dari Jakarta atau Bandung. Ini dikarenakan lokasinya yang mudah dicapai, hanya beberapa ratus meter dari jalan raya.
Meskipun hanya singgah, para wisatawan dapat merasakan kedamaian sejenak ketika berada di Kampung Naga.
Mereka juga memiliki banyak pantangan yang harus dipatuhi oleh seluruh penghuni kampung. Misalnya dalam tata cara membangun rumah, bentuk, letak dan arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.