Review Perbandingan Uu Minerba No.docx

  • Uploaded by: Muhammad Iqbal
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Review Perbandingan Uu Minerba No.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,817
  • Pages: 12
Review Perbandingan UU Minerba No. 11 Th. 1967 VS UU No.4 Th. 2009 1. 1. UU No.11 Tahun 1967 Vs.UU No.4 Tahun 2009 NIKKA SASONGKO 120140204016 INDONESIA DEFENSE UNIVERSITY MASTER DEGREE ENERGY SECURITY MAJOR 2015 Hukum & Pengusahaan Energi | Prof. Hikmahanto Juwono 2. 2. Isi UU UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 37 Pasal dan 12 Bab 175 Pasal dan 26 Bab 3. 3. Kandungan Tambang UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Segala bahan galian (unsur- unsur kimia mineral- mineral, bijih-bijih, dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan- endapan alam) Lebih spesifik yaitu mineral dan Batubara 4. 4. Golongan Bahan Tambang UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 a. golongan bahan galian strategis b. golongan bahan galian vital c. golongan bahan galian yang Non strategis & Non Vital a. mineral radioaktif, b. mineral logam, c. mineral bukan logam dan batuan, d. batubara 5. 5. Penguasaan Pertambangan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Pemerintah • Dikuasai negara, diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah • Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR menetapkan kebijakan untuk kepentingan dalam negeri 6. 6. Kewenangan Pengelolaan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 a. Bahan galian golongan strategis dan vital oleh Menteri b. Bahan galian golongan Vital dan Non strategis-Non Vital oleh Pemerintah Daerah Tingkat I 1. Bupati/Walikota apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) berada dalam satu wilayah Kabupaten/Kota 2. Gubernur apabila WIUP berada pada lintas Wilayah Kab/Kota 3. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah Provinsi 7. 7. Pengawasan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Terpusat kepada Menteri Pembinaan dan Pengawasan terhadap pemegang IUP dan IUPK dilakukan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya, sedangkan untuk IPR merupakan tugas Bupati/Walikota 8. 8. Penggunaan Lahan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Dalam penggunaan lahan dilakukan pembatasan tanah yang dapat diusahakan Pembatasan tanah yang dapat diusahakan dan sebelum memasuki tahap operasi produksi pemegang IUP/IUPK wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak atas tanah 9. 9. Wilayah Pertambangan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Tidak diatur secara jelas. Hanya disebutkan bahwa tidak meliputi : tempat-tempat kuburan, tempat- tempat yang dianggap suci, pekerjaan- pekerjaan umum, misalnya jalan-jalan umum, jalan-jalan, jalan kereta api, saluran air listrik, gas dan sebagainya. Tempattempat pekerjaan usaha pertambangan lain, bangunan- bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-pabrik. a. WUP (Wilayah Usaha Pertambangan) b. WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat) c. WPN (Wilayah Pencadangan Negara) 10. 10. Bentuk Perizinan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 • Kuasa Pertambangan (KP), • Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD), • Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR), • Kontrak Karya (KK)/ Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) • Izin Usaha pertambangan (IUP) • Izin Pertambangan Rakyat (IPR) • Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) 11. 11. UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 a. Investor domestik (KP, SIPD, PKP2B) b. Investor asing (KK, PKP2B) a. IUP (Izin Usaha Pertambangan) diberikan pada badan usaha, koperasi dan perseorangan (pasal 38) b. IPR (Izin Pertambangan Rakyat) diberikan pada penduduk setempat, naik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan atau koperasi (pasal 67), dengan luas terperinci (pasal 68) c. IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia, baik BUMN, BUMD, maupun swasta. BUMN dan BUMD mendapat prioritas (pasal 75) 12. 12. Pelaksana Usaha Pertambangan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri b. Perusahaan Negara c. Perusahaan Daerah d. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah e. Koperasi f. Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) g. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara

13.

14. 15.

16.

17.

18.

