Schistosomiasis Fix.docx

  • Uploaded by: Erick Setiawan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Schistosomiasis Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,116
  • Pages: 19
TUGAS MATA KULIAH PATOLOGI VETERINER SISTEMIK II

JUDUL “Schistosomiasis”

Oleh : Kelas A

PUTU ANGGA PRASETYAWAN

1609511052

I KOMANG SUSILA SEMADI PUTRA

1609511089

PUTU OKY ASTAWIBAWA

1609511092

I GEDE ERICK ERISTIAWAN

1609511094

I GST NGURAH ARBI KENCANA

1609511098

LABORATORIUM BEDAH VETERINER FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2019

i

KATAPENGATAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmatNya-lah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Patologi Veteriner Sistemik II berjudul Schistosomiasis. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Patologi Veteriner Sistemik II. Kami menyadari bahwa tugas makalah dari mata kuliah Patologi Veteriner Sistemik II yang berjudul Schistosomiasis ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, kritik serta saran yang bersifat membangun kami sangat harapkan untuk perbaikan serta penyempurnaan kami untuk selanjutnya. Terima kasih kami ucapkan kepada Dosen pengajar yang telah membimbing kami dalam mata kuliah Patologi Veteriner Sistemik II

Denpasar, 22 Maret 2019 Penulis

ii

DAFTAR ISI KATAPENGATAR ......................................................................................................... ii DAFTAR ISI.................................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 1.1

Latar belakang ................................................................................................ 1

1.2

Rumusan Masalah ......................................................................................... 1

1.3

Tujuan ............................................................................................................. 2

1.4

Manfaat ........................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3 2.1

Definisi ........................................................................................................... 3

2.2

Etiologi ........................................................................................................... 3

2.3

Patogenesa ...................................................................................................... 5

2.4

Gejala klinis .................................................................................................... 7

2.5

Histopatologi .................................................................................................. 8

2.6

Patologi Anatomi ............................................................................................ 9

2.7

Diagnosis ...................................................................................................... 11

2.8

Pengobatan dan pengendalian ...................................................................... 11

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 14 3.1

Kesimpulan ................................................................................................... 14

3.2

Saran ............................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 15

iii

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Cacing Trematoda Schistosoma .................................................................. 5 Gambar 2. Patogenesa Penyakit Schistosomiasis ......................................................... 7 Gambar 3. Histopatologi Kandung Kemih pada penyakit schistosomiasis .................. 9 Gambar 4. Lesi Patologi Anatomi ............................................................................... 10

iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar belakang Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit zoonotik yang menurut cara

penularan/transmisinya

diklasifikasikan

pada

golongan

metazoonosis.

Metazoonosis merupakan zoonosis dengan siklus penularan yang membutuhkan vertebrata dan melibatkan invertebrata untuk menyempurnakan siklus hidup agen penyebab penyakit. Schistosomiasis merupakan metazoonosis obligat dimana manusia /vertebrata harus menjadi salah satu induk semang dalam siklus hidupnya. Schistosomiasis adalah penyakit zoonotik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini berjalan kronis dan menimbulkan penderitaan selama bertahun-tahun, menurunkan kapasitas kerja, dan dapat berakhir dengan kematian. Pada tempat-tempat endemik, schistosomiasis menjadi penyakit masyarakat dimana dapat menyerang manusia yang berumur kurang dari 15 tahun. Schistosomiasis adalah masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan erat dengan masalah sosial budaya dan kemiskinan. Pada umumnya orang yang terinfeksi adalah orang-orang yang mempunyai kehidupan dekat dengan perairan atau tidak terpisahkan dengan lingkungan air Schistosomiasis adalah suatu penyakit yang ditularkan melalui air (water-borne-disease) yang biasanya didapat karena berenang dalam air yang mengandung induk semang antaranya yaitu siput. Penyakit ini juga menjadi perhatian masyarakat di seluruh dunia dikarenakan dapat ditularkan kepada wisatawan yang berkunjung ke daerah endemis. Hal lain yang harus diperhatikan bahwa penyakit ini menyerang manusia selama bertahuntahun dan bisa bersifat asimptomatis, sehingga manusia yang terserang berperan sebagai reservoir. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan menurunkan tingkat kejadian penyakit. 1.2

Rumusan Masalah 1 Apa itu penyakit Schistosomiasis?

