Resume Buku Asas Melawan Hukum Pidana 2.docx

  • Uploaded by: ani anisa
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Resume Buku Asas Melawan Hukum Pidana 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,163
  • Pages: 28
RESUME BUKU Asas-Asas melawan Hukum Pidana Bambang Poernomo S.H Dibandingkan Dengan Asas-Asas Melawan Hukum Pidana Prof. Moeljatno, S.H.

Dosen: Dr. Somawijaya, S.H., M.H. Ajie Ramdan, S.H., M.H.

Oleh: ANI ANISA 110110170096

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN 2018

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA Bambang Puernomo S.H BAB I PENGERTIAN HUKUM DAN HUKUM PIDANA 1. Definisi Hukum Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentudari manusia dalam hidup bermasyarakat 2. Definisi Hukum Pidana Diambil dari isi pokok dari definisi hkum pidana, kiranya dapat disimpulkan bahwa hukum pidana adalah: a. Hukum positif b. Hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana bagi pelanggaranya dan menentukan tentang kesalahan bagi si pelanggarnya (substansi hukumpidana) c. Hukum acarayang menentukan pelaksanaan substansi hukum pidana (hukum acara pidana) 3. Sumber Hukum Pidana Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah kitab undang-undang hukum pidana KUHPdan peraturan perundang-undangan lainya. Tetapi disamping itu masih memungkinkan sumber hukum adat yang masih hidup sebagai delik. 4. Tujuan Hukum Pidana Menurut Mr. Tirtaamidjdja maksud diadakanya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dalam bukunya tentang pokok-pokok hukum pidana. 5. Strafrechtscholen dan aliranya di Indonesia Strafrechtscholen mengenal dua aliran untuk maksud dan tujuan dibentuknya hukum pidana; a. Aliran Klasik tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. b. Aliran Modern tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan Menurut Vos masih terdapat aliran ketiga yaitu Autoritaire strafrecht memandang hukum pidana itu tertulis diadakan untuk melindungi negara, kepentingan negara adalah kepentingan yang terutama dalam wujudnya sebagai partai (komunis) ataupun penguasa autoriter. (fuhrer, dictator). 6. strafrechtstheorieen dan aliranya di Indonesia strafrechtstheorieen diperlukan karena manusia ingin mengetahui sifat dari pidana (straffen) dan dasar hukum dari pidana (rchtsgrond van de straf). Dikenal beberapa teori pidana, diantaranya: a. Theorie Pembalasan Aliran ini yang menganggap sebagai dasar hukum dari pidana adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding/ vergeltung). b. Theorie Tujuan/Prevensi Teori tujuan memberikan dasar hukum pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena pidana mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Maka harus dianggap disamping tujuan lainya terdapat tujuan pokok berupa mempertahankan ketertiban masyarakat. c. Theorie Gabungan Teori gabungan mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan kepada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada. 7. Determinisme dan Indeterminisme Determinisme berpokok pangkal pada pendapat bahwa kehendak manusia untuk berbuat sesuatu itu tidak dapat secara bebas, karena terlebih dahulu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang terpenting oleh lingkungan dan pribadi orang yang bersangkutan 1

Indeterminisme berpendapat bahwa manusia dapat menentukan kehendaknya secara bebas, oleh karena itu dapat menentukan perbuatanya dengan bersalah, meskipun ada faktor-faktor lingkungan dan pribadi orang yang mempengaruhi penentuan kehendak manusia. Jadi pendirian Indeterminisme bertolak belakang dengan Determinisme. 8. Norma dan sanksi dalam hukum pidana Norma mempunyai inti sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan hidup bermasyarakat, dan mempunyai tugas untuk menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat. Bentuk norma di dalam undang-undang atau peraturan-peraturan lainya pada dasarnya berua perbuatan yang dilarang atau keharusan berbuat, disebut juga verboden of geboden. Sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman pidana, dan mempunyai tugas agar norma yang sudah ditetapkan itu supaya ditaati dana tau sebagai akibat hukum atas pelanggarn norma. 9. Hukum Pidana Bersifat Hukum Publik Hukum pidana mempunyai dua unsur pokok yang berupa norma dan sanksi dengan fungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap orang di dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan untuk menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat, maka hubungan hukum yang ada dititikberatkan kepada kepentingan umum. BAB II ILMU HUKUM PIDANA 1. Ilmu hukum pidana mempunyai tugas untuk menjelaskan, menganalisa dan seterusnya menyusun dengan sitematis dari norma hukum pidana dan sanksi hukum pidana, agar pemakaianya menjadi berlaku lancar. 2. Tidak ada kesatuan pendapat mengenai apa definisi kriminologi itu, karena masing-masing definisi dipengaruhi oleh ruang lingkupnya bahan yang dicakup oleh terminologi. Pada dasarnya kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sebab-sebab kejahatan sebagai gejala fisik atau psikis. 3. Hubungan anatar ilmu hukum pidana dan kriminologi, dapat dikatakan mempunyai hubungan timbal balik dan bergantung satu sama lain. 4. Ilmu hukum pidana mempunyai objek terhadap peraturan hukum pidana pada suatu tempat dan waktu yang tertentu. BAB III KODIFIKASI DAN UNIFIKASI HUKUM PIDANA 1. Kodifikasi hukum pidana di Indonesia mendapat pengaruh dari kodifikasi hukum pidana di Nederland yang cukup berpengalaman menyusun pembaharuan kitab undang-undang hukum pidana 2. Kodifikasi dan unifikasi hukum pidana tahun 1915 setelah Indonesia merdeka 1945 masih dinyatakan berlaku atas dasar aturan peralihan UUD untuk mencegah terjadinya rechtvactuum. 3. Tidak ada hukum ang berlaku berdiri sendiri tanpa mendapat pengaruh dari bidang hukum lainya. Di dalam praktek menunjukan bahwa meskipun ada unifikasi hukum pidana tidaklah sepenuhnya dapat dijalankan bagi semua orang karena pengaruh hukum adat perdata bagi golongan masyarakat. BAB IV ASAS-ASAS YANG TERKANDUNG DALAM HUKUM PIDANA Asas-asas hukum pidana dapat digolongkan atas: 1. Asas yang telah dirumuskan dalam KUHP atau perundang-undangan lainya dibedakan menjadi: 1) Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat grondgebeid, mempunyai arti penting bagi tentang sampai dimana berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. asas berlakunya undang-undang hukum pidana dapat ditemukan dalam pasal 2-9 KUHP. Dapat dibedakan menjadi: a. Asas territorialiteit berarti perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, yang dilakukan oleh setiap orang baik sebagai warga negara maupun orang asing. pasal 2 dan 3 KUHP. 2