19.

dan/atau Daerah dengan Koperasi dan/atau Badan/Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat- syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) h. Pertambangan Rakyat a. Pemegang IUP atau IUPK b. Badan Usaha c. Koperasi d. Perseorangan sesuai dengan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh klasifikasi Menteri. 13. Tahapan Usaha Pertambangan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 • Penyelidikan Umum • Eksplorasi • Eksploitasi • Pengolahan & Pemurnian • Pengangkutan • Penjualan • IUP Eksplorasi meliputi kegiatan : - penyelidikan umum eksplorasi - studi kelayakan • IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan : - Konstruksi penambangan - pengolahan dan pemurnian - serta pengangkutan dan penjualan 14. Perizinan Usaha UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Permohonan • Lelang untuk mineral logam dan batubara • Permohonan Wilayah untuk mineral bukan logam dan batuan perijinan 15. Jangka Waktu Perizinan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 • KP/KK/PKP2B Penyelidikan Umum (1+1 Tahun), • KP/KK/PKP2B Eksplorasi (3 Tahun + 2 x 1 Tahun), • KK/PKP2B Studi Kelayakan (1 + 1 Tahun), • KK/PKP2B Konstruksi (3 Tahun), • KP/KK/PKP2B Operasi Produksi/Eksplotasi termasuk pengolahan dan pemurnian serta pemasaran (30 Tahun + 2 x 10 tahun) - IUP Eksplorasi mineral logam (8 tahun) terdiri dari Penyelidikan umum (1 tahun), Eksplorasi (3 tahun + 2x1 tahun) dan studi kelayakan (1+1 tahun); - IUP Eksplorasi Batubara (7 tahun) terdiri dari Penyelidikan Umum (1 tahun), Eksplorasi (2 tahun + 2x1 tahun) dan Studi Kelayakam (2 tahun); - IUP Operasi Produksi mineral dan Batubara (20 tahun + 2 x 10 tahun) terdiri dari konstrulsi (3 tahun) dan kegiatan penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan (20 tahun) 16. Hak dan Kewajiban UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 1. Keuangan : a. KP, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku b. KK/PKP2B, tetap pada saat kontrak ditandatangani 2. Lingkungan (sedikit diatur) 3. Nilai tambah (hanya diatur didalam kontrak) 4. Pemanfaatan tenaga kerja setempat (tidak diatur) 5. Kemitraaan pengusaha lokal (tidak diatur) 6. Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (tidak diatur) 1. Keuangan : membayar pendapatan negara dan daerah : Pajak, PNBP, iuran (pasal 128-133) 2. Lingkungan: a. Good mining practices (pasal 95) b. Reklamasi, pasca tambang dan konservasi yang telah direncanakan, beseta dana yang disediakan (pasal 96- 100) 3. Pemegang IUP operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri untuk Nilai Tambah (pasal 103-104) 4. Mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat (pasal 106) 5. Saat tahap operasi produksi, wajib mengikutsertakan pengusaha lokal (pasal 107) 6. Menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (pasal 108) 7. Wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional seperti konsultasi dan perencanaan (pasal 124) 17. Divestasi UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Tidak diatur Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, Pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional 18. Sanksi UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 - Ketentuan pidana diatur tetapi aturan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi saat ini. Hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan/atau dengan denda setinggitingginya lima ratus ribu rupiah. Sanksi pidana /kurungan sangat sedikit (Pasal 31,32,33) - Tidak ada sangsi pidana terhadap pemberi/penerbit izin • Sanksi Administratif yang cukup keras kepada pemegang IUP, IPR, atau IUPK jika melakukan pelanggaran berupa : peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi dan/atau pencabutan IUP, IPR, atau IUPK (Pasal 151, 152). • Pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda pasling banyak 10 Miliar (Pasal 158, 159,160) 19. KELEBIHAN UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 1. Ditiadakannya sistem kontrak karya, maka Pemerintah menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di industri pertambangan mineral dan batubara. 2. Undang-Undang ini telah mengatur dan memperhatikan masalah mengenai pengelolaan dan pelestarian lingkungan akibat kegiatan eksplorasi. 3. Telah diatur distribusi kewenangan yang jelas antara

20.

21.

22.