1

2 Apa saja penyebab terjadinya penyakit Schistosomiasis? 3 Bagaimana gejala kelinis penyakit Schistosomiasis? 4 Bagaimana cara pengobatan dan pengendalian penyakit Schistosomiasis? 1.3

Tujuan Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk membahas mengenai penyakit

schistosomiasis berdasarkan etiologi dan agen penyebab, diagnosa, gejala klinis yang ditimbulkan, dan pengobatan serta pengendaliannya. 1.4

Manfaat Manfaat pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui penyakit

schistosomiasis berdasarkan etiologi dan agen penyebab, diagnosa, gejala klinis yang ditimbulkan, dan pengobatan serta pengendaliannya. Sehingga diharapkan masyarakat terhindar dari penyakit schistosomiasis.

2

BAB II PEMBAHASAN

2.1

Definisi Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit zoonotik yang menurut cara

penularan/ transmisinya diklasifikasikan pada golongan metazoonosis. Metazoonosis merupakan zoonosis dengan siklus penularan yang membutuhkan vertebrata dan melibatkan invertebrata untuk menyempurnakan siklus hidup agen penyebab penyakit.

Schistosomiasis

merupakan

metazoonosis

obligat

dimana

manusia/vertebrata harus menjadi salah satu induk semang dalam siklus hidupnya. Schistosomiasis adalah penyakit zoonotik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini berjalan kronis dan menimbulkan penderitaan selama bertahun-tahun, menurunkan kapasitas kerja, dan dapat berakhir dengan kematian. Pada tempat-tempat endemik, schistosomiasis menjadi penyakit masyarakat dimana dapat menyerang manusia yang berumur kurang dari 15 tahun. Schistosomiasis merupakan penyakit parasitik jaringan yang terabaikan. Menurut laporan kasus diperkirakan penyakit schistosomiasis menginfeksi 243 juta orang pada 78 negara.1 dan sebanyak 600 juta orang berisiko terinfeksi.1,2 Schistosomiasis adalah penyakit parasitik yang bersifat zoonosis, selain menginfeksi manusia juga menginfeksi hewan mamalia lainnya antara lain sapi (Bos sundaicus), kerbau (Bubalus bubalis), kuda (Equus cabalus), anjing (Canis familiaris), babi (Sus sp), musang (Vivera tangalunga), rusa (Carvus timorensis), dan berbagai jenis tikus (Rattus exulans, R. marmosurus, R norvegicus, R palallae).

2.2

Etiologi Schistosomiasis disebut juga bilharziasis karena pertama kali ditemukan

trematoda dewasa oleh Theodor Bilharz pada tahun 1851 di vena messenterica pada manusia di Kairo, Mesir. Nama lain penyakit ini disebut juga Katayama syndrome. Diduga penyakit ini juga merupakan penyebab hematuria endemic di Mesir yang telah dilaporkan kejadiannya sejak zaman Fir’aun.

3

Schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan cacing trematoda darah Schistosoma japonicum dengan hospes perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis. Schistosomiasis

sering disebut juga sebagai

demam keong di daerah endemis di Indonesia. Schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu di dataran tinggi Lindu, Kabupaten Sigi dan dataran tinggi Napu dan dataran tinggi Bada, Kabupaten Poso. Penyakit ini bersifat kronis yang disebabkan oleh cacing Trematoda dari genus Schistosoma. Saat ini dikenal 6 spesies yaitu Schistosoma hematobium, S. mansoni, S. intercalatum, S. japonicum, S. bovis, dan S. mattheei. Schistosoma hematobium, S. mansoni, dan S. intercalatum memiliki induk semang utamanya adalah manusia, dan terkadang dapat juga menyerang hewan. Pada kasus S. japonicum, secara alamiah manusia dan hewan samasama dapat menjadi induk semang. Pada kasus infeksi oleh S. bovis, dan S. mattheei induk semang utamanya adalah hewan sedangkan manusia terkadang dapat terinfeksi. Keenam spesies cacing Schistosoma secara biologis maupun morfologis identik, hidup di vena dari induk semangnya dan memiliki siklus hidup yang serupa. Perbedaan utamanya adalah rincian anatomis setiap spesies, bentuk telur, dan induk semang antaranya. Schistosoma adalah trematoda dengan jenis kelamin berbeda yang hidup pada pembuluh darah induk semang definitif (berbagai jenis siput). Lokasi akhir parasit ini adalah sistem peredaran darah. Schistosoma mansoni dijumpai di vena mesenterica yang membawahi usus besar terutama di cabang sigmoidea, Sedangkan S. japonicum ditemukan di daerah venulae dari usus halus dan S. haematobium dijumpai di plexus sistem vena cava yang membawa darah dari vesica urinaria. Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh sejenis parasit cacing dari famili shistosomatidae yang memiliki habitat pada pembuluh darah disekitar usus atau vesica urinaria. Schistosoma merupakan cacing yang mampu menginfeksi berbagai hewan vertebrata termasuk manusia. Hewan yang mampu bertindak sebagai inang definitif untuk cacing ini sangat luas karena bersifat non spesific hospest. S. japonicum selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan mamalia.

