Resume Kmb2 Gagal Ginjal Akut.docx

  • Uploaded by: Sheila Rahmani
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Resume Kmb2 Gagal Ginjal Akut.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,873
  • Pages: 15
GAGAL GINJAL AKUT 2.1 Definisi Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolic tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Saifudin, 2010). Gagal ginjal akut adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi mengsekresi produkproduk limbah metabolisme. Biasanya karena hiperfusi ginjal sindrom ini biasa berakibat azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk limbah nitrogen dalam darah dan aliguria dimana haluaran urine kurang dari 400 ml / 24 jam (Tambayong, 2000). Menurut levinsky dan Alexander (1976), gagal ginjal akut terjadi akibat penyebabpenyebab yang berbeda. Ternyata 43% dari 2200 kasus gagal ginjal akut berhubungan dengan trauma atau tindakan bedah 26% dengan berbagai kondisi medic 13%, pada kehamilan dan 9% disebabkan nefrotoksin penyebab GGA dibagi dalam katagori renal, renal dan pasca renal Gagal ginjal akut dikenal dengan Acute Renal Fallure (ARF) adalah sekumpulan gejala yang mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak (Nursalam, 2006). Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. Gagal Ginjal Akut adalah kemunduran yang cepat dari kemampuan ginjal dalam membersihkan darah dari bahan-bahan racun yang menyebabkan penimbunan limbah metabolik di dalam darah (misalnya urea). 2.2 Etiologi Sampai saat ini para praktisi klinik masih membagi etiologi gagal ginjal akut dengan tiga kategori meliputi : A. Prarenal Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperpusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glomeruls. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik atau morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA). Kondisi ini meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) Hipovolemik (perdarahan postpartum, luka bakar, kehilangan cairan dari gastrointestinal pankreatitis, pemakaian diuretik yang berlebih) 2) Fasodilatasi (sepsis atau anafilaksis) 3) Penurunan curah jantung (disaritmia, infark miokard, gagal jantung, syok kardioenik dn emboli paru) 4) Obstruksi pembuluh darah ginjal bilateral (emboli, trombosis) B. Renal

Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal. Kerusakan dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal langsung terganggu. Dapat pula terjadi karena hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga mengakibatkan iskemia, serta nekrosis jaringan ginjal Prosesnya dapat berlangsung cepat dan mendadak, atau dapat juga berlangsung perlahan– lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini dapat merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia kemudian menyebabkan nekrosis jaringan ginjal. Beberapa penyebab kelainan ini adala : 1) Koagulasi intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik, renjatan sepsis dan renjatan hemoragik. 2) Glomerulopati (akut) seperti glomerulonefritis akut pasca sreptococcus, lupus nefritis, penolakan akut atau krisis donor ginjal. 3) Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain yang langsung menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan. 4) Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan iskemia lama, nefrotoksin (kloroform, sublimat, insektisida organik), hemoglobinuria dan mioglobinuria. 5) Pielonefritis akut (jarang menyebabkan gagal ginjal akut) tapi umumnya pielonefritis kronik berulang baik sebagai penyakit primer maupun sebagai komplikasi kelainan struktural menyebabkan kehilangan faal ginjal secara progresif. 6) Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif. C. Pascarenal / Postrenal GGA pascarenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat. Etiologi pascarenal terutama obstruksi aliran urine pada bagian distal ginjal, ciri unik ginjal pasca renal adalah terjadinya anuria, yang tidak terjadi pada gagal renal atau pre-renal. Kondisi yang umum adalah sebagai berikut : a. Obstruksi muara vesika urinaria: hipertropi prostat< karsinoma b. Obstruksi ureter bilateral oleh obstruksi batu saluran kemih, bekuan darah atau sumbatan dari tumor (Tambayong, 2000).

