Sby, Fajar Dari Pacitan

  • Uploaded by: femi adi soempeno
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sby, Fajar Dari Pacitan as PDF for free.

More details

  • Words: 4,583
  • Pages: 12
SBY, Fajar dari Pacitan - Renungkan....Hidup Ini Ibarat Pementasan Total - Kita Bertutur lewat Batu, Air, Kayu, Api, dan Angin - Kita Dekati Langit, Bertutur Sapa DenganNya - Semua Dimainkan Secara Harmonis.....Ruang dan Waktu Menyatu Manis... - Pang Ketapang Dung Kedundung Ketenong Ketoning - Bla Bla Bla Bla Bla Bla Bla Bla - BLAR - Tidak Harmonis Bisa Berbalik Jadi Bencana Dahsyat... Bikin Acakadut (Panji Koming, 3 Juli 2005)

ONTANG-ANTING, alias anak tunggal. Entah, apakah faktor ‘kesepian’ sebagai anak tunggal membuat Susilo Bambang Yudhoyono terpecut untuk menunjukkan pada kedua orang tuanya bahwa anak tunggal juga bisa diandalkan ditengah kondisi keluarga dengan perekonomian yang tak berlebihan. Memang, SBY lahir dari lingkungan keluarga biasa, sederhana, prihatin dan terbatas. Ia lahir dari pasangan suami istri Raden Soekotjo dan Sitti Habibah pada tanggal 9 September 1949 di Desa Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Sebuah desa yang berjarak sekitar 12 kilometer di sebelah utara ibu kota Kabupaten Pacitan. Rumahnya menjadi langganan banjir saban tahun ketika musim hujan tiba. Soekotjo, merupakan Komandan Komando Rayon Militer (Danramil) yang wilayah tugasnya mencakup satu kecamatan. Kalau sudah begini, jangan pernah sebut keluarga SBY ‘berkelimpahan’. Dengan pangkat pembantu letnan satu (peltu), gajinya sangat kecil. Apalagi, Soekotjo bertugas di daerah terpencil dan gersang, sepi dan hanya ratusan goa yang terlihat. Ia pernah menjadi Danramil di Kecamatan Kebon Agung, Ngadirojo, Punung, dan Pacitan. Semuanya masih di wilayah Kabupaten Pacitan. SBY biasa dipanggil dengan sebutan Sus. Sebagai anak tunggal, ia cukup mendapatkan kasih sayang. Soekotjo yang menjabat sebagai Danramil selama empat periode di sejumlah kecamatan di Pacitan menanamkan disiplin dan kerja keras. Mereka memanggil SBY dengan sebutan Susilo, atau Sus. SBY lahir tanpa ditunggui ayahnya di rumah kakeknya di Desa Tremas. Ia lahir sebagai seorang cucu Keluarga Pondok Tremas dari ibunya dan salah seorang Pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor dari ayahnya. Perpaduan antara kebiasaan hidup disiplin dan taqwa menempa kehidupan SBY sejak kecil. Tempaan kedua orangtuanya membuat Yudhoyono terbiasa menghadapi kehidupan keluarga

yang serba sederhana. Gaplek dan tiwul tidak jauh dari kehidupan keluarga yang masih tergolong priyayi itu. Menjadi wajar, saat itu beras masih ibarat emas. Makanan pokok yang masih sulit dicari di daerah tandus seperti Pacitan. Untuk kelancaran sekolahnya, sejak tahun 1961 hingga 1968 SBY tinggal bersama Sastro Suyitno, pakde-nya yang menjadi Lurah Desa Ploso, Pacitan. SBY menempati kamar berukuran 2 x 3 meter sejak kelas VI SD hingga tamat SMA I Pacitan. Kamar ini sebelah-menyebelah dengan kamar tidur Sastro. Uniknya, hingga saat ini, kamar SBY seperti menjadi museum kecil bagi keluarga besarnya. Kamar itu masih utuh dan diusahakan tidak diubah sama sekali. Pintu kamar itu biasanya tertutup. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur dengan seprai hijau sewarna dengan cat dinding kamar. Namun, jika SBY ke Pacitan, ia tidak lagi tidur di kamar kecil itu, tetapi tidur di kamar yang agak luas berukuran 3 x 4 meter yang berada di rumah sepupunya sendiri, yaitu keluarga Soedjono, pensiunan Kepala SMA I Pacitan. Rumah itu terletak di depan rumah pakdenya. Istri Sastro, Wati, masih mengingat segala perilaku SBY dengan baik. "Nak Sus itu nrimo, makan apa saja mau. Tidak pernah protes," katanya. Kalau sudah bawa buku, tutur Wati, SBY tak pernah lepas dari kacang dan wedang (minum). "Biasanya dia masuk kamar. Saya intip. Kok belajar sambil makan dan minum," kata Wati. Kalau ujian tiba, banyak teman SBY yang belajar di makam atau di alun-alun. Tapi dia belajar di kamar saja. Wati pernah menanyakan alasannya, SBY lalu bilang, "Lha wong niku purun dicokoti dingklong." (lha, orang itu mau digigit nyamuk). Kembali ke SBY, menurut cerita teman-temannya, tindak- tanduk SBY senantiasa terjaga, sopan, dan menunjukkan perhatian kepada orang lain. SBY sering dijadikan pemimpin mereka. Terbina sejak mulai tinggal bersama pamannya, Sastro Suyitno, agar sekolahnya tidak terganggu oleh pekerjaan ayahnya sebagai tentara yang sering harus berpindah tempat tugas, ia terbiasa mandiri karena harus mencari dan menentukan sendiri kebutuhan dan kemauannya. Keadaan yang tergolong serba sulit waktu itu membuatnya harus prihatin dan menahan diri dari kesenangan kanak-kanak. Untuk mengompensasi kondisi sulit secara ekonomi dan keadaan jauh dari orangtua itu, SBY makin aktif dalam kegiatan belajar di sekolah. Keinginan menjadi pelajar berprestasi juga mengarahkannya kepada aktivitas di luar sekolah, termasuk aktif di kepanduan. Ia gemar membaca banyak macam buku, termasuk komik dan cerita pewayangan. Bacaan-bacaannya membentuk sifat intelektualnya. Ia menjadi tempat bertanya bagi teman-temannya tentang banyak hal, terutama pelajaran berhitung, ilmu bumi, dan sejarah. Meski menjadi tempat bertanya dan sering dijadikan sebagai pemimpin, SBY suka mengalah dan lebih mementingkan keperluan teman- temannya.