4

Schistosomiasis dapat ditularkan dari manusia ke hewan mamalia dan dari hewan mamalia ke manusia melalui perantaraan siput Oncomelania hupensis lindoensis. Parasit ini dapat ditemukan pada berbagai spesies hewan, namun masih menjadi pertanyaan apakah hewan tersebut bertindak sebagai reservoir atau hanya secara incidental menjadi hospes. Dari penelitian yang dilakukan, S. japonicum dapat menginfeksi anjing, kucing, sapi, kerbau, babi, kuda, domba, kambing, tikus, dan mencit. Anjing, sapi, dan kerbau mengeluarkan lebih banyak telur cacing daripada manusia. Daya tetas telur yang berasal dari sapi dan babi mencapai 70% dibandingkan hanya 42% dari manusia Manusia merupakan reservoir utama dari S. haematobium, S. mansoni, dan S, japonicum. Hewan-hewan domestik dan liar memegang peranan penting sebagai reservoir hanya pada S. japonicum. Penyakit ini dapat dianggap sebagai penyakit yang umum pada manusia dan hewan. Parasit dapat berpindah secara bebas antar spesies melalui induk semang antara kecuali pada beberapa keadaan tertentu karena adaptasi fisiologis/ galur geografis.

Gambar 1. Cacing Trematoda Schistosoma

2.3

Patogenesa Penularan schistosomiasis terjadi apabila larva serkaria yang berada dalam air

menemukan inang definitif, dengan kata lain transmisi penyakit schistosomiasis pada manusia terjadi apabila manusia berada pada lingkungan perairan yang sudah

5

mengandung larva serkaria dari Schistosoma. Schistosomiasis adalah suatu penyakit yang ditularkan melalui air (water-bornedisease) yang biasanya didapat karena berenang dalam air yang mengandung induk semang antaranya yaitu siput Beragam siput yang bertindak sebagai induk semang antara yang masingmasing beradaptasi dengan galur lokal dari parasit. Siput Bulinus sp. Merupakan inang antara untuk S. haematobium adalah siput akuatik yang akan berbiak di perairan yang airnya tidak terlalu banyak seperti kolam atau saluran irigasi. Siput Biomphalaria sp. Yang merupakan inang antara dari S. mansoni dapat ditemukan di perairan serupa, tetapi dapat juga berkembang pesat di danau dan perairan deras. Siput Oncomelania sp. Merupakan inang antara S. japonicum yang bersifat amfibi sehingga banyak dijumpai di tepian kanal irigasi, saluran drainase, ataupun daerah-daerah tergenang. Sumber utama penularan S. haematobium adalah anak kecil terinfeksi yang buang air kecil di perairan, sedangkan S. mansoni dan S. japonicum sumber utamanya adalah kontaminasi feses hewan/ manusia yang terbawa air. Telur Schistosoma dikeluarkan melalui feses manusia (S. mansoni dan S. japonicum) atau urin (S. haematobium). Telur akan menetas di air dan berubah menjadi larva yang disebut mirasidium yang akan menginfeksi siput sebagai inang antara. Larva selanjutnya berkembang di dalam tubuh siput dan dikeluarkan sebagai serkaria. Larva ini dapat berenang dan mampu untuk menembus ke dalam lapisan kulit inang definitif. Setelah penetrasi ke dalam kulit, serkaria mengalami perkembangan dan bermigrasi menuju hati. Setelah itu kembali bermigarasi melalui pembuluh darah vena menuju usus besar (S. mansoni dan S. japonicum) atau vesika urinaria (S. haematobium) dimana di sana cacing akan tumbuh menjadi dewasa, kawin, dan bertelur. Faktor penting yang berhubungan dengan penyebaran penyakit ini antara lain proyek perluasan dan pengembangan sistem perairan, pembuatan danau buatan, dan sistem irigasi. Faktor tersebut memicu pertumbuhan populasi siput sebagai inang antara. Perpindahan populasi manusia juga dapat menyebarkan penyakit ini. Sebagai contoh adalah adanya arus urbanisasi dari desa ke kota, transmigrasi, dan perpindahan turis wisata. Karena penyakit ini menular melalui siput sebagai induk semang antara