23.

penyelenggaraan kebijakan pertambangan umum. 4. Adanya kepastian hukum pemberian sanksi bagi pelaku pelanggaran usaha pertambangan. 20. 5. Pemerintah menetapkan prioritas nasional seperti Domestic Market Obligation (DMO), nilai tambah hasil tambang, divestasi, dan lain-lain. 6. Telah diatur mekanisme pengusahaan mulai dari sistem pelelangan, luas wilayah, jangka waktu, dan lain-lain. 7. Hak-hak masyarakat telah dilindungi mulai dari kewajiban pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan di sekitar tambang. 8. UU Minerba juga mengakomodasi kepentingan daerah, dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi perencanaan, pembatasan luas wilayah, dan jangka waktu izin usaha pertambangan. 9. Terdapat pasal yang mengatur tentang batasan wilayah maksimal operasi pertambangan. 21. KELEMAHAN UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 1. UU ini tidak mengatur secara tegas dan eksplisit perihal kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). 2. UU Minerba masih belum mengatur secara jelas mengenai divestasi. 3. Tidak jelas dan tegasnya jumlah besaran sesungguhnya penerimaan negara dari pajak dan non pajak. 4. Kewenangan pemberian IUP diberikan kepada pemerintah daerah, namun belum disertai dengan kerangka acuan strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas. 5. UU Minerba juga tidak mampu mengintervensi dan memperbaiki kontrak-kontrak pertambangan yang telah ada sebelumnya. 6. UU Minerba cenderung masih memuat ketentuan yang bersifat sangat umum. 22. 7. Tidak diakuinya Hak Veto rakyat dan tidak adanya perlindungan masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan. 8. Terancamnya kawasan hutan lindung dan hutan adat karena adanya alih fungsi hutan setelah ada izin dari pemerintah. 9. Adanya kontradiktif dengan UU Lingkungan Hidup yang mengakui legal standing organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan. 10. Beberapa pasal yang dinilai tidak memperhatikan masyarakat yang justru terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan 11. Kurangnya Transparansi & akuntabilitas 23. SARAN DAN REKOMENDASI Pemerintah perlu menetapkan arah kebijakan dan strategi sektor pertambangan nasional yang jelas, terukur dengan menuangkannya ke dalam sebuah dokumen kebijakan pertambangan nasional yang bersifat resmi dan mengikat dalam aturan dan pelaksanaannya. Pemerintah juga seharusnya mulai concern mengenai transparansi.

24.

Poin penting yang dibahas dalam penerapan Undang-

Undang Nomor 23 Tahum 2014 Tentang Pemerintah Daerah di samping tanggung jawab pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, hal lain yang disinggung berupa membagi urusan. Pembagian urusan ini dilakukan dengan memasukan dalam lampiran Undang-Undanh agar tidak dilanggar oleh UndangUmdang sektor. 25.

Selain itu, reposisi urusan, seperti permasalahan hutan,

tambang, laut dibawa ke Provinsi juga menjadi pembahasan. Ini dilakukan sebab bersifat ekologis musim, melewati batas-batas administrasi sebuah pemerintahan sehingga pengaturannya diberukan kepada pemerintahan yang lebih tinggi yaitu provinsi.

Meski begitu, permasalahan bagi hasil tetap melibatkan Kabupaten/Kota sehingga hasilnya tetap dapat dirasakan bersama. 26.

Permasalahan Perda Kabupaten/Kota dapat dibatalkan

oleg Gubernur atau Wakil Gubernur, tapi dengan begitu Kabupaten/Kota dapat mengajukan ke Kementerian Dalam Negeri, jika Kementerian Dalam Negeri justru memlnguatkan keputusan Gubernur maka bisa mengajukan ke Mahkamah Agung sebagai Judicial Review. 27.

Mekanisme yang dibuat melalui cara bertahap seperti

dilakukan agar memberikan segala peluang kemungkinan. Keputusan tidak hanya diberikan kepada satu pihak saja, tapi pihak lain dapat memberikan keputusan bandingan lain. 28.

"Apa yang kita buat ini jangan kasih kekuasaan di satu

tanglgan, ini akan cenderung korup di Indonesia, maka selalu siapkan chek and balance," kata Tim Penyusun UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014, Made Swandi. 29.

Contoh saja, jika ada seorang gubernur yang tidak mau

melantik seorang bupati, maka wakil gubernur bisa melakukannya. Jika wakil gubernur pun tidak mau, maka kewenangan tersebut bisa diambil oleh Kementerian Dalam Negeri. Adanya mekanisme pengalihan kewenangan memberikan kemungkinan berjalannya pemerintahan lebih lancar. Tidak ada kemacetan dalam pemutusan untuk melakukan keputusan di satu bagian. 30.