2.3 Klasifikasi

Tabel Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli R, 2007). Peningkatan Kadar Penurunan Laju Kriteria Urine Kategori Serum Cr Filtrasi Glomerulus Output <0,5 mL/kg/jam, Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar >6 jam <0,5 mL/kg/jam, Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar >12 jam <0,3 mL/kg/jam, >24 Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar jam Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 Loss Minggu Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 End stage Bulan 2.4 Manifestasi Klinis Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan. Gagal ginjal akut azotemia dapat saja terjadi saat keluaran urine lebih dari 400 ml/24 jam. a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria. b. Stadium oliguria Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul dalam waktu 24-48 jam sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi, anak-anak berlangsung selama 3–5 hari. Terdapat gejala-gejala uremia (pusing, muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang), hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik. c. Stadium diuresis Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat. a. Stadium GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari b. Berlangsung 2-3 minggu c. Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak mengalami hidrasi yang berlebih d. Tingginya kadar urea darah e. Kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium dan air f. Selama stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin meningkat terus d. Stadium penyembuhan Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama itu anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Nilai laboratorium akan kembali normal. Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu:

a. Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare, pucat (anemia), dan hipertensi. b. Nokturia (buang air kecil di malam hari). c. Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan). d. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki. e. Tremor tangan. f. Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi. g. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai adanya pneumonia uremik. h. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang). i. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah, berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml) j. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus. k. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang dan kesadaran menurun sampai koma.

2.6 Patofisiologi Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai patologi kerusakan ginjal ARF (acute renal fallure) tipe NTA (necrosis tubular acute), tetapi masih ada kontroversi mengenai patogenitas penekanan fungsi ginjal dan oliguria yang biasanya menyertai. Sebagian besar konsep modern mengenai faktor-faktor penyebab mungkin didasarkan pada penyelidikan menggunakan model hewan percobaan, dengan menyebabkan gagal ginjal akut nefrotoksik melalui penyuntikan merkuri klorida, uranil sitrat, atau kromat, sedangkan kerusakan iskemik ditimbulkan renalis. Menurut Price, (2005) ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang dapat menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal, yaitu sebagai berikut : a. Obstruksi tubulus b. Kebocoran cairan tubulus c. Penurunan permeabilitas glomerulus d. Disfungsi vasomotor e. Umpan balik tubulo-glomerulus Tidak satupun dari mekanisme diatas yang dapat menjelaskan semua aspek ARF (acute renal fallure) tipe NTA (necrosis tubular acute) yang bervariasi itu (schrier, 1986). Teori obstruksi tubulus menyatakan bahwa NTA (necrosis tubular acute) mengakibatkan deskuamasi sel tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, dan kemudian membentuk silindersilinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan intratubulus menigkat, sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun. Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting

pada ARF (acute renal fallure) yang disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia berkepanjangan. Hipotesis kebocoran tubulus mengatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung normal tetapi cairan tubulus bocor keluar dari lumen melalui sel-sel tubulus yang rusak dan masuk ke dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membrane basalis dapat terlihat pada NTA (necrosis tubular acute) yang berat, yang merupakan dasar anatomic mekanisme ini. Meskipun sindrom NTA (necrosis tubular acute) menyatakan adanya abnormalitas tubulus ginjal, bukti-bukti terakhir menyatakan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu sel-sel endotel kapiler glomerulus dan /atau sel-sel membrane basalis mengalami perubahan yang mengakibatkan menurunnya permeabilitas luas permukaan filtrasi. Hal ini mengakibatkan penurunan ultrafiltasi glomerulus. Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30% dari normal pada ARF oliguria. Tingkat RBF ini cocok dengan GFR (glomerular filtration rate) yang cukup besar. Pada kenyataannya, RBF pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau lebih rendah dari pada bentuk akut, tetapi fungsi ginjal masih memadai atau berkurang. Selain itu, bukti-bukti percobaan membuktikan bahwa RBF harus kurang dari 5% sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal (merriill, 1971). Dengan demikian hipoperfusi ginjal saja tidak menyebabkan penurunan GFR dan lesi-lesi tubulus yang terjadi pada ARF (acute renal fallure). Meskipun demikian, terdapat bukti perubahan bermakna pada distribusi aliran darah intrarenal dari korteks ke medulla selama hipotensi akut dan memanjang. Pada ginjal normal, kira-kira 90% darah didistribusikan ke korteks (glomeruli) dan 10% menuju ke medulla. Dengan demikian ginjal dapat memekatkan urin dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada ARF perbandingan antara distribusi korteks dan medulla ginjal menjadi terbalik, sehingga terjadi iskemia relative pada korteks ginjal. Kontriksi arteriol aferen merupakan dasar vascular dari penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR). Iskemia ginjal akan mengaktifasi sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia korteks setelah hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tertinggi ditemukan pada korteks luar ginjal, tempat terjadinya iskemia paling berat selama berlangsungnya ARF (acute renal fallure) pada hewan maupun manusia (schrier, 1996). Beberapa penulis mengajukan teori mengenai prostaglandin dalam disfungsi vasomotor pada ARF (acute renal fallure). Dalam keadaan normal, hipoksia ginjal merangsang sintesis prostaglandin E dan prostaglandin A (PGE dan PGA) ginjal (vasodilator yang kuat), sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis. Agaknya, iskemia akut yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat sintesis prostaglandin ginjal tersebut. Penghambat prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat menurunkan RBF pada orang normal dan dapat menyebabkan NTA (necrosis tubular acute) (Harter, martin, 1982). Umpan balik tubuloglomerulus merupakan suatu fenomena saat aliran ke nefron distal diregulasi oleh reseptor dalam makula densa tubulus distal, yang terletak berdekatan dengan ujung glomerulus. Apabila peningkat aliran filtrate tubulus kea rah distal tidak mencukupi, kapasitas reabsorbsi tubulus distal dan duktus kolegentus dapat melimpah dan menyebabkan terjadinya deplesi volume cairan ekstra sel. Oleh karena itu TGF merupakan mekanisme protektif. Pada NTA (necrosis tubular acute), kerusakan tubulus proksimal sangat menurunkan kapasitas absorbs tubulus. TGF diyakini setidaknya berperan dalam menurunnya GFR (glomerular filtration rate) pada keadaan NTA (necrosis tubular acute) dengan menyebabkan konstriksi arteriol aferen atau kontriksi mesangial atau keduanya, yang berturut-turut menurun

