1552266248327_anastesi Kucing.docx

  • Uploaded by: Erick Setiawan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 1552266248327_anastesi Kucing.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 13,480
  • Pages: 114
TUGAS MATA KULIAH ILMU BEDAH VETERINER JUDUL “ANESTESI UMUM INJEKSI PADA KUCING”

OLEH : I KOMANG ARI WINDHU SANCAYA (1609511102) A

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2019

Ringkasan Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan sistem saraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan sensori pada saraf.Berbagai prosedur diagnostik dan operasi di dunia kedokteran hewan sering memerlukan tindakan anestesi.Kucing memerlukan perhatian khusus dalam prosedur anestesi karena sulit ditangani, memiliki kelenturan otot tinggi, gerakannya cepat, mudah stres, serta dapat mencakar dan menggigit. Kematian akibat tindakan anestesi pada kucing dengan kondisi status fisik hewan sehat {resiko minimal) adalah 1.06%, resiko ringan 1.11%, resiko sedang 3.33 %, dan resiko berat 33.33% . Obat anastesi umum injeksi yang byasanya digunakan pada kucing adalah ketamine, xylazine, atropin, dan zoletil. Ketamine sering dikombinasikan dengan xylazine maupun zoletil. Kombinasi antara ketamin dan xylazin merupakan kombinasi yang paling baik bagi kedua agen ini, untuk menghasilkan analgesia dibandingkan dengan zoletil.

Kata Kunci : anestesi, ketamine, xylazine, atropin, zoletil, kucing lokal, injeksi

General anesthesia is a condition of pain relief throughout the body and temporary loss of consciousness generated through the suppression of the central nervous system because of the induction of pharmacologically or sensory emphasis on saraf. Various diagnostic procedures and surgery in the veterinary world often requires action anestesi. Cats need attention specialized in anesthesia because it is difficult to handle, has a high muscle tone, movement quickly, easily stressed, and can scratch and bite. Deaths from anesthesia in cats with the condition of the physical status of healthy animals {minimal risk) is 1:06% 1:11% risk of mild, moderate risk 3:33%, and 33.33% risk weight. General anesthetic injection usually used in cats is ketamine, xylazine, atropine, and zoletil. Ketamine is often combined with xylazine and zoletil. The combination of ketamine and xylazin is

i

the best combination for both of these agents, to produce analgesia compared with zoletil.

Keywords: anesthesia, ketamine, xylazine, atropine, zoletil, local cats, injection

ii

KATA PENGANTAR Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan paper dengan judul “Anestesi Umum Injeksi Pada Kucing” ini tepat pada waktunya. Paper ini dibuat untuk memenuhi tugas Ilmu Bedah Veteriner. Paper yang saya buat masih memerlukan

kritik dan saran yang

membangun, karena sangat diperlukan untuk memperbaiki tugas yang lain di kemudian hari. Akhirnya kami mengucapkan selamat membaca semoga bermanfaat.

Denpasar, 11 Maret 2019

Penulis

I Km Ari Windhu Sancaya

iii

DAFTAR ISI RINGKASAN......................................................................... i KATA PENGANTAR……………………………………………... ii DAFTAR ISI ................................................ ........................ iii BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1 BAB II TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN................................ 3 BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 4 BAB IV PEMBAHASAN............................................................................. 5 4.1 Ketamine……...............…………………………………......... 8 4.2 Xylazine..................…………............………………………... 9 4.3 Atropin...........………………………....................................... 11 4.4 Zoletil…………………..................................……………...... 13 4.5 Kombinasi Ketamine - Xylazine............................................... 14 4.6 Kombinasi Ketamine – Zoletil.................................................. 15

BAB V PENUTUP 3.1 Simpulan………………………………………..……………... 16 3.2 Saran .......................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA………………………………………........................ 18 LAMPIRAN ..................................................................................................19

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar1.1 kucing local…………………………………………………………4

v

BAB I PENDAHULUAN Istilah anestesi berasal dari bahasa Yunani anaisthaesia, yang berarti insensibilitas. Anestesi menyebabkan depresi aktivitas jaringan saraf secara lokal, regional, atau dalam sistem saraf pusat. Anestesi umum terdiri dari hilangnya kesadaran dan hilangnya sensasi. Idealnya, anestesi umum terdiri dari tiga komponen, yaitu ketidaksadaran, analgesia dan relaksasi otot (Muir dan Hubbel 2008). Keadaan anestesi diinduksi oleh agen anestesi yang diberikan dengan injeksi atau inhalasi. Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan sistem saraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan sensori pada saraf. Anestesi umum merupakan kondisi hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness) (Titin Tambing, 2014). Berbagai prosedur diagnostik dan operasi di dunia kedokteran hewan sering memerlukan tindakan anestesi. Kucing memerlukan perhatian khusus dalam prosedur anestesi karena sulit ditangani, memiliki kelenturan otot tinggi, gerakannya cepat, mudah stres, serta dapat mencakar dan menggigit. Kucing memiliki enzim glucoronyl transferase dalam konsentrasi sedikit jika dibandingkan dengan spesies lain. Enzim ini berperan dalam metabolisme obat di hati sehingga peluang intoksikasi pada kucing lebih besar (R.E. Pertiwi, S. Widodo, dan R.H. Soehartono, 2004) . Kematian akibat tindakan anestesi pada kucing dengan kondisi status fisik hewan sehat {resiko minimal) adalah 1.06%, resiko ringan 1.11%, resiko sedang 3.33 %, dan resiko berat 33.33% . Komplikasi pada tindakan anestesi kucing sebesar 1.30-10.40% dengan gejala utama hipotensi, aritmia, dan apnea. Komplikasi pernah dilaporkan terjadi pada kucing muda sehat. Rata-rata 6

kematian 0 06-0 40% (R.E. Pertiwi, S. Widodo, dan R.H. Soehartono, 2004). Di Indonesia data komplikasi dan kematian pada tindakan anestesi kucing belum pernah dilaporkan. Salah satu obat anestetik yang sering digunakan pada kucing adalah ketamin. Dalam penggunaannya ketamin mempunyai beberapa keuntungan, di antaranya yaitu mempunyai mula kerja (onset of action ) yang cepat dan efek analgesik yang kuat serta aplikasinya cukup mudah, yaitu dapat diinjeksikan secara intramuskular. Namun, ketamin juga mempunyai kerugian yaitu tidak terjadi relaksasi otot sehingga dapat menimbulkan kekejangan dan depresi ringan pada saluran respirasi. Oleh karena itu, untuk mengurangi efek samping ketamin, penggunaannya sering dikombinasikan dengan obat premedikasi, seperti atropin, zoletil, atau xylazin(Ira Sari Yudaniayanti, Nusdianto Triakoso, Djoko Galijono, 2011).

BAB II TUJUAN DAN MANFAAT TULISAN

Dalam studi ini, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui anastesi umum injeksi dan mengaplikasikannya pada kucing. Saat ini anestesi

7

yang banyak digunakan oleh dokter hewan praktek adalah anestesi secara injeksi, baik yang diberikan secara intramuskular atau intravena yang pada umumnya digunakan untuk operasi dengan durasi anestesi yang singkat. Penggunaan anestesi ini karena beberapa alasan tertentu, diantaranya karena penggunaan yang praktis, relatif tidak mahal, dan obat yang digunakan relatif mudah didapat. Kekurangan dari anestesi injeksi adalah kedalaman anestesinya tidak bisa dikontrol dan untuk recovery pasien harus menunggu proses metabolisme agen anestetika tersebut. Hasil dari tulisan ini semoga bermanfaat bagi pembaca, menambah wawasan dan diharapkan dapat menjadi referensi dalam mengkombinasikan anestesi injeksi pada kucing.

8

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Kucing domestik adalah salah satu hewan karnivora sejati yang berada dalam satu famili Felidae dengan 37 spesies kucing lain yang antara lain mencakup cheetah, puma, jaguar, macan tutul, singa, lynx, dan harimau. Kucing lokal atau kucing kampung (Felis domestica) sulit disebut sebagai kucing bergalur murni secara genetik karena perkawinan hewan ini sulit diamati dan dikontrol, sehingga keturunan yang dihasilkan pun sudah tergolong campuran yang tidak jelas. Klasifikasi kucing kampung (Felis domestica) menurut Fowler adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phylum : Chordata, Sub phylum : Vertebrata, Kelas : Mamalia, Ordo : Carnivora, Sub ordo : Conoidea, Famili : Felidae, Sub famili : Felinae, Genus : Felis, Spesies : Felis domestica. Kucing dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuhnya, lebih dari 50 % atau sekitar 20 spesies tergolong kucing kecil (small cat), 30 % atau sekitar 11 spesies termasuk kucing berukuran sedang dan sisanya sekitar 7 spesies termasuk kucing besar (big cats) (Titin Tambing, 2014).

Gambar 1. Kucing Lokal Sumber : GeoChemBio.com/biology/organisms/cat - taxonomy , (2013)

Keadaan teranestesi dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Tujuan dari pemberian anestesi

adalah

mengurangi

atau

menghilangkan

rasa

nyeri

dengan

meminimalkan kerusakan beberapa organ tubuh terutama pada pasien dengan

9

kondisi khusus, tujuan anestesi juga untuk membuat hewan tidak terlalu banyak bergerak bila dibutuhkan relaksasi muskulus (Titin Tambing, 2014).

10

BAB IV PEMBAHASAN

Keadaan teranestesi dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obatan anestetika umumnya diklasifikasikan berdasarkan rute penggunaannya, yaitu: 1). Topikal misalnya melalui kutaneus atau membrana mukosa; 2). Injeksi seperti intravena, subkutan, intramuskular, dan intraperitoneal; 3). Gastrointestinal secara oral atau rektal; dan 4). Respirasi atau inhalasi melalui saluran nafas. Anastesi dapat mempengaruhi keadaan SpO2 darah karena sifat dari rata-rata obat bius yang diberikan perinjeksi akan mendepres fungsi fisiologis tubuh sehingga terjadi penurunan fungsi fisiologis. Anastesi perinjeksi dapat mengalami penurunan nilai SpO2 yang drastis (Deni Noviana, Gunanti, dan Ni Rai Fentilini Hanira Jelantik, 2006). Tujuan dari pemberian anestesi adalah mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan meminimalkan kerusakan beberapa organ tubuh terutama pada pasien dengan kondisi khusus, seperti: pada pasien penderita penyakit komplikasi selain itu tujuan anestesi juga untuk membuat hewan tidak terlalu banyak bergerak bila dibutuhkan relaksasi muskulus (Titin Tambing 2014). Tahapan anestesi sangat penting untuk diketahui terutama dalam menentukan tahapan terbaik untuk melakukan pembedahan, memelihara tahapan tersebut sampai batas waktu tertentu, dan mencegah terjadinya kelebihan dosis anestetikum. Tahapan anestesi dapat dibagi dalam beberapa langkah (McKelvey dan Hollingshead2003) , yaitu : 1.

Preanestesi Tahap preanestesi merupakan tahapan yang dilakukan segera sebelum

dilakukananestesi, dimana data tentang pasien dikumpulkan, pasien dipuasakan, serta dilakukan pemberian pre-anestetikum. 2.

Induksi

11

Induksi adalah proses dimana hewan akan melewati tahap sadar yang normal atau conscious menuju tahap tidak sadar atau unconscious. Agen induksi dapat diberikansecara injeksi atau inhalasi. Apabila agen induksi diberikan secara injeksi maka akan diikuti dengan intubasi endotracheal tube untuk pemberian anestetikum inhalasi ataugas menggunakan mesin anestesi. Waktu minimum periode induksi biasanya 10 menit apabila diberikan secara intramuskular (IM) dan sekitar 20 menit apabila diberikan secara subkutan (SC).Tahap induksi ditandai dengan gerakan tidak terkoordinasi, gelisah dan diikuti dengan relaksasi yang cepat serta kehilangan kesadaran.Idealnya, keadaan

gelisah

dan

tidak

tenang dihindarkan

pada

tahap

induksi,

karenamenyebabkan terjadinya aritmia jantung.Preanestesi dan induksi anestesi dapat diberikan secara bersamaan, seperti pemberian acepromazin, atropine, dan ketamine dicampur dalam satu alat suntik dan diberikan secara intravena (IV) pada anjing. 3.

