MANAJEMEN STRATEJIK DAN KEPEMIMPINAN SAP 9 ETIKA, CSR, KELANGGENGAN LINGKUNGAN SEKITAR, DAN STRATEGI (REVIEW JURNAL “MODEL CSR PERUSAHAAN TAMBANG BATUBARA DI KABUPATEN LAHAT TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL” )
Kelompok 2 : Ni Putu Ayu Primayanti A.A. Istri Agung Mahadewi Diah Surya Nita Dwi Lestari I Made Putra Wirya Brata
1807611012 1807611019 1807611021 1807611025
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA 2019
BAB I A. PENDAHULUAN Banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kegiatan berbisnis. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern. Dalam kegiatan berbisnis, mengejar keuntungan adalah hal yang wajar, asalkan dalam mencapai keuntungan tersebut tidak merugikan banyak pihak. Jadi, dalam mencapai tujuan dalam kegiatan berbisnis ada batasnya. Kepentingan dan hak-hak orang lain perlu diperhatikan. Perilaku etis dalam kegiatan berbisnis adalah sesuatu yang penting demi kelangsungan hidup bisnis itu sendiri. Bisnis yang tidak etis akan merugikan bisnis itu sendiri terutama jika dilihat dari perspektif jangka panjang. Bisnis yang baik bukan saja bisnis yang menguntungkan, tetapi bisnis yang baik adalah selain bisnis tersebut menguntungkan juga bisnis yang baik secara moral. Perilaku yang baik, juga dalam konteks bisnis, merupakan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral. Bisnis juga terikat dengan hukum. Dalam praktek hukum, banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis, baik pada taraf nasional maupun taraf internasional. Walaupun terdapat hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam hal itu tidak sama. Ketinggalan hukum, dibandingkan dengan etika, tidak terbatas pada masalah-masalah baru, misalnya, disebabkan perkembangan teknologi. Tanpa disadari, kasus pelanggaran etika bisnis merupakan hal yang biasa dan wajar pada masa kini. Secara tidak sadar, kita sebenarnya menyaksikan banyak pelanggaran etika bisnis dalam kegiatan berbisnis di Indonesia. Banyak hal yang berhubungan dengan pelanggaran etika bisnis yang sering dilakukan oleh para pebisnis yang tidak bertanggung jawab di Indonesia. Berbagai hal tersebut merupakan bentuk dari persaingan yang tidak sehat oleh para pebisnis yang ingin menguasai pasar. Selain untuk menguasai pasar, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi para pebisnis untuk melakukan pelanggaran etika bisnis, antara lain untuk memperluas pangsa pasar, serta mendapatkan banyak keuntungan. Ketiga faktor tersebut merupakan alasan yang umum untuk para pebisnis melakukan pelanggaran etika dengan berbagai cara. Seiring perkembangan zaman, kesadaran akan lingkungan sudah meningkat. Masalah pencemaran sudah banyak menarik minat, mulai lapisan bawah sampai lapisan atas. Setiap
pemerintah daerah mewajibkan pembuatan instalasi pengolahan limbah kepada pimpinan industri di daerahnya. bahkan sudah ada yang diajukan kepengadilan karena pelanggaran limbah ini. Perusahaan-perusahaan barupun banyak yang tumbuh dan berkembang di sekitar masyarakat. Dan tidak sedikit pula yang merugikan masyarakat sekitar karena limbah yang dihasilkan tidak diolah atau dibuang sebagaimana mestinya Pembangunan yang dilakukan besar-besaran di Indonesia dapat meningkatkan kemakmuran namun disisi lain hal ini juga dapat membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dampak yang diakibatkan dari pencemaran lingkungan yang disinyalir dari buangan proses sebuah industri mengakibatkan rusaknya ekosistem (pencemaran terhadap ikan dan air) serta mengakibatkan sejumlah penyakit dimasyarakat sekitar. Tanggung Jawab Sosial Korporasi / Corporate Social Responsibility (CSR) telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain. Secara umum, perhatian para pembuat kebijakan terhadap CSR saat ini telah menunjukkan adanya kesadaran bahwa terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari suatu kegiatan usaha. Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kemaslahatan masyarakat sekaligus tetap bersifat kondusif terhadap iklim usaha. Konsep dan praktik CSR sudah menunjukkan gejala baru sebagai keharusan yang realistis diterapkan. Para pemilik modal tidak lagi menganggap CSR sebagai pemborosan. Masyarakat pun menilai hal tersebut sebagai suatu yang perlu, ini terkait dengan meningkatnya kesadaran sosial kemanusiaan dan lingkungan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan etika bisnis? 2. Darimana asal muasal Standar Etika – apakah standar itu universal, ataukah tergantung pada norma lokal?