SBY berkembang menjadi anak yang mandiri, memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan anak lain walaupun ia juga menjadi orang yang cenderung mengalah, tak jarang merendah, dan sopan terhadap orang lain. Saat SMA, SBY bersama teman-teman membentuk Klub Rajawali untuk bermain voli dan Band Gaya Teruna untuk bermusik. Di band itu SBY memainkan bass. Ia kerap menjadi vokalis untuk menyanyikan lagu sedih dan sendu, Telaga Sunyi karya Koes Plus. Hobi bermusik SBY yang dijadikan andalan saat berkampanye bermula dari sini. Namun, saat kampanye SBY tidak lagi menyanyikan lagu sedih dan sendu Telaga Sunyi. Lagu Pelangi di Matamu milik Jamrud yang mirip dengan syair puisinya menjadi pilihannya. Hidup SBY bukan tanpa catatan pahit. Semangat hidupnya seakan lenyap bersamaan dengan perceraian kedua orangtuanya waktu duduk di kelas I SMA. Namun bagi SBY, kenyataan itu justru dijadikan titik balik untuk mengubah hidupnya. Dorongan kuat dan keinginan untuk mengubah nasib sangat kuat. Untuk mengukir masa depannya yang lebih baik, ia harus meninggalkan Pacitan. Mewarisi sikap ayahnya yang keras, SBY berjuang untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi tentara dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) di Magelang, Jawa Tengah. Sayangnya, SBY terlambat mendaftar. Itu sebabnya, ia tidak langsung masuk Akabri saat lulus SMA akhir tahun 1968. Satu tahun sebelum masuk Akabri, SBY sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut 10 Nopember Surabaya (ITS). Namun, SBY kemudian memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama di Malang, Jawa Timur. Di Malang ia dapat lebih leluasa mempersiapkan diri masuk Akabri. Tahun 1970 SBY masuk Akabri di Lembah Tidar setelah lulus ujian penerimaan akhir di Bandung. Bagi SBY, pendidikan di Magelang ini merupakan turning point dalam kehidupan pribadinya. Kefasihannya dalam bahasa Inggris yang ditekuninya sejak SMP membuat SBY dikenal sebagai taruna yang pandai dalam berbahasa Inggris. Sebagai taruna yang tergolong cerdas, ia sering menyandang jabatan komandan. Saat SBY menjalani pendidikan militer, Mayjen Sarwo Edhi Wibowo yang kemudian menjadi bapak mertuanya bertindak sebagai Gubernur Akabri. SBY satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, Prabowo Subianto,Yudi M Yusuf, dan Wresniwiro. Di akhir pendidikan, SBY yang mendapat julukan Jerapah menyabet predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan mendapat lencana Adhi Makasaya. Saat itu, Presiden Soeharto menyerahkan lencana itu kepada SBY. Selain meraih prestasi terbaik, di tahun keempat pendidikan militer inilah cintanya tumbuh dan bersemi. Tidak tanggung-tanggung, putri Sarwo Edhie, Kristiani Herrawati, diincarnya. Pertemuan pertama dengan Kristiani yang kini menjadi istrinya terjadi saat sebagai Komandan Divisi Korps Taruna SBY melapor kepada Sarwo Edhie mengenai satu kegiatan. Saat itu Kristiani sedang berlibur di Lembah Tidar menemui orangtuanya.

