Seekor Kucing di Rumahku Ada kucing di rumahku. Ia tak secara khusus dipelihara, tapi selalu saja betah berlama-lama. Kucing ini agaknya sebatang kara, terbukti rumahkulah satu-satunya tempat yang dia suka. Sebagai layaknya pihak yang cuma nebeng, kucing ini sebetulnya relatif tahu diri. Ia cuma berkisar tidur di genting tumah, di kolong dapur dan di tempat-tempat darurat lainnya. Jika ia suatu kali kedapatan bermalasan di tempat-tempat terhormat, seperti ruang tamu dan sofa misalnya, ia sadar diri. Secepat kilat ia akan berlari jika kepergok, terutama olehku. Kucing ini tahu, aku adalah pihak yang paling keras kepadanya di rumah ini. Kekerasan ini semula kusengaja, karena aku tidak ingin kucing ini kerasan di rumahku. Aku tahu, untuk memelihara hewan seperti kucing, butuh waktu ekstra. Maka jika waktu dan komitmen itu tak ada, lebih baik jangan coba-coba. Berteman dengan kucing liar, hanya akan membuat panas hati saja. Padahal, karena kucing ini tidak jelas statusnya, ia terancam menjadi setengah liar pula. Tongkrongannya memang telah mirip kucing rumahan, tapi kelakuannya betul-betul liar sempurna. Jika pintu dapur terbuka sedikit saja, lauk-pauk yang ada akan secepat kilat dijarahnya. Berak dan kencing bisa sembarangan. Dan yang paling menjengkelkan, jika malam tiba. Ia bisa mengundang kucing tetangga untuk datang, berebut pasangan dan bertengkar dengan kegaduhan yang mengerikan. Pendek kata itulah peran si kucing di rumah kami hingga hari ini. Dibanding sukanya, rasanya jauh lebih banyak dukanya. Tambahan kejengkelan lain ialah ketika ia bisa meninggalkan bulu-bulunya itu di mana saja. Ia bisa memakai kursi busa untuk mengasah kuku-kukunya pula. Pokoknya, meski saya bukan pembenci kucing, godaan untuk marah pada hewan ini bisa berlangsung setiap kali. Meski tidak sampai menyiksa, saya tetap menyalurkan hasrat kemarahan pada kucing ini setiap ada kesempatan. Mulai dari sekadar membentaknya, hingga mengguyurnya air jika terpaksa. Pendek kata, baginya aku adalah musuh, dan ia menangkap permusuhan ini dengan seksama. Maka reaksinya terhadap aku pun khas. Ia akan buruburu menyingkir jika kelebat bayanganku dilihatnya. Komunikasi semacam itulah yang ada di antara kami selama ini. Aku tak tahu persis ukuran pastinya. Yang jelas kucing ini aku kenal mulai dari balita hingga kini beranjak tua. Jadi sudah dalam bilangan tahun. Yang aku heran, meskipun bertahuntahun hewan ini kukasari, ia tetap saja betah di rumah kami. Sampai pada suatu hari, ketika di suatu sore, aku dan kucing ini menjadi begitu dekatnya oleh sebab yang tak terduga. Semua berawal dari kebiasaanku naik ke genting rumah jika udara gerah. Memandang langit, menikmati keluasan dari sebuah ketinggian, adalah hobiku sejak lama. Si kucing ini, entah kenapa juga sedang berada di genting yang sama. Ia berbaring, dengan mata lurus ke barat, ke arah hari yang mulai senja. Tak seperti biasa, ia sama sekali tak terusik oleh kedatanganku. Akulah yang ganti kaget oleh ulahnya yang tak biasa. Sedang apakah hewan ini? Sedang sedihkah dia? Baru aku sadar sepenuhnya, betapa ia selama ini memang sebatang kara. Tidak sepertiku, yang istri ada, anak-anak pun ada, dan dalam batas-batas yang tertentu, kami hidup bahagia. Lalu kucing ini? Matanya yang lurus itu, jangan-jangan ia sedang membayangkan ibu bapaknya yang sudah tiada. Sanak saudaranya yang juga entah kemana. Sudah sendiri, nebeng pada sebuah keluarga pun tak peduli pula. Ia bahkan cenderung selalu
dikasari. Soal makan, ia juga dibiarkan memecahkannya sendiri. Karena keluarga ini pasti punya dalih, mereka tak tak pernah punya ikrar memelihara, karenanya tak perlu pula merasa bertanggung jawab atas nasibnya. Kucing yang sedang menerawang ke arah matahari terbenam itu, memang tidak tampak sedang menyalahkan kami sekelurga. Ia lebih seperti meratapi kemalangannya sendiri. Sejenak kemudian aneka loudspeaker dari beberapa masjid serempak menyuarakan azan bersama. Kucing ini masih terpaku, menatap hari yang berangkat senja. Dan di ketinggian genting ini, kami berdua merasa sangat sepi. Aku dan kucing itu, pasti akan ketemu magrib juga. Sama-sama akan menemukan hari senja dan kembali ke mati bersama-sama. Dalam hidup yang cuma sekali dan itupun cuma singkat saja, kenapa di antara kami masih tega untuk saling mengasari. Kenapa aku yang manusia ini tidak juga tanggap, betapa hewan ini, sudah ditakdirkan sebagai kucing, tidak bahagia pula. Kenapa manusia yang sudah diberi banyak kemuliaan ini, tidak bisa berbaik hati ada kucing yang papa ini, yang pada akhirnya juga akan menjadi teman seperjalanan, menuju senja yang di sana. (PrieGS/)