3. Bagaimana dan mengapa standar etika berdampak terhadap penyusunan dan pelaksanaan strategi? 4. Apa pemicu dari strategi dan perilaku bisnis yang tidak etis? 5. Mengapa strategi perusahaan harus beretika? 6. Strategi, tanggung jawab sosial korporat, dan keberlanjutan lingkungan
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ETIKA DAN BISNIS Istilah Etika berasal
dari
bahasa
Yunani
kuno.
Bentuk
tunggal
kata
'etika'
yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000). Bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris “business”, dari kata dasar busy yang berarti “sibuk” dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan. Di dalam melakukan bisnis, kita wajib untuk memperhatikan etika agar di pandang sebagai bisnis yang baik. Bisnis beretika adalah bisnis yang mengindahkan serangkaian nilai-nilai luhur yang bersumber dari hati nurani, empati, dan norma. Bisnis bisa disebut etis apabila dalam mengelola bisnisnya pengusaha selalu menggunakan nuraninya. Berikut ini ada beberapa pengertian bisnis menurut para ahli :
Allan afuah (2004) Bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dana menjual barang ataupun jasa agar mendapatkan keuntungan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dan ada di dalam industry
T. chwee (1990) Bisnis merupaka suatu sistem yang memproduksi barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan masyarakat.
Grifin dan ebert Bisnis adalah suatu organisasi yang menyediakan barang atau jasa yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.
B. ETIKA BISNIS Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat. Etika bisnis juga merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orangorang yang ada di dalam organisasi. Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum. Berikut ini beberapa pengertian etika bisnis menurut para ahli : a) Zimmerer (1996:20), etika bisnis adalah suatu kode etik perilaku pengusaha berdasarkan nilai–nilai moral dan norma yang dijadikan tuntunan dalam membuat keputusan dan memecahkan persoalan. b) Ronald J. Ebert dan Ricky M. Griffin (2000:80), etika bisnis adalah istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan perilaku dari etika seseorang manajer atau karyawan suatu organisasi. c) K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogjakarta: Penerbit Kanisius, 2000, Hal. 5), Etika Bisnis adalah pemikiran refleksi kritis tentang moralitas dalam kegiatan ekonomi dan bisnis d) Velasquez, 2005, Etika Bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis e) Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Journal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu : i. Utilitarian Approach: setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat
memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya. ii. Individual Rights Approach: setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain. iii. Justice Approach: para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok. Beberapa hal yang mendasari perlunya etika dalam kegiatan bisnis: 1. Selain mempertaruhkan barang dan uang untuk tujuan keuntungan, bisnis juga mempertaruhkan nama, harga diri, bahkan nasib manusia yang terlibat di dalamnya. 2. Bisnis adalah bagian penting dalam masyarakat 3. Bisnis juga membutuhkan etika yang setidaknya mampu memberikan pedoman bagi pihak – pihak yang melakukannya.
C. ASAL MUASAL STANDAR ETIKA 1) Teori Etika Universal adalah posisi meta-etika bahwa beberapa sistem etika, atau
sebuah etika universal, berlaku secara universal, tanpa memandang budaya, ras, seks, agama, kebangsaan, orientasi seks, atau faktor pembeda lainnya. Universalisme moral merupakan lawan dari nihilisme moral dan relativisme moral. Berbagai pemikir telah mendukung suatu bentuk universalisme moral, dari zaman Platohingga para pemikir modern. Sikap manusia yang satu terhadap manusia yang lain bermacam-macam. Ada yang indiferentistis alias acuh tak acuh. Ada yang diskriminatif, membeda-bedakan orang atas dasar status dan jabatan sosial, kekayaan, warna kulit, ras, dan agama. Ada yang partikularistis, memandang diri istimewa, khusus, dibanding dengan manusia lain, cenderung superioristis, menganggap diri lebih tinggi dari manusia lain. Namun, ada juga yang universalistis, memandang semua orang sama
martabat
dan
kedudukannya.