Sejak pertemuan pertama di Lembah Tidar itu, SBY kerap menyempatkan diri main ke rumah dinas gubernur dengan harapan bertemu Kristiani. Setelah lebih saling mengenal satu sama lain, keduanya lantas pacaran. Mendengar hubungan cinta putranya dengan putri Sarwo Edhie, Soekotjo kaget bukan kepalang dan menganggap SBY salah bergaul. Namun, lantaran SBY mampu meyakinkan ayahnya bahwa perbedaan status tidak menjadi pertimbangan utama dalam hubungan cintanya, SBY dan Ani terus melangkah. Sebetulnya, yang lebih dulu senang pada SBY adalah istri Sarwo Edhie. Lampu hijau ini memperlancar hubungan kasih SBY dan Ani. Karena kemudian berpisah, Ani ke Korea Selatan ikut ayahnya sebagai Duta Besar di Korea Selatan dan SBY ke Amerika Serikat mengikuti pendidikan Airborne dan Ranger, sepasang kekasih ini menunda pernikahan. Pernikahan baru dilaksanakan 30 Juli 1976 bersama-sama dengan dua putri Sarwo Edhie lain yang juga mendapat jodoh tentara. Lantaran unik, pesta pernikahan tiga bersaudara yang dilangsungkan di Hotel Indonesia itu menjadi tontonan tamu hotel. Bersama Ani, SBY dikaruniai dua putra, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono yang mengikuti jejak ayahnya menjadi tentara (lulusan terbaik Akmil 2000) dan Edhie Baskoro Yudhoyono yang mengurungkan niat menjadi tentara seperti ayahnya lantaran reformasi yang memaki tentara. Baskoro kemudian memilih kuliah di Curtain University, Australia.

ASAL TAHU saja, ketekunan SBY menggeluti bidang militer tak pernah setengah hati. Usai merampungkan Akabri tahun 1973, berbagai pendidikan untuk menggenapi keahliannya dalam militer tidak pernah ia tinggalkan. Dimulai dari kursus Dasar Kecabangan Infanteri dan Kursus Dasar Para pada tahun 1974. Kursus Bahasa Inggris dilakoninya tahun 1975. Kemudian pada tahun 1976, ia sempat belajar di American Language Course di Texas dan Airborne and Ranger Course di Fort Benning Amerika Serikat. Dalam rentang tahun 1982 hingga 1985, SBY sempat mengikuti beberapa kursus militer. Di antaranya Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning Amerika Serikat tahun 1982-1983. Jungle Warfare School di Panama tahun 1983. On Job Training di 82-nd Airborne Division di Fort Bragg, Amerika Serikat tahun 1983. Pendidikan Skill Qualification di US Army Infantery School di Amerika Serikat juga pada tahun 1984. Kemudian Pendidikan Persenjataan Antitank di Belgia dan Jerman pada tahun 1984. Tahun 1985 ia juga sempat mengikuti kursus Komandan Batalyon. Sebagai seorang militer yang diproyeksikan menjadi seorang pemimpin, SBY juga mengikuti Kursus Reguler Angkatan XXVI di Seskoad pada tahun 1988 - 1989. Dalam kursus ini ia tercatat sebagai lulusan terbaik. Di tahun 1990-1991, ia mengikuti pendidikan Command and General Staff College di Amerika Serikat. Selain belajar untuk memperdalam ilmu militer, SBY tidak membuang - buang waktu. Dalam kesempatan yang terbatas ia sempat mengambil Pendidikan Pascasarjana S-2, Master of Art Degree Management di Webster University Amerika Serikat pada tahun 1990 - 1991. Mulai

