SAHUR oleh: H. Mas'oed Abidin Sabda Rasulullah SAW Bersahurlah kamu, karena dalm sahur itu ada keberkatan (Al Hadist riwayat enam perawi hadist kecuali Abu Daud). Sahur adalah pertanda awal pelaksanaan ibadah puasa di setiap hari. Bersahur adalah suatu suruhan (sunnah) Rasulullah SAW, yang juga merupakan rahmat dari Allah. Sebab itu, sahur memiliki kaitan erat dengan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Satu lagi anjuran Rasulullah tentang sahur ini ialah supaya men-takkhir-kan atau melambatkan waktu makan sahur mendekati waktu subuh. Di samping maksudnya supaya dapat dipersiapakan kekuatan jasmani di siang hari di kala menahan (imsak), juga supaya shalat shubuh sebagai salah satu sendi asas Agama Islam itu tidak tercecerkan. Sahur merupakan pembeda antara puasa umat Islam dengan kalangan non Islam (Yahudi, Nasrani dan sebagainya Bagi masyarakat kita (Minangkabau) makan sahur disebut makan parak siang atau makan sebelum fajar pertanda siang datang. Selanjutnya bimbingan Allah dalam firmanNya menyebutkan bahwa pada malam hari bulan Ramadhan itu seseorang Muslim dapat melakukan hubungan dengan keluarganya dan juga dibenarkan untuk makan dan minum hingga terbitnya fajar, sebagaimana isi Wahyu Al Quran berbunyi ; wa kuluu wa asyrabuu hatta yatayyana lakum al khiatul abyadhu min al khaitil aswadi minal fajr, tsumma atimmu ash-shiyaama ila al-laili" artinya "makanlah dan minumlah hingga kamu dapat membedakan antara benang putih dan hitam di waktu fajar, dan kemudian sempurnakan puasamu hingga datang malam (QS.2:187). Agama Islam tidak membenarkan seseorang untuk berpuasa sepanjang hari dan malam, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah merobah hukum-hukum Allah. Untuk itu puasa diawali dengan sahur dan diakhiri dengan ifthar(berbuka) setiap harinya. Demikianlah hudud (ketentuan hukum) dari Allah. Maka pelaksanaan makan sahur sebelum fajar datang adalah kesiapan diri dalam melaksanakan hukumhukum Allah secara benar dan tanpa reserve. Lebih jauh adalah mengajarkan seseorang Muslim itu teguh dalam memegang serta mengamalkan hukum-hukum yang telah digariskan dan ditetapkan dalam hidupnya. Ini bermakna bahwa sebenarnya seseorang Muslim itu melalui ibadah-ibadah yang dikerjakan terdidik menjadi seorang yang teguh untuk mengatakan dan mengamalkan hukum-hukum kemshlahatan yang berlaku. Dia akan berani mengatakan yang hak itu benar dan yang bathil itu adalah salah. Hukum adalah kebenaran dari Allah, bukan kekuasaan hawa nafsu. Sebagaimana halnya juga dengan puasa (shaum) akan melahirkan sifat sabar (tabah dengan kejujuran) dan istiqamah (konsisten, teguh berpendirian) serta qanaah (sikap merasa cukup sesuai dengan hak yang dimiliki). Ketiga sifat utama ini dilatih dengan intensif pada setiap rukun puasa dengan penuh kedisiplinan diri. Disiplin yang tidak dipaksakan dari luar tapi disiplin yang ditumbuhkan dari dalam, yang mengakar pada sikap dan berbuah dalam tindakan. Dalam keseharian hidup di tengah kemajuan zaman seringkali diri bersedia dijual dengan harga materi bernilai rendah. Nilainya hanya sebatas kenikmatan sesaat, bahkan bisa berakibat ditukarkan dengan kesengsaraan berkepanjangan di hadapan mahkamah Rabbun Jalil, suatu kesengsaraan yang dipikil sendiri, tidak seorang pun bisa meringankannya. Karena itu melalui berbagai kegiatan ibadah, terutama ibadah pusa (shaum) inilah setiap mukmin dilatih bahkan dididik menjadi seorang yang tahu hukum dan bisa mengamalkannya, tanpa harus dipaksa oleh kekuatan penegak
hukum di sekelilingnya. Dari dalam dirinya terlahir sikap hemat menggantikan loba sebagai perangai nafsu. Selama bulan-bulan Ramadhan dengan pengamalan ibadah yang ihtisab (penuh pengendalian) itu, seseorang muslim berlati pandai mencukupkan apa yang ada (qanaah) dan menghindari diri dari berfoya-foya (mubadzir). Dalam pelaksanaan sahur Nabi Muhammad SAW menasehatkan; "makanlah dengan makanan yang ringan-ringan," artinya tidak terlalu berat pada pencernaan, tidak lain adalah untuk terjaganya kesehatan di siang hari kala puasa. Sungguh benar Rasulullah SAW dengan tugasnya sebagai "rahmatan lilalamin".