DA’WAH KAMPUNG Sebuah Monumen Kepahlawanan . . . Oleh : Lukman Hakim, S.T. Chapter 1 Mengapa Da’wah Kampung “Dan hendaklah ada diantaramu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Q.S. 3 : 104. “Segala sesuatu yang tidak menyentuh masyarakat akan berhadapan dengan kekuatan masyarakat.” Begitulah ungkapan Ust. Abdul Muiz Saadih, MA. Beliau menyampaikan ini setelah sekian lama berda’wah di masyarakat. Apakah Anda berfikir bisa menghabisi judi di tempat Anda tinggal, tentu itu tidak mudah. Jangankan judi, mengajak kakak atau adik untuk sholat di masjid aja sulit. Tentu kita pahami bahwa menyeru kepada mereka adalah hal yang pertama kali harus dilakukan sebelum kepada yang lain. Mengapa berda’wah kepada ortu, bukankah agar ortu kita mendukung da’wah kita. Sering ada masalah antara anak yang aktivis dan sok sibuk dengan ortu yang maunya nilai sekolah anaknya baik, da’wah kampung menyediakan jawabannya. Siapa yang pertama kali diseru oleh Rasulullah, tentu istrinya dan menyusul Abu Bakar. Mengapa? Karena mereka adalah yang terdekat dengan Rasulullah dan paling diharapkan dukungannya. Lalu mengapa tidak sejak awal Rasulullah hijrah ke Madinah padahal beliau tau kalau di Makkah da’wah selalu ditentang? Karena beliau sadar bahwa suatu saat nanti akan sangat butuh dukungan orang-orang Makkah yang cukup untuk memulai da’wah di Madinah yang dukungan itu tidak bisa diberikan oleh orang Madinah. Ketika kita hidup di suatu kampung maka mau tidak mau kita akan menjadi bagian dari kampung itu, ketika Anda mengatakan kampung Anda seburuk-buruk kampung maka sesungguhnya Anda bagian darinya. Maka katakanlah, “Kampungku sedang kuperbaiki.” Maka Anda menjadi orang yang lebih percaya diri tinggal di kampung itu. Saudaraku . . . Jangan sampai ketika ada tetangga kita meninggal lalu ia dihisab oleh ALLAH dan dia mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya da’wah belum sampai padaku . . .” Apa yang Anda pikirkan saat itu? Dimana Anda saat itu?
Chapter 2 Siapa Aktivis Da’wah Kampung “Dan berjihadlah kamu pada jalan ALLAH dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” Q.S. 22 : 78. Ini pertanyaan yang sulit saya ungkapkan jawabannya . . . Sebuah pengalaman pribadi saya, saat berda’wah di RW 08, Kadipaten Wetan, Kraton, Jogja, partner da’wah saya hampir semua masih ngrokok, yang putri nggak ada yang jilbaban, pacaran adalah hal lumrah. Saya kadang merasa nelangsa, lalu bagaimana saya akan berda’wah? Akhirnya saya buat kontrak sederhana dengan mereka bahwa kita akan habis-habisan, kita bikin pengajian tiap jum’at malam, kita tadarusan, kita urus TPA dan kita komando semua aksi Ramadhan kita termasuk menu buka puasanya . . . Kita adalah penguasa kampung. Saya setengah hati dan tidak peduli apa mereka itu pacaran, ngrokok, berbaju ketat, dll.
Lalu muncul kegelisahan itu? Gimana kalau saat saya jalan-jalan (rihlah) dengan mereka dan dilihat ikhwah lain, gimana saat saya harus duduk seforum dengan mereka dan dilihat ikhwah lain? Lalu dimana ikhwah lain itu? Mengapa bukan mereka saja partner da’wah saya di kampung? Ternyata kekhawatiran saya itu salah besar. Saya berda’wah bukan untuk dilihat ikhwah lain dan tidak harus menunggu ikhwah lain, karena saya berda’wah untuk ALLAH dan saya berda’wah dengan apa yang diadakan oleh ALLAH di sana. Jadi nggak usah resah lagi. Ya benar, yang ada hanya mereka . . . Saudaraku . . . Kita tidak pernah memilih mau dilahirkan dari rahim siapa lalu tinggal di mana, yang jelas membedakan diantara kita adalah apa yang kita lakukan setelah ALLAH memilihkan siapa ibu bapak kita dan apa nama kampung kita. Jangan sampai adanya kita pada suatu kampung sama saja dengan tak adanya kita di kampung tersebut. Jadilah akh yang bermanfaat.