tahun 2002, di setiap akhir pekan ia mengikuti Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Tercatat sekitar 28 jabatan sempat disandang Yudhoyono dalam kurun 30 tahun terakhir. Dua puluh satu di antaranya, jabatan yang diperolehnya semasa masih aktif dinas di TNI dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI pada tahun 1999. Komandan Pleton (Danton) 3/A, Yonif Linud 330 Kostrad Bandung merupakan jabatan struktural pertama yang dipegang SBY. Secara berurutan, SBY pernah menjadi komandan peleton, kompi, batalyon, brigade, dan resor militer. Jabatan struktural tertinggi yang bersifat komando disandangnya ketika menjabat Panglima Kodam II / Sriwijaya, Palembang, dengan pangkat Mayor Jenderal TNI. Dalam kapasitas sebagai Pangdam, ia menjadi pangdam termuda di antara 10 pangdam di Indonesia, dengan usia 47 tahun. Di samping itu, ia juga menjadi pangdam pertama dari alumni Akabri tahun 1973. Di sinilah sebagai seorang perwira mulai menunjukkan perbedaannya dengan sesama alumni 1973. Pada waktu itu pangdam sebagian besar dijabat perwira alumni 1965, 1966, 1968. Sedangkan alumni 1970 baru dua orang, yaitu Pangdam IV/ Diponegoro Mayjen TNI Subagyo HS dan Pangdam XVII / Trikora Mayjen TNI Jhoni Lumintang. Selain menjabat jabatan komando, ia juga pernah ditugaskan dalam berbagai operasi militer. Tiga di antaranya merupakan operasi militer di Timor-Timur. Operasi Seroja tahun 1976-1977, Operasi Tuntas tahun 1979-1980, dan Operasi Keamanan tahun 1986-1988. Di samping itu aktivitas militernya juga merambah ke tataran internasional. Salah satunya adalah menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB yang bertugas di Bosnia tahun 1995-1996. Hanya saja, karier SBY di militer berakhir ketika ia diangkat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 1999. Pilihan ini sangat berat bagi SBY. Sebagai militer ia ingin mengabdikan sepenuhnya di lingkungan militer hingga pensiun. Kebanggaan tertinggi seorang prajurit apabila ia dapat menjadi kepala staf angkatan. Artinya, dengan masuknya SBY ke dalam pemerintahan, maka keinginan untuk menjadi KSAD pupus. Dengan berat hati ia berpisah dengan almamater dan prajurit lima tahun lebih awal dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal (Purn) TNI. Namun setahun kemudian ia mendapat penganugerahan pangkat kehormatan setingkat lebih tinggi dari Presiden Abdurrahman Wahid. Maka kini ia menjadi Jenderal TNI (Hor) Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, MA. Pengangkatannya sebagai Menteri Pertambangan dan Energi sempat membuat kecut. Selain harus pensiun dini dari dinas militer, ia sadar tanggung jawab yang diembannya termasuk wilayah baru. Maka ia mencoba untuk mendalami permasalahan yang ada di departemennya. Tanggal 26 Agustus 2000, Presiden me-reshuffle Kabinet Persatuan Nasional. Pada saat itu jabatan menteri SBY bergeser menjadi Menteri Koordinator (Menko) Politik, Sosial, dan Keamanan (Polsoskam). Bidang tanggung jawab ini sedikit mendekati ilmu yang ia tekuni selama hampir 30 tahun. Belum genap setahun menyandang jabatan Menko, SBY diberhentikan oleh Presiden

Abdurrahaman Wahid. Namun, dua bulan kemudian, Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrahaman Wahid sebagai presiden mengangkat kembali SBY sebagai Menko Polkam dalam Kabinet Gotong Royong. Kariernya di kabinet rupanya kurang mulus. Tiga kali menjabat sebagai menteri, tiga kali pula jabatan itu tidak terselesaikan hingga akhir periode. Setelah gagal menuntaskan periode jabatan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Yudhoyono kembali mengakhiri karier di kabinetnya dengan mengundurkan diri sebagai Menko Polkam dalam kabinet Gotong Royong pada 11 Maret 2004.

MIMPI MENJADI orang nomor satu di negeri ini makin kencang diupayakan perwujudannya oleh SBY sejak kekalahannya di putaran kedua pemilihan wakil presiden dalam Sidang Istimewa MPR, Juli 2001. Setelah kekalahan itu, muncul rekomendasi beberapa kalangan yang meminta SBY bersiap mencalonkan diri sebagai presiden dengan langkah mendirikan partai politik. Satu tahun kemudian, SBY melontarkan nama partai yang akan dipakainya sebagai tunggangan politiknya: Partai Demokrat. Setelah SBY secara lisan menjelaskan ciri partai politik yang diinginkannya, termasuk working ideologi-nya nasionalis-religius, hari berikutnya di kantor Tim Kresna Bambu Apus, niat mendirikan partai politik direalisasikan. Awal Agustus 2002, SBY mengadakan pertemuan terbatas yang dihadiri Prof Subur Budisantoso, Prof Irsan Tanjung, dan Dr Achmad Mubarok. Partai Demokrat didirikan dengan komitmen utama sebagai kendaraan SBY mewujudkan mimpi besarnya menjadi presiden. Mimpi besar itu mulai dibangun bersamaan dengan tugas negaranya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dalam Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Konsentrasinya yang terpecah tersebut sedikit banyak terasakan oleh Megawati yang ingin kembali menjadi presiden. Persaingan tertutup dalam satu perahu itu kemudian menjadi terbuka karena pernyataan suami Megawati, Taufik Kiemas. Buntut persaingan terbuka ini, SBY mundur dari kabinet menjelang kampanye pemilu legislatif. Bersamaan dengan meningkatnya popularitas SBY, Partai Demokrat sebagai partai pendatang baru menuai hasil memuaskan dalam pemilu legislatif. Berada di urutan kelima dengan perolehan suara 8.455.225 SBY memiliki kendaraan untuk pencalonan dirinya sebagai presiden. Meskipun demikian, SBY merasa tidak nyaman jika hanya dicalonkan oleh partai yang didirikannya saja. Setelah berkeliling mencari mitra koalisi, Partai Bulan Bintang (PBB) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sepakat bersama-sama mencalonkannya. Sebagai wakil presiden, SBY memilih Jusuf Kalla, orang yang pertama kali memberinya selamat setelah mundur dari Kabinet Gotong Royong. Dengan bergabungnya Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, pasangan SBY-Kalla mengedepankan visi yang sepertinya merupakan gabungan tiga tokoh ini, yaitu aman, adil, dan sejahtera.