kan permeabilitas dan tekanan kapiler intraglomerulus. Oleh karena itu, penurunan GFR akibat TGF dapat dipertimbangkan sebagai mekanisme adaptif pada NTA.

2.7 Pemeriksaan Penunjang a. Darah: ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas b. Urin: ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis. c. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat. d. Gangguan keseimbangan asam basa: asidosis metabolik. e. Gangguan keseimbangan elektrolit: hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia. f. Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal rusak. g. Warna urine: kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin. h. Berat jenis urine: kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh: glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat. i. PH Urine: lebih dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik. j. Osmolaritas urine: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio urine/serum sering. k. Klierens kreatinin urine: mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna. l. Natrium Urine: Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium. m. Bikarbonat urine: Meningkat bila ada asidosis metabolik. n. SDM urine: mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF. o. Protein: protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal. p. Warna tambahan: Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.

2.8 Pemeriksaan Diagnostik a. Elektrokardiogram (EKG) Perubahan yang terjadi berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung. b. Kajian foto toraks dan abdomen Perubahan yang terjadi berhubungan dengan retensi cairan. c. Osmolalitas serum Lebih dari 285 mOsm/kg d. Pelogram Retrograd Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter e. Ultrasonografi Ginjal Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas f. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif g. Arteriogram Ginjal Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular 2.9 Penatalakasanaan A. Penatalaksanaan secara umum adalah: Kelainan dan tatalaksana penyebab. a) Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan cairan, dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin. b) Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung kemih penuh, ada pembesaran prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba memasang kateter urin, selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga untuk pengawasan akurat dari urin dan mengambil bahan pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal. c) Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya B. Penatalaksanaan gagal ginjal a. Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau 30 mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus tetap diawasi. b. Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau hiperalimentaasi intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium, pemberian kalsium intravena pada kedaruratan jantung dan dialisis. c. Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang adekuat terjadi oliguria. d. Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran napas dan nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.

e. Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H (misalnya ranitidin) diberikan pada pasien sebagai profilaksis. f. Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik dipakai di ruang intensif, sedangkan hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi. g. Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai BUN dan nilai kreatinin. h. Penanganan Hiperkalemia. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum (nilai kalium >5.5 mEq/L; SI: 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema. 2.10 a. b. c. d. e. f.

Komplikasi Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium. Gangguan elektrolit: hyperkalemia, hiponatremia, asidosis. Neurologi: iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran, kejang. Gastrointestinal: nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum, perdarahaan gastrointestinal. Hematologi: anemia, diathesis hemoragik. Infeksi: pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial. BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian a. Pengkajian Anamnesis Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas penanggung jawab, identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, serta diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun wanita dari rentang usia manapun, khususnya bagi orang yang sedang menderita penyakit serius, terluka serta usia dewasa dan pada umumnya lanjut usia. Untuk pengkajian identitas penanggung jawab data yang didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan, hubungan dengan si penderita. b. Riwayat Kesehatan 1. Keluhan Utama Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.