b. Asas personaliteit yang disebut dalam pasal 5 KUHP dapat dibagi atas tiga golongan masalah yaitu: 1. Pada ayat 1 ke 1 menentukan beberapa perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan nasional bagi Indonesia. Maka kepada setiap warga negara Indonesia yang berada diluar wilayah Indonesia melakukan perbuatan tertentu itu berlaku KUHP. 2. Pada ayat 1 ke 2 menentukan dengan syarat-syarat perbuatan yang terjadi harus merupakan kejahatan menurut KUHP dan perbuatan yang diancam oleh undang-undang hukum pidana negara asing dimana perbuatan terjadi. 3. Pada ayat 2 apabila orang asing diluar negri melakukan kejahatan (golongan kedua) dan sesudah itu melakukan naturalisasi menjadi WNI, maka penuntutan atas kejahatan pasal 5 ayat 1 ke 2 masih dapat dilaksanakan. c. Asas nationaliteit atau asas perlindungan. Dibedakan menjadi: 1. Passief nationaliteitbeginsel adalah asas yang menyatakan berlakunya undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah negara bagi setiap orang, warga negara atau orang asing yang melanggar kepentingan hukum Indonesia. Pasal 4 ayat 1, 2, 3 KUHP. 2. Asas universaliteit adalah asas yang menyatakan berlakunya undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia yang dilanggar dengan perbuatan pidana oleh setiap orang. pasal 9 KUHP 2) Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu tidjsgebeid, mempunyai arti penting untuk penentuan saat kapan terjadi perbuatan pidana. sumber utamanya tersimpul dalam pasal 1 ayat 1 KUHP antara lain yaitu: a. Mempunyai makna undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut. (Mr, J.E Jonkers). b. Mempunyai makna lex temporis delicti. Undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu. (Mr, D.H Suringa). c. Mempunyai makna nullum delictum noella poena sine pravie lege poenali. Tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu. Masalah yang paling prinsipil yang terkandung dalam asas legalitas, pada dasarnya satu sama lain berumber pada satu prinsip yaitu bahwa dalam menentukan pidana harus lebih dahulu dinyatakan dengan undang-undang yang berlaku secara umum. 3)

Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut orangnya, mempunyai arti penting untuk terjadinya perbuatan pidanan dan penuntutanya bagi seseorang dari suatu negara yang berbeda di luar wilayah negara lain. Akan tetapi lebih baik pembagian tersebut di pandang menjadi dua asas yaitu Asas berlakunya undangundang hukum pidana menurut tempat grondgebeid dan Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu tidjsgebeid. Hal ini disebabkan agar lebih mudah menghadapi dengan masalah lain yang berhubungan dan sering dicampuradukan yaitu mengenai tempat dan waktu perbuatan pidana. 3

4)

Asas yang tidak dirumuskan dan menjadi asas hukum pidana yang tidak tertulis, atau dianut dalam jurisprudensi. Asas yang tidak tertulis atau tidak diatur dengan tegas dalam KUHP akan tetapi telah dianggap berlaku dalam praktek hukum pidana, diantaranya: a.

Asas geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan.

b.

Rechtsvaardigingsgronden (alasan pembenar), yaitu penghapusan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang benar.

c.

Schulduitsluitingsgronden (alasan pemaaf), yaitu menghapuskan sifat kesalahan dari terdakwa meskipun perbuatanya bersifat melawan hukum tetapi tidak dipidana.

d.

Onvervolgbaarheid (alasan pengahpus penuntutan), yaitu pernyataan tidak menuntut karena tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum yang disebabkan konflik kepentingan dengan lebih mengutamakan kemanfaatanya untuk tidak menuntut Mr, J.E Jonkers.

BAB V DELICT YANG DIKENAL DALAM HUKUM PIDANA VOS mengemukakan delict dalam 2 pengertian, yaitu Tatbestandmassigkeit dan delic sebagai Wesenschau. Tatbestandmassigkeit adalah kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, sedangkan Wesenschau merupakan kelakuan yang mecocoki ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang. Maka baru dikatakan delict apabila kelakuan itu " dem Wesen nach" yaitu menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan. Bagi VOS strafbaarfeit memiliki pengertian suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. Sejalan dengan difinisi membedakan antara pengertian menurut teori dan menurut hukum positip itu, juga dapat dikemukakan pandangan dari J.E. JONKERS yang telah memberikan definis strafbaarfeit menjadi dua arti a. definisi pendek adalah suatu kejadian/feit yang dapat diancam pidana oleh undang-undang b. definisi panjang atau yang lebih mendalam adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan. (Jonkers 1946 83). Delict mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman pidana kepada barang siapa melanggarnya dan. Subjek utama delict pada umumya adalah manusia, yang kemudian berkembang cakupannya untuk badan hukum (lembaga). Dari jenis-jenisnya delict dibedakan menurut penggolongan di dalam KUHP, terdiri atas kejahatan (misdrivjen) dan pelanggaran (overtredingen). Atas dasar teoritis kejahatan adalah rechtsdelicten, sedangkan pelanggaran adalah wets delicten. Dalam ilmu pengetahuan rechtsdelicten diartikan sebagai perbuatan yang menurut hati nurani manusia dirasakan sebagai suatu perbuatan yang tidak adil, serta menurut undang-undang pun demikian. Sedangkan wetsdelicten merupakan suatu perbuatan yang hanya menurut undang-undang saja, itu pun ketika undang-undang mengancam denagan pidana baru dapat dikatakan perbuatan tidak adil dan terlarang.

4

Diluar delict yang ada dalam KUHP, masih terdapat delict-delict lain menurut pembagian ilmu pengetahuan, yaitu: 1. Dolcuse delicten dan culpose delicten

