Heboh Inul di Kampung Saya Dalam soal mengenal Inul, kuping saya mendahului mata. Suara penyanyi dangdut-rock asal Surabaya itu setiap kali, pagi-siang-malam, menyembur dari corong-corong VCD tetangga. Saya sama sekali tak terprovokasi oleh kenyataan ini. Bukan karena nyanyian yang memenuhi seantero kampung itu tidak menggoda, tapi lebih karena saya telah mengerti kekuatan dangdut sejak lama. Waktu SMP saja, saya sudah dibimbing oleh kakak-kakak kelas untuk melihat pentas dangdut terbuka, tidak dari depan, tapi dari bawah panggung sambil diminta ngintip celana para penyanyinya. Begitu dewasa saya dapati fakta, bahwa dangdut telah menjadi wabah laten belaka. Tetangga saya, seorang pedagang, jika sudah berkaraoke dangdut kesukaannya, akan segera menyihir seluruh tetangga. Bukan oleh merdu suaranya, melainkan oleh keras volume loudspeaker-nya. Sudah tentu, ada sementara orang yang terganggu, tapi selebihnya malah geli dan tertawa-tawa saja. Sumber kegelian itu bermancam-macam, tapi di antaranya adalah: pertama, bahwa ada orang yang begitu buruk suaranya tapi berani menyanyi dengan begitu kerasnya, tentu sudah hiburan tersendiri. Kedua, pedagang ini dikenal sebagai pekerja keras, cinta keluarga, ringan kaki, dan besar jasanya bagi desa. Maka heboh karaokenya itu lebih dipahami sebagai humor belaka. Katimbang membenci, para tetangga lebih banyak yang geli dan berempati. Tetangga yang lain, sopir bus kota, juga berwatak serupa. Berbadan besar, bersuara keras, sikapnya jujur dan terbuka. Semua jenis keamanan kampung ada di tangannya. Jika seorang kawan absen meronda, dialah penggantinya. Tapi semua kedermawanan ini tidak gratis. Ada ongkosnya. Tapi ongkos itu juga murah saja: jika ada acara karaoke jangan lupa undang dia. Jika sudah diundang, jangan lupa, beri dia kesempatan menyanyi. Berdangdut di hadapan berpasang mata adalah kebahagiaannya yang sejati, walau dari kecil hingga tua orang ini hanya bisa menyanyi satu lagu saja, Hidup Di Bui. Pesan dari itu semua jelas, betapa dangdut telah menebar kekuatannya sejak lama. Maka jika hari ini harus meributkan Inul, pastilah sebuah keributan yang tidak perlu, pikir saya. Tapi tunggu, suatu kali ternyata hasutan itu justru datang dari istri, wanita yang menurut saya paling sulit terpengaruh oleh apa saja. ''Ayolah, tonton gayanya,'' katanya. Sekeping CD bajakan telah dia pinjam dari tetangga. Pertama apriori juga pada selera istri ini. Dia lupa, bahwa gaya dangdut paling berbahaya pun telah menjadi hal biasa bagi saya. ''Tapi ayolah,'' bujuknya. Okelah, demi keutuhan rumah tangga. VCD ini pun diputar dengan Inul muncul menyapa penontonnya. Katimbang kostum senam ketat kesukaannya, saya lebih tertarik pada celotehnya, enteng, ceplas-ceplos, riang gembira. ''Apaaa bokong? Belum-belum kok sudah bokong to rek. Ini saja sudah saya kecilin lho,'' katanya. Lugas, jenaka. Selebihnya, fisik Inul tidak luar biasa. Jika harus berperang melawan keseksian guru-guru aerobik di televisi itu, Inul akan tumbang di ronde pertama. Lalu apanya? Tidak ada apa-apanya bahkan ketika Inul sudah menghabiskan sebait lirik lagu pembuka. Baru ketika masuk interlude, ketika lagu slow rock itu berubah menjadi full dangdut, saya kaget setengah mati. Penyanyi ini tiba-tiba memutar pantatnya sedemikian rupa. Hahaha... saya tak kuasa untuk tidak tertawa sekeras yang saya bisa. Sebagai laki-laki, saya baru menyaksikan goyang pantat seperti ini, nekat, brutal dan tidak peduli. Tak peduli apakah cocok dengan irama dan musiknya, tak peduli apakah ia kontras dengan lirik dan lagunya. Pokoknya inilah goyang wajib Inul yang menimbulkan gempa di mana-mana itu. Goyang itulah yang di beberapa daerah langsung disebut sebagai goyang bor, sementara di beberapa tempat lain malah menjadi lebih gawat: goyang sejuta umat. Goyang yang kemudian menimbulkan gerah sebagian angota masyarakat: ''Merusak moral,'' katanya. Soal terakhir inilah yang sebenar-benarnya godaan bagi saya. Karena setahu saya,
kerusakan moral ini telah demikian parah, jauh sebelum Inul menggoyang pantatnya. (PrieGS/)