Chapter 3 Dimana Saya Saat Itu? “Sesungguhnya ALLAH telah menguji kamu dengan sungai. Maka siapa diantara kamu meminum airnya kecuali menciduk seciduk tangan, maka ia adalah pengikutku.” Maka mereka meminumnya kecuali beberapa diantara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang beriman telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Q.S. 2 : 249. Sering kali saya mengikuti perbincangan para aktivis da’wah dan selalu saja masyarakat (ummat) itu menjadi bahan pembicaraannya. Siapa ummat itu sebenarnya, kata saya dalam hati. Bukankah mereka itu masyarakat, tetangga para aktivis itu juga, lalu apa yang mereka bicarakan tentang ummat, yang pasti adalah sebuah keprihatinan besar (oh . . . tidak) keprihatinan raksasa dan semua diskusi itu ditutup dengan kata-kata yang menyakitkan hati saya bahwa masyarakat itu telah rusak. Para aktivis itu sedang berusaha mengatakan, kami lebih baik dari masyarakat. Tak ada kesamaan antara kami dengan mereka. Salah. Kamu adalah bagian dari masyarakat, jika ia rusak dan kamu mengaku baik maka kewajibanmulah untuk memperbaiki mereka. Bukankan itu yang dilakukan para Rasul? Bukankah para Rasul itu selalu diturunkan kepada masyarakat yang jahiliyyah? Apa bedanya para Rasul dengan kita? Saudaraku . . . Para Rasul itu mengambil langkah nyata untuk memperbaiki masyarakat, sementara kita terus asyik membicarakan dan sekadar menyalahkan keadaan mereka. Ya, dimana kita saat masyarakat itu rusak?
Chapter 4 Langkahnya Begitu Menyenangkan “Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan ALLAH, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan ALLAH menyukai orang-orang yang sabar.” Q.S. 3 : 146. Memulai aktivitas da’wah kampung sangatlah mudah, tinggal Anda sering ke masjid, lalu semua langkah da’wah itu akan dibukakan oleh ALLAH. Anda akan mulai dapat menilai apa yang harus dikerjakan dahulu setelah bertemu dengan masyarakat karena sangat boleh jadi tipe masyarakat akan menentukan metode da’wah kita. Tapi berikut ini mungkin bisa menjadi kaidah-kaidah yang baik : Memberi keteladanan sebelum berda’wah. Adalah sifat manusia, dia lebih pandai menggunakan matanya daripada telinganya. Dia peniru yang ulung walaupun bukan seorang pendengar yang baik.
Mengikat hati sebelum berda’wah. Masyarakat lebih percaya kepada orang yang bisa mereka temui setiap hari dan dekat dengan mereka dan tipe masyarakat apa pun akan bertanya saat ada penampakan baru dihadapan mereka. Bertahap dan jangan tergesa-gesa. Da’wah di kampung berarti kita akan mengubah orang-orang di sana yang tadinya buruk menjadi baik, yang tadinya baik menjadi baik dan peduli. Itu adalah proses dan setiap proses perlu waktu, kita saja yang harus sabar. “Dalam setundun pisang tidak semua masak bersamaan, tapi lihatlah saat semua masak semua terasa sama manisnya.” Tidak masalah siapa yang lebih cepat dan siapa yang agak lambat, suatu saat mereka semua akan menjadi tulang punggung da’wah ini. Saudaraku . . . Jangan pernah merasa gagal selama kita masih berusaha. Gagal itu ada setelah kita berhenti berusaha. Lakukan terus . . . terus . . . dan terus. Pasti Bisa.
Chapter 5 Saya Siap Jadi Aktivis “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh ALLAH dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.” Q.S. 8 : 60. Bersiaplah dengan sebaik-baik persiapan. Hati ikhlas kita, ilmu luas kita, fisik prima kita, kata-kata bijak kita, penampilan keren kita dan semua yang dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan da’wah di sana. Pengalaman pribadi saya, saat memulai aktif di kampung, saya punya keunggulan dibanding mereka. Saya punya komputer. Saya sangat siap jadi sekretaris Ramadhan dan saya ambil peran itu. Da’wah pun bermula . .. Saya punya pengalaman ngaji sama ustadz, jadi saya lebih dulu dapet ilmu daripada mereka. Tinggal ganti baju koko dan numbuhin jenggot, saya siap ngisi tadarusan. Da’wah pun berlanjut . . . Sampai suatu saat, teman-teman itu punya keinginan bahwa mulai Ramadhan kali ini tidak boleh lagi ada judi di kampung kita. Lalu sebulan sebelum Ramadhan kita bikin poster yang ditempel di seluruh kampung, berisi “Apakah Bapak-bapak tega memberi makan kami dengan uang haram hasil judi?” dan “Hentikan judi. Sucikan diri di bulan Ramadhan.” Nah, kira-kira begitu semangat mereka dan anehnya kali ini mereka tidak butuh komputer saya. Para Dewa Judi marah dan menantang duel anak-anak masjid, karena merasa jumlah kami sedikit, kami mengalah dan damai dihadapan Ketua RW. Judi tetap berjalan. Apa usaha da’wah gagal? Tidak! Kami tidak gagal, kami hanya tau bahwa cara seperti di atas bukan yang terbaik, kami harus coba cara lain. Nantikan cara lain itu pada episode Da’wah Kampung berikutnya . . . Saudaraku . . . Sesungguhnya kita sangat siap untuk terjun di da’wah kampung, tak perlu terlalu pintar, tak perlu jenggot panjang apalagi tampang cakep. Kita cuma perlu banyak senyum dan siap mental untuk bertambah berat badan, karena pekerjaan utama Aktivis Da’wah Kampung adalah silaturrahiim dan setiap kali itu pula Anda boleh dapat makan gratis.