6. Enkelvoudige delicten dan samengestelde delicten

2. Formele delicten dan materiele delicten

7. Eenvoudige delicten dan gequalificeerde delicten.

3. Commissie delicten dan omissie delicten

8. Politieke delicten dan commune delicten

4. Zelfstandige delicten dan voortgezette delicten

9. Drlicta propria dan commune delicten

5. Aflopende delicten dan voordurende delicten

10.Delict yang ditentukan menurut pengsolongan kepentingan hukum yang dilindungi

Perumusan elemen delict pada umumnya terdiri dari perbuatan, akibat dari perbuatan, adanya unsur kesalahan dan melawan hukum, dan yang laing penting adalah adanya subsociale (unsur bahaya/gangguang/merugikan masyarakat). Selain elemen delict adapula syarat delict yaitu Bijkomende voorwaarde van strafbaarheid (suatu syarat dapat dipidananya suatu perbuatan). Dan Voorwaarde van vervoldbaarheid (syarat yang harus dipenuhi ketika dilakukan penuntutan). Wederrechtelijk mempunyai makna yang beragam, yaitu melawan hukum, bertentangan dengan hukum pada umumnya, bertentangan dengan hak pribadi seseorang. Melawan hukum harus diartikan sebagai melawan undangundang serta melawan aturan yang ada diluar undang-undang. Dalam menentukan tempat dan waktu terjadinya delict tidak diatur dalam undamg-undang. Maka digunakanlah jurisprudensi hakim dalma penentuan tempat dan waktu, yang menurut ilmu hukum disebut dengan locus delicti dan tempus delicti. Pada dasarnya locus dan tempus ditentukan menurut kelakuan yang secara materil terjadi. Namun dapat diperluas dengan alat/instrumen dana atau akibat/gevolgen. Ajaran locus delicti dan tempus delicti berlaku dalam hal comissie delicten dan omissie delicten. Kegunaan keduanya adalah untuk menentukan berlakunya peraturan hukum pidana atau kewenangan instansi untut menuntut dan mengadili. BAB VI PERBUATAN PIDANA Perbuatan pidana dapat diartikan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidan, barangsiapa melanggar laranagan tersebut. Dua macam bentuk pemisahan strafbar feit yaitu antara perbuatan pidana dan pertanggungan jawab dalam hukum pidana. Yang dilarang oleh aturan hukum adalah perbuatannya, dan yang diancam dengan pidana adalah orangnya yang melanggar. BAB VII KESALAHAN Untuk dapat memidanai seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu perbuatan yang yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan perbuatan yang diilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalah. Beberapa penulis menyebutkan kesalahan sebagai elemen subjektif dari strafbarfeit karena menunjuk kepada pertanggungjawaban dari sei pembuat atas perbuatan pidana yang telah dilakukan. MAZGER menyimpulkan bahwa kesalahan adalah suatu keadaan psychologis yang oleh penilai hukum pidana ditentukan sebagai perbuatan keliru. Kesalaahn tidak hanya terdiri dari atas kesengajaan atau 5

kealpaan saja, melainkan masih ada unsur batin lainnya yitu kemampuan bertanggungjawab dan unsur tidak adanya alasan pemaaf. Penjelasan isi kelapaan yang dimikian itu sebgaai berikut: a. Ia dapat “menginsyafkan” atas kekeliruannya, diartikan (1) Keadaan batinnya sedemikian rupa, sehingga dapat membedakan hal-hal baik dan buruk, dan mampu mnyesuaikan antara keadaan batin keadaan batin itu dengan perbuatannya. (2) Hubungan antara batin dengan perbuatannya dapat ditetapkan bahwa, memang kehendak tertuju kepada suatu perbuatan tertentu sehingga mengetahui apa yang dilakukan itu, seperti “kesengajaan” bisa juga berbantuk “kealpaan” b. Ia seharusnya memang dapat menghindarinya diartikan bahwa: (1) Adakah perbuatan yang dilakukan itu dengan kehendak yang bebas dari sudut physis maupun psychis. (2) Apakah kehendak orang yang erbuat itu bebas dan lepas dari ikatan dengan hal ikhwal/keadaan-keadaan yang lain. (3) Terhadap perbuatan kekeliruan karena melawan hukum sebagai dasar celaan itu diartikan bahwa: meskipun tidak termasuk bagian isi kesalahan, namun sudah jelas suatu kesalahan harus terlebih dahulu adanya perbuatan melawan hukum. Sehingga kesalahan berhbungan erat dengan sifat melawan hukumnya perbuatan. VAN HAMEL mengadakan tiga syarat untuk mampu bertanggung jawab yaitu: a. Bahwa orang itu mampu menginsyafkan arti perbutannya. b. Bahwa orang mampu menginsyafkan perbuatannya itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat. c. Bahwa orang itu mampu menentukan kehendak terhadap perbuatan itu. Insania moralis adalah seseorang yang mempunyai jiwa yang mampu berfikis secara sehat tetapi dalam hal kekusilaan ia tidka mampu memahami arti perbuatan terlarang. Bagi orang yang melakukan perbutan pidana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, maka kesalahannya pun tidka ada sehingga orang tersebut tidak dipidana. Tugas hakim yang paling penting adalah memberikan putusan bedasarkan asas-asas umum yang telah berkembang daripada hukum pidana atau termasuk pada tugas rechtvinding. Disamping kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan kealpaan masih ada pembagian lain dalam bentuk: dengan maksud, niat, serta dengan terencanakan lebih dahulu. Antara para ahli dikenal tiga bentuk kesengajaan: (1) Kesengajaan sebagai maksud (2) Kesengajaan sebagai kepastian (3) Kesengajaan sebagai kemungkinan Kealapaan adalah kebalikan daripada kesengajaan sekedar mengenai kesengajaan ditujukan perbuatan dengan menghendaki pada akibat, sedangkan dalam kealpaan seseorang berbuat tidak menghendaki akibat itu. Dan didalam ilmu pengetahuan dipakai istilah culpa. Culpa dibedakan menjadi culpa levisima dan culpa lata. Culpa levisima artinya kealpaan yang ringan, culpa lata adalah kelpaan yang berat. Oleh VOS dinyatakan bahwa culpa mempunyai dua elemen yaitu: a. Mengadakan perduga-duga terhadap akibat bagi si pembuat b. Tidak mengadakan penghati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat. Dasar hukum untuk memberikan pidana pada delik-delik culpa, belum terdapat kata sepakat diatara para ahli. VOS telah emmeberikan gambaran tentang dasar hukum perlunya pemidanaan terhadap delik culpa, yaitu: a. Atas dasar gevaarzetting yang hendak memberikan pidana kepada kelakuan yang menimbulkan suatu keadaan yang membahayakan. b. Atas dasar asocial suatu keadaan yang kurang memperhatikan kepentingan hukum orang lain, yang oleh sebab itu menimbulkan bahya bagi orang lain 6

