sediaan radiofarmasi Maret 22, 2016 Radiofarmaka merupakan sediaan farmasi dalam bentuk senyawa kimia yang mengandung radioisotop yang diberikan pada kegiatan kedokteran nuklir. Sediaan radiofarmaka pada umumnya terdiri dari dua komponen yaitu radioisotop dan bahan pembawa menuju ke organ target. Pancaran radiasi dari radioisotop pada organ target itulah yang akan dicacah oleh detektor (gamma kamera) untuk direkostruksi menjadi citra ataupun grafik intensitas radiasi. Syarat senyawa radioaktif untuk tujuan diagnosa adalah sebagai berikut : 1. Murni satu nuklida saja 2. Murni secara radiokimia 3. Pemancar sinar-gamma energi tunggal yang besarnya berkisar antara 100-400 KeV 4. Stabil dalam bentuk senyawa 5. Waktu paruh biologis pendek (Leswara, 2008) Beberapa contoh sediaan radiofarmaka antara lain yaitu Brom Sufatein I-131 (BSP), Hipuran I-131, Radio Iodinated Human Serum Albumin (RIHSA), Rose Bengal I-131, Tc-99m dalam bentuk senyawa Natrium Perteknetat, Thalium -201 dan Galium-68. Beberapa contoh radiofarmaka untuk terapi yaitu I-131, Bi-212, Y-90, Cu-67 dan Pd-109. Radiofarmaka yang banyak dipakai untuk keperluan in-vitro test adalah I-125 (Saha, 2004). Produksi sediaan radiofarmaka diklasifikasikan menjadi 4 yaitu sebagai berikut: 1. Radioisotop primer medikal Radioisotop primer medikal yaitu radioisotop dalam bentuk kimia yang sederhana (biasanya anorganik). Radioisotop ini diproduksi dengan cara mengiradiasi atom sasaran dalam reaktor nuklir atau dalam siklotron 2. Senyawa bertanda medikal Senyawa bertanda medikal yaitu senyawa yang salah satu atau lebih dari atom atau gugusnya digantikan dengan atom unsur radioisotop 3. Generator radioisotop Generator radioisotop digunakan untuk mendapatkan radioisotop umur pendek pada lokasi yang jauh dari tempat produksi radioisotop terutama bagi rumah-sakit yang tidak memiliki fasilitas reaktor nuklir, maka diciptakanlah generator radioisotop. Generator radioisotop adalah suatu sistem yang terdiri dua macam radioisotop yaitu radioisotop induk dan radioisotop anak yang keduanya membentuk pasangan kesetimbangan radioaktif. Radioisotop induk memiliki waktu paruh yang lebih panjang daripada waktu paruh radioisotop anak. Radioisotop anak digunakan untuk keprluan diagnostik maupun terapi. 4. Kit Radiofarmaka Kit radiofarmaka adalah sediaan nonradioaktif yang terdiri dari beberapa senyawa kimia yang akan ditandai dengan radioisotop untuk menjadi sediaan radiofarmaka (Saha, 2004) Radioisotop yang paling banyak digunakan adalah Technitium -99m (Tc-99m) karena Technitium -99m mempunyai beberapa kelebihan yaitu sebagai berikut: 1. Waktu paruh pendek (6,03 jam) 2. Memancarkan gamma murni dengan energi 140 kev 3.Mempunyai tingkat valensi 1 sampai 7 sehingga mudah bereaksi dengan senyawa lain 4. Dapat diperoleh dengan cara elusi generator radioisotop Oleh karena itu sediaan radiofarmaka yang berkembang sampai saat ini
adalah sedian radiofarmaka Technitium yang disiapkan dalam bentuk kit radiofarmaka (Saha, 2004). Mekanisme penempatan radiofarmaka dalam tubuh yaitu sebagai berikut: 1. Active transport : Secara aktif sel-sel organ tubuh, memindahkan radiofarmaka dari darah ke dalam organ tertentu, selanjutnya mengikuti proses metabolisme atau dikeluarkan dari tubuh. Contoh : I-131 akan ditransfer ke sel-sel thyroid untuk pembuatan T3 dan T4, Tc-99m IDA dan I-131 Rose Bengal oleh sel poligonal hati ditransfer dari darah kemudian diekskresi ke usus halus, lewat saluran empedu, I-131 Hipuran diekskresi oleh tubulus sehingga dapat periksa ginjal. 2. Phogocytosis : Beberapa Radionuklida seperti Tc-99m, In-113m atau Au-198 jika diikat oleh pembawa materi berbentuk”koloid” maka radiofarmaka ini akan difagosit oleh RES tubuh. Bila radiofarmaka ini disuntikkan secara Intra Vena maka dapat memeriksa scanning liver, limpa, dan sumsum tulang, jika disuntikkan secara subcutan untuk memeriksa kelenjar getah bening. 3. Cell Sequestration (pengasingan sel) : Sel darah merah yang ditandai Cr-51 dan dipanaskan 50 derajat celcius selama 1 menit, lalu dimasukkan ke tubuh penderita secara intravena maka akan diasingkan ke limpa untuk pemeriksaan scanning limpa. 