6

yang menyukai tempat-tempat berair,maka penyakit ini banyak terjadi pada daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi atau pada daerah yang memiliki danau atau kolam dengan populasi ternak yang cukup tinggi. Masyarakat di sebagian wilayah Indonesia mempunyai kebiasaan mandi, mencuci, mengambil air disungai dan buang hajat disungai, parit, atau disawah. Kebiasaan mandi, mencuci, dan mengambil air di sungai sangat beresiko terinfeksi S. japonicum. Mereka terinfeksi cacing S. japonicum pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi dengan larva serkaria yaitu pada saat melakukan kegiatan harian tersebut. Selain kegiatan tersebut, infeksi S japonicum juga berkaitan dengan pekerjaan. Bertani, memancing dan berburu dihutan merupakan pekerjaan yang memiliki resiko sangat besar terhadap infeksi S. japonicum.

Gambar 2. Patogenesa Penyakit Schistosomiasis

2.4

Gejala klinis Kontak langsung pada kulit oleh serkaria dapat menyebabkan kegatalan dan

ruam pada kulit yang biasa disebut swimmers itch. Gejala klinis dapat terlihat terlihat setelah 23 minggu, namun kebanyakan tidak memperlihatkan gejala klinis (asimptomatis). Schistosoma haematobium, S. mansoni, dan S. japonicum memiliki

7

masa inkubasi 8 sampai 12 minggu dihitung dari mulai larva memasuki tubuh sampai cacing mencapai feses/ urin penderita. Infeksi Schistosoma dapat menimbulkan gejala-gejala yang bersifat umum seperti gejala keracunan, demam, disentri , penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, gejala saraf, kekurusan dan lambatnya pertumbuhan pada anak-anak. Sedang pada penderita yang sudah kronis dapat menimbulkan pembengkakan hati dan limpa serta sirosis hati yang umumnya berakhir dengan kematian. Gejala klinis pada fase akut (dikenal dengan Katayama Fever) berupa demam, malaise, urticaria, dan eosinofilia. Gejala lain dapat berupa batuk, demam, letargi, diare, kekurusan, hematuria, sakit kepala, nyeri persendian dan otot, eosinofilia, splenomegali,

dan

hepatomegali.

Infeksi

Schistosoma

haematobium

akan

menyebabkan demam disertai batuk kering yang diikuti dengan kesakitan perut ringan, hati menjadi lunak, dan eosinofilia. Pada infeksi yang berkepanjangan, S. japonicum dapat menyebabkan granuloma di perut dan karsinoma pada lambung. Infeksi kronis dari S. mansoni dan S. japonicum menyebabkan fibrosa periportal hati dan hipertensi vena porta yang menyebabkan ascites dan varises oesofagial. Infeksi jangka panjang dari S. haematobium menyebabkan perlukaan vesica urinaria, obstruksi renalis, infeksi kronis saluran urinari, dan kemungkinan carcinoma pada vesica urinaria.

2.5

Histopatologi Photomicrograph mukosa kandung kemih menunjukkan schistosoma ova

(panah putih) di dinding dengan peradangan kronis di sekitarnya. B Area lain dari kandung kemih yang sama menunjukkan metaplasia skuamosa dari urothelium dengan peradangan granulomatosa di sekitar schistosoma ova. C Area lain dari kandung kemih yang sama menunjukkan karsinoma sel skuamosa (sisi kanan gambar) dan koleksi schistosoma ova yang berdekatan dengan peradangan kronis di sekitarnya. Karsinoma sel skuamosa pada kandung kemih yang terkait dengan S. haematobium cenderung berdiferensiasi baik dan menyebar secara lokal.