Genderang kompetisi telah ditabuh. Menjelang berakhirnya masa kampanye, tabuhan genderang kompetisi semakin kencang sehingga kerap memerahkan telinga para kandidat dan tim suksesnya. Namun, jauh sebelum kompetisi digelar, seusai mencoblos dalam pemilu legislatif, di sebuah warung soto ayam pinggir jalan, SBY berujar, "Bagi saya Megawati atau Amien Rais itu bukan musuh, tetapi kompetitor. Karenanya, mari berkompetisi secara sehat dalam bingkai demokrasi!" SBY menjaga pertemanannya, tampil hormat terhadap senior-seniornya meski pangkat mereka lebih rendah. Ia menampilkan kesan yang menenangkan dan nyaman untuk dijadikan tempat berkeluh kesah dan meminta nasihat. Wawasannya yang luas memungkinkannya mengambil peran itu. Ia menikmati keberadaan orang lain di sekitar yang mengandalkannya. Jenderal intelektual, begitu ia sering disebut, merupakan salah satu buah dari usahanya untuk menjaga perhatian orang lain tetap tertuju kepadanya. Penampilannya selalu terjaga, sikap tubuh tegak, wajah selalu menatap ke depan, dagu sedikit ditarik ke belakang, sorot mata awas, langkah tegap yang pasti, cara bicara teratur jelas dan rinci, serta kesigapan menanggapi stimulus di sekitar, semua itu mendukungnya untuk menjadi orang yang pantas diperhatikan dan dikagumi. Kelebihan-kelebihan itu menjadi penentu utama popularitas yang dicapainya sekarang. Sifat-sifat yang dimiliki SBY membentuk dirinya menjadi orang yang memiliki karakter kuat. Ia memiliki sifat menghormati atasan dan orang yang lebih tua, menjunjung tinggi kehormatan, moralitas, mengandalkan ilmu pengetahuan, disiplin ketat, memanfaatkan waktu seefisien mungkin, terbuka pada ide-ide baru, taat pada hukum dan patuh pada otoritas, percaya bahwa manusia dapat hidup damai, berusaha akrab dengan orang lain, berusaha menerima pembauran, tidak mudah larut secara emosional dalam suatu masalah, serta mengandalkan ketangkasan, kesigapan, dan keterampilan. SBY percaya bahwa kehidupan politik adalah harmoni dan manusia yang terlibat di dalamnya bertujuan untuk bekerja sama memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan bersama. Kalimat-kalimat yang diutarakannya menampilkan indikasi dari kepercayaannya itu. Ia cenderung menggunakan kata kerja yang mengandung arti harmoni, kesesuaian, dan kerja sama, seperti mempertemukan, konsolidasi, memahami, merawat dan menaungi. Bahkan ketika ditanya tentang bagaimana menangani terorisme, ia menggunakan istilah mengelola terorisme yang umumnya digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang baik dan bermanfaat. Kepercayaan ini sejalan dengan kecenderungannya menghindari konflik. ##################### sby, anak tunggal yang charming ################################ SBY juga menjadi faktor penentu dalam kemenangan partai Demokrat dalam pemilihan umum 2004 dan 2009. Lebih dari itu, ia terlihat seperti menampar muka partai-partai lawas. Aktor di panggung politik yang bernama SBY-lah magnet dalam kemenangan partai yang masih terbilang