Dari
sinilah
lahir
paham
universalistis, universalisme. Penganut
universalisme moral akan
menganggap
bahwa
setiap manusia memilki tugas dan kewajiban yang sama di manapun ia berada. Karena itu, sebagai manusia, setiap orang dituntut untuk hidup berperilaku dan bertindak
sebagai manusia, sehingga ia dapat dianggap hidup baik secara moral. Sebagai paham etis, universalisme mengakui dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Meskipun sebagai sebuah konsep bernada abstrak, bagi mereka yang menganut paham universalisme kemanusiaan merupakan hal nyata. Kemanusiaan pantas dijaga, dilindungi terhadap serangan, dibela terhadap pemerkosaan, dan dikembangkan agar mencapai kesempurnaan dan pemenuhannya. Atas dasar kemanusiaan itu, para penganut universalisme mengakui persamaan kedudukan dan hak-hak manusia. Kerangka berpikir etis manusia universalis melewati prinsip hadiah dan hukuman. Dalam berbuat, ia bukan melulu berdasarkan pertimbangan untuk mendapat hadiah atau menghindari hukuman, tetapi demi kepentingan dan pekara nilai etis yang ada. Dia juga meninggalkan prinsip resiprositas: berbuat baik agar orang lain balik berbuat baik kepadanya. Dia berbuat baik kepada orang lain memang karena mau berbuat baik dan hal itu baik untuk dijalankan. Begitupun dalam hidupnya di masyarakat, dia sudah tak berpegang pada prinsip penyesuaian diri. Dia bergabung dan aktif dalam masyarakatnya, bukan agar diterima dan dapat memenuhi harapan kelompok masyarakatnya, melainkan memang mau berperan dan dapat ikut mengembangkannya. Untuk
dapat
bersikap
dalam
berpikir
dan
bertindak
seperti manusia universal ini, diperlukan diperklukan disiplin dan latihan yang makan usaha dan waktu. Walaupun banyak sisi positif yang tampak pada universalisme moral, tidak menutup kemungkinan juga ada sisi negatif yang ada di dalamnya. Pandangan universalis amat luas, seluas alam raya. Penglihatan universalis amat jauh, sejauh segala persoalan dan permasalahan yang dihadapi manusia. Cita-cita universalis amat tinggi, setinggi pikiran dan impian manusia. Karena itu, orang universalis dapat tergoda untuk lebih sibuk memikirkan yang jauh-jauh, pemikiran besar dan cita-cita yang tinggi, tetapi lupa berbuat nyata. Orang universalis penuh dengan gagasan yang muluk-muluk, tetapi lupa memikirkan realisasi nyatanya. Orang universalis terpancang pada cita-cita luhur, tetapi lupa mencari cara bagaimana mencapainya. Dengan gaya hidup seperti itu, orang universalis cenderung menjadi pengamat dan bukan pelaku kehidupan. Pemberi saran namun tidak menindaklanjuti, dan penanam cita-cita, tetapi tidak mengusahakan realisasinya.