"Ini lebih pada kebijakan afirmasi, pemerintahan tidak

macet, ada kepastian hukum, hubungan yang tegas anatara pemerintah pusat dan daerah," kata Made.

31.

Indonesia merupakan negara kesatuan, sehingga

pemerintahan pusat tetep memiliki peranan di daerah untuk bertangung jawab dan ikut terlibat dalam pengaturan. Berbeda hal jika negara tersebut berbentul federasi, maka pemerintah daerah memiliki kekuatan yang lebih kuat dan pemerintah pusat tidak bisa ikut campur secara langsung. 32.

Bentuk negara kesatuan yang dikomamdoi oleh

pemerintah pusat juga disebabkan tugas mengakomodasi kearifan lokal yang belum bisa berjalan dengan baik. Sehingga pengawasan masyarakat pada pemerintah daerah tidak seluruhnya bisa dilakukan. Jika rakyat bisa mengontrol pemerintah daerah maka memungkinkan pengurangan interfrensi pemerintah pusat.

Review UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Oleh : Harry Kusuma, S.IP Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era baru ketika UU no 32 tahun 2004 digantikan dengan UU no 23 tahun 2014. Era baru penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat kita lihat dari perbedaan yuridis maupun filosofis. Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasalpasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UU sebelumnya. Sedangkan perbedaan filosofis terlihat dari makna dan orientasi yang secara tersurat terkandung dalam pasal-pasal yang sebelumnya tak diatur dalam UU sebelumnya. Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014. Adapun alasan utama yang tecantum dalam naskah akademik RUU Pilkada dimaksudkan untuk agar UU baik tentang Pemda maupu Pilkada dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan isu sentralnya masingmasing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati. Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung. Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis posisi Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang berbeda. Perbedaan selanjutnya perihal pembagian urusan pemerintahan. Pada UU sebelumnya urusan pemerintahan dibagi atas Urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (dapat dilimpahkan sebagian urusannya kepada perangkat Pemerintah Pusat atau wakil Pemerintah Pusat di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah) dan Urusan pemerintah daerah dibagi atas urusan wajib dan pilihan. Namun, di UU no 23 tahun 2014, urusan pemerintahan dibagi atas Urusan Absolut yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Urusan pemerintahan

kongkruen yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam naskah akademik RUU Pemda tahun 2011 dijelaskan bahwasanya mengacu kepada ketiga kriteria tersebut, pembagian urusan pemerintahan menjadi sebagai berikut: Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk membuat pengaturan dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang dijadikan acuan bagi pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut; berwenang melakukan monitoring, evaluasi dan supervise terhadap pemerintahan daerah, dan berwenang untuk melakukan urusan pemerintahan yang berskala nasional (lintas provinsi) atau internasional (lintas negara). 2. Pemerintahan daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat. 3. Pemerintahan daerah kabupaten/kota berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala kabupaten/kota berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat. Selain itu Pemerintah Pusat diwajibkan menyelesaikan penetapan NSPK tersebut dalam waktu dua tahun dan apabila dalam waktu dua tahun Pemerintah Pusat belum juga menetapkan NSPK untuk dijadikan acuan bagi pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah, maka pemerintahan daerah dapat menetapkan peraturan daerah (perda) untuk melaksanakan urusan yang menjadi kewenangannya. Fungsi lainnya dari NSPK adalah mengatur hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan yaitu antara pusat dan daerah dan antar pemerintahan daerah dalam pelaksanaan suatu urusan (naskah akademik RUU Pemda hal 8-9, 2011). 1.

Adapun yang menjadi titik permasalahan dalam pembagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang terlalu banyak (31 buah urusan yang menajdi urusan pemerintahan yang didesentralisasikan). Selain itu, pemerintah daerah dari Provinsi hingga Desa juga dibebankan untuk melaksanakan urusan Pemerintah Pusat berdasarkan azas tugas pembantuan. Dengan besarnya urusan pemerintahan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, kebutuhan akan aparatur yang melaksanakan urusan wajib tersebut semakin membesar. Aparatur daerah yang gemuk ini, tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar pula sehingga terjadiovercost terhadap pembiayaan aparatur. Kondisi ini berdampak tidak maksimalnya penyelenggaran program di daerah khususnya pada

aspek pengadaan masyarakat.