‘partai kemarin sore’ ini. Bukan hanya figurnya saja, tetapi juga programnya yang terbukti berhasil mengangkat masyarakat dari ‘nasib kemarin sore’. Lihat saja hasil penelitian CSIS terhadap 2.957 responden yang dikumpulkan pada 9-20 Februari lalu. Sebanyak 31,8% responden menjatuhkan pilihannya pada Partai Demokrat lantaran figur SBY yang kuat membayangi partai ini. Angka ini mengungguli sosok Megawati Soekarno Putri yang hanya bisa menarik 23,4% respondennya untuk jatuh hati pada PDI-P; dan 13,6% responden yang tertarik pada Golkar lantaran tokohnya. Hal ini seperti menegaskan bahwa mereka yang memilih SBY akan memilih Partai Demokrat. Sosok SBY yang begitu melekat, juga berkorelasi dengan program yang terbukti bisa membuat masyarakat menjadi lebih baik saat ini. Sebanyak 15,8% responden memilih Partai Demokrat karena terbukti secara nyata. Lebih dari setengah dari responden itu, yaitu sebanyak 7% responden yang menjatuhkan pilihannya pada PDI-P lantaran programnya terbukti, dan 5,8% responden memilih Golkar lantaran programnya teruji. Rupanya responden mengapresiasi langkah-langkah ekonomi yang diadopsi oleh SBY, terutama untuk mengatasi krisis ekonomi. Program-program bantuan, seperti bantuan langsung tunai, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, penurunan harga bahan bakar minyak, dan Bantuan Operasional Sekolah, bagi sebagian besar rakyat mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari responden. Tak cukup itu saja, sttimulus ekonomi di masa krisis finansial global ini juga mendapatkan apresiasi yang baik dari kalangan pelaku ekonomi besar. Besarnya alokasi pengurangan pajak juga amat membantu mereka. Jadi, secara umum, program ekonomi yang diadopsi oleh SBY mendapatkan apresiasi yang baik dari semua lapisan ekonomi yang ada. Jika dilihat dari pengalaman, jelas Partai Demokrat jauh tertinggal. Hanya 4% responden yang menyatakan pilihannya pada Partai Demokrat karena partai ini sudah mengantongi pengalaman yang lumayan.

KEKAYAAN pejabat kini menjadi bahan perbincangan yang menarik. Membandingkan si anu dan si anu dengan kekayaan sekian miliar atau triliun. Inilah saat yang tepat bagi Indonesia untuk belajar transparan, mulai mengikis budaya korupsi, dan menunjukkan keseriusan menciptakan pemerintahan yang bersih. Barangkali Anda ingat, sejak tahun 2004 lalu, panggung kampanye pemilihan presiden tak hanya riuh oleh program saja, namun juga gugatan kekayaan kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Karenanya, Komisi Pemberantasan Korupsi mengerahkan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan dan konsultan pelacak aset untuk mengaudit kekayaan para calon presiden dan wakil presiden. KPK juga membuka ruang partisipasi masyarakat untuk melapor apabila mengetahui ada aset yang tidak dilaporkan. Yang kekayaannya akan dilacak tak cuma sebatas kekayaan calon itu sendiri, melainkan juga kekayaan suami/istri, anak, adik, dan kakak calon, maupun adik dan kakak ipar calon.

Ngomong-ngomong, berapa besar sih kekayaan SBY? ###################### dari pacitan menuju istana2 /// tolong potong bagian kekayaan saja ############

SUMBANGSIH Kristiani Yudhoyono sangat besar bagi SBY. Tak hanya sekadar konco wingking, Ani adalah pendamping setia SBY. Keduanya tak hanya cocok, tetapi juga saling membantu. Bila SBY menyiapkan presentasi, Ani membantu menuliskan materi dengan spidol diatas plastik transparan. Maklum, saat itu, keduanya bahkan sempat melewati zaman-pra-komputer. Ani juga rajin mengkliping berita dan mengirimkannya ke SBY saat suami sedang kuliah di luar negeri. Ani juga menjadi teman diskusi yang menyenangkan buat SBY; mulai hal remeh-temeh hingga momen kritis. Misalnya saja pada tahun 2999, saat Presiden Abdurrahman Wahid meminta SBY untuk menjadi Menteri Pertambangan. SBY menelpon Ani, “Mama ada di mana? Segera pulang, bantu saya berdoa. Saya mendapat berita, kelihatannya ada dinamika luar biasa. Saya akan masuk kabinet,” kata SBY kepada Ani. Bagi SBY, hal itu adalah pilihan yang tak mudah. Pasalnya, menerima tawaran Gus Dur berarti karir politiknya tamat. Bahkan, kesempatan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat juga bisa hilang. Tak heran, SBY bimbang. Ani pun memberi pertimbangan, “Semua bertujuan baik. Jabatan itu amanah, tak ada bedanya.” Dan SBY pun masuk kabinet. Saat gonjang-ganjing kabinet Megawati, ada begitu banyak desakan pada SBY untuk mengundurkan diri. Ani juga tak lalai untuk memberi pertimbangan yang jelas: sebaiknya suaminya mundur saja. Saat itu, Ani melihat penolakan Presiden atas permohnan SBY untuk bertemu merupakan isyarat bahwa suaminya harus keluar. “Itu cuma saran, semuanya tergantung bapak. Saya tak mau memaksa. Apapun keputusan beliau, saya tetap harus siap mendukung,” tegasnya. Ani juga mendukung total saat SBY ikut mendirikan Partai Demokrat tapi masih menjadi menteri. SBY memang rnggan terlibat langsung dalam kegiatan partai tersebut. “Jadilah saya menjadi mediator,” kata Ani. Sebagai Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Ani adalah mata dan telinga bagi SBY untuk kegiatan di partai tersebut. Dan tanggung jawab Ani bertambah seiring dengan merangseknya SBY ke kursi nomor satu di Indonesia. Yaitu, ia menjadi ‘penyapu jalan’ saat sang suami menuju istana. Ia kebagian tugas sebagai ‘konsultan’ untuk memoles penampilan SBY agar tak terlihat formal terus. Apalagi, postur SBY yang tinggi besar membuat Ani harus membawa bahan setelan ke penjahit khusus. Warna dan motif baju dipilihkan buat Ani. Menurutnya, SBY menyukai warna merah marun. Jika harus bertemu dengan orang muda, SBY memilihkan pakaian pantalon hitam, kemeja warna