2. Teori Etika Relatif Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif. Sejalan dengan arti katanya, secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya. Sebagai paham dan pandangan etis, relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian baik-buruk dan benar-salah tergantung pada masing-masing orang disebut relativisme etis subjektif atau analitis. Adapun relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian etis tidak sama, karena tidak ada kesamaan masyarakat dan budaya disebut relativisme etis kultural. Menurut relativisme etis subjektif, dalam masalah etis, emosi dan perasaan berperan
penting. Karena
itu,
pengaruh
emosi
dan
perasaan
dalam
keputusan moral harus diperhitungkan. Yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tidak dapat dilepaskan dari orang yang tersangkut dan menilainya.Relativisme etis berpendapat bahwa tidak terdapat kriteria absolut bagi putusan-putusan moral. Westermarck memeluk relativisme etis yang menghubungkan kriteria putusan dengan kebudayaan individual, yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan individual. Etika situasi dari Joseph Fletcher menganggap moralitas suatu tindakan relatif terhadap kebaikan tujuan tindakan itu. Kekuatan relativisme etis Kekuatan relativisme etis subjektif adalah kesadarannya bahwa manusia itu unik dan berbeda satu sama lain. Karena itu, orang hidup menanggapi lika-liku hidup dan menjatuhkan penilaian etis atas hidup secara berbeda. Dengan cara itulah manusia dapat hidup sesuai dengan tuntutan situasinya. Ia dapat menanggapi hidupnya sejalan dengan data dan fakta yang ada. Ia dapat menetapkan apa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah, menurut pertimbangan dan pemikirannya sendiri. Demikian manusia tidak hanya berbeda dan unik, tetapi berbeda dan unik pula dalam hidup etisnya. Kelemahan relativisme etis Walaupun sangat menekankan keunikan manusia dalam hal pengambilan keputusan etis, para penganut relativisme etis subjektif dapat menjadi khilaf untuk
membedakan antara norma etis dan penerapannya, serta antara norma etis dan prinsip etisnya. Bila orang berbeda dalam hidup dan pemikiran etisnya, bukan berarti tidak ada norma etis yang sama. Bisa saja norma etis objektif itu sama, tetapi perwujudannya berbeda karena situasi hidup yang berbeda. Beckwith dan Koukl mencatat ada tujuh kelemahan fatal relativisme yang berdasarkan pandangan subjektif: 1. Penganut relativisme tidak dapat menyalahkan perbuatan salah orang lain, karena mereka mengatakan tiap-tiap orang berhak menentukan perbuatannya benar atau salah. 2. Penganut relativisme tidak dapat memprotes mengenai masalah kejahatan, karena mereka menolak adanya standar moral baik maupun jahat. 3. Penganut relativisme tidak dapat menimpakan kesalahan atau menerima pujian, karena tanpa standar moral eksternal sebagai pengukur, konsep pembenaran maupun penyalahan tidak berarti, jadi tidak ada yang dapat dipuji atau disalahkan. 4. Penganut relativisme tidak dapat menuntut adanya keberpihakan atau ketidakadilan, karena tanpa standar absolut moral, tidak ada benar dan salah, sehingga tidak dapat menyalahkan sistem yang menghukum orang yang "tidak bersalah" maupun melepaskan orang yang "bersalah", serta tidak ada kemungkinan untuk merasakan kesalahan moral sejati. 5. Penganut relativisme tidak dapat memperbaiki moralitas mereka, hanya bisa mengubah etika perorangan tanpa ada standar apakah menjadi "lebih baik" dari sebelumnya, sehingga tidak ada konsep "perbaikan moral". 6. Penganut relativisme tidak dapat melakukan diskusi moral yang berarti, karena tidak mengakui adanya panduan tindakan moral yang universal. 7. Penganut relativisme tidak dapat mempromosikan kewajiban bertoleransi, meskipun toleransi dianggap suatu kebajikan utama relativisme, karena mereka tidak boleh tidak bertoleransi terhadap orang-orang yang tidak menganut relativisme, atau orang-orang yang tidak mau menghargai toleransi. 3) Teori Etika dan Kontrak Sosial Integratif Teori kontrak sosial integratif memberikan posisi tengah antara pandangan menentang universalisme etis dan relativisme etis. Menunjukkan bahwa pandangan secara kolektif beberapa masyarakat membentuk prinsip etika yang universal (first order) . Dalam kontrak, budaya atau kelompok dapat menentukan tindakan etis (urutan kedua) secara lokal.
D. PEMICU DARI STRATEGI DAN PERILAKU BISNIS YANG TIDAK ETIS Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilainilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yag tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan. Berikut ini, ada tiga pemicu utama dari perilaku bisnis yang tidak etis ditunjukkan sebagai berikut : 1) pengawasan rusak, memungkinkan mengejar oknum keuntungan pribadi dan kepentingan (Faulty oversight, enabling the unscrupulous pursuit of personal gain and self-interest) 2) Tekanan berat pada manajer perusahaan untuk memenuhi atau mengalahkan target kinerja jangka pendek (Heavy pressures on company managers to meet or beat shortterm performance targets) 3) Suatu budaya perusahaan yang menempatkan profitabilitas dan kinerja bisnis menjelang perilaku etis (A company culture that puts profitability and business performance ahead of ethical behavior)
E. ALASAN STRATEGI PERUSAHAAN HARUS BERETIKA Ibarat sebuah mobil, laju mobil penting untuk dapat mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan. Mobil melaju karena injakkan pedal gas pengemudinya dan berhenti kerena injakan pedal rem. Injakan pedal gas mobil diperlukan agar mobil dapat melaju dan injakan pedal rem diperlukan agar mobil melaju dengan selamat. Begitu pula sebuah perusahaan bergerak karena beraksinya sumber daya manusia bersama-sama sumberdaya yang lain. Agar aksi manajemen perusahaan berjalan selamat perlu memperhatikan etika bisnis dan tanggung jawab sosial. Etika dan tanggung jawab sosial perupakan rem perusahaan agar berkerja tidak bertabrakan dengan pemegang kepentingan perusahaan, seperti pelanggan, pemerintah, pemilik, kreditur, pekerja dan komunitas atau masyarakat.