Pemeliharaan, Selanjutnya

hewan

akan

memasuki

tahap

pemeliharaan

status

teranestesi. Pada tahap pemeliharaan ini, status teranestesi akan terjaga selama masa tertentu dan pada tahap inilah pembedahan atau prosedur medis dapat dilakukan. Tahap pemeliharaan dapat dilihat dari tanda-tanda hilangnya rasa sakit atau analgesia, relaksasi ototrangka, berhenti bergerak, dilanjutkan dengan hilangnya refleks kardiovaskuler

palpebral,

tertekan

spingter ani

secara

longgar, serta respirasi

ringan.Begitu

mulai

memasuki

dan tahap

pemeliharaan, respirasi kembali teratur dan gerakan tanpa sengaja anggota tubuh berhenti. Bola mata akan bergerak menuju ventral, pupil mengalami konstriksi, dan respon pupil sangat ringan. Refleks menelan sangat tertekan sehingga endotracheal tube sangat mudah dimasukkan, refleks palpebral mulai hilang, dankesadaran mulai hilang.Anestesi semakin dalam sehingga sangat nyata menekan sirkulasi dan respirasi.Pada anjing dan kucing, kecepatan respirasi kurang dari 12 kali per menit dan respirasi semakin dangkal.Denyut jantung sangan rendah dan pulsus sangat menurun karena terjadi penurunan seluruh

12

tekanan darah. Nilai CRT akan meningkat menjadi 2 atau 3 detik. Semua refleks tertekan secara total dan terjadirelaksasi otot secara sempurna serta refleks rahang bawah sangat kendor. Apabilaanestesi dilanjutkan lebih dalam, pasien akan menunjukkan respirasi dankardiovaskuler lebih tertekan dan pada keadaan dosis anestetikum berlebih akan menyebabkan respirasi dan jantung berhenti. Dengan demikian, pada tahap pemeliharaan sangat diperlukan pemantauan dan pengawasan status teranestesi terhadap sistim kardiovaskuler dan respirasi (McKelvey dan Hollingshead 2003;Tranquilliet al.2007 ). 4.

Pemulihan Ketika tahap pemeliharaan berakhir, hewan memasuki tahap pemulihan

yangmenunjukkan

konsentrasi

anestetikum

di

dalam

otak

mulai

menurun.Metode ataumekanisme bagaimana anestetikum dikeluarkan dari otak dan sistem sirkulasi adalah bervariasi tergantung pada anestetikum yang digunakan.Sebagian besar anestetikuminjeksi dikeluarkan dari darah melalui hati dan dimetabolisme oleh enzim di hati danmetabolitnya dikeluarkan melalui sistem urinari.Pada hewan kucing, ketamine tidak mengalami metabolisme dan dikeluarkan langsung tanpa perubahan melalui ginjal.Kadar anestetikum golongan tiobarbiturat di dalam otak dapat dengan cepat menurunkarena dengan cepat disebarkan ke jaringan terutama otot dan lemak, sehingga hewanakan sadar dan terbangun dengan cepat mendahului ekskresi anestetikum dari dalam tubuh hewan. Anestetikum golongan inhalasi akan dikeluarkan dari tubuh pasien melalui sistem respirasi, molekul anestetikum akan keluar dari otak memasuki peredaran darah, alveoli paru-paru, dan akhirnya dikeluarkan melalui nafas. Tanda - tanda adanya aktivitas refleks, ketegangan otot, sensitivitas terhadap nyeri pada periode pemulihan dinyatakan sebagai kesadaran kembali (McKelvey danHollingshead 2003).Durasi atau lama waktu kerja anestetikum dan kualitas anestesi dapat dilihatdari pengamatan perubahan fisiologis selama stadium teranestesi.Dikenal dua waktu induksi pada durasi anestesi.Waktu induksi 1 adalah waktu antara anestetikumdiinjeksikan sampai keadaan hewan tidak dapat berdiri.Waktu induksi 2 adalah waktu antara anestetikum

13

diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak ada refleks pedalatau hewan sudah tidak merasakan sakit (stadium operasi).Durasi adalah waktu ketika hewan memasuki stadium operasi sampai hewan sadar kembali dan merasakan sakit jika daerah disekitar bantalan jari ditekan.Waktu siuman atau recovery adalah waktu antara ketika hewan memiliki kemampuan merasakan nyeri bila syaraf disekitar jari kaki ditekan atau mengeluarkan suara sampai hewan memiliki kemampuan untuk duduk sternal, berdiri atau jalan. Jenis Obat Anestesi Umum 1. Ketamine Ketamin adalah anestesi umum non barbiturat yang bekerja cepat dan termasuk dalam golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0chlorophenil) – 2 (methylamino) cyclohexanone hydrochloride. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carsen pada tahun 1965. Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat akan tetapi memberikan efek hipnotik yang ringan. Ketamin merupakan zat anestesi dengan efek satu arah yang berarti efek analgesinya akan hilang bila obat itu telah didetoksikasi/diekskresi, dengan demikian pemakaian lama harus dihindarkan. Anestetik ini adalah suatu derivat dari phencyclidine suatu obat anti psikosa (Titin Tambing, 2014). Pemberian ketamin dapat diberikan dengan mudah pada penderita secara intramuskuler. Obat ini menimbulkan efek analgesia yang sangat baik dan dapat dikatakan sempurna dengan hanya diikuti tidur yang superfisial. Hal ini dapat dilihat pada penderita yang diberikan ketamin sering menunjukkan gerakan spontan dari ekstrimitasnya walaupun pelaksanaan operasi telah dilakukan. Keadaan ini disebabkan titik tangkap kerjanya pada daerah kortek dari otak dibanding dengan obat anestesi lainnya yang titik tangkap kerjanya adalah reticular actifiting system dari otak. Dosis ketamin pada kucing yaitu 10-30 mg/kg secara intra muskuler. Ketamin menyebabkan pasien dalam kondisi tidak sadar dalam durasi yang cepat namun mata masih tetap terbuka tetapi tidak memberikan respon rangsangan dari luar. Selain itu ketamin juga memiliki efek

14

anestetikum yang dapat menekan hipotalamus sehingga menyebabkan penurunan temperatur tubuh (Titin Tambing, 2014). Sifat-sifat ketamin, yaitu larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar, dan suasana asam (pH 3,5 – 5,5). Adapun farmakokinetik dari ketamin adalah sebagian besar ketamin mengalami dealkilasi dan dihidrolisis dalam hati, kemudian dieksresi terutama dalam bentuk metabolik dan sedikit dalam bentuk utuh. Ketamin dengan pemberian tunggal bukan anestetik yang bagus, karena obat ini tidak merelaksasi muskulus bahkan kadang-kadang tonus sedikit meningkat.Efek puncak pada hewan umumnya tercapai dalam waktu 6-8 menit dan anestesi berlangsung selama 30-40 menit, sedang untuk pemulihan membutuhkan waktu sekitar 5-8 jam. Ketamin merupakan salah satu jenis anesthesi yang sering digunakan pada kucing untuk beberapa jenis operasi. Efek ketamin dapat merangsang simpatetik pusat yang akhirnya menyebabkan peningkatan kadar katekolamin dalam plasma dan meningkatkan aliran darah. Karena itu ketamin digunakan bila depresi sirkulasi tidak dikehendaki. Sebaliknya, efek-efek ini meringankan penggunaan ketamin pada penderita hipertensi atau stroke. Kelemahan dari anastetika ini menyebabkan terjadinya depresi pernafasan dan tidak memberikan pengaruh relaksasi pada muskulus, yang karenanya sering dikombinasikan dengan obat yang mempunyai pengaruh terhadap relaksasi muskulus (Titin Tambing, 2014). Ketamin telah terbukti dapat dipakai pada berbagai kasus gawat darurat dan dianjurkan untuk pasien dengan sepsis atau pasien dengan sakit parah, hal ini karena efek stimulasi ketamin terhadap kardiovaskuler. Ketamin akan meningkatkan cardiac output dan systemic vascular resistance lewat stimulasi pada sistem saraf simpatis akibat pelepasan dari katekolamin. Ketamin dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik yang ringan. Efek terhadap kardiovaskular adalah peningkatan tekanan darah arteri paru dan sistemik, laju jantung dan kebutuhan oksigen jantung (Pirade Priskha Florancia, 2015).

15

2. Xylazine Xylazin HCl merupakan senyawa sedatif golongan α2 adrenergik agonis yang bekerja dengan cara mengaktifkan central α2–adrenoreceptor. Xylazin memiliki

rumus

kimia

2-(2,6-xylodino)5,6-dihydro-4H-1,3-

thiazin

hydrochloride. Xylazin menyebabkan penekanan sistem saraf pusat yang diawali dengan sedasi kemudian pada dosis yang lebih tinggi digunakan untuk hipnotis, sehingga akhirnya hewan menjadi tidak sadar dan teranestesi (Titin Tambing, 2014). Di dalam anestesi hewan, xylazin biasanya paling sering digunakan dengan kombinasi ketamin. Obat ini bekerja pada reseptor presinapsis dan possinapsis dari sistem saraf pusat dan perifer sebagai agonis adrenergik. Reseptor α2 adrenoreceptor agonis mengerahkan efek penghambatan pada fungsi sistem saraf pusat melalui penghambatan pelepasan neurotransmiter dari saraf simpatis. Hal ini menyebabkan aktivitas saraf simpatis menurun sehingga menurunkan tingkat kewaspadaan, menurunkan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah. Reseptor α2 adrenoreceptor ditemukan di otot polos pembuluh darah arteri organ dan vena abdomen. Ketika α2 adrenoreceptor diaktifkan dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, selain itu α2 adrenoceptor dijumpai juga pada sistem kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal, sistem saraf pusat, ginjal, sistem endokrin dan trombosit (Titin Tambing, 2014). Xylazin menyebabkan penekanan sistem saraf pusat yang diawali dengan sedasi kemudian pada dosis yang lebih tinggi digunakan untuk hipnotis, sehingga akhirnya hewan menjadi tidak sadar atau teranestesi. Obat ini bekerja pada reseptor presinaptik dan postsinaptik dari sistem saraf pusat dan perifer sebagai agonis sebuah adrenergik. Xylazin menimbulkan efek relaksasi muskulus sentralis. Selain itu, xylazin juga mempunyai efek analgesia, xylazin dapat menimbulkan kondisi tidur yang ringan sampai kondisi narkosis yang dalam, tergantung dari dosis yang diberikan untuk masing-masing spesies hewan (Pirade Priskha Florancia, 2015).

16

Obat ini banyak digunakan dalam subtansi kedokteran hewan dan sering digunakan sebagai obat penenang (sedasi), nyeri (analgesik) dan relaksasi otot rangka (relaksan otot). Pemberian xylazin

sebagai

preanestesi

dapat

memperpanjang durasi analgesi, mengurangi dosis anestesi dan memperpendek masa pemulihan. Pada kucing penggunaan kombinasi ketamin-xylazin menyebabkan perlambatan absorpsi ketamin sehingga eliminasi ketamin lebih lama, hal ini menyebabkan durasi anestesi lebih panjang, pada kucing range dosis xylazin yang sering digunakan yaitu 1,0-2,0 mg/kg BB secara intra muskuler dan 1-2 mg/kg BB. Xylazin dapat menyebabkan gejala bradikardia, arythmia, peningkatan tekanan sistem saraf pusat, pengurangan sistem sistolik, depresi respirasi (pengurangan frekuensi respirasi dan volume respirasi per menit) serta hipertensi yang diikuti dengan hipotensi. Xylazin memiliki efek farmakologis yang sebagian besar terdiri dari penurunan cardiac output, sehingga terjadi penurunan frekuensi setelah kenaikan di awal injeksi pada tekanan darah kemudian dalam perjalanan dapat menyebabkan efek vasodilatasi pada tekanan darah yang juga dapat menyebabkan bradikardia, vomit, tremor, motilitas menurun tetapi kontraksi uterus meningkat pada betina, bahkan dapat mempengaruhi keseimbangan hormonal seperti menghambat produksi insulin dan antidiuretic hormon (ADH). Xylazin juga menghambat efek stimulasi saraf postganglion. Pengaruh xylazin dapat dihambat dengan menggunakan antagonis reseptor adrenergik seperti atipamezole, yohimbine dan tolazoline (Titin Tambing, 2014). Kontraindikasi dari xylazin adalah tidak boleh digunakan pada hewan yang memiliki hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Xylazin dapat diberikan secara intravena, intramuskular, dan subkutan. Pada ruminansia, xylazin dapat menyebabkan peningkatan sekresi saliva, meningkatkan risiko pneumonia aspirasi (pernafasan), tetapi dapat dihambat oleh kerja dari atropin. Efek xylazin pada fungsi respirasi biasanya tidak berarti secara klinis, tetapi pada dosis yang tinggi dapat mendepres respirasi sehingga terjadi penurunan volume tidal dan respirasi rata-rata. Perubahan yang cukup jelas terlihat pada fungsi

17

kardiovaskular. Awalnya segera setelah injeksi, tekanan darah akan meningkat, kemudian diikuti dengan konstriksi pembuluh darah kapiler. Sebagai reflek normal terhadap peningkatan tekanan darah dan pemblokiran saraf simpatis, frekuensi denyut jantung akan menurun sehingga menimbulkan bradikardi dan tekanan darah menurun mencapai level normal atau subnormal. Xylazin tidak dianjurkan pada hewan yang memiliki penyakit jantung, darah rendah, dan penyakit ginjal (Titin Tambing, 2014). 3.