BAB VIII AKIBAT HUKUM DARI PEMIKIRAN TENTANG PERBUATAN PIDANA DAN KESALAHAN 1. Perbuatan pidana akan mempunyai makna yang sama dengan strafbaar feit manakala dalam pengertian yang pendek/hukum positif, akan tetapi dapat pula berarti lain manakala strafbaar feit diberikan pengertian yang panjang/menurut doktrin ilmu pengetahuan.Sifat perbuatan pidana adalah sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum dalam UU, atau yang bertentangan dengan terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang adil dan aman, atau yang menimbulkan kerugian dalam masyarakat, atau yang menurut pandangan masyarakat sebagai anti sosial, ataupun sebagai perbuatan yang melawan hukum, dengan syarat utama bahwa menurut kenyataan ada peraturan yang melarang dan mengancam dengan pidana bagi pelanggarannya. Dalam ketentuan pasal 5 ayat (3) b dalam Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951, yang dapat menjadi kunci dasar hukum untuk berlakunya delict adat dengan syarat-syarat tertentu, disitupun disebutkan pula bahwa adanya istilah perbuatan pidana meskipun didalam bahasa Belandanya dipakai 2 istilah yaitu een criminile handeling dan een strafbaar feit. Bagi hukum pidana adat/delict adat perbuatan pidanya tidak ditentukan oleh peraturan formil yang bersifat statis karena sebagian besar hukum yang hidup didalam masyarakat merupakan hukum tidak tertulis. Perbuatan pidana yang hanya menunjukkan sifatnya perbuatan yang dilarang, tidaklah mungkin pengertian itu meliputi juga sifat dari dipidananya orang yang melanggar larangan. Beberapa peraturan hukum pidana Indonesia sekarang sudah banyak yang disusun atas dasar pemikiran pemisahan antara ketentuan perbuatan pidana dan ketentuan tentang pertanggungan jawab yang berupa ancaman pidana, seperti susunan daripada UU No.3 tahun 1971 tentang pemberantasan korupsi. Disitu jelas pada bab I membuat tentang perbuatan apa yang dilarang sebagai perbuatan pidana, sedangkan bab V memuat tentang ancaman pidana bagi orang/pembuat yang melanggar larangan. 2. Pengertian perbuatan pidana itu terpisah dari kesalahan, maka secara teoritis sudah mempunyai pedoman yang kokoh dan konsekuensinya adalah melakukan perbuatan pidana belum tentu dipidana, sebaliknya untuk dapat dipidana harus selalu melakukan perbuatan pidana. Dasar untuk menentukan adanya perbuatan pidana adalah pasal 1 ayat (1) KUHP yang didalam ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah nullum delictum nulla poena sine praevia lege. Sedangkan dasar untuk menentukan pidana adalah adanya kesalahan yang mempunyai asas tiada pidana tanpa kesalahan. Keadaan di Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan UUD 1945 yang menilik isinya mempunyai asas negara hukum dalam arti yang materiel, berarti pula tidak menolak pengertian hukum yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Dari dalam ketentuan TAP MPR No. IV/MPR/1973 yang berusaha menggerakan untuk segera menggantikan peraturan hukum peninggalan lama menjadi hukum nasional, maupun dari Per-UU-an yang baru terutama didalam UU No. 14/1970 tidak terdapat maksud-maksud untuk menghapus hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian menurut kenyataan di dalam masyarakat Indonesia telah dapat dikatakan bahwa berlakunya asas legalitas hukum pidana diterima secara formil berdasarkan peraturan undang-undang dan disamping itu secara materiel berdasarkan peraturan hukum, sehingga 2 segi yang berdampingan itu dapat menentukan isi atau makna perbuatan pidana. 3. Apabila ditinjau dari ukuran strafbaar feit yang tradisionil / yang panjang, dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana itu terletak pada lapangan yang obyektip karena menunjuk pada sifat kelakuan yang melanggar larangan dengan ancaman pidana tanpa adanya sebab-sebab yang menjadikan alasan penghapussifat melawan hukumnya perbuatan, sedangkan kesalahan terletak pada lapangan subyektip yang menunjuk pada sikap batin orang yang berupa kemampuan bertanggung jawab, umur tertentu, sengaja/alpa, tidak ada sebab-sebab yang menjadi alasan penghapus kesalahan. Ketika pasal 59 KUHP dibuat oleh M v T dinyatakan bahwa perbuatan pidana terjadi hanya dapat dipersalahkan kepada seseorang secara perorangan (natuurlijk persoon) dan pandangan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku didalam KUHP. Dalam hukum pidana di luar KUHP tersebut pada UU Daruat No. 7/1955 telah 7

menerima dasar perantaraan yang dapat menuntut dan memidana terhadap badan hukum atau korporsai. Apabila suatu badan hukum atau korporasi selalu ada orang-orang yang mengurus, dan terhadap orang-orangnya itu dapat dipidana atau mungkin tidak dapat dipidana berarti dipidananya badan hukum atau korporasi adalah karena “als dader”, seperti halnya dalam penyertaan (deelneming). BAB IX ASAS-ASAS DAN DASAR ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA 1. JONKERS memberikan tanda perbedaan, bahwa strafuitsluitingsgronden adalah pernyataan untuk dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging), sedangkan pada vervolgingsuitsluitingsgronden adalah pernyataan tuntutan tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum.Dasar alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden), terdapat didalam pasal 44 mengenai tidak mampu bertanggung jawab, pasal 48 mengenai daya paksa, pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa, pasal 50 mengenai melaksanakan perintah jabatan, pasal 59 mengenai pengurus yang tidak ikut melakukan pelanggaran. Schulduitsluitingsgronden merupakan “faits d’excuse” yang artinya dihapuskan dari pertanggungan jawab si pembuat atau dihapuskan kesalahan si pembuat sehingga perbuatan itu tidak dipidana, dengan kata lain disebut alasan pemaaf. Meskipun belum terdapat kesatuan pendapat untuk suatu bagian tertentu, akan tetapi didalam ilmu pengetahuan dapat dibuat inventarisasi daripada objectieve/subjectieve strafuitsluitingsgronden seperti pada susunan berikut: Rechtvaardigingsgronden diperinci menjadi: 1. Di dalam aturan umum (alegemene deel strafuitsluitingsgronden), 2. Di dalam ketentuan delict khusus (bijzondere deel strafuitsluitingsgronden), 3. Di luar kitab UU. Schulduitsluitingsgronden diperinci menjadi: 1. Di dalam aturan umum yang terdiri atas, ontoerekkeningsvatbaarheid pasal 44, 2. Di dalam ketentuan delict khusus yang terdiri atas pasal 110 ayat (4), 3. Di luar kitab UU yang terdiri atas, afwezigheid van alle schuld (a. v. a. s.) 2. Daya paksa Daya paksa – Overmacht yang disebut dalam pasal 48 KUHP memberikan dasar tentang tidak dipidananya suatu perbuatan karena didorong oleh keadaan memaksa. Daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan, suatu tekanan yang tidak dapat dielakkan. Pembagian secara tradisionil bentuk-bentuk daya paksa, terdiri atas : 1. Overmacht yang absolute atau physiekedwang (vis absoluta) 2. Overmacht yang relative (vis compulsiva) 3. Overmacht dalam arti sempit atau psychische drang, dan 4. Noodtoestand. Overmacht yang absolute tidak dimasukkan dalam jenis daya paksa, karena sesungguhnya paksaan physieke yang berasal dari orang lain itu menimbulkan keadaan sipembuat (orang yang terpaksa) menjadi alat belaka yang berada dalam tangan orang yang memaksa. Jonkers lebih suka membagi overmacht menjadi 3: 1. Overmacht yang absolute yaitu orang yang mengalami sesuatu yang tidak dapat dilawan karena pengaruh yang dialami baik yang bersifat jasmani maupun kejiwaan. 2. Overmacht yang relatieve yaitu orang yang mengalami pengaruh yang tidak mutlak akan tetapi paksaannya tidak dapat dilawan. 8