2. RiwayatPenyakit Sekarang Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan penurunan jumlah urine output dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada hubungannya dengan predisposisi penyebab, seperti pasca perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar luas, cedera luka bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum obat NSAID atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya riwayat trauma langsung pada ginjal. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan. 4. Riwayat Penyakit Keluarga Tanyakan adanya riwayat penyakit ginjal dalam keluarga. c. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum dan TTV Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat. 2. Pemeriksaan Pola Fungsi a) B1 (Breathing). Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul. b) B2 (Blood). Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering didapatkan adanya peningkatan. c) B3 (Brain). Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia. d) B4 (Bladder).

Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi peningkatan yang menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap. e) B5 (Bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. f) B6 (Bone). Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipetensi. d. Pemeriksaan Diagnostik 1. Laboratorium Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH urine >7.00 menunjukkan ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine : serum sering 1 : 1. Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit. Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung. Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan metabolik seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal. e. Penatalaksanaan Medis Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi, yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka. 2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di saluran intenstinal. 3. Terapi cairan 4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat 5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis

3.2 Diagnosa Keperawatan a. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut. b. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik. c. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia. d. Aktual/risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolik e. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi 3.3 Intervensi a. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut. Tujuan: Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan defisit volume cairan dapat teratasi Kriteria: Klien tidak mengeluh pusing, membran muosa lembab, turgor kulit normal, ttv normal, CRT < 2 detik, urine >600 ml/hari Laboratorium: nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/kreatinin menurun\ Intervensi: 1. Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output) R: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine, monitoring yang ketat pada produksi urine <600 ml/hari karena merupakan tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik. 2. Kaji keadaan edema R: Edema menunjukan perpindahan cairan karena peningkatan permeabilitas sehingga mudah ditensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal, sehingga berat badan dapat meningkat 4,5 kg 3. Kontrol intake dan output per 24 jam. R: Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan kelebihan resiko cairan. 4. Timbang berat badan tiap hari. R: Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan keseimbangan dan masukan cairan yang tepat. 5. Beritahu keluarga agar klien dapat membatasi minum. R: Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sember ditambah perkiraan yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan cairan yang tidak responsif terhadap pembatasan caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis. 6. Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik. R: Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan hiperkalemia dan meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide. 7. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal. R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi kegagalan ginjal.

b. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik. Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi perubahan pola nafas Kriteria: klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit Intervensi: 1. Kaji faktor penyebab asidosis metabolik. R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi untuk mengatasi penyebab dasar dari asidosis metabolic. 2. Monitor ketat TTV. R: Perubahan TTV akan memberikan dampak pada risiko asidosis yang bertambah berat dan berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan koreksi asidosis. 3. Istirahatkan klien dengan posisi fowler. R: Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan menurunkan tekanan darah. 4. Ukur intake dan output. R: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan urine output. 5. Kolaborasi berikan cairan ringer laktat secara intravena. R: Larutan IV ringer laktat biasanya merupakan cairan pilihan untuk memperbaiki keadaan asidosis metabolik dengan selisih anion normal, serta kekurangan volume ECF yang sering menyertai keadaan ini. 6. Berikan bikarbonat. R: Kolaborasi pemberian bikarbonat. Jika penyebab masalah adalah masukkan klorida, maka pengobatannya adalah ditujukan pada menghilangkan sumber klorida. 7. Pantau data laboratorium analisis gas darah berkelanjutan. R: Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolik adalah meningkatkan pH sistemik sampai ke batas yagn aman dan menanggulangi sebab-sebab asidosis yang mendasarinya. Dengan monitoring perubahan dari analisis gas darah berguna untuk menghindari komplikasi yang tidak diharapkan c. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia. Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan kejang berulang tidak terjadi Kriteria: klien tidak mengalami kejang Intervensi: 1. Kaji dan catat faktor-faktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi. R: Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien berisiko. Perawat harus bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia 2. Kaji stimulus kejang. R: Stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh. 3. Monitor klien yang berisiko hipokalsemi

4. 5.

6.

7.

