NAMA: HIPSIAH NIM : E1B017017 KELAS: REGULER PAGI A TUGAS I “ PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA”
SEJARAH TATA HUKUM INDONESIA A. Periode 1840-1890 Pada saat ini pemerintah Belanda menguasai daerah jajahannya bukan semata-mata tujuan politik dan pemerintahan, tetapi tidak lepas dari upaya menguasai sector prekonomian melalui penguasaan sector perdagangan secara monopoli. Untuk itulah maka perusahaan dagang Belanda melalui VOC dibeikan hak monopoli untuk pengelolaan hasil bumi melalui ekspor impor komoditas strategis. Hak-hak monopoli itu dilakukan melalui aturan hokum yang dibawa oleh belanda dipaksakan berlaku untuk orang Indonesia, seperti ketentuan hokum dagang dan asas hokum romawi. Disamping membawa hukumnya sendiri, pemerintah belanda di daerah jajahannya, melalui Gubernur Jendralnya sejak Pieter both tahun1610 melakukan pembentukan peraturan, bagi kasus-kasus tertentu bagi karyawan VOC di daerah jajahannya. Hal itu tanpak dari dibuatkannya statute van Batavia tahun1642 kemudian menjadi nieuw bataviase statute tahun1766. Persoalan unifikasi hukum sebagaimana yang dicita-citakan kaum liberal tidak dapat diterapkan dengan mudah. Situasi masyarakat yang majemuk dan pertimbangan besarnya biaya yang harus dikeluarkan pemerintah kolonial, menjadi rintangan pemberlakuan hukum kodifikasi Belanda di tanah jajahan. Dualisme hukum tetap hidup di masyarakat. Di satu sisi, hukum Belanda masih berlaku bagi golongan Eropa, sedangkan di sisi lain, sebagian besar masyarakat lokal masih tunduk terhadap hukumnya sendiri. Dualisme hukum yang berlaku di Hindia-Belanda tidak menyurutkan perjuangan politisi liberal untuk memperjuangkan unifikasi hokum Perkembangan politik hukum kolonial pada kurun waktu 1860-1890 ditandai oleh dua hal, yaitu a) langkah konkret kaum liberal untuk memberlakukan hukum Eropa di Hindia-Belanda melalui produk perundang-undangan demi memajukan perekonomian Hindia-Belanda, b) permasalahan seputar konflik budaya (dan juga kehidupan hukum) antara golongan Eropa dan golongan pribumi sebagai akibat dari adanya perbedaan alam pikiran dalam berbagai segi kehidupan, khususnya ekonomi, pemerintahan, dan hukum.
B. Periode Tahun 1890-1940 Ketika pemerintahan belanda melalui gubernur jendralnya daendels dari tahun 1800-1811, mencoba meneruskan ketentuan hokum yang diberlakukan sebelumnya. Politik hokum yang seperti ini tentunya dimaksudkan agar penguasaan sector ekonomi oleh penguasa Belanda tetap berjalan secara baik dan tidak menimbulkan persoalan hokum yang baru. Hanya saja ketika pemerintah belanda harus melepskan penguasaan Indonesia kepada inggris melalui Thomas Stamford raffles dari tahun 1811-1814. Inggris mencoba membuat kebijakan yang menyangkut”hokum pertanahan” dengan menerapkan pajak bumi dan sewa tanah untuk warga pribumi(landrente).