Atropin

Atropin merupakan salah satu jenis premedikasi yang memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik serta terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya pada reseptor muskarinik. Kerja obat ini secara umum berlangsung sekitar 4 jam kecuali bila diteteskan ke dalam mata, maka kerjanya bahkan sampai berhari-hari (Titin Tambing, 2014). Atropin atau alkaloid belladonna, memiliki afinitas kuat terhadap respon muskarinik, obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya direseptor muskarinik. Kerja atropin pada beberapa fisiologis tubuh seperti menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi tidak bereaksi pada cahaya dan siklopegia (ketidakmampuan fokus untuk penglihatan dekat). Pada pasien glukouma, tekanan intraokuler akan meninggi yang akan membahayakan (Pirade Priskha Florancia, 2015). Pada gastrointestinal, atropin digunakan sebagai obat anti spasmodik untuk mengurangi aktivitas saluran cerna, sebab atropin adalah salah satu obat yang memiliki sifat kuat dalam menghambat saluran cerna. Berefek pula pada kandung kemih dengan mengurangi keadaan hipermotilitas kandung kemih. Atropin dapat menghambat kerja kelenjar saliva sehingga timbul efek pengeringan pada lapisan mukosa mulut (serostomia). Kelenjar saliva sangat peka terhadap atropin, bahkan kelenjar keringat dan air mata juga dapat terganggu. Atropin sulfat sebagai premedikasi diberikan pada kisaran dosis

18

0,02-0,04 mg/kg, yang diberikan baik secara subkutan, intravena maupun intra muskuler (Titin Tambing, 2014). Farmakokinetik dari atropin yaitu atropin mudah diserap, sebagian dimetabolisme di dalam hepar, dan dibuang dari tubuh terutama melalui air seni. Adapun efek samping dari atropin tergantung dari dosis, atropin juga dapat menyebabkan mulut kering, penglihatan mengabur, takikardia, dan konstipasi. Efeknya terhadap sistem saraf pusat termasuk rasa capek, bingung, dan delirium (ketidakmampuan membedakan kondisi yang nyata dan halusinasi) yang dapat berlanjut menjadi depresi dan penyumbatan pada sistem pernapasan bahkan kematian. Atropin ini juga dapat menghambat bradikardia yang dapat ditimbulkan oleh obat kolinergik dan tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung, tetapi dapat menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin atau ester kolin yang lain. Pada dosis yang kecil memperlihatkan efek merangsang di susunan saraf pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan depresi setelah melampaui fase eksitasi yang berlebihan (Titin Tambing, 2014). 4.

Zoletil

Zoletil merupakan preparat anastesika injeksi yang baru yang terdiri dari tiletamin sebagai tranquilizer mayor dan zolazepam sebagai perelaksasi otot dengan perbandingan 1:1. Tiletamin merupakan golongan anestesi disosiatif yang berasal dari golongan fensiklidin, sedangkan zolazepam merupakan kelompok benzodiazepin yang dapat menyebabkan relaksasi otot (Titin Tambing, 2014). Zoletil dapat diberikan dengan mudah secara intramuskuler dan akan menghilangkan refleks penderita serta kesadaran penderita dalam waktu ± 5 menit sedangkan pada pemberian melalui intravena, hilangnya refleks dan kesadaran penderita akan dicapai dalam waktu ± 1 menit. Zoletilmerupakan bahan kimia larut lemak. Bahan kimia larut lemak akan berdifusi secara langsung melalui membran sel kapiler tanpa harus melewati pori-pori sehingga dapat merembes ke semua area membran kapiler. Kecepatan transport zat larut lemak lebih cepat dari pada zat yang tidak larut lemak (Titin Tambing, 2014).

19

Tiletamin di metabolisme dalam hati dan dieliminasi melalui urin dalam bentuk yang tidak aktif. Tiletamin memiliki efek pada sistem sirkulasi dan respirasi yang serupa dengan ketamin, selain itu efek yang ditimbulkan pada susunan saraf pusat sangat spesifik pada setiap spesies. Durasi anestesi dari tiletamin lebih panjang dibandingkan dengan durasi anestesi dari ketamin, begitu juga dengan analgesia dari tilatemin. Tiletamin dapat menghasilkan efek kataleptik yang cepat, menghilangkan respon terhadap rangsangan, depresi respirasi, dan memiliki periode pemulihan panjang (Titin Tambing, 2014). Zolazepam merupakan turunan benzodiazepin yang bebas dari aktivitas hambatan α adrenergik. Kombinasi dengan tiletamin dapat menyebabkan peningkatan penekanan pada sistem saraf pusat, selain itu juga dapat mencegah kekejangan dan memperbaiki relaksasi otot akibat tiletamine. Zolazepam dapat menimbulkan efek kelemahan pada saat pemulihan dari anestesi pada babi dewasa. Untuk meminimalkan hal tersebut maka penggunaan zoletil harus dikombinasikan dengan ketamin. Selain itu dapat pula dikombinasikan dengan xylazin juga untuk meningkatkan efek sedasi dan analgesi pada kombinasi tersebut. Zoletildapat menyebabkan analgesia, tetapi visceral analgesia yang ditimbulkan tidak cukup untuk bedah abdomen mayor, kecuali jika ditambah dengan agen lain. Takikardia dan aritmia jantung dapat terjadi pada anestesi ringan, dan apabila digunakan pada dosis yang tinggi maka cardiac output akan berkurang secara signifikan. Zoletil® akan dimetabolisme oleh hati dan dieksresikan melalui ginjal (Titin Tambing, 2014). Obat ini memberikan anestesi umum dengan waktu induksi yang singkat dengan kontraindikasi yang kurang, oleh karena itu zoletilmenjadi obat anestesi pilihan yang memberikan tingkat keamanan yang tinggi dan maksimal. Zoletilsecara umum dapat menyebabkan stabilitas hemodinamik pada dosis yang rendah. Selain itu zoletildapat memperbaiki reflek respirasi dan hipersalivasi

sepertipada

ketamin.Untuk

memperbaiki

kualitas

induksi,

melancarkan anestesi dan menurunkan dosis yang dibutuhkan untuk induksi,

20

maka zoletil® dapat dikombinasikan dengan premedikasi, seperti acepromazin atau opioid(Titin Tambing, 2014). Dosis pemberian premedikasi dengan atropin biasanya 15 menit sebelum pemberian zoletil. Dosis zoletilpada kucing 10-15 mg/kg BB (intramuskular) atau 5-7,5 mg/BB (intravena) dan durasi anastesi kurang lebih 20-60 menit bergantung pada dosis yang diberikan. Pengulangan pemberian dapat dilakukan 1/2 - 1/3 dosis inisial dan sebaiknya diberi melalui intravena, karena pemberian melalui intramuskuler akan menghilangkan refleks dan kesadaran penderita dalam waktu ± 3-6 menit sedangkan pemberian dengan cara intravena akan membuat hewan penderita mengalami kehilangan reflek dan kesadaran dalam waktu 1 menit. Dalam praktek zoletilsebagai kontraindikasi pada kelinci karena efek tiletamin yang menyebabkan nephrotoxis dan juga dapat menyebabkan depresi pada susunan syaraf pusat serta memberikan efek anaestesi yang kurang baik. Selain itu penggunaan zoletil® tidak dianjurkan dengan kombinasi pemberian premedikasi derivat phenothiazine mengingat efek negatif yang terjadi pada cardiovascular dan depresi pernafasan serta terjadinya hypotermia. Penanganan kesehatan hewan dalam praktek pada hewan domestik dan hewan kesayangan banyak dilaporkan, namun penanganan di bidang satwa liar masih dirasakan minim informasi yang dapat diperoleh (Titin Tambing, 2014).

5.

Kombinasi Ketamin-Xylazin

Kombinasi antara ketamin dan xylazin merupakan kombinasi yang paling baik bagi kedua agen ini, untuk menghasilkan analgesia.Banyak hewan yang teranestesi secara baik dengan menggunakan kombinasi keduanya.Anestesi dengan kombinasi ketamin-xylazin memiliki efek yang lebih pendek jika dibandingkan

dengan

pemberian

ketamin

saja,

tetapi

kombinasi

ini

menghasilkan relaksasi muskulus yang baik tanpa konvulsi.Emesis sering terjadi pasca pemberian ketamin-xylazin, tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian atropin 15 menit sebelumnya (Pirade Priskha Florancia, 2015).

21

Pada

kucing,

penggunaan

kombinasi

ketamin-xylazin

dapat

menyebabkan perlambatan absorbsi ketamin sehingga eliminasi ketamin lebih lama, hal ini menyebabkan durasi anestesi lebih panjang.Efek sedasi xylazin akan muncul maksimal 20 menit setelah pemberian secara IM dan akan berakhir setelah 1 jam, sedangkan efek anestesi ketamin akan berlangsung selama 30-40 menit dan untuk recovery dibutuhkan waktu sekitar 5-8 jam (Pirade Priskha Florancia, 2015).

6.

Kombinasi Ketamine – Zoletil

Ketamin sebagai anestesi dissosiatif yang menyebabkan pasien mengalami analgesia somatik yang dalam, diikuti ketidaksadaran yang ringan pada pasien, namun demikian pasien tidak terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan dan sekitarnya. Kelemahan dari anestetika ini menyebabkan terjadinya depresi pernapasan dan tidak memberikan pengaruh relaksasi pada muskulus sehingga sering dikombinasikan dengan obat yang mempunyai pengaruh terhadap relaksasi muskulus. Diketahui bahwa salah satu bahan dalam zoletil yaitu zolazepam merupakan kelompok benzodiazepin yang dapat merelaksasi otot. Pemberian zoletil membuat pasien tertidur cukup lama (ratarata mencapai lebih dari 1 jam), sehingga pelaksanaan operasi atau pembedahan dapat dilakukan dengan baik dan meminimalkan pemberian anestetika berulang tetapi pemulihan kembali kesadaran pasien sepenuhnya dapat dicapai lebih dari 6 jam (Pirade Priskha Florancia, 2015). Penggunaan ketamin-zoletil sebagai anestetika dapat diberikan secara intramuskuler yang memudahkan pelaksanaannya terutama pada golongan felidae, baik itu satwa liar maupun hewan kesayangan. Efek obat anestesi ini mempengaruhi pasien sangat cepat, sehingga meminimalkan atau bahkan tidak mengalami depresi pernapasan ataupun muculnya efek samping yang lain. Dalam praktek, ketamin dan zoletil dapat digunakan untuk pengendalian hewan

22

dan operasi pada penderita yang membutuhkan durasi waktu yang lama atau panjang (Pirade Priskha Florancia, 2015).

23

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan Dapat disimpulkan bahwa obat anastesi yang umum diberikan pada kucing adalah ketamine, xylazine, atropin dan zoletildimana byasanya ketamine dikombinasikan dengan zylazine serta zoletil. Kombinasi antara ketamin dan xylazin merupakan kombinasi yang paling baik bagi kedua agen ini, untuk menghasilkan analgesia.

5.2 Saran Disarankan untuk anastesi umum injeksi pada kucing menggunakan kombinasi anatara ketamine dan xylazine karena memiliki efek yang lebih pendek dibandingkan kombinasi antar ketamine dan zoletil yang dapat menyebabkan depresi respirasi.