Hubungan yang harmonis dengan pemegang kepentingan akan menghasilkan energi positif buat kemajuan perusahaan. Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen. Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena : a) Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal. b) Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja. c) Akan melindungi prinsip kebebasan berniaga d) Akan meningkatkan keunggulan bersaing.
Ada pun dua alasan mengapa strategi perusahaan harus etis; 1. karena strategi yang tidak etis secara moral salah dan mencerminkan keburukan pada karakter personil perusahaan 2. karena strategi etika bisa menjadi bisnis yang baik dan melayani kepentingan pribadi bagi para pemangku kepentingan Selain itu, dalam hal ini diperlukan 2 pondasi penting yang mendasari agar strategi bisnis dapat beretika: 1) Perspektif Moralistik (Pondasi Moral) Hakikatnya, orang menjalankan usaha komersial untuk menghasilkan keuntungan, sebagai upaya meningkatkan
kesejahteraan
pemilik
dan
orang-orang
yang
terlibat
di
dalamnya. Keuntungan merupakan kata kunci dalam kegiatan bisnis, seperti yang dikatakan oleh Fry dkk (2002) bahwa sebagai sebuah organisasi yang berusaha memenuhi permintaan barang dan jasa yang dibutuhkan pelanggan, bisnis selalu mencari keuntungan. Sejatinya,
keuntungan adalah ‘darah’ bagi setiap kegiatan usaha perdagangan barang maupun jasa. Semua orang yang terlibat dalam kegiatan usaha itu sangat bergantung pada keuntungan untuk kelangsungan hidupnya. Demikian pula, perkembangan usaha pun sebagian ditentukan oleh besar-kecilnya laba yang ditahan dan dialokasikan untuk kegiatankegiatan meningkatkan skala (scale-up) sehingga sebagai ‘organisme’, perusahaan pun perlu tumbuh agar bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Namun, bisnis juga perlu mengadopsi nilai- nilai moral agar bisnis dijalankan secara etis. Bisnis yang etis memperhatikan kepentingan holistik semua pemangku kepentingan, dalam pengertian hubungan bisnis harus bersih, jujur, saling menguntungkan, dan bermanfaat. Mencari keuntungan tidak boleh menghalalkan segala cara. Pedoman moral menjadi penting karena menurut Robert Heilbroner, seorang ekonom Amerika, kalau pencarian keuntungan menjadI motif utama bagi bisnis, dengan sendirinya bisnis mengejar kepentingan diri yang berlanjut pada tumbuh suburnnya egoisme. Pengusaha yang egois selalu melihat kelangsungan bisnisnya untuk kepentingannya sendiri dan menutup mata kepentingan orang lain. Kalau perlu dia mengorbankan kepentingan orang lain untuk kepentingannya sendiri. Bisnis yang berhasil, masih menurut Fry dkk (2002) adalah bisnis unggul sepanjang waktu, bukan hanya bisnis yang berjaya sesaat karena muslihat tertentu. Bisnis yang berhasil juga tidak mencari keuntungan finiansial besar dengan mengorbankan moralitas, komitmen kerja yang rendah, produk-produk yang buruk, atau perilaku tidak etis lain. Dalam literatur Yunani kuno, Aristoteles (384-322 SM) bahkan menolak perdagangan dan penumpukan
kekayaan
karena
kegiatan
menambah
kekayaan
adalah
tindakan
tidak etis. Dalam kegiatan krematistik yang berorientasi penumpukan kekayaan, dengan uang sebagai alat penyimpan kekayaan, ada kecenderungan penguasaan kekayaan secara tidak merata dan sangat tidak terbatas. Perilaku bisnis yang tidak etis juga ditimbulkan oleh sifat cinta uang (phylargia). Dengan prinsip deontologi, ajaran agama sudah menetapkan batas yang diwajibkan untuk dilakukan, dan batas yang dilarang. Immanuel Kant (17241804), seorang filsuf Jerman ternama, menyebut bahwa sebuah tindakan disebut baik bila dilakukan berdasar prinsip ‘imperatif kategoris’, yaitu kepatuhan tanpa syarat pada norma yang sudah ditetapkan.