3. Noodtoestand yaitu keadaan darurat karena seseorang terpaksa melakukan didorong oleh keadaan dari luar untuk memilih diantara dua peristiwa yang sama jeleknya. Noodtoestand dapat terjadi karena adanya pilihan diantara kepentingan hukum (rechtsbelengen) maupun kewajiban hukum (rechtsplichten), seperti dalam bentuk: 1. Pertentangan dua kepentingan hukum, 2. Pertentangan antara dua kewajiban hukum, 3. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. 3. Pembelaan terpaksa – Noodweer Pasal 49 KUHP mengatur tentang pembelaan terpaksa dengan harus dipenuhi syarat-syarat tertentu untuk perbuatan itu tidak dapat dipidana. Pada hakekatnya pembelaan terpaksa adalah orang yang melakukan perbuatan dengan menghakimi sendiri (eigen-richting). Akan tetapi dalam batas tertentu diperkenankan karena semata-mata untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan oleh orang lain, yang dengan keadaan demikian itu tidak dapat diharapkan ada alat negara yang sempat memberikan peetolongan guna mencegah kejahatan dan oleh sebab itu diperkenankan berbuat membela diri. Perbedaan antara noodtoestand dan noodweer: 1. Dalam noodtoestand, terdapat pertentangan antara recht dengan recht, sedangkan pada noodweer terdapat pertentangan antara recht dengan onrecht. 2. Kepentingan hukum yang ada untuk noodtoestand tidak dibatasi, sedangkan pada noodweer diberi batasan hanya untuk tubuh manusia, kesusilaan dan benda (lijf, eerbaarheid en goed). 3. Dalam noodweer mengenal dengan tegas ketentuan noodweerexces, sedangkan terhadap noodtoestand tidak ada. 4. Noodweer untuk membela kepentingan hukum bagi diri sendiri atau orang lain, sedangkan pada noodtoestand tidak demikian. Syarat untuk terjadinya pembelaan terpaksa harus dipenuhi sifat-sifat yang berupa: 1. Harus ada serangan: a. Harus timbul mendadak (orgenblikkelijk) b. Yang mengancam secara langsung (onmiddelijk dreigend) c. Yang bersifat melawan hukum (wederrechtelijk zijn). 2. Ada pembelaan: A. Sifatnya harus terpaksa a. Dorongan yang dilakukan harus seimbang (gaboden) b. Kepentingan yang dibela hanya tubuh manusia, kesusilaan dan benda (lijf, eerbaarheid en goed). Noodweer merupakan perbuatan pembelaan terpaksaa, dan seimbang karena serangan atau ancaman serangan terhadap kepentingan hukum tertentu bagi diri sendiri atau orang lain. Pada noodweerexces (pasal 49 ayat 2) dapat diterima pula pendapat bahwa sikap melampaui batas itu merupakan keadaan yang istimewa sehingga dari wujudnya pembelaan yang terlampau itu masih tetap sebagai perbuatan yang melawan hukum, akan tetapi mengingat akibat kausalnya adalah kegoncangan jiwa yang sangat itu, maka dari perbuatan itu dihapuskan kesalahannya, dimaafkan, sehingga menjadi schulduitsluitingsground.

9

4.

Melaksanakan ketentuan UU "wettelijkvoorchrift"

Dasar alasan penghapusan pidana dari pasal 50 KUHP adalah paling mudah jalan pemikirannya, oleh karena sudah selayaknya barang siapa yang oleh undang-undang yang satu diperintah/diberi kekuasaan untuk menjalankannya, tidak akan dipidana oleh UU yang lain, sebab jika tidak demikian tidak akan ada orang yang berani menjalankan UU yang sering memuat larangan/perintah yang keras. 5.

Melaksanakan perintah jabatan - Ambtelijk bevel

Melaksanakan perintah jabatan dibedakan dalam 2 hal yaitu perintah jabatan yang wenang (pasal 51 ayat 1 KUHP) dan perintah jabatan tanpa wenang (pasal 51 ayat 2 KUHP). Hubungannya itu bersifat berlaku umum. Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak wenang (pasal 51 ayat 2) tidak dipidana, asalkan pembuat yang melaksanakan perintah jabatan itu memenuhi syarat: 1. Secara subyektif, dalam batin yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah itu tidak sah, jadi ada salah kira dari pihak yang diperintah. 2. Secara obyektif, adalah masuk akal karena perintah jabatan yang tidak sah itu masih dalam lingkungan pekerjaannya. Prof. Moeljatno SH, mempunyai pendapat lain bahwa pasal 51 ayat 2 KUHP itu merupakan alasan penghapus penuntutan, karena dalam hati pembuat tidak pernah menghadapi tekanan dari luar dan disitu pemerintah mendasarkan atas pertimbangan utilitas untuk tindak memidana. 6.

Tak mampu bertanggung jawab

Dasar penghapusan pidana karena tidak mampu bertanggungjawab dalam hal-hal tertentu karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau gangguan penyakit, telah diatur dalam pasal 44 KUHP. Pasal 44 mempunyai syarat bahwa harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan cacat pertumbuhan/penyakit jiwa yang diderita oleh pembuat. 7.

Alasan penghapus pidana yang putatif

Alasan penghapus pidana yang putatif disebabkan karena adanya salah paham (dwaling) atau karena dengan itikat baik (te goeder trouw) dan yang dapat meliputi bentuk-bentuk putatif pada daya paksa, pembelaan terpaksa, melaksanakan UU dan perintah jabatan. 8.

Pembagian lain dari alasan penghapus pidana.

Alasan penghapus pidana dapat pula terjadi karena hal-hal diluar ketentuan UU yang sudah diakui oleh ilmu pengetahuan hukum pidana.

10

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA Prof. Moeljatno S.H TENTANG HUKUM PIDANA DAN ILMU HUKUM PIDANA Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melaranggar larangan tersebut. 2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Ilmu Hukum Pidana Objek dari ilmu ini adalah aturan-aturan hukum pidana yang berlaku di suatu negara, bagi kita hukum pidana Indonesia. Hukum Pidana yang berlaku dinamakan hukum pidana positif. Tujuannya ialah menyelidiki pengertian objektif dari hukum pidana positif. “Rechtswissenschaft ist die Wissenschaft vom obyektiven sinn des positiven Rechts”, demikian Prof. Radbruch dalam Vorschule der Rechtsfilosofie (1948). Penyelidikan tersebut melalui tiga fase, tiga StufenI, yaitu: 1. Interprestasi Bertujuan untuk mengetahui pengertian objektif dari apa yang termaktub dalam aturan-aturan hukum. Akibatnya ialah bahwa aturan-aturan hukum lalu dirasa sebagai penghalang perkembangan masyarakat. 2. Konstruksi. Konstruksi adalah bentukan yuridis yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang tertentu, dengan tujuan agar apa yang termaktub dalam bentukan itu merupakan pengertian yang jelas dan terang. Rumusanrumusan delik misalnya adalah suatu konstruksi yuridis. Misalnya: pencurian dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai: mengambil barang orang lain, dengan maksud memilikinya secara melawan hukum (secara tidak sah). Semua perbuatan yang dapat dimasukkan dalam konstruksi ini itulah yang menurut hukum dianggap sebagai pencurian. 3. Sistematik. Sistematik adalah mengadakan sistem dalam suatu bagian hukum pada khususnya atau seluruh bidang hukum pada umumnya. Maksudnya ialah agar peraturan-peraturan memberi kegunaan yang maksimal kepada masyarakat.