8

. Gambar 3. Histopatologi Kandung Kemih pada penyakit schistosomiasis

2.6

Patologi Anatomi Kandung Kemih lesi utama yang diamati secara makroskopis berada di

kandung kemih. Ini mengambil salah satu dari tiga bentuk: (1) Lesi yang paling awal (Gambar 1) terlihat sebagai perdarahan petekie di mana telur dapat ditunjukkan. 2) Akut, tipe alergi terlihat sebagai area hemoragik oedema- tous (Gbr, 2), di mana mayoritas sel telur ditemukan tidak dapat hidup. (3) lesi oid muncul sebagai nodul kelabu-kelabu yang bergabung kadang-kadang membentuk area yang luas (Gbr. 3). Meskipun pada tipe lesi terakhir ini, sejumlah besar telur sudah tua dan kalsifikasi lesi tidak pernah terlihat; lesi naktual selalu dalam trigonum kandung kemih.

9

Satu kasus terlihat (lihat Gambar. 4) di mana permukaan peritoneum kandung kemih terlibat. dia adalah lesi yang sangat tua dan sangat luas Meskipun telur dapat dibuktikan dalam 3 persen dari 1.000 kandung kemih diperiksa, tidak ada telur yang ditemukan dalam urin dari 25 sampel urin biasa diperiksa dan 20 sampel urin diperoleh dari kandung kemih di rumah potong hewan di mana lesi karena telur terlihat Hati. - Kadang-kadang bercak keabu-abuan kecil yang terisolasi dengan diameter sekitar seperenam belas inci terlihat di mana telur schistosome diperlihatkan. Usus-Meskipun schistosomiasis usus ditemukan sangat umum, lesi makroskopis yang disebabkan oleh telur jarang terjadi. Dalam kasus yang diamati.

Gambar 4. Lesi Patologi Anatomi

10

2.7

Diagnosis Demonstrasi ova dalam urin adalah metode diagnosis yang cepat, tidak invasif,

dan andal. Sampel urin terminal yang diambil saat tengah hari paling tepat. Dianjurkan untuk menggunakan filter nukleopor. Spesimen 'squash' dari bahan biopsi sangat membantu dan penyelidikan serologis sekarang terbukti lebih dapat diandalkan, terutama uji immunosorbent terkait-enzim (Tsang VC et al. 1997; Wang X et al, 1999) Perkembangan terakhir adalah uji imunoblot untuk mendeteksi antigen cacing dewasa, yang dilaporkan memiliki sensitivitas 95% dan spesifisitas 100%. Pada tahap akhir, kalsifikasi dapat terlihat pada X-ray polos dan pemindaian tomografi terkomputasi dan pembentukan papilloma dan keterlibatan ureter dapat dilihat pada urografi intravena . Urografi intravena juga dapat menunjukkan cacat pengisian jika SCC atau TCC telah mempersulit penyakit. Biopsi kandung kemih juga dapat menunjukkan karakteristik telur schistosoma pada histologi. Bukti laboratorium pendukung tambahan schistosomiasis mungkin termasuk bukti eosinofilia darah perifer (Ross AGP et al.2002). Diagnosa dapat diteguhkan dengan menemukan telur Schistosoma pada pemeriksaan mikroskopis di feses dan urin. Dapat pula dilakukan biopsi rectal untuk menemukan telur cacing, atau dengan uji serologis untuk menemukan antibodi atau antigen dari Schistosoma.

2.8

Pengobatan dan pengendalian Penularan schistosomiasis disuatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang

saling berkaitan. Keberadaan inang definitif yang rentan yaitu manusia dan hewan mamalia merupakan salah satu faktor yang penting. Luasnya inang definitif yang dapat diinfeksi menjadi kendala dalam pengendalian schistosomiasis. Pengobatan yang cocok untuk schistosomiasis adalah praziquantel. Dosis untuk praziquantel yang dapat diberikan adalah 20 mg/kg. Pengobatan pada hewan dapat diberikan praziquantel dengan dosis 25mg/kg dan diulangi 3 – 5 minggu kemudian. Pada