2) Persaingan Bisnis dan Perilaku Etis Persaingan merupakan salah satu mesin penggerak kemajuan dalam bisnis. Kotler (2003) menyatakan bahwa seiring dengan semakin kompetitifnya pasar, memfokuskan strategi pada pelanggan saja tidak cukup. Perusahaan harus mulai memperhatikan pesaing. Dengan
persaingan bisnis dipaksa mencari cara-cara kreatif dan inovatif dalam memelihara kelangsungan hidupnya. Bila dilakukan secara sehat, persaingan adalah ‘jamu’ bagi perkembangan usaha. Persaingan usaha menyiratkan perlunya ‘strategi mengalahkan pesaing’. Persaingan yang sehat tentu menuntut kreatifitas dan inovasi yang menghasilkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Diperlukan upaya yang tekun, telaten, dan terus menerus untuk berkembang secara sehat, dengan cara-cara yang fair. Masih menurut Kotler (2003) persaingan melibatkan pesaing yang bukan saja pembuat atau penjual barang serupa, tetapi juga barang substitusi. Selain itu, persaingan juga bisa lebih sengit dengan ancaman masuknya pemain baru, atau meningkatnya posisi tawar konsumen karena kemampuan mereka memilih penjual barang atau penyedia jasa, padahal persaingan yang ada sudah melibatkan banyak pemain dan sudah padat, seperti suatu pertarungan di laut merah, dimana pemainnya terlalu banyak dan harus bertarung berdarah-darah. Kondisi terakhir ini, terutama telah menyebabkan persaingan yang tidak sehat, seperti perang harga, perang iklan, atau peluncuran produk baru. Menjual barang dengan harga murah sering disertai penurunan kualitas produk maupun layanan. Secara internal, upah karyawan pun ditekan agar harga bisa bersaing. Lebih buruk lagi, perang harga juga disertai keengganan mengeluarkan biaya pengelolaan limbah. Bisa dikatakan bahwa malapraktik bisnis bisa berdampak merugikan pada, diantaranya, konsumen, karyawan, dan lingkungan.
F. STRATEGI,
TANGGUNG
JAWAB
SOSIAL
PERUSAHAAN,
SERTA
KELANGGENGAN LINGKUNGAN SEKITAR Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) dapat didefinisikan sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan eksternal perusahaan melalui berbagai kegiatan yang dilakukan dalam rangka penjagaan lingkungan, norma masyarakat, partisipasi pembangunan, serta berbagai bentuk tanggung jawab sosial lainnya. Selain definisi diatas masih ada definisi lain mengenai CSR yakni Komitmen perusahaan dalam pengembangan ekonomi yang berkesinambungan dalam kaitannya dengan karyawan beserta keluarganya, masyarakat sekitar dan masyarakat luas pada umumnya, dengan tujuan peningkatan kualitas hidup mereka (WBCSD, 2002). Sedangkan menurut Commission of The European Communities, 2001, mendefinisikan CSR sebagai aktifitas yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan perusahaan untuk
mengintegrasikan penekanan pada bidang sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan interaksi dengan stakeholder. Dari sudut pandang strategis, suatu perusahaan bisnis perlu mempertimbangkan tanggung jawab sosialnya bagi masyarakat dimana bisnis menjadi bagiannya. Ketika bisnis mulai mengabaikan tanggung jawabnya, masyarakat cenderung menanggapi melalui pemerintah untuk membatasi otonomi bisnis. Tanggung Jawab Sosial Menurut Carrol, Carroll menyatakan bahwa manajer organisasi bisnis memiliki empat tanggung jawab yakni :
Tanggung jawab ekonomi yakni memproduksi barang dan jasa yang bernilai bagi masyarakat
Tanggung jawab hukum yakni perusahaan diharapkan mentaati hukum yang ditentukan oleh pemerintah
Tanggung jawab etika yakni perusahaan diharapkan dapat mengikuti keyakinan umum mengenai bagaimana orang harus bertindak dalam suatu masyarakat.