Pada tahun 1904, P.I. Idenburg yang menjabat sebagai Menteri Koloni mengajukan rancangan undang-undang yang memungkinkan pengkodifikasian hukum perdata materil untuk seluruh golongan penduduk di Indonesia. Upaya ini didukung oleh C. Th. van Deventer yang mengakui bahwa “sekalipun kenyataan-kenyataan setempat memang memerlukan keragaman hukum, akan tetapi sesungguhnya pendapatnya keragaman seperti itu tidaklah seyogyanya dipertahankan demikian”. Namun upaya ini segera ditantang oleh C. van Vollenhoven yang melihat realitas keberagaman/kebhinekaan yang di Hindia-Belanda sama sekali tidak memungkinkan dilakukannya kodifikasi dan unifikasi hukum di Hindia-Belanda. Upaya van Vollenhoven ini dapat dipandang sebagai upaya untuk mempertahankan hukum adat (adatrecht) yang dianut oleh sebagian besar masyarakat pribumi. Dalam upayanya mempertahankan hukum adat yang dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat pribumi, van Vollenhoven memberikan argumentasinya bahwa sebelum pemerintah mengintervensi tatanan adat dan tata hukum adat, pemerintah semestinya melakukan pengkajianpengkajian terlebih dahulu. Ia pun membantah dengan keras setiap pandangan yang menganggap bahwa masyarakat pribumi Hindia-Belanda tidak memiliki hokum. Pada tahun 1919, van Vollenhoven bereaksi, manakala pemerintah bersikeras mau mamasukkan semua penduduk Hindia-Belanda ke dalam yurisdiksi hukum Eropa sebagaimana yang disiapkan oleh Pleyte. Atas sejumlah kritik yang dilontarkan oleh van Vollenhoven, akhirnya RUU yang dipersiapkan oleh Pleyte akhirnya ditarik. Akan tetapi, amandemen yang pernah dipersiapkan oleh van Idsinga sebelumnya dinyatakan berlaku, untuk menyempurnakan pasal 75 RR yang menetapkan pemberlakuan hukum Eropa hanya kepada golongan Eropa, dan hukum adat, sejauh tidak bertentangan dengan asas kepatuhan dan keadilan, dinyatakan tetap berlaku bagi golongan pribumi. Keberhasilan pemberlakuan unifikasi Hukum Pidana pada tahun 1918, mendorong F.J.H. Cowan untuk menyiapkan Hukum Perdata bagi Hindia-Belanda yang dianggapnya layak untuk diunifikasi dengan alasan, a) hukum adat yang tidak tertulis menimbulkan ketidakpastian hukum, b) pemberlakuan berbagai macam hukum untuk berbagai macam golongan penduduk akan menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Perlawanan van Vollenhoven berhasil dengan ditariknya usulan rancangan perundang-undangan yang telah dipersiapkan oleh Cowan. Harus diakui pula bahwa sekalipun van Vollenhoven mengeritik segala bentuk upaya untuk mengunifikasi hukum Eropa, ia sebenarnya tidak menentangnya. Namun, ia sangat tidak menyetujui jika mayoritas penduduk pribumi harus ditundukkan di bawah hukum minoritas Eropa. Pemerintahan Inggris melakukan pembentukan beberapa lembaga peradilan: 1. Division’s court(pengadilan yang berada di tingkat kecamatan yang hakimnya terdiri dari demang dan wedana untuk memeriksa perkara perdata yang nilai perkaranya kurang dari 20 ropyen. 2. Distruct’s court(lembaga pengadila dalam perkara perdata yang memeriksa perkara yang nilainya antara 20-50 ropyrn. Diketuai oleh Bupati dan anggota-anggota yang ditnujuk oleh pemerintah inggris 3. Resident’s court(bertugas memeriksa perkara pidna pada umumnya,tidak termasuk pidana yang diancam dengan hokuman mati