24

Daftar Pustaka

McKelvey D, Hollingshead KW. 2003. Veterinary Anesthesia anda Analgesia. Third editions. United States of America: Mosby. 448 hlm.

Noviana Deni, Gunanti, dan Ni Rai Fertilini Hanira Jelantik. 2006. Pengaruh Anastesi Terhadap Saturasi Oksigen (SpO2) Selama Operasi Ovariohisterektomi Kucing. J. Sain Vet. Vol 24 No 2 Th 2006.

Pertiwi R.E, Widodo S, dan Soehartono R.H. 2004. Perbandingan Gambaran Klinis Antara Kombinasi Atropin Sulfas-Xylazine-Ketamine Dan Kombinasi Atropin Sulfas- Midazolam- Ketamine Pada Kucing. Forum Pascasarjana. Vol. 27 No 2 April 2004 123-134. Pirade Priskha Florancia. 2015. Perbandingan Pengaruh Anestesi Ketamin – Xylazin dan Ketamin – Zoletil Terhadap Fisiologis Kucing Lokal (Felis domestica)

[skripsi].

[diunduh

2016

Mar

18].

Tersedia

pada

http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/15705.

Maya Esrawati. 2008 Pengaruh Anastesi Perinjeksi Dan Anastesi Per-Inhalasi Terhadap Nilai Saturasi Oksigen Dan Nilai Fisiologis lainnya Pada Kucing Lokal. [ diunduh 2019 mar 10]

Tambing Titin. 2014. Perbandingan Pengaruh Anestesi Ketamin-Xylazin dan Ketamin-Zoletil Terhadap Frekuensi Nafas dan Denyut Jantung pada Kucing Lokal

(Felinedomestica)

dalam

Kondisi

Sudden

Loss

of

Blood

[Skripsi][Diunduh 2016 Mar 18].

25

Yudaniayanti Ira Sari, Nusdianto Triakoso, Djoko Galijono. 2011. Analisis Gas Darah pada Kucing yang Mengalami Laparohisterotomi dengan Anestesi Xylazin-Ketamin dan Xylazin-Propofol. Jurnal Veteriner. Vol. 12 No. 1: 13-18.

Lyon Lee Dvm Phd Dacva. 2012. Canine and Faline Anastesi

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

39

40

41

42

43

44

45

46

47

48

49

50

51

52

53

54

55

56

57

58

59

60

61

62

63

64

65

66

67

68

69

70

71

72

73

74

75

76

CANINE & FELINE ANESTHESIA 77

Lyon Lee DVM PhD DACVA

Canine Anesthesia

Introduction •

A general anesthetic to a healthy dog should bear little risk to the animal’s life. However, although the mortality rate is very low, morbidity due to anesthesia, which is often overlooked, is not uncommon



In man severe hypoxic brain damage can decrease intelligence following general anesthesia which is apparent to families and friends, and similar happenings may occur in dogs Owners may comment that their dog is never the same since the anesthesia which may indicate a cerebral anoxic damage

• •

A more dramatic and obvious cause of postanesthetic morbidity in dogs is renal failure



Many elderly dogs suffer from some degree of interstitial nephritis and in such animals even mild renal hypoxia may prove fatal within a relatively short time Many choices are available to tailor anesthetic protocols to meet the demand of increased sophistication of diagnostic and surgical procedures, and with smooth induction, careful monitoring in oxygenation, circulation and ventilation, and attention to fluid balance and smooth recovery, a safe anesthesia in dogs can be ensured



Preanesthetic preparation •

Starvation for about 12 hours usually ensures a dog will have an empty stomach



Water need not be deprived until premedication is given or until about 2 hours prior to anesthesia Laboratory evaluation can provide useful prescreening information about the general health status of the patient prior to anesthesia, and minimum database are PCV, TP, BUN and glucose





A thorough physical examination to determine any abnormalities must be carried out. Auscultation for cardiac dysrhythmias and murmurs, or abnormal lung sounds will provide useful information regarding preexisting cardiopulmonary disease.



Stabilize animal’s physiology in debilitated animals (e.g. fluid deficit, acid-base abnormality)



IV catheterization placement o The common site of venous catheterization site is cephalic vein o Other veins for venous catheter placement include the recurrent tarsal, saphenous, auricular and jugular veins o For jugular catheterization 16 – 18 G and 2-6 inch long catheter is suitable for most dogs 78

Preanesthetic agents •

A good preanesthetic sedation facilitates smooth induction and has anesthetic sparing effect during maintenance



There are many choices available. Sedative/opioid combination (neuroleptanalgesia) is most popular (e.g. acepromazine and morphine), and provides better restraint and analgesia (the combination is synergistic, not merely additive) as preanesthetic medication

Acepromazine •

Provides mild sedation at clinically prescribed dose (0.01 – 0.05 mg/kg IV, IM, SQ)



Anti-arrhythmic



Requires at least 20 min for good effect even after IV injection, and 30 to 45 min when given IM, and longer for SQ



Prolonged duration



Premedication dose of 0.04 mg/kg IM has minimal cardiovascular effect in healthy dogs



Will cause hypotension (more so in old, debilitated, or hypovolemic animals) through direct myocardial depression and peripheral vasodilation, and should not be used in these debilitated animals.



Decrease seizure threshold, so better to avoid in patients at increased seizure risks



Some strains of the Boxer breed are very sensitive to phenothiazine and acepromanxine as little as 0.02 mg/kg IM can cause collapse with the animal becoming very bradycardic and hypotensive. As the symptom is very similar to vasovagal stimulation, it is recommended low dose of acepromazine be given, and atropine or glycopyrrolate be given with acepromazine in this breed.



Inexpensive, and very widely used for sedation and premedication

Diazepam/Midazolam •

Minor tranquillizer



Excellent muscle relaxation



Minimal cardiopulmonary depression

• •

May cause paradoxical excitement through disinhibition, so best to be given with other CNS depressants (e.g. ketamine, opioids) 0.05 – 0.4 mg/kg IV, IM, SQ



Diazepam is more irritant to the tissue so better to avoid giving it IM 79

Xylazine •

Has potent sedative effect, but cardiovascular depression can be profound



Causes vomiting



Other side effects as seen in other species also occur o Hyperglycemia o Diuresis o GIT motility depression o Platelet aggregation



Largely displaced by medetomidine in small animals

Medetomidine •

Causes less vomiting than xylazine



5-40 mcg/kg IM, SQ have been given to produce sedation. IV administration is associated with more severe form of dysrhythmias, so generally is not recommended



Sedation lasts approximately for one hour



The pharmacologic effects of medetomidine in dogs are very similar to those of xylazine in that it causes bradycardia, hyperglycemia, and increased urine production. An exception is that it causes arterial hypertension which is dose-dependent

Romifidine •

The most recent alpha 2 agonists



Reduces the amount required for the anesthetic induction in dose dependent manner



Produces dose dependent cardiovascular depression



10-80 mcg/kg IM, SQ

Opioids •

Widely used to provide analgesia in dogs



Provide better sedation and analgesia when combined with other sedatives



Morphine is inexpensive and is used in the dose of 0.25-1 mg/kg IM, SQ.



IV morphine induces histamine release particularly if given as a rapid bolus, but slow administration is less likely to cause problems 80



Oxymorphone causes less vomiting than morphine and hydromorphone, so is better choice for patients with head trauma, eye injury and gastrointestinal disorders.



Combination of benzodiazepines with butorphanol (or buprenorphine) is a useful alternative to the combination with pure opioids for brachycephalics reducing the risk of respiratory depression



Opioids induce minimal changes in HR, BP, CO



See pain lecture for other available opioids

Anticholinergics •

Anticholinergics are not routinely administered as part of preanesthetic medication



Use of atropine or glycopyrrolate may be indicated for animals with high resting vagal tone (e.g. brachycephalics) and procedures likely to increase vagal stimulation (e.g. ocular surgery)



Recommended dosages are; atropine 0.02-0.04 mg/kg IV, IM, SQ; and glycopyrrolate 210 mcg/kg IV, IM, SQ

81

Anesthetic Induction Ketamine •

The dose of ketamine which produces anesthesia in dogs is very near to that which causes seizures



Ketamine is associated with increased muscle rigidity and excessive salivation



Ketamine may cause increased heart rate, cardiac output, and blood pressure



A wide range of sedatives are combined with ketamine to induce deep sedation or light anesthesia ▼ Medetomidine at 5 – 40 mcg/kg added to ketamine at 2-5 mg/kg given either IM or IV produces deep sedation often recumbency. Butorphanol 0.1-0.4 mg/kg IV, IM can be included in this combination for better sedation, analgesia and muscle relaxation. Although the combination can be given SQ the onset of anesthetic effect is less predictable ▼ Medetomidine can be substituted by xyalzine 0.1-0.5 mg/kg, resulting in shorter duration of effect o Ketamine-Diazepam/Midazolam ▼ This combination will produce less cardiovascular depression than xylazine-ketamine ▼ Diazepam 0.1-0.4 mg/kg and ketamine 5 mg/kg given IV as a bolus or titrated to effect, or IM injection produce recumbency and status similar to general anesthesia in 2-10 minutes ▼ Midazolam is administered at 0.1 – 0.3 mg/kg IV, IM, substituting diazepam ▼ Butorphanol 0.1-0.4 mg/kg IV, IM can be included in this combination for better sedation, analgesia and muscle relaxation.

Tiletamine and Zolazepam (Telazol) •

Telazol up to 4 mg/kg IV to effect or IM produces deep sedation or light anesthesia



Side effects associated with ketamine-diazepam use can also be seen (emergence delirium, hypersalivation)



Typically used to provide deep sedation in intractable dogs



Other sedatives and opioids can be mixed to make the final constituent more potent so as to increase sedation, analgesia and duration of effect, and reduce side effects (e.g. emergence delirium)

Thiopental •

The solution of thiopental have a very high pH and the drug can only be given intravenously

82



Induction in unpremedicated dogs can be achieved at the dose of 15 mg/kg IV given the half dose as a rapid bolus and the remaining given titrated to effect



In lightly premedicated dogs 7 mg/kg is sufficient to induce anesthetic induction



Recovery is through redistribution of the agent from the brain into the other tissues



Multiple administration will require the drug to be metabolized, and the dog will have a prolonged recovery with hang-overs lasting for 24 hours or more.



Maximum total dose for a fit dog is 30 mg/kg Propofol •

It provides rapid induction and is very rapidly eliminated from the plasma.



6 mg/kg IV is calculated dose for the anesthetic induction. Respiratory arrest is not uncommon particularly with rapid IV bolus. It is best given as titrated to effect to produce anesthetic depth just enough to allow endotracheal intubation by slow administration



It is non-accumulative and maintenance of anesthesia for prolonged duration can be achieved using a constant rate of infusion.