Tanggung jawab kebebasan memilih yakni tanggung jawab yang diasumsikan bersifat sukarela. Dari keempat tanggung jawab tersebut, tanggung jawab ekonomi dan hukum dinilai
sebagai tanggung jawab dasar yang harus dimiliki perusahaan. Setelah tanggung jawab dasar terpenuhi maka perusahaan dapat memenuhi tanggung jawab sosialnya yakni dalam hal etika dan kebebasan memilih. Ada beberapa alasan mengapa sebuah perusahaan memutuskan untuk menerapkan CSR sebagai bagian dari aktifitas bisnisnya, yakni : o Moralitas : Perusahaan harus bertanggung jawab kepada banyak pihak yang berkepentingan terutama terkait dengan nilai-nilai moral dan keagamaan yang dianggap baik oleh masyarakat. Hal tersebut bersifat tanpa mengharapkan balas jasa. o Pemurnian Kepentingan Sendiri : Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap pihakpihak yang berkepentingan karena pertimbangan kompensasi. Perusahaan berharap akan dihargai karena tindakan tanggung jawab mereka baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
o Teori Investasi : Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap stakeholder karena tindakan yang dilakukan akan mencerminkan kinerja keuangan perusahaan. o Mempertahankan otonomi : Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap stakeholder untuk menghindari campur tangan kelompok-kelompok yang ada didalam lingkungan kerja dalam pengambilan keputusan manajemen. Adapun manfaat dari tanggung jawab sosial perusahaan, ialah : a) Manfaat bagi Perusahaan Tanggung jawab sosial perusahaan tentunya akan menimbulkan citra positif perusahaan di mata masyarakat dan pemerintah. b) Manfaat bagi Masyarakat Selain kepentingan masyarakat terakomodasi, hubungan masyarakat dengan perusahaan akan lebih erat dalam situasi win-win solution. c) Manfaat bagi Pemerintah Dalam hal ini pemerintah merasa memiliki partner dalam menjalankan misi sosial dari pemerintah dalam hal tanggung jawab sosial. Strategi Pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. 1. Strategi Reaktif Kegiatan bisnis yang melakukan strategi reaktif dalam tanggung jawab sosial cenderung menolak atau menghindarkan diri dari tanggung jawab sosial. 2. Strategi Defensif Strategi defensif dalam tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan terkait dengan penggunaan pendekatan legal atau jalur hukum untuk menghindarkan diri atau menolak tanggung jawab sosial . 3. Strategi Akomodatif
Strategi Akomodatif merupakan tanggung jawab sosial yang dijalankan perusahaan dikarenakan adanya tuntutan dari masyarakat dan lingkungan sekitar akan hal tersebut 4. Strategi Proaktif Perusahaan memandang bahwa tanggung jawab sosial adalah bagian dari tanggung jawab untuk memuaskan stakeholders. Jika stakeholders terpuaskan, maka citra positif terhadap perusahaan akan terbangun. Regulasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam Perusahaan: Di Indonesia sendiri, munculnya Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) menandai babak baru pengaturan CSR. Selain itu, pengaturan tentang CSR juga tercantum di dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Walaupun sebenarnya pembahasan mengenai CSR sudah dimulai jauh sebelum kedua undang-undang tersebut disahkan. Salah satu pendorong perkembangan CSR yang terjadi di Indonesia adalah pergeseran paradigma dunia usaha yang tidak hanya sematamata untuk mencari keuntungan saja, melainkan juga bersikap etis dan berperan dalam penciptaan investasi sosial. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam Undang-Undang RI No. 40 Tahun 2007 tanggal 16 Agustus 2007 yang tercantum dalam bab V pasal 74. Dalam pasal 74 di sebutkan sebagai berikut :
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang terkait.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan pengaturan di dalam UU PM, yaitu di dalam Pasal 15 huruf b adalah sebagai berikut: “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Kemudian di dalam Pasal 16 huruf d UU PM disebutkan sebagai berikut: “Setiap penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup.