cerah dan jaket kulit hitam sebagai pemanis. Agar terus wangi, Ani tak lupa menyemprotkan Giorgio Armani. Hasilnya, penampilan SBY terlihat sportif, cair dan trendy. Saat SBY pelit senyum pun, Ani mengingatkan, “Pa, tolong senyum, senyum kan gratis, tidak beli,” selorohnya. Ani juga terbilang cerewet jika melihat postur tubuh SBY mulai ‘membengkak’. Kalau sudah begitu, ia akan minta suaminya berdiet dan banyak berolahraga golf maupun jogging. Tanggung jawab Ani di pagi hari adalah mencoreti setumpuk koran pagi dengan stabilo untuk dibaca suaminya di dalam mobil. Bagaimana soal bermusik? Eits, jangan salah. Ani ikut nimbrung menyanyikan sebait atau dua bait lagi Pelangi di Matamu, lagu favorit SBY di panggung-panggung kampanye 2004.

TAHUN lalu, harian KOMPAS pernah menurunkan sejumlah tulisan yang menarik mengenai SBY. Mulai dari kegemaran bermusik, pemberantasan yang tegas terhadap korupsi, hingga silsilah ‘Yudhoyono’. Anda harus mengetahuinya, karena ini unik sekali. Syahdan, lahirlah cucu pertama Presiden Susilo Bambang Yudoyono, pada 17 Agustus 2008 lalu. Ia bernama Almira Tunggadewi Yudhoyono, anak pertama pasangan Kapten (Inf) Agus Harimurti Yudhoyono dan Annisa Larasati. Almira yang dilahirkan melalui operasi caesar tepat pada peringatan Hari Ulang Tahun Ke-63 Kemerdekaan Republik Indonesia itu, merupakan orang terbaru atau keenam dalam keluarga besar yang menyandang nama Yudhoyono di akhir tiap nama. Meskipun nama keluarga tidak dikenal dalam budaya Jawa, sebutan Yudhoyono lalu menjadi seperti nama keluarga, karena selalu melekat dibagian akhir nama anggota keluarga. Bersama Almira yang sudah 40 hari setelah lahir tinggal di Istana Negara, Jakarta, terdapat enam Yudhoyono "pendahulu". Mereka berturut-turut Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya, Ny Kristiani Herawati Yudhoyono, kemudian kedua putranya, masing-masing Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono. "Penyandang" dua nama Yudhoyono terakhir adalah Annisa Larasati Agus Yudhoyono dan putrinya, Almira Tunggadewi Yudhoyono. Mari kita belah satu per satu. Ani Yudhoyono terlahir dengan nama Kristiani Herawati dari keluarga tentara seperti SBY. Ani menambahkan nama Yudhoyono di belakang namanya setelah menikah dengan SBY pada 30 Juli 1976. Konsekuensi pernikahan itu membuatnya tidak bisa menamatkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang telah dijalaninya sampai tahun ketiga. Gelar sarjana ilmu politik dirintis dan kemudian diraih tahun 1998 dari Universitas Merdeka. Dari pernikahan SBY dan Ani, dilahirkan dua putra, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (10