Inhalation Agents (Isoflurane, Halothane, Sevoflurane, or desflurane) • • •



General anesthesia can be induced by administering isoflurane, halothane, sevoflurane, or desflurane via a facemask There are two methods; ‘incremental’ or ‘crash’ induction ‘Incremental’ induction technique uses 3 min of preoxygenation and then introduction of 0.5 % vapor setting for 30-60 seconds and then 0.5 % increment for the same period. ‘Crash’ induction is achieved with 3-5 % vapor set of isoflurane following pre-oxygenation. The dog will more likely struggle with the crash induction method It is preferable to use non-rebreathing circuits for quicker induction and then switched to the circle rebreathing systems even for animals weighing more than 6 kg Some sample doses of injectable anesthetics in the dog Dose Comb. #

Premedication

Dose Induction agents

mg/kg

mg/kg

Acepromazine

0.02-0.05

Thiopental

15 “to effect”

± Morphine

0.25 – 1.0

Propofol

6 “to effect”

Acepromazine

0.02-0.05

Thiopental

15 “to effect”

± Butorphanol

0.1 – 0.4

Propofol

6 “to effect”

1

2

83

Midazolam

0.1-0.3

Thiopental

15 “to effect”

± Morphine

0.25 – 1.0

Propofol

6 “to effect”

Midazolam

0.1-0.3

Thiopental

15 “to effect”

± Butorphanol

0.1-0.4

Propofol

6 “to effect”

Midazolam

0.1-0.3

Ketamine

5 “to effect”

± Butorphanol

0.1-0.4

Medetomidine

0.002-0.04

Diazepam +

0.25 +

Ketamine

5 “to effect”

Ketamine

5 “to effect”

3

4

5

6 Medetomidine

0.002-0.04

± Butorphanol

0.1-0.4

Xylazine

0.3-0.5

Diazepam +

0.25 +

± Butorphanol

0.1-0.4

Ketamine

5 “to effect”

Medetomidine

0.002-0.04

Thiopental

10 “to effect”

± Butorphanol

0.1-0.4

Propofol

4 “to effect”

Midazolam

0.1-0.3

Thiopental

15 “to effect”

±Hydromorphone

0.05-0.2

Propofol

6 “to effect”

7

8

9

10

Endotracheal intubation •

Tracheal intubation in dogs is relatively easily achieved. Dogs can have the mouth wide open and the laryngeal structures are easily viewed



Use of laryngeal scope may facilitate the intubation



The laryngeal spasm is uncommon, but the animal still needs to be adequately anesthetized to avoid head shaking or excessive coughing reflex



Following intubation, correct placement can be confirmed by mild cough, feeling air coming out of the ET tube in synchrony of movement of the chest. If available, reading of CO2 by a capnogrpahy is a useful method to confirm the correct position of the tube

84



Endotracheal tube sizes are proporational to the body weight, typically using 8-12 mm for average 12 - 24 kg dogs. Brachycephalics tend to have hypoplastic trachea and an English bull dog weigh as much as 25 kg could only accept ET tube of 6 mm



The cuff needs to be well sealed to prevent aspiration of regurgitants and also to maintain stable anesthetic depth, and to prevent anesthetic exposure to the operators

Maintenance Inhalation anesthesia is the method of choice for maintaining anesthesia for most prolonged procedures. Intravenous anesthetic techniques based on propofol have become more commonly employed, particularly in animals with concerns for neuroprotection, or for those procedures with limited availability of inhalational anesthesia (e.g. MRI)

Inhalational anesthesia •

Halothane, isoflurane, sevoflurane, desflurane and nitrous oxide are available



The advantages are patent airway, rapid control of anesthetic depth, quick and smooth recovery, and disadvantages are more pronounced cardiovascular depression including myocardial depression, hypotension, and bardycardia

Nitrous oxide •

Analgesia from N2O reduces inhalational anesthetic requirement therefore less cardiovascular depression.



However, the potency of nitrous oxide is only half that of human, so the sparing effect is not as obvious



Use of this agent is not widespread in dogs

Halothane (Fluothane®, Generics) •

1 MAC halothane in dog is 0.8 %



Vapor setting is at 3-4 % at induction with oxygen flow at 60 ml/kg/min and is reduced between 1-3 % during the maintenance with oxygen flow at 20 ml/kg/min This is no longer market in the US, and has been largely displaced by isoflurane

• •

As anesthesia is deepened by increasing halothane concentration, CO and arterial pressure decrease further. HR usually remains constant.

Isoflurane (Aerrane®, Forane®, IsoFlo®, Generics) 85

• •

Used to be much more expensive than halothane, but now much more affordable and has replaced halothane both in human and veterinary markets worldwide Quicker anesthetic stabilization and more rapid recovery than halothane due to its lower blood gas solubility



1 MAC in dogs is 1.3%



Vapor setting is at 3-4 % in dogs at induction with oxygen flow at 60 ml/kg/min and is reduced between 1.5-3 % during the maintenance with oxygen flow at 20 ml/kg/min



Isoflurane, similar to halothane, induces a dose-dependent cardiovascular depression.



Isoflurane causes more peripheral vasodilation than halothane, which is responsible for a low arterial blood pressure, but tissue looks more bright and pinky indicating better perfusion. Isoflurane is less prone to cause arrhythmia compared to halothane



Sevoflurane (Ultane®) •

Anesthetic induction, recovery, and intraoperative modulation of anesthetic depths to be notably faster than halothane and isoflurane.



More expensive than halothane and isoflurane, but it is getting less expensive.



Sevoflurane (1 MAC = 2.3 %) is less potent than halothane or isoflurane, but more potent than desflurane



Sevoflurane induces dose-dependent cardiovascular depression to a degree similar to that of isoflurane

Desflurane (Suprane®) • •

Lower blood/gas partition coefficient than the inhalants mentioned above, so control of anesthetic depth is the quick among the volatile agents in clinical use The least potent among the volatile anesthetics (MAC = 8~11 %)



Cardiovascular effects of desflurane are similar with those of isoflurane



Expensive as sevoflurane, and requires electronically controlled vaporizer which adds to the inconvenience

Total Intra-venous Anesthesia (TIVA) •

Most commonly employed TIVA is based on propofol combination (±opioids; benzodiazepines). The loading dose is in the order of 1-3 mg/kg as a bolus, and this is followed by 2-6 mg/kg/hr



The recovery is very complete even following prolonged use.



It can be used to induce anesthesia with a single bolus dose, and then to maintain anesthesia using constant rate infusion 86



These combinations are associated with minimal cardiopulmonary depression. However, there are two main limitations to continued administration of intravenous anesthetics; the arterial oxygenation and prolonged recovery.



Arterial oxygenation is always at risk with TIVA, particularly with combination of Propofol and opioids, and it is recommended the animal still be intubated and put on 100 % oxygen.



Tight anesthetic depth control is more difficult with TIVA so abrupt awakening during anesthesia is more likely if one is not familiar with the technique and animal’s physiologic reflexes unique to that (inhalant anesthetic provides advantage in this respect since monitoring anesthetic concentration in breathing gases allows better anesthetic depth control)

Monitoring •

Anesthetic monitoring is important to maintain a proper plane of anesthesia and to prevent excessive insult to the cardiovascular, respiratory, and central nervous systems.



Anesthetic depth can be measured by observation of the following signs: physical movement or jaw chewing in response to stimulation, eye position and degree of muscle tone, and presence or absence of palpebral reflexes etc.



Variables used to monitor the cardiovascular system include heart rate, pulse pressure, mucous membrane color, and capillary refill time.



Direct blood pressure measurement can provide continuous hemodynamic status of the animal and can be easily accomplished through catheterizing the auricular artery.



The ECG is useful to monitor cardiac dysrhythmias.



The respiratory system is evaluated by monitoring respiratory rate and volume.



It can be estimated by observing the emptying of the rebreathing bag of the anesthetic machine during respiratory cycles. Pulse oximetry and/or arterial blood gas analysis provide information of the ventilatory efficiency Ocular reflexes are used to monitor the central nervous system. The palpebral reflex is lost at light planes of anesthesia in ruminants, so it is of little value during anesthesia of these species.

• •



Ophthalmic ointment should be applied to the eyes during anesthesia to prevent corneal injury.



Body temperature is also an important parameter to monitor during anesthesia. Because of the tendency for anesthetized animals to lose body heat, supplemental heat sources are often required to maintain adequate body temperature (100-103.5˚F).

Perioperative pain management •

Opioids are mainstay analgesic used within perioperative period in the dogs.

87



CNS excitement is rare unlike in cats or horses, but other side effects such as respiratory depression, vomiting and dysphoria are all possible



Behavioral changes associated with pain include decreased appetite, aggression, indifference to the surrounding, and avoiding human contacts (see Pain notes)



Several types of drugs have been used to provide analgesia including opioids, α2-adrenergic agonists, local anesthetics, and nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID’s) of which NSAIDs are most popular (toxicity associated with this agent is much less than in cats) (see Pain lecture).



Multimodal analgesic therapy (e.g. morphine, ketamine, lidocaine cocktail CRI) has become more common in use to manage pain Significant variations exist in regards to duration of action and quality of analgesia provided by these agents.



Recovery •

Body temperature must be maintained so as not to prolong the recovery, and lessen oxygen requirement by muscle tissues.



Forced warm air blanket, circulating warm water blanket are very effective to keep the body temperature, but other means such as hot rice socks, used warm fluid bags, hair dryer and infra red lamps are useful external heat sources



Endotracheal tube must remain in place until the dog regains at least a couple of strong swallowing reflex to protect the airway, and with return of strong muscle tones. In most brachycephalics the ET tube is well tolerated and the tube can be left until they are evaluated to protect their airway on their own



If animals pre-treated with reversible agents, recovery can be expedited by reversing the drugs with specific antagonists. Atipamezole and naloxone are two primary examples and they are best used titrated to effect. If no signs of getting light for longer than 20 minutes, reversal can be considered.



Close observation should continue to avoid the animal relapsing into sedation which may expose the animal to potential danger of aspiration or airway obstruction

Canine & Feline Anesthesia

9 of 16

Veterinary Surgery I, VMED 7412

88

Feline Anesthesia Introduction • •

Cats are not small dogs and their unique behavioral and physioanatomical differences make anesthesia more challenging than in dogs. Even very friendly cats often object to physical restraint and IV sedative/anesthetic administration in unpremedicated cats can be extremely difficult. It would, therefore, be necessary to administer good premedicants to facilitate anesthetic induction in cats.



Behavioral alteration following general anesthesia notably due to cerebral anoxic damage as reported in men and dogs is also a possibility and owners may comment that their cat is never the same since the anesthesia



Provided that the potential risk is recognized, suitable premedication, a smooth anesthetic induction, careful monitoring, appropriate attention to the oxygenation, ventilation and circulation will ensure a very low morbidity rate in cats.

Preanesthetic preparation • •

Starvation for about 12 hours usually ensures a cat will have an empty stomach and water need not be deprived of until or about 2 hours prior to anesthesia Laboratory evaluation can provide useful prescreening information about the general health status of the patient prior to anesthesia, and minimum database are PCV, TP, BUN and glucose



A thorough physical examination to determine any abnormalities must be carried out. Auscultation for cardiac dysrhythmias and murmurs, or abnormal lung sounds will provide useful information regarding preexisting cardiopulmonary disease.



Stabilize animal’s physiology in debilitated animals (e.g. fluid deficit, acid-base abnormality)



IV catheterization placement is not as easy as in dogs so heavier premedication may be required for cooperation o The common site of venous catheterization is cephalic vein o Other veins for venous catheter placement include the saphenous and jugular veins o For jugular catheterization 16-18 G and 2-6 inch long catheter is suitable for most dogs

Preanesthetic agents •

A good preanesthetic sedation facilitates smooth induction and has anesthetic sparing effect during maintenance

89



There are many choices available. Sedative/opioid (e.g. midazolam and hydromorphone), or dissociative/sedative (e.g. ketamine and midazolam) combinations are most popular, and they provide better restraint and analgesia than that achieved by single drug administration with less side effects (e.g. ketamine induced muscle rigidity or opioid induced mania)

Canine & Feline Anesthesia

10 of 16

Veterinary Surgery I, VMED 7412

90

Acepromazine •

Provides mild sedation at clinically prescribed dose (0.02 – 0.1 mg/kg IV, IM, SQ)



Anti-arrhythmic



Requires at least 20 min for good effect even after IV injection, and 30 to 45 min when given IM, and longer for SQ Prolonged duration

• •

A young, fit cat can tolerate the premedication dose of 0.05 mg/kg with minimal cardiovascular effect



A hypertrophic myocardiopathy cat may through decreased afterload via peripheral vasodilation, decreased myocardial oxygen consumption and increased arrhythmogenic threshold.