11

ILMU HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI Hukum Pidana

Kriminologi

ilmu tentang hukumnya kejahatan objek ilmu hukum pidana adalah aturanaturan hukum yang mengenai kejahatan atau yang bertalian dengan pidana Tujuannya agar dapat mengerti dan digunakan dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya

ilmu tentang kejahatannya sendiri objek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahtan (si penjahat) itu sendiri Tujuannya agar menjadi mengerti apa sebabsebabnya sehingga sampai berbuat jahat itu. Criminal biology menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab dari perbuatannya. Criminal sosiology, yang mencoba mencari sebab-sebab dalam lingkungan masyarakat di mana penjahat itu berada. Criminal policy, yaitu tindakan-tindakan apa yang sekiranya harus dijalankan supaya orang lain tidak berbuat demikian.

Ilmu hukum pidana dan kriminologi seperti dalam pandangan di atas, merupakan pasangan, merupakan dwitunggal. Yang satu melengkapi yang lain. Kedua ilmu ini di Jerman dicakup dengan nama: Die gesammte Strafrechtswissenschaft, dan dalam negeri-negeri Angelsaks: Criminal science.

HUKUM PIDANA INDONESIA Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturannya telah disusun dalam satu kitab undang-undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem yang tertentu. Pernyataan bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang ini telah dikodifikasi dan diunifikasi, sesungguhnya adalah kurang tepat, sebab belum begitu lama berselang; untuk beberapa daerah di luar jawa dahulu masih ada pengadilan-pengadilan adat dan pengadilan swapraja yang untuk mereka yang yustisiabel kepada pengadilan tersebut antara lain juga masih berlaku hukum adat.

12

HUKUM PIDANA UMUM, HUKUM PIDANA MILITER, DAN HUKUM PIDANA FISKAL. Hukum Pidana Umum dan

Hukum Pidana Fiskal

Militer het

gemeenestrafrecht,

yaitu

Hukum pidana fiskal berupa aturan-aturan dan

berlaku untuk umum.karena itu

ketentuan-ketentuan pidana yang tersebut dalam

juga berlaku bagi para militer,

perundang-undangan (alg. Verord) mengenai

meskipun bagi mereka itu khusus

penghasilan dan persewaan negara (s Lands

berlaku pidana militer (S. 1934-

middelen en pachten) yang sistemnya berlainan

167 jo. Undang-Undang 1947 No.

dengan sistem KUHP.Peraturan-peraturan pidana

39). Bahwa hukum pidana sipil ini

dalam

juga berlaku bagi anggota-anggota

pelanggaran, tetapi perihal:

tentara, antara lain ternyata dalam

a.

Pasal 1 dikatakan bahwa aturan-

hukum

fiskal

dipandang

sebagai

Menyerahkan terpidana pada pemerintah jika belum berumur 16 tahun;

aturan umum termasuk juga Bab

b.

Percobaan dan pembantuan;

IX KUHP pada umumnya berlaku

c.

Tenggang (termijn) kedaluwarsa (verjaring).

dalam militer.

menggunakan

KUHP

Untuk penentuan dan penjalanan pidana, tidak diikuti aturan-aturan mengenai hal itu yang berlaku bagi pelanggaran, tetapi yang berlaku bagi kejahatan.Oleh karena perbuatan-perbuatan pidana fiskal, jika tidak ditentukan lain, dipandang sebagai pelanggaran, maka dalam pembuktian juga diurut pembuktian yang berlaku bagi pelanggaran, yaitu bahwa pada umumnya tidak perlu dibuktikan tentang

kesalahan

terdakwa,

cukup

bahwa

dibuktikan terdakwa melakukan perbuatan pidana itu.

ASAS HUKUM DELICTUM NULLA POENA SINE PRAEVIA LEGE Ucapan Nullum delictum nulla poena sine praevia legi ini berasal dan Von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775 – 1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah Latin tadi dalam bukunya: Lehrbuch des peinlichen Recht (1801). Perumusan asas legalitas dan von Feurbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom psychologischen Zwang”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. 13

Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu: 1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogis (kias). 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. PERUBAHAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT TERJADINYA PERBUATAN Tidak tiap-tiap perubahan perundang-undangan dapat dipandang sebagai perubahan perundang-undangan dalam arti Pasal 1 Ayat 2 KUHP. Harus dilihat lebih dulu apakah yang mendorong pembuat undang-undang untuk mengadakan perubahan. Jika yangmendorong adalah perubahan pandangan tentang patut atau tidak patut dipidananya sesuatu perbuatan yang telah dilakukan, maka itu adalah perubahan yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat 2 KUHP. Jika seseorang melakukan kejahatan (Verbrechen oder Vergehen) pada saat sebelum berlakunya undangundang ini, tetapi baru diadili sesudahnya berlaku, maka undang-undang ini hanya digunakan jika lebih ringan bagi terdakwa. Yang perlu mendapat perhatian ialah catatan seseorang penulis Blakemore pada Pasal 6 itu. Dikatakan bahwa, meskipun pengurangan menurut undang-undang pada maksimum pidana yang diancamkan terhadap suatu kejahatan, tidak berlaku surut (does noy apply retroactively) bagi orang-orang yang telah menjalani pidananya menurut aturan yang lama, namun biasanya hal itu merupakan dasar untuk mengadakan pengurangan secara administratif. BATAS-BATAS BERLAKUNYA PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM MENURUT TERJADINYA PERBUATAN Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum menurut waktu atau saat terjadinya perbuatan. Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP sebaliknya diadakan peraturan-peraturan mengenai batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat perbuatan. Ditinjau dari sudut negara, ada dua kemungkinan pendirian yaitu : 1. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warganya sendiri maupun oleh orang asing (azas teritorial). Titik berat ditujukan kepada terjadinya perbuatan di dalam wilayah negara. Siapa yang melakuakannya atau orang asing, tidak menjadi soal. 2. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara dimana saja juga diluar wilayah negara (azas personal) juga dinamakan prinsip nasionalitas aktif. Titik beratnya diletakan kepada orang yang melakuakan perbuatan pidana, tempat terjadinya delik adalah tidak penting. Azas kedua tidak mungkin lagi digunakan sepenuhnya apabila warga negara berada dalam wilayah negara lain yang kedudukannya gecoordineerd, artinya yang sama-sama berdaulat, karena bertentangan dengan kedaulatan 14