4. Capillary Blockage (Penghalang Kapiler) : Bila pembawa materi berbentuk makrokoloid (dengan ukuran 20-30 mikron) dan disuntikkan secara intravena maka akan menjadi penghalang kapiler di paru-paru. Contoh ; Tc-99m MAA 5. Simple or Exchanged Diffusion (pertukaran difus) : Radiofarmaka tersebut akan saling bertukar tempat dengan senyawa yang sama dari organ tubuh, contoh ; Polifosfat bertanda Tc-99m (Tc-99m MDP) akan bertukar tempat dengan senyawa polifosfat tulang dan dalam jangka 2-4 jam Tc-99m MDP akan merata dalam tulang, pemeriksaan untuk mendeteksi lesi otak denagn RIHSA dan cairan interselluler 6. Compartmental Localization (kompartemental) : Bila radiofarmaka dapat menggambarkan blood pool karena keberadaannya yang cukup lama dalam darah maka ikatan ini dapat dipakai untuk scanning jantung dan plasenta (ventrikulografi dan placentografi). Contoh ; RIHSA untuk pemeriksaan plasenta, Cr-51 eritrosit, Tc-99m Sn eritrosit untuk ventrikulografi jantung (Saha, 2004) Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih radiofarmaka untuk pemeriksaan yaitu sebagai berikut : 1. Jenis peluruhan radiasi ; Untuk keperluan pemeriksaan eksternal in vivo, sinar-gamma dengan energi 100-500 kev sangat ideal. Karena radiasi dengan energi lebih besar 500 kev akan mampu menembus pelindung dan sekat-sekat pada kolimator sehingga terjadi penurunan spatial resolution. Juga dengan energi sangat kecil (lebih kecil 20 kev) banyak penyerapan foton oleh jaringan sebelum mencapai detektor. Dengan demikian sinar gamma murni tanpa radiasi partikel yang dibutuhkan untuk diagnostik kedokteran nuklir. 2. Waktu Paruh : meliputi waktu paruh fisik yaitu waktu yang diperlukan zat radioaktif untuk mencapai kativitas setngah dari aktivitas mula-mula, waktu paruh biologis yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan setengah radionuklida murni dari suatu organ tubuh serta waktu paruh efektif yaitu waktu yang diperlukan setengah zat yang telah dimasukkan ke dalam tubuh. 3. Biological Behaviour : Menyangkut perlakuan organ tubuh terhadap radiofarmaka tersebut., sehingga penting untuk menentukan paparan radiasi dari suatu organ atau untuk mendapatkan hasil interpretasi. Juga dengan menetahui biological behaviuor kita dapat memperkirakan eskresi suatu radiofarmaka. 4. Aktifitas tertentu (The specific activity) : Bagian radiofarmaka yang berperan memberikan foton yang penting untuk pendeteksian. Sebab dalam suatu materi dapat ditemui bagian yang bersifat nonradioaktif yang dapat merugikan. 5. Jenis instrumen : Berbagai jenis peralatan kedokteran nuklir sengaja didesain hanya untuk radioisotop yang memiliki energi tertentu (Leswara, 2008) Deteksi radioisotop dapat dibagi menjadi 5 kategori yaitu sebagai berikut : 1. Delution, absoption dan excretion sudies Bila penderita disuntikkan sejumlah radiofarmaka yang telah diketahui jumlahnya, maka delution yang terjadi atau prosentase absorsi atau kapan dieskresi dapat ditentukan melalui sampel darah, urin, feses dan lain-lain. 2. Concentration sudies : bila suatu radiofarmaka diberikan pada seorang pasien kemudian diukur berapa persen yang ditangkap suatu organ, misal Thyroid Up-take. 3. Dinamic function study : Suatu radiofarmaka dipelajari saat mencapai atau meninggalakan suatu organ. Misal ; pada pemeriksaan cerebral blood flow, renogram. 4. Organ system atau pool Visualization : Setalah radiofarmaka dimasukkan ke dalam tubuh pasien maka distribusinya akan tersaji dalam bentuk gambar. Misalnya pada pemeriksaan scanning otak, cardiac blood pool , Bone scan. 5. In vitro test Radiofarmaka dicampur dengan sampel penderita, misalnya pada pemeriksaan T3 (Saha, 2004) Ada 2 macam gambaran yang diperoleh dari hasil scanning yaitu sebagai berikut: 1. Hot area, artinya daerah abnormal yang menunjukkan kenaikan up take (distribusi yang berlebihan) radiofarmaka. Contoh ; bone scanning dan brain scanning. 2. Pada keadaan dimana radiofarmaka diikat oleh organ tubuh yang normal sehingga pada keadaan abnormal timbul penurunan aktivitas atau cold area. Contoh : scanning liver, thyroid. (Leswara, 2008) Daftar Pustaka Leswara. 2008. Buku Ajar Radiofarmasi. EGC: Jakarta. Saha. 2004. Fundamental of Nuclear Pharmacy 5th. Springer: New York.