JURNAL
REVIEW JURNAL PERMASALAHAN Sepanjang sisa analisis kasus ini, kita akan menganalisis strategi perusahaan beretika yang dilakukan dalam mepertahankan keberlangsungan perusahaannya. Pertanyaan kunci dalam analisis kasus ini adalah “Apa saja tanggung jawab sosial yang dilakukan perusahaan dalam menanggapi isu strategis di Kabupaten Lahat terkait salah satu daerah yang mempunyai kandungan batubara sangat tinggi, namun potensi kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan juga sangat tinggi?”
PEMBAHASAN KASUS Tanggung Jawab yang dilakukan oleh perusahaan PT BA dan PT BAU : a. Tanggung jawab ekonomi : b. Tanggung jawab hukum : c. Tanggung jawab etika : d. Tanggung jawab kebebasan memilih : Adapun manfaat dari tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan PT BA dan PT BAU : a. Manfaat bagi Perusahaan b. Manfaat bagi Masyarakat c. Manfaat bagi Pemerintah Strategi Pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang dilakukan oleh PT BA dan PT BAU a. Apakah Strategi Reaktif/Defensif/Akomodatif/Proaktif ?
BAB III KESIMPULAN
Di dalam persaingan dunia usaha yang sangat ketat ini, etika bisnis merupakan sebuah harga
mati,
yang
tidak
dapat
ditawar
lagi.
Dalam
zaman
keterbukaan
dan
luasnya informasi saat ini, baik-buruknya sebuah dunia usaha dapat tersebar dengan cepat dan luas. Memposisikan karyawan, konsumen, pemasok, pemodal dan masyarakat umum secara etis dan jujur adalah satu-satunya cara supaya dapat bertahan di dalam dunia bisnis saat ini. Ketatnya persaingan bisnis menyebabkan beberapa pelaku bisnisnya kurang memperhatikan etika dalam bisnis. Etika bisnis mempengaruhi tingkat kepercayaan atau trust dari masing-masing elemen dalam lingkaran bisnis. Pemasok (supplier),perusahaan, dan konsumen, adalah elemen yang saling mempengaruhi. Masing-masing elemen tersebut harus menjaga etika, sehingga kepercayaan yang menjadi prinsip kerja dapat terjaga dengan baik. Etika berbisnis ini bisa dilakukan dalam segala aspek. Saling menjaga kepercayaan dalam kerjasama akan berpengaruh besar terhadap reputasi perusahaan tersebut, baik dalam lingkup mikro maupun makro. Tentunya ini tidak akan memberikan keuntungan segera, namun ini adalah wujud investasi jangka panjang bagi seluruh elemen dalam lingkaran bisnis. Oleh karena itu, etika dalam berbisnis sangatlah penting. CSR merupakan kewajiban mutlak perusahaan sebagai suatu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan berupa kepedulian dan perhatian pada komunitas sekitarnya. Pandangan perusahaan terhadap kewajiban tersebut berbedabeda. Mulai dari anggapan seke dar basabasi atau suatu keterpaksaan, hanya untuk pemenuhankewajiban, hingga pelaksana an berdasarkan asas kesukarelaan. Bentuk-bentuk CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaandapat diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan yang penerapannya harus disesuaikandengan kebutuhan masyarakat penerima CSR. CSR memberikan manfaat yang sangat besar dalam menyejarterakan masyarakat danmelestarikan
lingkungan
sekitarnya,
serta
bentuk
investasi
bagi
perusahaan
pelakunya.Investasi bagi perusahaan dapat berupa jaminan keberlanjutan operasi perusahaan dan pembentukan citra positif perusahaan. Manfaat ini dapat diperoleh apabila perusahaanm enerapkan CSR atas dasar kesukarelaan, sehingga akan timbul hubungan timbal balikantara
pihak perusahaan dengan masyarakat sekitar. Masyarakat akan secara sukarelamembela keberlanjutan perusahaan tersebut dan memberikan persepsi yang baik pada perusahaan. Dengan begitu citra positif perusahaan akan terbentuk dengan sendirinya. Pada akhirnya, strategi dari perusahaan akan berjalan dengan baik ketika didalam strategi tersebut dijalankan etika bisnisnya. Sehingga, perilaku tidak etis pun dapat diminimalisir dengan baik. Dan perusahaan akan mencapai keberhasilan dari strategi tersebut setelah menjalankan CSR dengan baik.