However, in debilitated animals in severe cardiac failure and with decreased circulatory volume its use is contraindicated

Diazepam/Midazolam •

When given alone, they produce no obvious sedation in cats





They are primarily used as premedicants to counteract ketamine induced muscle rigidity and convulsions Because of its minimal cardiopulmonary depression, it can be a suitable premedicant for cats with underlying cardiopulmonary diseases 0.1 – 0.5 mg/kg IV, IM, SQ for diazepam and 0.1 to 0.3 mg/kg IV, IM, SQ for midazolam



Diazepam is more irritant to the tissue so is recommended not to be administered IM



Xylazine •

Doses of 0.5 - 1 mg/kg IM are used to produce mild to fairly profound sedation



Vomiting and retching are more common at lower end of the doses



Cardiovascular depression can be profound



Typically used as a premedicant prior to ketamine anesthesia



Other side effects as seen in other species also occur o Hyperglycemia o Diuresis o GIT motility depression o Platelet aggregation



Largely displaced by medetomidine in small animals

91

Medetomidine •

Causes less vomiting than xylazine



5-40 mcg/kg IM, SQ for cats have been given to produce mild to profound sedation. A sublingual spray at 15-30 mcg/kg can be useful to sedate an unmanageable cat. IV administration is associated with more severe form of dysrhythmias, so generally is not recommended Sedation lasts approximately for one hour, but can be antagonized by equal volume of atipamezole if indicated The pharmacologic effects of medetomidine in cats are very similar to those of xylazine

• • •

It is important to note that increasing the dose of alpha 2 agonists does not increase the depth of sedation, but rather prolongs the duration of sedation

Canine & Feline Anesthesia

11 of 16

Veterinary Surgery I, VMED 7412

92

Romifidine •

The most recent alpha 2 agonists



Reduces the amount required for the anesthetic induction in dose dependent manner



Produces dose dependent cardiovascular depression



10-100 mcg/kg IM, SQ

Opioids •

When given alone, it may induce excitement so is best given with sedatives. When combined with other sedatives it provides better analgesia and sedation



Morphine is inexpensive and is used in the dose of 0.1-0.2 mg/kg IM, SQ. This dose is much less than in dogs, but morphine is less well metabolized in cats than in dogs due to deficient glucuronyl metabolic pathways, so it is more likely to overdose and increase the opioid induced excitement

• •

Combination of benzodiazepines with buprenorphine (or butorphanol) is a useful alternative to the combination with pure opioids for cats reducing the risk of respiratory depression Opioids induce minimal changes in HR, BP, CO



See pain lecture for other available opioids

Anticholinergics •

Anticholinergics are used to reduce excessive salivation (particularly with use of ketamine)



0.02 to 0.04 mg/kg IV, IM, SQ is the recommended dose for atropine



Atropine causes visual disturbance so cats need to be handled carefully



Glycopyrrolate does not cross the BBB so is preferred for cesarean section, and head trauma patients and is less likely to develop tachycardia than atropine



0.005 to 0.01 mg/kg IV, IM, SQ is the recommended dose for glycopyrrolate

Anesthetic Induction Ketamine • •

Ketamine administered at 10 to 20 mg/kg IM produces recumbency in the cat within 3-5 minutes. Muscle rigidity and excessive salivation is not uncommon. A wide range of sedatives are combined with ketamine to reduce these side effects and also to reduce the amount of ketamine through a synergism 93



Ketamine may cause increased heart rate, cardiac output, and blood pressure o Ketamine-acepromazine Acepromazine 0.02-0.1 mg/kg IM added to ketamine 10 to 20 mg/kg IM, reduces the muscle rigidity and produces status similar to general anesthesia o Ketamine-medetomidine ▼ Medetomidine at 10 - 50 mcg/kg added to ketamine at 5 mg/kg, produces deep sedation often recumbency. Butorphanol 0.1-0.4 mg/kg IM can be included in this combination for better analgesia, sedation and muscle relaxation. ▼ Medetomidine can be substituted by xylazine 0.5 – 1.0 mg/kg, with shorter duration of sedation as xylazine has a shorter half life o Ketamine-Diazepam/Midazolam ▼ This combination will produce less cardiovascular depression than medetomidine-ketamine ▼ Diazepam 0.25 mg/kg and ketamine 5 mg/kg given as IV bolus induces anesthesia in 1-2 minutes ▼ Butorphanol 0.1-0.4 mg/kg IV can be included in this combination for better analgesia and muscle relaxation. ▼

Canine & Feline Anesthesia

12 of 16

Veterinary Surgery I, VMED 7412

94

Tiletamine and Zolazepam (Telazol) •

Telazol up to 4 mg/kg IV to effect or IM produces deep sedation or light anesthesia



Side effects seen with ketamine-diazepam can be seen (emergence delirium)



Typically used to provide deep sedation in intractable cats



Other sedatives and opioids can be mixed to make the constituent more potent so as to increase sedation, analgesia and duration of effect, and reduce side effects (e.g. emergence delirium)

Thiopental •

This IV injectable, barbiturate anesthetic is prepared in 1.25 % for use in cats

• •

Induction in unpremedicated cats can be achieved at the dose of 15 mg/kg IV given the half dose as a rapid bolus and the remaining given titrated to effect In lightly premedicated cats 7 mg/kg is sufficient to induce anesthetic induction



Recovery is through redistribution of the agent from the brain into the other tissues

Propofol • •

Advantages and disadvantages of propofol for dogs as described above similarly apply to cats, but there are some unique differences Cats are deficient of glucuronyl transferase, so the phenolic compound is less likely to get metabolized than in dogs, and it has been shown that repeated dosing is associated with some side effects ranging from Heinz body formation, delayed recovery, anorexia, diarrhea, and malaise



However, a single IV anesthetic induction dose will bear minimal risks



6 mg/kg IV is administered slowly titrated to effect to induce anesthesia, and in most premedicated cats one third to half of the calculated dose is sufficient to allow ET intubation

Alphaxalone-Alphadolone (Saffan) •

General anesthesia can be induced by administering this steroid anesthetic



Induction is usually smooth and rapid, but occasionally retching, vomiting and laryngeal spasm can be observed 9 mg/kg IV produces about 15 minute anesthesia with minimal respiratory depression and cardiovascular stability is good Saffan given at 18 mg/kg IM induces anesthesia in 10 minutes which effect lasts 10 to 20 minutes

• • •

Although contraindicated for use in dogs, Saffan is a safe induction and maintenance agent in cats 95

Inhalation Agents (Isoflurane, Halothane, Sevoflurane, or desflurane) •

General anesthesia can be induced by administering isoflurane, halothane, sevoflurane, or desflurane via a facemask, but a fit, unsedated cat may strongly resent the attempts to force it to breathe volatile anesthetic via a face mask



For this reason, many anesthetists prefer to induce inhalation anesthesia by placing the cat in a rectangular glass or clear plastic chamber which the cat accepts with much less struggle



In heavily premedicated or debilitated cats, face mask induction can be carried out without excitement or struggling, and is the preferred method of choice The ‘incremental’ or ‘crash’ induction technique used for dogs can be adopted for cats (see above)



Canine & Feline Anesthesia

13 of 16

Veterinary Surgery I, VMED 7412

96

Some sample doses of injectable anesthetics in the cat Dose Comb. #

Premedication

Dose Induction agents

mg/kg

mg/kg

Acepromazine

0.04-0.1

Thiopental

15 “to effect”

± Morphine

0.1 – 0.2

Propofol

6 “to effect”

Acepromazine

0.04-0.1

Thiopental

15 “to effect”

± Butorphanol

0.1 – 0.4

Propofol

6 “to effect”

Midazolam

0.1-0.3

Thiopental

15 “to effect”

± Ketamine

5

Propofol

6 “to effect”

Diazepam

0.1-0.4

Thiopental

15 “to effect”

± Ketamine

5

Propofol

6 “to effect”

Midazolam

0.1-0.3

Thiopental

15 “to effect”

± Hydromorphone

0.05 – 0.1

Propofol

6 “to effect”

Midazolam

0.1-0.3

Thiopental

15 “to effect”

± Butorphanol

0.1-0.4

Propofol

6 “to effect”

Medetomidine

0.005-0.04

Diazepam +

0.25 +

Ketamine

5 “to effect”

Ketamine

5 “to effect”

1

2

3

4

5

6

7 Midazolam

0.1-0.3

± Buprenorphine

0.005-0.01

Xylazine

0.5-1

Diazepam +

0.25 +

± Butorphanol

0.1-0.4

Ketamine

5 “to effect”

Medetomidine

0.005-0.04

Thiopental

10 “to effect”

± Butorphanol

0.1-0.4

Propofol

4 “to effect”

Midazolam

0.1-0.3

Thiopental

15 “to effect”

±Hydromorphone

0.05-0.2

Propofol

6 “to effect”

8

9

10

11

97

Endotracheal intubation • •

The laryngeal spasm is easily provoked, so use of lidocaine spray or short acting muscle relaxant will facilitate the intubation In deep anesthesia laryngeal spasm does not occur, but this is not recommended as a routine procedure. However, where emergency intubation is required following accidental overdose of anesthetic, it is never necessary to use lidocaine spray or muscle relaxant



Attempts to carry out forceful intubation through tightly apposed vocal folds, even if initially successful, will result in damage to the mucous membrane with edema and the danger of post-extubation airway obstruction



The cat’s larynx may also go into spasm after extubation, so endotracheal tubes should, if there are no surgical contraindications, be removed without any previous deliberate lightening of anesthesia and after careful aspiration of mucous from the airway



A standard laryngoscope with an infant size blade is useful to view the laryngeal structure



A 4.5 - 5.5 mm ET tube is suitable for most adult cats, and use of stylet can facilitate the intubation

Maintenance Inhalation anesthesia is the method of choice for maintaining anesthesia for most prolonged procedures. Intravenous anesthetic techniques based on Propofol has become more commonly employed, particularly in animals with concerns for neuroprotection, or for those procedures with limited availability of inhalational anesthesia (e.g. MRI)

Canine & Feline Anesthesia

14 of 16

Veterinary Surgery I, VMED 7412

98

Inhalational anesthesia • •

Halothane, isoflurane, sevoflurane, desflurane and nitrous oxide are available just as in other species. The advantages and disadvantages as described in dogs similarly apply in the cats (see above)

Total Intra-venous Anesthesia (TIVA) •



TIVA combination used in dogs as described above based on propofol should still work well in cats with similar dosing. However, as described above prolonged CRI propofol has increased likelihood of toxicity in cats, and thus care must be exercised not to overdose Other advantages and disadvantages of this technique as applicable to the dogs are similar in the cats

Monitoring •

Anesthetic monitoring is important to maintain a proper plane of anesthesia and to prevent excessive insult to the cardiovascular, respiratory, and central nervous systems.



Anesthetic depth can be measured by observation of the following signs: physical movement or jaw chewing in response to stimulation, eye position and degree of muscle tone, and presence or absence of palpebral reflexes etc.



Variables used to monitor the cardiovascular system include heart rate, pulse pressure, mucous membrane color, and capillary refill time.



Direct blood pressure measurement can provide continuous hemodynamic status of the animal and can be easily accomplished through catheterizing the dorsopedal artery.



The ECG is useful to monitor cardiac dysrhythmias.



The respiratory system is evaluated by monitoring respiratory rate and volume.



It can be estimated by observing the emptying of the rebreathing bag of the anesthetic machine during respiratory cycles. Pulse oximetry and/or arterial blood gas analysis provide information of the ventilatory efficiency Ocular reflexes are used to monitor the central nervous system. The palpebral reflex is lost at light planes of anesthesia in ruminants, so it is of little value during anesthesia of these species.

• •



Ophthalmic ointment should be applied to the eyes during anesthesia to prevent corneal injury.



Body temperature is also an important parameter to monitor during anesthesia. Because of the tendency for anesthetized animals to lose body heat, supplemental heat sources are often required to maintain adequate body temperature (100-102.5˚F).

99

Perioperative pain management •

Traditionally use of opioids in cats within the perioperative period has not been as widespread as in dogs. However, with more research and better pharmacologic understanding, veterinarians have increased in prescribing opioids in cats



The CNS excitement can be minimized with concurrent administration of sedatives, but other side effects such as respiratory depression, vomiting and dysphoria are still possible Behavioral changes associated with pain include decreased appetite, aggression, indifference to the surrounding, and avoiding human contacts (see Pain notes)

• •

In addition to opioids, α2-adrenergic agonists, local anesthetics, and nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) can be used to provide analgesia. Since cat is more susceptible to develop NSAID-related toxicity, careful selection of dosing and choice of drugs is necessary to avoid complications

Recovery •

Cats are prone to develop hypothermia during recovery due to their small size and this can significantly prolong the recovery and increase oxygen demand of the muscle tissues.