sarana

dan

prasarana

yang

diperuntukkan

bagi

Selain itu, efek samping dari gemuknya aparatur di daerah, dan diparah dengan alur birokrasi yang kacau, telah melahirkan birokrasi yang tidak efektif dan efisien. dalam New Public Management (NPM), yang sekarang ini menjadi gerakan pembaharuan administrasi publik di negara maju dan berkembang, desentralisasi telah menjadi satu nilai penting dalamrangka mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, responsif, dan akuntabel. Maka dari itu, dalam UU no 23 tahun 2014, Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dibedakan atas dua jenis. Termaktub dalam Pasal 9 (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum, ; (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, ; (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota, ; (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah, ; (5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan pemerintah absolut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 10 ayat 1, terdiri atas Politik LN, Hankam, yustisi, moneter dan fiskal serta agama. Namun, Pemerintah Pusat dalam melimpahkan kewenangannya kepada instansi vertikal dan wakil pemerintah pusat di daerah yakni Gubernur yang berdasarkan asas dekonsentrasi. Dengan demikian, urusan pemerintah absolut memang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan tak berkaitan dengan pemerintah kota dan kabupaten yang mengedepankan azas desentralisasi serta bukan perwakilan pemerintah pusat. Selain itu, untuk memaksimalkan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah baik Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat dan pemerintah kota serta kabupaten, telah dibedakan menjadi dua jenis urusan konkuren yakni urusan pemerintah wajib dan urusan pilihan. Untuk urusan wajib pun dibagi dua lagi yakni urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Urusan wajib ini pun, secara yuridis diatur dengan menggunakan skala prioritas bahwa urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar diprioritaskan pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 1.

Adanya penyertaan skala prioritas dalam penyelenggaraan urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar agar dimaksudkan otonomi luas bukan lagi diartikan semua urusan harus dilembagakan. Akan tetapi fungsinya tetap menjadi domain kewenangan daerah namun tidak harus dilembagakan tersendiri karena akan memicu bengkaknya overhead cost. Diperlukan pemikiran untuk menerapkan kelembagaan yang ”right sizing” yang bercirikan ramping struktur namun kaya fungsi. Pembagian wilayah kerja antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota pun dijelaskan secara spesifik dalam UU ini seperti yang termaktub dalam pasal 13 ayat 2, 3 dan 4. Hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan wewenangnya masing-masing serta meningkatkan tingkat akuntabilias dan efisiensi dalam mengukur keberbehasilan. Selain itu, pembagian wilayah kerja ini juga ditujukan untuk memudahkan jalur birokrasi yang kelak akan mempermudah pemerintah baik pusat maupun daerah dalam melayani masyarakat. Dalam urusan pemerintahan umum, juga diatur secara spesifik yang meliputi 7 bidang utama dan termasuk bidang yang bukan kewenangan daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal. Urusan pemerintahan umum ini dilaksanakan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota di wilayah kerjanya masing-masing. Yang patut dicatat disini adalah penggunaan APBN dalam penyelenggaraan pemerintahan umum. Hal in dimaksudkan agar APBD di masing-masing pemerintah daerah dapat digunakan untuk melaksanakan urusan konkuren yang pelayanan dasar. Disinilah terlihat komitmen Pemerintah Pusat, untuk menghindari beban berlebih yang harus ditanggung APBD dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sinergi penyelenggaraan urusan pemerintahan antara kementerian dengan pemerintahan daerah, Presiden melimpahkan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk bertindak selaku kordinator dari kementerian atau lembaga pemerintah non kementerian yang sebagian urusannya diserahkan ke daerah (Naskah Akademik RUU Pemda, hal 77, 2011). Kementerian yang kewenangannya diserahkan kepada daerah berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang bersifat teknis kepada pemerintahan daerah, sedangkan Kementerian Dalam Negeri melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan mampu menciptakan harmonisasi dan sinergi antara Pemerintah Pusat dengan pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan secara keseluruhan. Dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut, untuk kelancaran kordinasi dengan seluruh pimpinan instansi pemerintahan di daerah, dapat dibentuk Forum Koordinasi Pimpinan Pemerintahan di