negara ini, apabila ada orang asing di dalam wilayahnya, tidak diadili menurut hukum negara itu. Hanya jika orang itu ada dalam wilayah negara yang gesubordineerd dengan negaranya sendiri, azas ini dapat digunakan, sebagai contoh yang dekat ialah sewaktu pendudukan Jepang di Indonesia. ISTILAH PERBUATAN PIDANA Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dengan ancaman pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan bukan orang. Dan orang tidak dapat diancam hukum pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian absrtrak yang menunjukan kepada dua keadaan konkrit. Karena itulah, kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagaimana halnya dalam pasal 14 ayat 1 UUD sementara dahulu, yang memakai istilah “peristiwa pidana” sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya : matinya orang. Peristiwa ini saja tidak mungkin dilarang. Hukum pidana tidak melarang adanya orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Jika matinya orang itu karena keadaan alam entah karena penyakit, entah karena sudah tua, maka peristiwa itu tidak penting sama sekali bagi hukum pidana. Juga tidak penting, jika matinya orang itu karena binatang. Baru apabila matinya ada hubungan dengan kelakuan orang lain, disitulah peristiwa tadi penting bagi hukum pidana. Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari “perbuatan” tapi tindak tidak menunjuk kepada hal yang abstrak dari perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit. UNSUR-UNSUR ATAU ELEMEN-ELEMEN PERBUATAN PIDANA kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan adanya keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal mana oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang diluar si pembuat.contohnya adalah: *Dalam pasal 160 KUHP, penghasutan

*Dalam Pasal 331 KUHP. Keharusan

harus dilakukan ditempat umum. Dalam

memberi pertolongan pada yang sedang

pasal 332 (Schaking, melarilan wanita)

menghadapi bahaya maut. Jika tidak

disebut

memberi pertolongan, orang tadi baru

bahwa

perbuatan

itu

harus

disetujui oleh wanita yang dilarikan

melakukan

sedangkan

tidak

orang yang dalam bahaya tadi kemudian

Kadang-kadang dalam

lalu meninggal. Hal ikhwal tambahan yang

rumusan perbuatan pidana yang tertentu,

tertentu seperti yang dicontohkan diatas

pihak

menyetujuinya.

orangtuanya

15

perbuatan

pidana

kalau

dijumpai adanya ikhwal tambahan yang

dalam

buku-buku

tertentu pula; misalnya dalam pasal 164,

dinamakan :Bijkomende voorwarden van

165: kewajiban untuk melapor kepada

Strafbaarheid

yang berwajib jika mengetahui akan

tambahan untuk dipidananya (strafbaar)

terjadinya suatu kejahatan, Orang yang

seseorang.

tidak melapor baru melakukan perbuatan

terjadinya kemudian dinamakan: unsur

pidana, kalau kehatan tadi kemudian betul-

tambahan, karena rationya atau alasannya

betul terjadi. Hal kemudian terjadinya

untuk mengadakan syarat tersebut ialah

kejahatan itu merupakan unsur tambahan.

bahwa

tanpa

Belanda

yaitu

syarat-syarat

Keadaan-keadaan

adanya

keadaan

yang

itu,

perbuatan yang dilakukan tidak cukup merupakan

pengganguan

ketertiban

masyarakat, sehingga tidak perlu adanya sanksi pidana.

Ada keadaan-keadaan tambaha lain yang ditimbulkan sesudah dilakukan perbuatan yang tertentu tapi tidak merupakan “bijkomende voorwaarde van Strafbaarheid” seperti diatas. Tanpa adanya keadaan tambahan tersebut terdakwa telah melakukan perbuatan pidana, yang dapat dituntut untuk dijatuhi pidana sebagaimana diancamkan. Tapi dengan adanya keadaan tambahan tadi, ancaman pidana lalu diberatkan. Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsur-unsur yang memberatkan pidana. CARA ATAU TEKHNIK UNTUK MERUMUSKAN PERBUATAN PIDANA Maksud untuk menunjukan perbuatan perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa Elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang. Untuk membedakan bahwa yang dilarang itu bukanlah tiap-tiap pengambilan barang orang lain, maka dalam pasal 362 KUHP disamping unsur-unsur tadi, ditambah dengan elemen lain yaitu dengan maksud dimilikinya secara melawan hukum. Jadi rumusan pasal pencurian dalam pasal 362 tadi terdiri atas unsur-unsur: 1. Mengambil barang orang lain dan 2. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.

PEMBAGIAN PERBUATAN PIDANA DALAM KEJAHATAN DAN PELANGGARAN Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas Kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya, dan ternyata antara lain dari pasal 4,5,39,45, dan 53 buku ke-1. Buku II adalah melulu tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran.

16

Menurut M.v.T (Smidt I hlm 63 dan seterusnya) pembagian atas dua jenis tadi didasarkan atas perbedaan prinsipiil. Dikatakan, bahwa kejahatan adalah rechtdelicten yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai Onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah Wetsdelijktern yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan adalah lebih berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa, Pidana penjara diancamkan pada kejahatan saja. Jika mengahadapi kejahatan maka dibentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. PEMBAGIAN-PEMBAGIAN LAIN DARI PERBUATAN PIDANA Selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam: 1. Delik dolus dan delik culpa Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan: misalnya pasal 338 KUHP “dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan delik culpa, orang juga dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaanya. 2. Delik comissionis dan delikta omnis Yang pertama adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (pasal 362), menggelapkan (pasal 372) menipu(378) yang kedua adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat. Misalnya delik dirumuskan dalam pasal 164. Mengetahui suatu permufakatan jahat (samenspanning) untuk melakukan kejahatan tersebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang yang terkena. Ada pula yang dinamakan delikta commisionis per omissinem commisa, yaitu delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang merampas nyawa anaknya dengan jalan:tidak memberi makan pada anak itu. 3. Delik biasa dan delik yang dikualisifir Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Ada kalanya unsur-unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa, ada kalanya obyek yang khas, ada kalanya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang merupakan delik biasa tadi. 4. Delik menerus dan tidak menerus. Dalam delik menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus, misalnya pasal 333 KUHP yaitu orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah (wederrchtlijke vrijheidhsberoving). Keadaan yang dilarang itu berjalan terus sampai korban dilepas atau mati. 17