Forced warm air blanket, circulating warm water blanket are very effective to keep the body temperature, but other means such as hot rice socks, used warm fluid bags, hair dryer and infrared lamps are useful external heat sources



If animal is pre-treated with reversible agents, recovery can be expedited by reversing the drugs with specific antagonists. Atipamezole and naloxone are two primary examples and they are best used titrated to effect. Close observation should continue to avoid the animal relapsing into sedation which may expose the animal to potential danger of aspiration or airway obstruction Jurnal Veteriner Maret 2011

Vol. 12 No. 1: 13-18

ISSN : 1411 - 8327

100

Analisis Gas Darah pada Kucing yang Mengalami Laparohisterotomi dengan Anestesi Xylazin-Ketamin dan Xylazin-Propofol (BLOOD GAS ANALYSIS OF XYLAZIN- KETAMIN AND XYLAZIN-PROPOFOL FOR ANESTHESIA TO LAPARO-HISTEROTOMY SURGERY IN CAT) Ira Sari Yudaniayanti, Nusdianto Triakoso, Djoko Galijono Departemen Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Jl. Mulyorejo Kampus C Unair Surabaya, Telepon 031-5927832; Email : [email protected]. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kadar gas dalam darah pada penggunaan kombinasi xylazin-ketamin dan xlazin-propofol dengan dosis berulang sebagai anestesi pada bedah laparo-histerotomi kucing sehinggga dapat ditentukan batas keamanannya. Penelitian ini menggunakan 10 ekor kucing betina umur 12-18 bulan, selanjutnya kucing dibagi acak menjadi 2 kelompok, yaitu P1 : atropin 0,04mg/kg BB/ subkutan + xylazin 2 mg/kg BB/intramuskuler + ketamin 20 mg/kg BB/intramuskuler; dan P2 : atropin 0,04mg/kg BB/subkutan + xylazin 2 mg/kg BB/intramuskuler + propofol 20 mg/kg BB/intravena. Masing - masing kelompok diambil darahnya pada vena femoralis pada menit ke-0 (sebelum perlakuan), 15, 30 , 45, dan 60 untuk pengukuran gas darah yaitu pH, pCO2 dan HCO3. Selanjutnya setelah kucing teranestesi, maka dilakukan operasi laparo-histerotomi. Hasil analisis gas darah dianalisis dengan menggunakan rancangan acak kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kombinasi xylazin- ketamin dan xylazin-propofol menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) terhadap hasil analisis gas darah yaitu pH, pCO2, dan HCO3, selain itu kedua kombinasi obat anestetik menyebabkan asidosis metabolik dengan kompensasi alkalosis respiratorik yang cukup sempurna, sehingga cukup aman digunakan sebagai anestetik untuk jenis operasi yang membutuhkan waktu yang cukup lama seperti laparo-histerotomi. Kata kunci : Xylazin, ketamin, propofol, asidosis metabolik, alkalosis respiratorik ABSTRACT The aim of this research was to study the safety application of xylazine-ketamine and xylazine-propofol recurrent dosage combination as anesthesia for laparo-histerotomy surgery in cat. This research used 10 female cats, 12-18 months of age, followed randomly divided into two groups, P1: atropine 0,04 mg/kgBW/SC + xylazine 2 mg/kg BW/IM + ketamine 20 mg/kg BW/IM; P2 : atropine 0,04mg/kg BW/SC + xylazine 2 mg/kg BW/IM + Propofol 20 mg/kg BW/IV. The blood of the all groups was taken from vena femuralis at 0 minute (before treatment), 15, 30, 45 and 60 minutes during anesthesia for measurement of blood gas value pH, pCO2 and HCO3. After all animals were anesthetized, the animals were treated laparo-histerotomy surgery. The data were analyzed by using Randomized Complete Block Design (RCBD). The result showed both of groups were not significantly difference (p>0,05) to blood gas values for pH, pCO2 dan HCO3. Besides, both groups anaesthetic agent perfectly caused metabolic acidosis with respiratory alkalosis compensation perfectly, therefore it is relatively safe to use as anaesthetic agent for surgery that needs long time procedure, as laparo-histerotomy. Key word : Xylazine, ketamine, propofol, metabolic acidosis, respiratory alkalosis

101

Yudaniayanti etal

PENDAHULUAN Beberapa tindakan bedah seperti operasi orthopedi, Caesar, cystotomi, enterektomi, membutuhkan waktu yang relatif lama, sehingga dibutuhkan penambahan dosis anestesi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sangat penting untuk dilakukan pemantauan terus menerus tentang keadaan pasien, terutama pada reaksi terhadap pemberian obat anestetik, khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung. Hal ini penting untuk diperhatikan karena anestesi umum akan menimbulkan reaksi yang berbeda pada organ dan sistem tubuh masingmasing individu (Afshar et al, 2005).

Tujuan utama pemantauan anestesi adalah untuk diagnosis adanya permasalahan, perkiraan kemungkinan terjadinya kegawatan dan evaluasi hasil suatu tindakan, termasuk efektivitas serta adanya efek tambahan. Hal-hal yang perlu diamati selama anestesi adalah tingkat kedalam anestesi, efektivitas kardiovaskuler, dan efisiensi perfusi jaringan, serta perubahan respirasi (Badrinath et al, 2000). Salah satu pemeriksaan vital dalam mengukur kedalaman anestesi adalah kadar gas darah. Pengukuran gas darah ini sangat penting dilakukan untuk evaluasi pasien, karena pada kondisi-kondisi kritis selalu berkaitan dengan gangguan sistem respirasi dan keseimbangan asam- basa (Pfeiffer, 2006). Ada dua jenis gas darah yaitu gas darah arteri dan vena, namun keduanya tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap tekanan oksigen (Richey et al, 2004). Sherman et al (2006) melaporkan bahwa analisis gas darah vena lebih nyaman untuk pasien, murah, dengan risiko sangat kecil karena tidak menimbulkan nyeri. Selain itu, dengan darah vena selain dapat untuk mengukur gas darah juga dapat dilakukan pemeriksaan komponen darah lain, seperti pemeriksaan haemoglobin, kadar potasium, sodium, kalsium, gukosa, serta kadar laktat. Wingfield et al., (1994),

Jurnal Veteriner melaporkan hasil analisis gas darah menggunakan darah vena dapat dikonversikan ke darah arteri pada anjing dengan rumus sebagai berikut:



Arterial pH = 0,039 + (0,961X Venous pH)



Arterial pCO2 = 7,735 + (0,572 X Venous pCO2)



Arterial HCO3- = 0,538 + (0,845 X Venous HCO3-)

Berdasarkan hal tersebut maka dalam

penelitian ini digunakan darah vena untuk analisis gas darah, mengingat pembuluh darah pada kucing sangat kecil dan tipis sehingga bila menggunakan darah arteri akan sulit. Nilai normal gas darah arteri pada kucing menurut Battaglia (2001) adalah pH: 7,36-7,44, pCO2: 33-45 mmHg, HCO3: 17-22 mmol/L.

Salah satu obat anestetik yang sering digunakan pada kucing adalah ketamin. Dalam penggunaannya ketamin mempunyai beberapa keuntungan, di antaranya yaitu mempunyai mula kerja (onset of action ) yang cepat dan efek analgesik yang kuat serta aplikasinya cukup mudah, yaitu dapat diinjeksikan secara intramuskular. Namun, ketamin juga mempu-nyai kerugian yaitu tidak terjadi relaksasi otot sehingga dapat menimbulkan kekejangan dan depresi ringan pada saluran respirasi. Oleh karena itu, untuk mengurangi efek samping ketamin, penggunaannya sering dikombinasi-kan dengan obat premedikasi, seperti diazepam, midazolam, medetomidine, atau xylazin (Kilic et al., 2004). Obat anestetik lain yang juga sering digunakan pada kucing adalah propofol. Obat ini masuk dalam golongan fenol. Dibandingkan dengan ketamin, waktu induksi dan masa pulih (recovery) lebih

102

lembut pada propofol, selain itu redistribusi propofol ke jaringan juga lebih cepat dibanding ketamin. Namun, seperti halnya ketamin propofol juga mempunyai kekurangan, yaitu dapat menyebabkan depresi pernapasan dan penggunaannya pada kucing harus hatihati karena akan menyebabkan penundaan masa pulih. Untuk metabolisme propofol dibutuhkan enzim glukoronidase dan pada kucing relatif sangat kecil kandungan glukuronil transferase hepatik sehingga dibutuhkan waktu lebih lama untuk eliminasi obat dari tubuh sebagai akibatnya terjadi penundaan waktu masa pulih (Pascoe et al, 2006).

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi indikator gas darah pada penggunaan kombinasi xylazin-ketamin dan xylazinpropofol sebagai anestetik pada kasuskasus bedah yang membutuhkan waktu yang relatif lama seperti laparo-histerotomi pada kucing, sehingga diperlukan penambahan anestetik setengah dari dosis awal pemberian. Dari hasil analisis gas darah tersebut diharapkan dapat diketahui tingkat keamanan anestetik yang digunakan sehingga dapat menghindari terjadinya kematian pasien akibat kesalahan anestesi.

103

Jurnal Veteriner Maret 2011 13-18

Vol. 12 No. 1: perlakuan diambil darahnya pada vena femoralis untuk pengukuran gas darah vena sebelum anestesi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, yang secara keseluruhan memerlukan waktu 14 hari. Obat-obat yang digunakan dalam penelitian ini adalah atropin sulfas 0.25 mg/ml (Atropine, PT Ethica. Indonesia), xylazin hidrochlorid 20 mg/ml (Xylazin-20 injection, Kepro Holland), propofol 10 mg/ml (Safol, Dongkok Pharm Ltd, Amerika Serikat), dan ketamine hydrochloride 100 mg/ml (Ketamil, Ilium, Australia). Heparin 1000 U/ml. Alkohol 70% dan kapas steril untuk desinfeksi sebelum dan sesudah injeksi obat premedikasi dan obat anestetik. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan 10 ekor kucing betina, yang secara acak dibagi menjadi dua perlakuan dengan masingmasing perlakuan terdiri dari 5 ekor kucing. Umur kucing berkisar antara 12-18 bulan dengan berat badan antara 2-3 kg. Sepuluh ekor kucing yang telah diadap-tasikan selama 1 minggu, dibagi secara acak menjadi 2 kelompok penelitian, yaitu : Kelompok I (P I) : Kucing diberi atropin 0,04 mg/kg berat badan/sub-kutan + xylazin 2 mg/kg berat badan/intramus-kular + ketamin • mg kg berat badan/intramus-kular Kelompok II (P II) : Kucing diberi atropin 0,04 mg/kg berat badan/subku-tan + xylazin 2 mg/kg berat badan /intramuskular + propofol 6 mg/kg berat badan/intravena

Setelah semua kucing telah teranestesi, maka selanjutnya dilakukan bedah laparotomi sesuai dengan prosedur standar dan diteruskan dengan prosedur bedah histeromi yaitu melakukan insisi sepanjang kurang lebih 2 cm di daerah corpus uteri, dan selanjutnya dilakukan penjahitan sebagaimana mestinya. Sementara prosedur operasi tetap berlangsung, pada menit ke-20 dari pemberian anestetik pertama, pada masing-masing kucing diinjeksikan lagi anestetik sesuai dengan kelompok perlakuan, sebesar setengah dari dosis awal pemberian. Sampel darah untuk pengukuran gas darah vena ( pH, pCO2, dan bikarbonat) diambil dari vena femoralis. Darah yang diambil ditampung dalam spuit 3 ml yang sebelumnya telah diisi dengan sedikit heparin1000 U/ml, selanjutnya sumbat spuit dengan gabus atau karet. Putar-putar spuit sehingga darah bercampur dengan heparin, diberi label pada spesimen dan tempatkan spuit dalam termos yang berisi es dan segera kirim ke laboratorium. Pengukuran dilakukan pada saat hewan belum teranestesi, kemudian pada menit ke-15, 30, 45, dan 60 selama anestesi berlangsung. Analisis Data Rancangan yang digunakan untuk mengetahui adanya perubahan atau tidak kadar gas darah vena pada masing-masing perlakuan dan pada masing-masing waktu pengamatan, serta ada tidaknya interaksi antara waktu pengamatan dengan perlakuan adalah rancangan acak kelompok dengan uji General Linear Model Univariate (Pramesti, 2006)

Sebelum pelaksanaan anestesi, semua kucing pada masing-masing kelompok

104

HASIL DAN PEMBAHASAN Bedah laparo-histerotomi adalah salah satu jenis operasi yang membutuhkan waktu relatif lama sehingga diperlukan penambahan dosis anestetik, hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat kedalaman anestesi. Berkaitan dengan hal tersebut maka penting untuk dilakukan pemantauan kondisi pasien selama proses anestesi berlangsung untuk mengetahui keadaan dan reaksi fisiologis tubuh terhadap tindakan anestesi dan pembedahan. Salah satu pemeriksaan vital dalam mengukur kedalaman anestesi adalah kadar gas darah. Pascoe et al (2006), melaporkan bahwa pemantauan sistem kardiorespirasi merupakan salah satu hal yang sangat penting pada kondisi kritis. Pada keadaan distres akan mempenga-ruhi sistem

kardiorespirasi, dengan adanya kelainan proses oksigenasi serta gangguan pengeluaran karbondioksida, sehingga membu-tuhkan pemantauan yang teliti yaitu salah satunya dengan analisis gas darah. Pengukuran gas darah sangat penting untuk menentukan pH, kadar oksigen dan karbondioksida, juga kadar bikarbonat dalam darah. Parameter-parameter tersebut sangat membantu mengevaluasi hewan dalam kondisi kritis (Ismail et al., 2010) Pada Tabel 1. disajikan rataan pH darah pada kelompok PI (xylazin-ketamin) dan P2 (xylazin-propofol). Berdasarkan analisis dengan

105

menggunakan rancangan acak kelompok general linear model univariate menunjukkan bahwa di antara kedua perlakuan (P1 dan P2) tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) pada nilai pH. Pada uji interaksi antara perlakuan dengan waktu pengamatan tidak ada interaksi, hal ini berarti bahwa baik perlakuan yaitu anestetik maupun waktu pengamatan mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap perubahan pH .

