Barang-barang di Rumahku Di rumahku tersimpan banyak barang. Di sekujur ruangan, dari barang-barangku sendiri hingga barang anak-anak dan istriku. Dari jenisnya, bisa jadi ia tak seberapa, cuma dua: barang pribadi dan barang bersama. Tetapi dari dua jenis ini jika disebut satu persatu jumlahnya bisa menimbulkan daftar yang panjangnya tak pernah kuduga. Aku mulai saja dari barang pribadi, mulai dari makalah seminar, koran, majalah dan buku-buku. Ketika majalah yang satu belum rampung kubaca, sudah datang lagi majalah yang baru. Ketika buku satu belum kubaca, kembali telah kubeli buku yang baru. Kerika koran yang kemarin belum kulahap seluruh isinya, telah muncul lagi koran baru. Akibatnya cepat sekali barang-barang ini menjadi gunungan, dan rumahku yang kecil itu menjadi penuh kertas berserakan. Mudah sebetulnya membersihkan, tinggal memanggil tukang kertas loak, habis perkara. Tetapi sebelum panggilan itu benar-benar diputuskan aku terbiasa kembali membaca satu persatu majalah dan kertas-kertas itu. Astaga, semua berharga. Yang majalah ini memuat soal ini yang kelak pasti akan berguna. Yang makalah itu bicara tentang itu yang nanti pasti aku butuhkan. Yang koran anu memuat tentang berita anu yang pasti penting untuk kesejarahan. Semuanya penting dan akhirnya ia kembali ke tumpukannya yang semula. Ini baru barangku, dari jenisnya yang satu. Belum barang anak-anakku. Buku sekolah saja misalnya. Si sulung kini sudah SMP, tetapi kulihat di rak bukunya masih bertengger buku-buku SD-nya yang dulu. Ketika buku-buku ini hendak dibuang seluruh keluaga berteriak begitu kompaknya: jangaan! Selalu ada gunanya atau setidaknya bisa dimanfaatkan untuk adik-adik kelasnya. Pada dasarnya niat mulia ini omong kosong belaka. Yang disebut adik kelas itu tak pernah ada. Lagi pula ini era ketika buku pelajaran sulit sekali diwariskan. Ganti tahun seperti ganti pelajaran dan memaksa buku-buku kemarin harus menjadi barang rongsokan. Padahal anak-anakku tak cuma menumpuk buku pelajaran, tetapi juga barang mainan. Dari tahun ke tahun berganti kesukaan, tetapi mainan yang lama masih saja tersimpan sebagai kenang-kenangan. Bahkan robot yang sudah buntung tangan dan kakinya masih dikoleksi sebagai benda bersejarah. Ini baru dua barang, belum anakanakku juga memiliki koleksi buku-bukunya sendiri. Semua buku disebutnya sebagai buku kesayangan. Lalu tengoklah suasana dapur kami. Bentuknya benar-benar telah menyerupai gunugan sampah. Tetapi ketika barang-barang itu hendak disampahkan, istriku buru-buru meneliti satu persatu. Ada botol-botol bekas yang ia sisir kembali dan diletakkannya sebagai daftar yang masih penting dan perlu. ''Ini masih ada gunanya. Yang itu penting dibawa kalau kita bepergian. Yang ini bisa untuk termpat bumbu�'' dan seterusnya. Akhirnya, barang yang masih dipentingkan itu begitu banyaknya karena setelah dilihat kembali, seluruh barang itu penting semua. Maka dapur kami kembali ke wajahnya semula. Lalu aku pun menengok lemariku dan kulihat deretan celana dan baju satu-persatu. Penuh sekali. Bukan karena aku kelebihan uang dan telah menjadi tukang koleksi, melainkan karena ada baju yang sepuluh tahun lalu pun masih terlipat di sini. Jangankan sepuluh tahun, baju tahun lalu pun sudah tak pernah aku pakai lagi. Tetapi tidak mudah membuang baju-baju ini meskipun itu kita bagikan kepada orangorang dekat kita sendiri. Itu baru lemariku, belum lemari anak-anakku. Jadi ke manapun mataku memandang, di rumahkau punuh barang yang aku tak tahu apa gunanya, karena ia memang tidak benar-benar pernah digunakan. Tetapi meksipun tidak berguna, ia selalu kutumpuk dan kutumpuk saja karena aku menyangka semua masih berharga. Melakukan penumpukan adalah penyakit terbesarku karena inilah penyakit
yang membuatku lupa, betapa sejatinya yang aku butuhkan itu cukup seperlunya saja! (Prie GS/CN05)