4. Court of circuit( pengadilan keliling untuk memeriksa perkara pidana yang diancam dengan hukuman mati Sebagaimana diketahui pada tahun 1811-1814 peta perpolitikan di Eropa demikian mencekam daan dinamis karena belanda dan Negara eropa daratan/continental lainnya dikuasai(dijajah)oleh Prancis di bawah kekaisaran Napoleon Bonoparte. Prancis dan Negara jajahannya sedang memulai melantunkan semangat Negara hokum (rechtstaat) modern akibat pemikiran ahli politik dan hokum yang mulai berkobar saat itu. Prancis mulai mencoba membangun pilar pilar Negara konstitusi sebagai upaya meninggalkan secara perlahan pemerintahan monarchi(absolute). Belanda sebagai Negara jajahan tampaknya terpikat dengan konsep Negara monarchi sehingga berupaya membuat suatu konsep konstitusi yang kemudian menjadi Nederlands grondwet 1814. Selanjutnya belanda pun melakukan kodifikasi hokum perdata ( Burgerlijke wetboek BW) sebagai pengaruh kodifikasi hokum perdata prancis . Kodifikasi terhadap BW tersebut selesai tahun 1830 dan mulai berlaku tahun 1838. Pengaruh yang sangat progresif dari kodifikasi hokum prancis adalah bagimana belanda membentuk komisi undang-undang yang kemudian menghasilkan beberapa produk hokum yang juga berlaku di Indonesia sebagai daerah jajahan belanda Produk hokum ialah: a. Peraturan organisasi pengadilan ( Reglement of de rechterlijik organisatie disingkat RO) b. Ketentuan umum ttg perundang-undangan (Algemene bepalingen van wetgeving disingkat AB) c. Kitab undang-undang hokum perdata( burgerlijik wetboek disingkat BW) d. Kitab undang-undang hokum dagang (wetboek van koophandel disingkat WvK) e. Peraturan tentang hokum acara perdata( reglement op de burgelijik rechtsvordering disingkat RV) Semua peraturan diaatas diberlakukan di indonesia mulai tahun 1848 Didalam pasal 11 AB dijelaskan bahwa” hakim harus menggunakan hokum perdata eropa( BW) bgai golongan penduduk Eropa dan hokum perdata adat bagi golongan lain ( bumi putera) dalam menyelesaikan perkara-perkara dualism (prualisme) hokum. Konsekuensi dari ketentuan itu maka terjai dualism hokum yang berlaku di Indonesia, dan kesulitan dalam menentukan kriteria orang golongan eropa dan pribumi. Akhirnya criteria yang dipakai adalah perbedaan agama. Seiring terjadinya perubahan system politik dan pemerintahan di belanda yaitu monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer dimana pembentukan hokum harus dilakukan secara bersamaan antara raja dan parlemen.
Pada tahun 1866 dengan staatblaad. 1866:55 diundangkanlah kitab undang-undng hokum pidana bagi golongan eropa di Indonesia yang merupakan terjemahan code penal belanda dan yang juga merupakan saduran dari code penal prancis. Tahun 1872 dengan staatblaad 1872:85 diberlakukanlah kitab undang-undang hokum pidana bagi golongan bukan eropa yang substansi isinya sama dengan kitab undang-undang hokum pidana eropa. Tahun 1915(s.1915:732) diundangkan wetbook van strafrecht atau kitab undang-undang hokum pidana berlaku khusus bagi golongan pribumi sejak 1918. Perkembangan terakhir terjadi pada tahun 1920 dimana terjadi perubahan terhadap regering reglement (RR baru) yang membagi penduduk menjadi tiga golongan yakni: golongan eropa, pribumi dan timur asing Sebagai bentuk perubahan sisitem pemerintahan di belanda yang berdampak pada perubahan system pemerintahan di Hindia Belanda, dimana rakyat melalui perwakilannya mempunyai suara untuk memmebntuk Undang-undang maupun dieksekutif, maka tahun 1918 pemerintah Belanda membentuk Volksraad ( DPR) sebagai wadah rakyat pribumi untuk berpartisipasi dalam pemerintahan daerah jajahan. Kemudian Regerings Reglement (RR) diubah dan diganti menjadi Indische Staatsregeling (IS). Perubahan hokum diatas ternyata tidak menghapus dualisme hokum. Hal ini terlihat dalam pasal 163 IS atau pasal 109 RR baru yang membedakan penduduk menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa (semua orang Belanda, semua orang yang berasal dari Eropa non Belanda, dan semua orang Jepang ), golongan pribumi ( penduduk asli Hindia Belanda dan golongan lain yang meleburkan diri dari dengan . penduduk asli Hindia Belanda), golongan Timur Asing ( mereka yang tidak termasuk ke golongan Erop dan pribumi. C. Periode 1940-1990 Perkembangan hukum Indonesia sepanjang 1940-1990 dapat dibagi ke dalam tiga tahap perkembangan, yaitu, a) masa transisi (1940-1950), b) masa revolusi Soekarno (19501966), dan masa Orde Baru (1966-1990). 