Hasil analisis gas darah pada kedua perlakuan menunjukkan bahwa nilai pH di bawah nilai normal (< 7,36), mulai dari menit ke-0 sampai 60, meskipun terlihat adanya peningkatan tapi tidak signifikan (p>0,05). Hal ini mungkin disebabkan adanya stres pada waktu penanganan pengambilan darah. Woodrow (2004), melaporkan bahwa pada

kondisi panik atau stres akan terjadi depresi respirasi ringan dengan manifestasi penurunanan pH dan pCO2, sehingga terjadi hipokapnia dan hiperventilasi, yang ditandai dengan adanya peningkatan rataan respirasi. Pendapat tersebut diatas ternyata sesuai dengan hasil analisis pCO2 (Tabel 2.) yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,05) pada kedua kelompok perlakuan yaitu bahwa selama periode anestesi mulai dari menit ke-15 sampai 60, nilai pCO2 mengalami penurunan meskipun masih dalam batas nilai normal (33-45 mmHg). Penurunan yang cukup signikan (p<0,05) mulai terjadi pada menit ke 45 sampai 60, terutama pada kelompok perlakuan xylazin-propofol dengan nilai pCO2 sampai di bawah nilai normal. Hal ini karena propofol mempunyai potensi mendepresi.

Tabel 1. RataanpH hasil analisis gas darah dengan menggunakan darah dari vena femoralis

Waktu Pengamatan (menit ke)

Perlakuan 0

15

30

45

60

Xylazin-ketamin 6,83a + 0,17

6,87a + 0,12

6,9a + 0,07 6,92a + 0,03 6,92a + 0,13

Xylazinpropofol

6,9a + 0,13

6,94a +0,07 6,93a + 0,06 6,97a + 0,05

6,89a + 0,16

a superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).

106

Tabel. 2. Rataan pCO2 hasil analisis gas darah dengan menggunakan darah dari vena femoralis (mmHg)

Waktu Pengamatan (menit ke)

Perlakuan 0

15

30

45

60

Xylazin-ketamin 36,34a+ 4,8 35,88a + 3,3 35,31ab +2,5 33,93ab+ 1,9 33,25b + 2,2

Xylazin-propofol 34,85a+ 3,2 34,74a + 2,9 33,7ab + 3,01 32,56ab+ 1,96 31,07b + 1,9

a,b, superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).

Tabel 3. Rataan HCO3 hasil analisis gas darah dengan menggunakan darah dari vena femoralis (mmol/L)

Waktu Pengamatan (menit ke)

Perlakuan

Xylazinketamin

0

15

14,77a +1,9

14,52 a+ 2,1

30

45

60

14,73a+ 1,9 14,92a + 1,9 15,56a + 0,9

107

Xylazinpropofol

15,38a +1,4

15,41 a + 1,3 15,29a +1,4 15,38 a + 1,4 15,39 a + 1,6

a superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).

16

108

Jurnal Veteriner Maret 2011 13-18 respirasi, selain itu propofol juga dapat menyebabkan penurunan metabolik serebral dan tekanan perfusi serebral yang secara bersamaan akan menurunkan tekanan intracranial dan intraokuler. Dalam usaha untuk mempertahankan fungsi cerebral ini, maka selama proses anestesi menggunakan propofol berlangsung, terjadi perubahan pCO2 (Seymour dan Novakovski, 2007). Penurunan pH dan pCO2 pada kedua kelompok perlakuan disebabkan karena pengaruh anestetik. Ismail et al (2010), melaporkan bahwa obat-obat anestetik akan menyebabkan baik langsung maupun tidak langsung relaksasi otot bronkhial dan penurunan tingkat oksigen darah. Baniadam et al (2007) juga melaporkan hasil yang sama yaitu pemberian ketamin pada domba dan xylazin-ketamin pada kambing menye-babkan penurunan pH dan penghambatan pO2. Pada penelitian ini menggunakan darah vena untuk menganalisis gas darah, sehingga nilai pO2 tidak dapat diukur. Seymour dan Novakovski (2007), melaporkan bahwa meskipun darah vena tidak dapat memberikan informasi tentang pO2, tetapi masih dapat memberikan informasi yang memuaskan tentang efisiensi paru-paru dalam menge -luarkan CO2, dan standar yang terbaik dalam mengevaluasi efisiensi paru-paru adalah nilai pCO2. Respon tubuh dengan adanya penurunan pH dan pO2 adalah berusaha mempertahankan homeostasis supaya pH darah tetap normal dengan cara metabolisme anaerob sehingga status tubuh menjadi asidosis metabolik, dengan kompensasi terjadi alkalosis respiratorik yang ditandai dengan penurunan pCO2 darah (Woodrow, 2004). Pendapat tersebut didukung oleh kadar HCO3 pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa pada kedua perlakuan tidak menunjuk-kan perbedaan yang nyata (p>0,05) yaitu nilai HCO3 di bawah nilai normal (<17 mmol/L)(Tabel 3.). Berdasarkan hasil penga-matan mulai menit ke-15 sampai 60 tejadi kenaikan yang tidak signifikan (p>0,05) pada kedua kelompok perlakuan tetapi nilainya masih tetap di bawah normal.

Vol. 12 No. 1 : Berdasarkan data tersebut, pada awal pemeriksaan (menit ke-0) sebelum diberi perlakuan, hasil gas darah pada P1 menun-jukkan pH=6,83; pCO2= 36,34; HCO3 = 14,77, sedangkan P2 menunjukkan pH= 6,89; pCO2 = 34,85; HCO3 = 15,38, sehingga dapat disimpulkan bahwa baik pada P1 maupuhn P2 terjadi asidosis metabolik dengan kompensasi alkalosis respiratorik dengan tujuan untuk memper-tahankan homeostasis supaya pH darah tetap normal. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya waktu pengamatan, pH darah juga mengalami kenaikan meskipun tidak signifikan (p>0,05) yaitu pada menit ke -60 pH darah P1 = 6,9 dan P2 =6,97 dan masih di bawah nilah normalnya, sebaliknya pada hasil pCO2 mengalami penurunan yang cukup signi-fikan(p<0,05) yaitu pada menit ke 60 nilai pCO2 darah P1 = 33,25 dan P2 = 31,07, sedangkan untuk HCO3 pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan kenaikan yang tidak signifikan (p>0,05) yaitu pada menit ke 60 nilai HCO3 darah pada P1 = 15,56 dan P2 = 15,39, meskipun nilainya masih di bawah normal. Aditama (1987) yang melaporkan bahwa kompensasi tubuh terhadap perubahan pH akan dilakukan melalui sistem pernapasan dan ginjal bergantung pada bentuk gangguan asam basa yang terjadi. Pada kondisi asidosis metabolik akan terjadi perangsangan untuk stimulasi pernapasan (hiperventilasi), dan sebagai aki-batnya pCO2 darah akan menurun dan ini berakibat pada kenaikan pH (pH, pCO2), jadi penurunan pH pada asidosis metabolik akan dikompensasi oleh suatu reaksi alkalosis respiratorik (persamaan Handerson). Hal lain yang perlu diperhatikan dari kondisi tersebut adalah kedua kombinasi obat anestesi yaitu xylazine-ketamine dan xylazine-propofol tidak terlalu mendepresi pernafasan yang dibuktikan dengan adanya kemampuan yang cukup baik dari paru-paru dalam mengkompensasi perubahan pH, sehingga kedua kombinasi obat anestesi tersebut cukup aman digunakan untuk operasi yang mebutuhkan waktu yang cukup lama.

109

SIMPULAN Kombinasi xylazin-ketamin dan xylazinpropofol menyebabkan asidosis meta- bolik dengan kompensasi alkalosis respiratorik

yang cukup sempurna, sehingga cukup aman digunakan sebagai obat anestesi untuk jenis operasi yang membutuhkan waktu yang cukup lama

110

Yudaniayanti etal Veteriner SARAN

Dilakukan penelitian lebih lanjut tentang analisis gas darah pada operasi yang membutuhkan waktu lebih dari satu jam sehingga diperlukan penambahan dosis anestesi yang berulang-ulang

Kombinasi ketamin -xylazin lebih tepat digunakan untuk operasi yang membutuhkan waktu lama, karena durasi anestesinya lebih lama dan mudah aplikasinya. UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini dengan penuh rasa hormat, penulis mengahaturkan ucapan banyak terima kasih kepada Prof. Hj. Romziah Sidik, Ph.D., drh., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atas dana dan kesempatan yang telah diberikan, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

Jurnal and Critical Care : A Manual For The Veterinary Technician. USA. WB Saunders Co. Pp 8-9. Ismail ZB, Jawasreh K, Al-Majali A. 2010. Effect of xylazine-ketamine-diazepam on certain clinical and arterial blood gas parameters in sheep and goats. Comp Clin Pathol 19: 11-14.

Kilic N, Henke J. 2004. Comparative studies on the effect of S(+)-ketaminmedetomidine and racemic-ketaminmedetomidine in Mouse. YYU Vet Fak Derg, 15(1-2): 15-17.

Pascoe PJ, Ilkiw JE and Frischmeyer KJ. 2006. The Effect of the duration of propofol administration on recovery from anesthesia in Cat. Veterinary Anaesthesia and Analgesia 33: 2-7.

darah. Cermin Dunia Kedokteran 43: 51-54.

Pfeiffer B, Syring RS, Markstaller K, Otto CM and Baumgardner JE. 2006. The implications of arterial PO2 oscillations for conventional arterial blood gas analysis. Veterinary Anaesthesia and Analgesia. 102: 1758-1764.

Afshar SF, Baniadam A, Marashipour SP. 2005. Effect of xylazine-ketamine on arterial blood pressure, arterial blood pH, blood gasses, rectal temperature, heart, and respiratory ratesin sheep. Bull Vet Inst Pulawy 49:

Pramesti G. 2006. Panduan Lengkap SPSS 13 dalam Mengolah Data Statistic. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Pp. 186-200.

DAFTAR PUSTAKA Aditama TY.1987. Interpretasi analisis gas

481-484. Badrinath S, Avramov MN, Shadrick M, Witt TR, Ivankovich AD. 2000. The use of a ketamin-propofol combination during monitored anesthesia care. Anesthesi Analgesic 90:856-862. Baniadam A, Afshar SF, Balani MRB. 2007. Cardiopulmonary effects of acepromazine-ketamine administration in the sheep. Bull Vet Inst Pulawy 51: 93-96.Battaglia AM. 2001. Small Animal Emergency

Richey MT, Mcgrath CJ, Portillo E, Scott M and Claypool L. 2004. Effect of sample handling on venous PCO2, pH, bicarbonate, and base excess measured with a Point-of-care analyzer. Journal of Veterinary Emergency and Critical Care, Vol. 14. 253-258.

Seymour C, Novakovski TD. 2007. Manual of Canine and Feline Anaesthesia ang 111

Analgesia. 2nd Ed. BSAVA. British Small Animal veterinary association. Pp 71.

Sherman SC, Schindlbeck M. 2006. When is Venous Blood Gas Analysis Enough?. Emergency Medicine 38 (12) : 44-48.

Wingfield WE, Pelt V, Hackett TB. 1994. Usefulness of venous blood gases in estimating acid-base status of the seriously ill dog. Journal of Veterinary Emergency and Critical Care 4:23-27

Woodrow p. 2004. Blood gas analysis. Nursing Standard 18(21): 45-52.

112

1

More Documents from "Erick Setiawan"