R: Individu berisiko terhadap osteoporosis diinstruksikan tentang perlunya masukan kalsium diet yang adekuat; jika dikonsumsi dalam diet, suplemen kalsium harus dipertimbangkan. Hindari konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi. R: Alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan kalsium dan perokok kretek sedang meningkatkan ekskresi kalsium urine Garam kalsium parenteral R: Garam kalsium parenteral termausk kalsium glukonat, kalsium klorida, dan kalsium gluseptat. Meskipun kalsium klorida menghasilkan kalsium berionisasi yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan jumlah akuimolar kalsium glukonat, tetapi cairan ini tidak sering digunakan karena cairan tersebut l ebih mengiritasi dan dapat menyebabkan peluruhan jaringan jika dibiarkan menginfiltrasi Tingkatan masukan diet kalsium. R: Tingkatan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1.000 hingga 1.500 mg/hari pada orang dewasa sangat dianjurkan (produk dari susu: sayuran berdaun hijau; salmon kaleng, sadin, dan oyster segar) Monitor pemeriksaan EKG dan laboratorium kalsium serum. R: Menilai keberhasilan intervensi

d. Risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolic Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal Kriteria: klien tidak mengalami kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri kepala, mual kejang. GCS 456 pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV normal, serta klien tidak mengalami defisit neurologis seperti: lemas , agitasi iritabel, hiperefleksia, dan spastisitas dapat terjadi hingga akhirnya timbul koma, kejang. Intervensi: 1. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS. R: Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut. 2. Monitor tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-hati pada hipertensi sistolik. R: Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik yang dapat berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskular serebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan pejralanan infeksi. 3. Bantu klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur. R: Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava. 4. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan R: Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan potensial terjadi perdarahan ulang. 5. Monitor kalium serum R: Hiperkalemi terjadi dengan asidosis, hipokalemi dapat terjadi pada kebalikan asidosis dan perpindahan kalium kembali ke sel.

e. Risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi aritmia. Kriteria: Klien tidak gelisah, tidak mengeluh mual-mual dan muntah, GCS 456, tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal, Klien tidak mengalami defisit neurologis, kadar kalium serum dalam batas normal. Intervensi: 1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu dan faktor-faktor hiperkalemi. R: Banyak faktor yang menyebabkan hiperkalemia dan penanganan disesuaikan dengan faktor penyebab. 2. Beri diet rendah kalium R: Makanan yang mengandung kalium tinggi yang harus dihindari termausk kopi, cocoa, the, buah yang dikeringkan, kacang yang dikeringkan, dan roti gandum utuh. Susu dan telur juga mengandung kalium yang cukup besar. Sebaliknya, makanan dengan kandungan kalium minimal termasuk mentega, margarin, sari buah, atau saus cranbeery, bir jahe, permen karet, atau gulagula (permen), root beer, gula dan madu. 3. Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam. R: Adanya perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencetus aritmia pada klien hipokalemi. 4. Monitoring klien yang berisiko terjadi hipokalemi R: Asidosis dan kerusakan jaringan seperti pada luka bakat atau cedera remuk, dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ICF ke ECF, dan masih ada hal-hal lain yang dapat menyebabkan hiperkalemia. Akhirnya, larutan IV yang mengandung kalium harus diberikan perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya beban kalium berlebihan latrogenik. 5. Monitoring klien yang mendapat infus cepat yang mengandung kalium R: Aspek yang paling penting dari pencegahan hiperkalemia adalah mengenali keadaan klinis yang dapat menimbulkan hiperkalemia karena hiperkalemia adalah akibat yang bisa diperkirakan pada banyak penyakit dan pemberian obat-obatan. Selain itu, juga harus diperhatikan agar tidak terjadi pemberian infus larutan IV yang mengandung kalium dengan kecepatan tinggi. 6. Pemberian kalsium glukonat. R: Kalsium glukonat 10% sebanyak 10 ml diinfus IV perlahan-lahan selama 2-3 menit dengan pantauan EKG, efeknya terlihat dalam waktu 5 menit, tetapi hanya bertahan sekitar 30 menit. 7. Pemberian glukosa 10%. R: Glukosa 10% dalam 500 ml dengan 10 U insulin regular akan memindahkan K + ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa jam. 8. Pemberian natrum bikarbonat. R: Natrium bikarbonat 44-88 mEq IV akan memperbaiki asidosis dan perpindahan K + ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa jam.

Related Documents

Gagal Ginjal
July 2020 32
Ckd Gagal Ginjal Kronik.docx
November 2019 39
Gagal Ginjal Kronik
July 2020 28
Gagal Ginjal Kronik
May 2020 38

More Documents from "Novinda Cahya Ristha"