1. Masa Transisi (1940-1990) Pada masa ini berlaku peraturan Osamu Sirei (UU Bala Tentara Jepang) No. 1 Tahun 1942 pasal 3: “ segala badan pemerintahan dan kekeuasaannya, hokum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu tetep diakui sah bagi sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. Dalam masa perjuangan fisik pun (1945-1950), kesulitan tetap terasa. Permasalahan utama yang dihadapi adalah persoalan mengenai dualisme hukum yang berkembang dan hidup di masyarakat. Maka dipertahankanlah tatanan hukum kolonial bagi keberlangsungan RI yang diberlakukan dengan asas konkordansi. Melalui Maklumat Presiden tahun 1945 No. 2 bertanggal 10 Oktober 1945, yang kecuali mengulang apa yang dinyatakan dalam pasal II peraturan peralihan UUD 1945 bahwa hanya hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 sajalah yang akan berlaku bagi seluruh rakyat RI. 2. Masa Revolusi Soekarno (1950-1966 )
Berakhirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 17 Agustus 1950 menyebabkan Undang-undang RIS hanya berfungsi tak lebih dari 8 bulan. Konstitusi RIS segera diganti dengan konstitusi yang baru yaitu Undang-undang Dasar Sementara RI (diumumkan sebagai undang-undang No. 7 tahun 1957 pada tanggal 15 Agustus 1950 dalam Lembaran Negara tahun 1950 No. 56). Pasal 142 UUDS menyebutkan bahwa “peraturan-peraturan perundang-undangan dan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggan 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-undang Dasar (yang baru) ini. Hanya saja Pemerintah Jepang melakukan perubahan atas beberapa lembaga peradilan, yaitu antara lain: a) b) c) d) e) f)
Hooggerechtshof sebagai peradilan tertinggi dengan nama Saiko Hoin Raad van Justin, berubah menjadi Koto Hoy Hoin Landraad menjadi tiho hoin Landgreecht menjadi Keizai Hoin Regentschapsgerecht menjadi ken hoin Districtsgerecht menjadi ken hoin
3. Masa Orde Baru (1966-1990) Perkembangan substansi hukum masa Soeharto tidak mengalami perubahan yang berarti. Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan selalu berpatokan pada apa yang digariskan di dalam UUD 1945Masa kemerdekaan Tahun 1945-sekarang Setelah Indonesia merdeka dan memiliki UUD 1945, dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (pra-amandemen) digariskan “segala badan Negara dan Peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini.” Pemerintah Indonesia tetep mempertahankan penyatuan badan-badan peradilan diberlakukan bagi semua golongan penduduk. Sedangkan lembaga-lembaga peradilan yang ada disederhanakan lagi 1. Gun Hoin (Districtsgerecht), Ken hoin (Regentschapsgerecht), dan Keizai Hoin (Landgreecht) dihapus, dan fungsinya semua dialihkan ke Tiho Hoin (Landraad ) yang kemudian bernama Pengadilan Negeri sebagai pengandilan umum tingkat pertama. 2. Koto Hoin (Raad van Justin) dijadikan pengadilan banding dan bernama Pengadilan Tinggi. 3. Saiko Hoin (Hooggerechtshof) dijadikan pengadilan Kassai dan menjadi Mahkamh Agung Dengan demikian , maka struktur lembaga peradilan di Indonesia sampai saat ini: 1. Pengadilan negeri tingkat pertama 2. Pengadilan tinggi atau tingkat banding 3. Mahkamah Agung