11

manusia dapat diobati dengan metrifonate, oxamniquine, atau praziquantel (NaTHNaC. 2008). Pada tempat-tempat endemik, schistosomiasis menjadi penyakit masyarakat dimana dapat menyerang manusia yang berumur kurang dari 15 tahun. Pengendalian efektif yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan pendidikan masyarakat (public awareness) yang disertai perbaikan sanitasi untuk mencegah ekskreta yang mencemari persediaan air bersih atau dengan memperbaiki tata cara penyediaan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Pengobatan secara massal untuk S. haematobium adalah niridazole, sedangkan S. mansoni dan S. japonicum adalah hycanthone dan potassium antimony dimercaptosuccinate. Untuk mengendalikan Schistosomiasis pada manusia tentu harus juga dilakukan pengendalian pada hewan. Tanpa adanya pengendalian pada hewan, infeksi pada manusia akan berlangsung terus menerus karena masih terdapat sumber penular yaitu hewan reservoir. Hewan mamalia mempunyai peranan yang sangat penting dalam transmisi schistosomiasis sebagai inang reservoir. Sumber infeksi akan selalu tersedia dari kontaminasi lingkungan oleh telur schistosoma yang berasal dari hewan seperti anjing, kucing, ruminansia, babi dan hewan mamalia lainnya, Pengendalian populasi siput sebagai inang antara juga dilakukan dengan cara modifikasi lingkungan fisik melalui pengeringan semua perairan yang dicurigai. Dapat juga dilakukan secara kimia dengan penggunaan cuprisulfat atau natrium pentaklorofenate. Zat moluscida yang dapat digunakan adalah Frescon dan Baylucide. Pengendalian biologis dengan menggunakan predator, parasit, dan kompetitor alamiah seperti siput predator, ikan, katak, burung, dan sebagainya. Pengendalian schistosomiasis di Sulawesi Tengah diawali tahun 1974 melalui pengobatan penderita, pemberantasan siput sebagai inang antara dengan molusida dan melalui agroengineering. Program pengendalian dilanjutkan dengan 2 program pengendalian yang lebih intensif dengan melibatkan berbagai institusi dimulai pada tahun 1982. Program ini mampu menekan tingkat infeksi sampai 2,2 % dan 3,5 % pada tahun 1994 masingmasing untuk daerah Lembah Napu dan lembah Lindu. Tingkat infeksi sebelum program penegendalian adalah 15,8 % dan 35,8 % untuk

12

lembah Lindu dan Napu. Tingkat infeksi menurun kembali dua tahun kemudian yaitu 1,4 % untuk Lembah Napu sedangkan untuk lembah lindu adalah 1,1 % Reinfeksi masih berlangsung dimungkinkan karena masih adanya sumber infeksi yang berasal dari hewan reservoar dan kebiasan manusia yang memungkinkan kontak dengan larva infektif sehingga infeksi berlangsung secara terus menerus. Saat ini belum ada vaksin untuk schistosomiasis, namun telah dilakukan tahap awal pembuatan vaksin untuk penyakit ini. Untuk reinfeksi dapat diobati dengan praziquantel untuk mengurangi gejala klinis yang ditimbulkan. Untuk wisatawan diharapkan untuk tidak berenang dan menyelam di sungai atau danau pada daerah endemis schistosomiasis. Pemberian repellent insekta secara topikal dapat digunakan sebelum kontak dengan air. Klorinasi pada air dapat membunuh larva cacing. Serkaria mati pada air yang dipanaskan 50ºC selama 5 menit. Filtrasi pada air juga dapat membantu eliminasi Schistosoma. (Posey D et al. 2005).

13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit zoonotik yang menurut cara penularan/ transmisinya diklasifikasikan pada golongan metazoonosis. Schistosomiasis disebut juga bilharziasis karena pertama kali ditemukan trematoda dewasa oleh Theodor Bilharz pada tahun 1851 di vena messenterica pada manusia di Kairo, Mesir. Penularan schistosomiasis terjadi apabila larva serkaria yang berada dalam air menemukan inang definitif. Infeksi Schistosoma dapat menimbulkan gejala-gejala yang bersifat umum seperti gejala keracunan, demam, disentri , penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, gejala saraf, kekurusan dan lambatnya pertumbuhan pada anak-anak. Demonstrasi ova dalam urin adalah metode diagnosis yang cepat, tidak invasif, dan andal

3.2 Saran Pengendalian efektif yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan pendidikan masyarakat (public awareness) yang disertai perbaikan sanitasi untuk mencegah ekskreta yang mencemari persediaan air.

14

DAFTAR PUSTAKA

NaTHNaC [National Travel Health Network and Center]. 2008. Schistosomiasis. Heath Protection Agency.

Posey D dan Weinberg M. 2005. Recommendations for presumptive treatment of schistosomiasis and strongyloidiasis among the Somali Bantu refugees. Department of Health and Human Services: Center for Disease Control and Prevention.

Ross AGP, Bartley PB, Sleigh AC, Olds GR, Li Y, et al: Current concepts: schistosomiasis. N Engl J Med 2002

15

Related Documents


More Documents from ""