Sandal Buruk Rupa

  • Uploaded by: Indonesiana
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sandal Buruk Rupa as PDF for free.

More details

  • Words: 670
  • Pages: 2
Sandal Buruk Rupa Adalah menyenangkan bahwa siapapun kita, ternyata memiliki naluri berbuat baik. Saya pun terpaksa sering memuji diri sendiri jika naluri semacam itu muncul. Tersedia cukup sarana untuk menyalurkan hasrat ini, lebih-lebih di negeri seperti Indonesia. Di jalan-jalan, di balik riuh kota besar, di gang-gang kompleks perumahan, selalu saja tersedia hal-hal yang nyaris musykil. Bagaimana mungkin di zaman mall ini, zaman tempat duit tiga juta perak hanya untuk belanja selembar tiket pertunjukan, masih bisa ditemui tukang reparasi payung, penjahit kasur bekas dan tukang timbangan keliling. Jasa yang disebut terakhir ini malah lebih sulit lagi dicerna. Bagaimana mungkin ketika di mana-mana orang sedang gandrung dengan tips menjadi cepat kaya, di mana-mana orang tengah tidak sabar untuk meraih kemerdekaan finansial, masih ada saja orang berbisnis menenteng timbangan dan berharap masih ada orang mau mengecek berat badannya. Orang-orang semacam itu sungguh merangsang naluri kebaikan hati. Saya sendiri selalu merasakan gairah hebat untuk segera menyalurkan hasrat kedermawanan ini jika melihat mereka berkelebat. Jika ada pengumpul botol lewat, setengah mati saya mencari botol bekas di sekujur ceruk rumah untuk saya berikan begitu saja. Jika ada penadah koran datang, semua tumpukan koran saya usung dan saya biarkan dia menawar sesukanya. Ketika dia hendak membayar, duit itu akan saya kembalikan lagi kepadanya. Melihat orang-orang itu takjub oleh kedermawaan saya, membungkuk dalamdalam dengan rasa hormat yang nyata, sungguh mendatangkan sensasi kebahagiaan yang hebat. Indah, karena telah membuat orang lain bahagia. Haru, demi melihat ada jenis kehidupan yang begitu payah mutunya. Dorongan kedermawanan semacam itulah yang muncul ketika belum lama ini saya melihat tukang sol sepatu melintas di depan rumah. Memandangi wajahnya yang lelah, sepedanya yang tua, properti kerjanya yang seadanya, ditambah membayangkan berapakah hasil kerja seperti ini dalam sehari, atau masih adakah orang yang punya kebiasaan mendaur ulang sepatu, sungguh merupakan kengerian tersendiri. Maka dorongan untuk segera berbuat mulia langsung mengepul di sekujur kepala. Tukang sol ini harus memperoleh rezeki secepatnya. Berapapun harga yang ia minta akan saya iyakan saja. Kalau perlu, jika ia nanti me-mark up tarif, saya akan pura-pura tak tahu. Jika hasil upah ditambah hasil mark up itu pun masih terhitung rendah, saya telah bersiap memberikan uang kembalian sebagai hadiah. Tapi sudahlah, bahkan dalam berbuat baik pun seseorang harus tenang dan bersahaja. Tak boleh tampak terlalu baik apalagi ambisius semacam ini. Maka keputusan saya pun akhirnya sekadar menjalin jual beli secara wajar. Kebetulan toh saya punya sandal kesayangan yang bermasalah. Sandal ini enak dipakai, modelnya cocok dibawa kemana saja. Persoalannya ialah betapa buruk mutu jahitannya, betapa licin alasnya. Bukan cuma sekali sandal ini hampir membuat saya celaka. Maka kepada tukang sol inilah saya mengadu. Membayangkan bahwa sandal keramat ini akan jadi awet, adalah kebahagiaan pertama. Membayangkan sandal yang awet serta aman, adalah kebahagiaan kedua. Membayangkan wajah tukang sol ini bahagia adalah kebahagiaan ketiga. Pendek kata semua hasil berakhir memuaskan. Tarif oke, keawetan oke, keamanan oke! Tiga kebahagiaan dan tiga oke, bayangkan! Hanya satu saja yang tidak oke dan ini betul-betul hasil yang tak pernah saya duga. Sandal kesayangan ini memang menjadi sangat kuat, sangat tidak licin tapi sekaligus menjadi sangat buruk rupa. Cara tukang sol ini menguatkan jahitannya betul-betul menggila. Semua sisi dihantamnya. Alas sandal yang licin ia ganjal sedemikian rupa hingga menyerupai bakiak purba. Daya cengkeramnya memang jadi dahsyat. ''Kalau rem cakram, kalau ban radial,'' katanya bangga.

Demi melihat sandal keramat ini menjelma si buruk rupa, saya kalap dan meradang sejadi-jadinya. ''Sampean memperbaiki satu hal tapi merusak hal lainnya,'' kata saya murka. ''Saya ini orang terpandang, tokoh masyarakat. Saya memang butuh sandal yang kuat tapi sekaligus cocok dengan ketokohan saya. Padahal sandal ini hanya cocok untuk penggali pasir!'' Selanjutnya, dengan tubuh gemetar oleh kemarahan, saya berkotbah di hadapan orang ini dengan teori kepuasan pelanggan, tentang pentingnya berkomunikasi, dan tips menjadi tukang sol yang sukses. Tapi semua ini tidak juga meredakan kemarahan setiap kali saya menoleh ke sandal buruk rupa. Sebuah kemarahan yang sengit hingga mengubur niat saya semula yakni ingin membuat tukang sol itu bahagia. Tidak, saya ternyata adalah seorang penipu. Tujuan saya sebenarnya adalah membahagiakan diri sendiri dengan kedok orang lain. (PrieGS/)

Related Documents

Sandal Buruk Rupa
November 2019 36
Sandal Wood
November 2019 32
General Sandal
June 2020 13
Rupa Dan
October 2019 26
V-2 Sport Sandal
June 2020 12

More Documents from ""

Teman Masa Kecilku
November 2019 40
Diplomasi Kopiah
November 2019 37
Buatan Indonesia
November 2019 53
Nasihat Dari Cd Porno
November 2019 40
Andai Aku Engkau Percayai
November 2019 43