Bunga-bunga di Rumahku MAU tapi tak mampu, itulah keadaanku atas bunga-bunga di rumahku. Kusangka, jika sudah kusiram, setiap tanaman akan tumbuh sempurna dengan sendirinya. Dugaanku ternyata keliru. Ada jenis tanaman yang sampai lelah aku menyirami, bentuknya senantiasa seperti pihak yang merana. Karena jengkel, aku mendatangi pakar bunga di kampungku. Hasilnya, ia tergelak melihat kebodohanku. Begitu banyak bunga salah letak menurutnya. Ada jenis bunga yang rakus panas, tetapi letaknya di keteduhan. Ada jenis yang suka teduh, tetapi malah selalu kepanasan. Olala, sama-sama hijau daunnya tetapi kenapa berbeda wataknya. Dari sini saja pikiranku segera menerawang ke mana-mana. Ooo bunga-bunga ini ternyata mirip partai-partai di negaraku. Sama warnanya bisa pecah menjadi dua, tiga dan seterusnya. Sama niat baiknya, tetapi macam-macam cara mewujudkannya. Lumayan jika cuma beda cara. Tetapi ada niat baik yang begitu banyaknya sementara kebaikannya sendiri tidak muncul-muncul juga. Bunga-bunga di rumahku itu sungguh mengisyaratkan tentang bermacam-macam keadaan yang ada di sekitarku. Maka atas saran sang teman yang ahli itu aku memindahkan bunga-bunga ini sesuai kebutuhannya. Yang suka panas ketemu panas, yang suka teduh ketemu teduh. Aku menyangka perubahan akan terjadi segera. Bunga-bunga yang merana itu kusangka akan menyubur seketika. Tapi lagi-lagi aku salah sangka. Rasanya mereka tetap saja seperti sedia kala. Hampir saja aku menyangka yang salah adalah bunga-bunga itu sendiri karena terlalu keras kepala. Seluruhnya sudah kuberikan, tetapi mereka sendirilah yang enggan pada pertumbuhan. Setiap kali, batangan tonggak yang nyaris mati itu rasanya tetap merana belaka meskipun panas matahari sudah leluasa mengguyurnya. Setiap saat, daun-daun yang kurang gizi itu kuning saja warnanya. Ia tak segera menghijau segar seperti yang aku duga. Hampir saja aku patah hati dan pohon yang kusangka mati itu kukorekkorek saja sesuka hati. Astaga, ketika kulitnya mengelupas baru aku kaget dibuatnya. Pokok bunga itu ternyata terlihat hijau sekali. Ini pasti pohon sehat cuma belum bersemi. Melihat perubahan ini aku girang sekali. Setiap pagi, aku semakin bergairah menyambangi bunga-bunga yang nyaris sekarat ini dan tegang menunggu perubahan apalagi yang akan terjadi. Oo semuanya ternyata sedang berubah cuma aku saja yang kurang teliti. Dahan-dahan yang meranggas itu diam-diam menghijau dengan pasti. Daun-daun yang menguning itu diam-diam menyergarkan diri. Makin hari perubahan itu kian nyata cuma memang tidak dengan segera. Ternyata tidak ada perubahan yang seketika. Ketidaksabaran terhadap perubahan inilah watak dasar manusia yang sering melahirkan bermacam-macam perkara. Di dalam dunia politik ia bisa melahirkan revolusi yang mahal biaya, di dalam birokrasi ia bisa menggoda untuk korupsi yang bisa membangkrutkan negara, di dalam urusan mencari kekayaan ia bisa membuat orang tidak sabar bekerja dalam kewajaran. Ada yang begitu nekatnya sehingga masa tuanya malah berakhir di penjara. Ada perubahan yang jika ukurannya adalah ketidaksabaran terasa amat lambat. Tetapi anehnya, ketika bonggol meranggas itu mulai bersemi, rasanya daun-daun berikutnya menyusul cepat sekali. Ketika tulisan ini dibuat, si bonggol itu malah telah memunculkan putik bunga, sebuah percepatan yang sama sekali tak terbayangkan. Perubahan rasanya juga seperti perbuatan; kesulitannya ada di langkah pergtama. Ketika yang pertama telah dijatuhkan, kedua dan ketiga akan mengikuti dengan sendirinya. Prajurit Keraton Yogyakarta dalam berbaris misalnya, memakai aba-aba yang artinya kaki kiri maju, kaki kanan mengikuti. Jadi yang penting adalah kaki kiri maju lebih dulu agar kaki kanan bisa mengikuti. Tanpa si kiri maju tak ada kanan yang akan mengikuti.
Terakhir dan ini terpenting bagiku, bunga-bunga ini mengajariku meyakini satu hal: jika segala sesuatu diletakkan sesuai tempatnya, tak peduli betatapun lambat, ia akan berubah juga! (Prie GS/)