Daerah dan kepala daerah selaku kepala pemerintahan daerah bertindak sebagai koordinatornya sebagaimana diatur dalam pasal 26. Karena urusan pemerintahan umum merupakan urusan pemerintahan yang tidak di desentralisasikan, maka biaya penyelenggaraan urusan pemerintahan umum tersebut di daerah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Sebagai Negara yang bercirikan kepulauan, dalam UU ini juga mengakomodasi daerah yang bercirikan kepulauan dan diatur dalam Bab V tentang Kewenangan Daerah Provinsi Di Laut dan Daerah Provinsi yang Bercirikan Kepulauan. Realitas daerah yang memiliki ciri khas kepulauan adalah tidak meratanya sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan sehingga pembangunan dan penciptaan kesejahteraan bagi masyarakat yang hidup di daerah kepulauan masih jauh dari harapan. Maka dari itu, pemerintah daerah yang bercirikan kepulauan haruslah memiliki model pembangunan yang berbeda dengan pada umumnya, model pelayanan administrasi/pelayanan publik yang berbasis kepulauan, dan meningkatkan intensitas pembangunan sarana-prasarana yang mengedepankan pendekatan prosperity dan security secara linier. Dalam UU no 23 tahun 2014, daerah yang bercirikan kepulauan diberikan semacam insentif dan perlakuan secara khusus seperti yang tercantum dalam pasal 28 hingga 30. Ini merupakan bentuk komitmen yang ditunjukkan Pemerintah Pusat dalam membangun daerah bercirikan kepulauan. Tentunya, dalam pelaksanaannya komitmen ini haruslah dijalankan secara konsekuen dan perlu diberikan pengawasan yang ketat agar permasalahan yang dihadapi masyakarat yang tinggal di daerah kepulauan dalam selesaikan. Undang-Undang ini juga menjelaskan bahwasanya Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, diatur lebih spesifik seperti yang diatur dalam pasal 91-93. Adapun tugas tersebut melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Kabupaten/Kota, melakukan monev dan supervisi, melakukan evaluasi APBD dan lain-lain, dapat membatalkan Perda dan memberikan persetujuan terhadap Raperda Kabupaten/Kota, serta dapat memberikan sanksi kepada Bupati/Walikota. Gubernur memegang dua peran yaitu sebagai kepala daerah otonom provinsi dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Sebagai kepala daerah provinsi, gubernur memegang kewenangan memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, gubernur menjalankan peran Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dalam konteks melaksanakan

peran sebagai wakil Pemerintah Pusat, hubungan gubernur dengan pemerintahan daerah kabupaten/kota bersifat hirarkhis (Naskah Akademik RUU Pemda, hal 85, 2011). Dengan luas dan besarnya kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, diharapkan dapat meminimalisir kekuasaan “Raja-Raja Kecil” yang menerapkan oligarki politik. Upaya ini ditujukan agar penyelenggaraan pemerintahan jauh lebih bersih, akuntabel, efektifefisien, dan mampu memberikan pelayanan publik bagi masyarakat. Semangat dari UU no 23 Tahun 2014 ini adalah memaksimalkan peranan pemerintah daerah yang mampu melaksanakan kewenangannya yang berorientasi pelayanan dasar bukan kekuasaan semata. Dengan kondisi tersebut, mau tidak mau, peran serta masyakarat dalam hal pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pelayanan publik. Bentuk manifestasi dari semangat pembaharuan secara yuridis termaktub dalam BAB XIII tentang Pelayanan Publik. Dalam bab ini dibahas tentang upaya pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan masyakarat sebagai bentuk pelayanan publik. Dengan demikian, masyarakat mampu memberikan feedback terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah. Maka dari itu, dalam UU ini juga diatur tentang Partisipasi Masyarakat di Bab XV. Partisipasi masyarakat ditujukan untuk mendorong dan meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanaan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah. Hal ini tentunya akan menjadi katalisator bagi pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik. Keberadaan UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini harapannya mampu memperbaiki sstem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, perubahan orientasi dari kekuasaan semata menjadi pelayanan publik seharusnya mampu mendorong adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Related Documents


More Documents from "Mumu Haddad"

Presentasi.pptx
June 2020 20
Jaras.pptx
June 2020 20
Presentasi (1).pptx
June 2020 15
Presentasi (1).pptx
June 2020 19
Defri Skn.docx
May 2020 3