Agustus 1978) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (24 November 1980). Dua putra ini adalah pewaris pertama Yudhoyono. Agus menyongsong masa depannya dengan mengikuti jejak langkah ayahnya lewat jalur ketentaraan. Pendidikan sekolah menengah atas diselesaikannya di SMA Taruna Nusantara tahun 1997 dan dilanjutkan ke Akademi Militer. Seperti ayahnya, Agus meraih Adhi Makayasa sebagai lulusan terbaik tahun 2000. Agus pernah bertugas di Aceh pada awal-awal dinas ketentaraannya. Pengalamannya menemukan dan membongkar kejahatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Menggamat, Tapak Tuan, Aceh Selatan, dituliskannya dalam buku Menguak Tragedi Manggamat: Sebuah Kesaksian Sejarah Kekejaman dan Kekerasan GAM. Setelah menikah dengan Annisa Larasati, 9 Juli 2005, Agus menyelesaikan gelar master di bidang Strategic Studies di Institute of Defence and Strategic Studies, Nanyang Technological University (NTU), Singapura, tahun 2006. Agus juga tergabung dalam anggota Pasukan Garuda XXIII/A, bagian dari Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa di Lebanon (UNIFIL) 2006-2007, sebagai salah satu perwira operasi. Annisa adalah putri Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Tantowi Pohan. Sebelum menikah dengan Agus, Annisa dikenal publik saat menang kontes gadis sampul, 1997. Setelah itu, seperti pemenang kontes lainnya, Annisa merambah dunia hiburan dengan menjadi bintang iklan dan presenter olahraga. Dari pernikahan pula, Annisa mendapatkan nama Yudhoyono. Buah pernikahan mereka, lahir Almira Tunggadewi Yudhoyono. "Almira dalam bahasa Arab artinya putri yang mulia, putri yang kuat. Tunggadewi adalah nama Ratu Majapahit abad ke-14. Yudhoyono adalah nama keluarga saya," ujar SBY saat jumpa pers sehari setelah mendapat cucu pertama. Di luar garis ayah dan ibunya, Edhie Baskoro atau biasa dipanggil Ibas memilih jalur sipil untuk menyongsong masa depannya. Setelah menamatkan sekolah menengah atas di SMA Negeri 39, Jakarta, Ibas melanjutkan kuliah di Curtin University of Technology, Pert, Australia. Dua gelar sarjana, yaitu Commerce Finance dan Electric Commerce, diraihnya tahun 2005. Namun, di luar hubungan keluarga besar dan garis keturunan biologis, "yudhoyono-yudhoyono" lain mulai bermunculan. Hubungan keluarga dan biologis tak lagi jadi patokan. Ini masalah ideologis yang memang mulai melahirkan generasinya. Sebuah fenomena wajar yang kerap muncul dari tokoh mana pun yang dinilai memancarkan pesona dan kekaguman. Di dalam lingkungan Istana Kepresidenan, Jakarta, "yudhoyono" ideologis itu telah lahir setidaknya sejak empat tahun terakhir. Mudah mengenali mereka para yudhoyonois itu. Seperti para pengagum dan loyalis tokoh-tokoh lain, para yudhoyonois akan menjadi seperti "pemain bertahan" dalam sepak bola ketika ada serangan dari siapa pun kepada orang yang dikaguminya itu. Namun, yudhoyonois pun tampaknya ada tingkatannya. Ada yang loyalis sejati dan telah terbukti

karena tempaan waktu. Ada yang mendadak menjadi loyalis karena sebuah keharusan atau setidaknya kepatutan. Alasan pragmatis biasanya menghinggapi yudhoyonois dadakan ini yang akan bisa berubah loyal kepada tokoh lain jika kepentingan pragmatisnya lebih terakomodasi. Di antara para pengagum itu adalah Cho Yong-joon (66). Sampai tahun 2000, Cho masihberkewarganegaraan Korea Selatan. Cho bertugas sebagai wartawan The Hankook Ilbo (The Korea Times). Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, adalah salah satu tempat tugasnya. Perkenalannya dengan SBY jauh terjadi sejak dirinya dekat dengan Sarwo Edhie Wibowo. Ketika perayaan pernikahan SBY dengan Ani (dan dua anak Sarwo Edhie lainnya) dilakukan di Jalan Flamboyan, Cijantung, Jakarta Timur, tahun 1976, Cho hadir sebagai undangan. "Waktu itu Pak Sarwo Edhie berbicara dan menyampaikan doa serta keinginannya agar salah satu dari menantunya menjadi Presiden," ujar Cho. Cho mengaku ikut berdoa. Setelah 28 tahun, doa dan keinginan Sarwo Edhie terkabul karena SBY terpilih sebagai presiden dalam Pemilu 2004. Merasa doanya terkabul karena Yudhoyono menjadi Presiden, Cho yang tiga tahun sebelumnya telah berpindah kewarganegaraan memproses pergantian nama ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pria kelahiran Seoul, 31 Juli 1942, ini berganti nama menjadi Djoko Yudhoyono. "Saya cinta negeri ini dan saya cinta Yudhoyono. Cinta dan dukungan saya akan tetap meskipun Yudhoyono jatuh sekali pun," ujar Djoko. Saat ini, seluruh kartu identitas Cho, termasuk Kartu Pers Istana Kepresidenan, telah menggunakan nama Djoko Yudhoyono. Pin biru berlambang Partai Demokrat juga kerap dikenakannya di kerah. Djoko sejak empat tahun terakhir juga bergabung dengan partai yang didirikan Yudhoyono, Partai Demokrat. Malah duduk di kepengurusan, menjadi Ketua Daerah Pemilihan Luar Negeri (DPLN) Partai Demokrat Korea. Selain sebagai wartawan dan politisi, Djoko juga pengusaha. Sejak setahun terakhir, usaha perkebunan jarak dikembangkan bersama ribuan petani di lahan seluas sekitar 7.500 hektar di Pandeglang, Banten. Semua petani dipinjaminya modal dan diberi benih jarak untuk ditanam. Lima kawasan sedang direncanakan untuk pengembangan tanaman jarak.

Related Documents


More Documents from "melia"