LOCUS DELICTI, TEMPUS DELICTI Locus delicti perlu diketahui untuk: 1. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak. 2. Menentukan kejaksaan dan pegadilan mana yang harus mengurus perkaranya. Tempus delicti adalah penting berhubung dengan: 1. Pasal 1 KUHP: Apakah perbuatan yang bersangkut paut pada waktu itu sudah dilarang dan diancam dengan pidana? 2. Pasal 44 KUHP: Apakah terdakwa ketika itu mampu bertanggung jawab? 3. Pasal 45 KUHP: Apakah terdakwa ketika melakukan perbuatan sudah berumur 16 tahun atau belum? 4. Pasal 79 (verjaring atau kadaluwarsa). Dihitung mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi. 5. Pasal 57 HIR. Diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan (op heterdaad) Menurut teori, biasanya tentang locus delicti ini ada 2 aliran, yaitu: 1. Aliran yang menentukan disatu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat. 2. Aliran yang menentukan dibeberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, dan mungkin pula tempat akibat. Sebagai contoh dari aliran yang pertama adalah arrest HR di Nederland tahun 1889 tentang penipuan (lihat kumpulan arrest hukum pidana Bemmelen kaca 40 no 14). Aliran pertama ini antara lain dianut oleh Pompe (hlm 72 dan 73) dan Langemeyer (jilid I hlm 62). Menurut aliran kedua, locus delicti adalah boleh pilih antara tempat dimana perbuatan dimulai dengan kelakuan terdakwa hingga perbuatan selesai dengan timbulnya akibat. TENTANG KELAKUAN ATAU TINGKAH LAKU Tingkah laku itu ada yang positif dan ada yang negatif. Dalam hal kelakuan positif terdakwa berbuat sesuatu, sedangkan dalam hal negatif dia tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Menurut Pompe makna gedraging (kelakuan) dapat ditentukan 3 syarat, yaitu: suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang, yang tampak keluar, dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum. Prof Moeljatno lebih condong kepada pendapat Vos, yaitu hanya sikap jasmani yang disadari sajalah yang masuk dalam pengertian kelakuan. Tetapi batasan “yang disadari” ini jangan diartikan bahwa sikap itu selalu dan untuk seluruhnya harus tegas kita insafi, tetapi harus diartikan secara negatif, yaitu tidak termasuk kelakuan jika sikap jasmani yang tertentu betul-betul tidak disadari. Sesungguhnya, syarat batin ”disadari” disamping syarat lahir “sikap jasmani” untuk adanya kelakuan. TENTANG AKIBAT DAN HUBUNGAN KAUSAL Dalam delik-delik yang dirumuskan secara materi, disitu ada keadaan yang tertentu yang dilarang, misalnya dalam pembunuhan: adanya orang yang mati. Untuk dapat menuntut seseorang karena disangka membikin mati A tadi maka harus dibuktikan bahwa karena kelakuan orang itu lalu timbul akibat, yaitu matinya A. Dikatakan bahwa

18

antara matinya A dan orang tadi harus ada hubungan kausal. Juga dapat dikatakan bahwa kelakuan orang tadi menjadi musabab matinya A. Selain dalam delik-delik yang dirumuskan secara materi maka penentuan hubungan kausal diperlukan pula dalam delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg gequalifiseerde delikten), yaitu dimana karena timbulnya suatu akibat yang tertentu, ancaman pidana terhadap delik tersebut diberatkan. Tanpa adanya hubungan kausal antara akibat yang tertentu dengan kelakuan orang yang didakwa menimbulkan akibat tadi maka tidak dapat dibuktikan bahwa orang itu yang melakukan delik tersebut, apalagi dipertanggungjawabkan kepadanya. TEORI CONDITIO SINE QUA NON Ada aliran yang mengatakan bahwa tidak mungkin ditetapkan secara positif apa yang menjadi musabab dari suatu akibat. Yang mungkin hanyalah menentukan secara negatif yaitu apakah akibat tersebut dapat dipikirkan tanpa adanya musabab atau hal tersebut menjadi musabab dari akibat itu. Teori ini dalam hukum pidana diajukan oleh von Buri dan dinamakan teori Conditio sine qua non (syarat-syarat tanpa mana tidak). Menurut beliau, musabab adalah setiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Teori ini juga dinamakan teori ekuivalensi, yaitu karena menurut pendiriannya setiap syarat adalah sama nilainya (equivalent). Juga dinamakan Bedingungstheorie, karena baginya tidak ada perbedaan antara syarat dan musabab. Teori ini dahulu dianut oleh antara lain Reichsgericht Jerman, yaitu mahkamah tertinggi Jerman sebelum kalah dalam perang dunia kedua. Di negara Belanda penganutnya antara lain adalah Van Hamel. TEORI YANG MENGGENERALISASI Prof. Simons yang pandangannya mengenai hubungan kausal digolongkan disini, berpendapat bahwa musabab adalah tiap-tiap kelakuan yang menurut garis-garis umum mengenal pengalaman manusia (naar de algemene regelen der menselijke ervaring) patut diadakan kemungkinan, bahwa karena kelakuan itu sendiri dapat ditimbulkan akibat. Keberatan terhadap teori yang menggeneralisasi ialah, bahwa mereka dalam mencari batasan antara syarat dan musabab, berpikir secara abstrak dan umum, sehingga dengan demikian sesungguhnya telah melepaskan diri dari perkara yang konkret, yang tertentu, dan yang penyelesaiannya justru diharapkan dari penentuan batas tersebut. Hemat saya, dalam menghadapi suatu perkara, untuk memberi putusan yang tepat, tidak dapat dipakai sebagai dasar keadaan-keadaan yang abstrak dan umum, tetapi memerlukan penelitian yang rapi terhadap perkara tertentu, yang konkrit dihadapi itu; agar seluruh fakta yang mungkin diketahui secara objektif diwaktu itu, dan mempunyai pengaruh pada terjadinya akibat, ikut dipertimbangkan dalam penentuan batas antara syarat dan musabab. TEORI YANG MENGINDIVIDUALISIR Yang terkenal dalam golongan ini adalah teori yang diajukan oleh Birkmeyer beliau mengambil sebagai pangkal bertolak teori Conditio sine qua non. Theory der meistwirksame Bedingung. Keberatan yang diajukan terhadap teori ini ialah bagaimana dapatnya mengukur kekuatan sesuatu syarat untuk menentukan nama yang paling kuat, yang paling banyak membantu pada timbulnya akibat. Dalam golongan ini dapat disebut teori yang diajukan oleh Schepper, guru besar hukum pidana R.H.S. Batavia dahulu (Jaarboekje R.H.S. 1927). Hal-hal yang penting dalam pandangan beliau adalah: 19

1. Hubungan kausal letaknya di lapangan sein, lapangan lahir, hal mana yang harus dipisahkan dari pertanggung jawaban yang ada di lapangan Sollen, lapangan bathin. 2. Musabab adalah kelakuan yang mengadakan fak tor perubahan dalam suasana keseimbangan yang menjadi pangkal peninjauan dari kompleks kejadian yang harus diselidiki dan yang memberi arah dalam proses alam, menuju kepada akibat yang dilarang. 3. Faktor perubahan yang menuju arah akibat tersebut dalam hanya relative saja, tetapi secara negatif sudah dapat ditarik batas yang pasti, yaitu bahwa: manakala untuk kejadian itu selain daripada hubungan yang kita dapatkan, masih ada lain kemungkinan untuk menerangkannya (andree verklarings mogelijkheid) yang sama kuatnya atau melebihi dari hubungan yang didapatkan tadi, maka disitulah ternyata, bahwa hubungan yang pertama itu tidak kuat untuk dijadikan dasar dari delik. TEORI OBJEK NACHTRAGLICHE PROGNOSE obyektif nachtragliche prognose Menurut Rumelin dalam menentukan apakah suatu kelakuan menjadi musabab dari akibat yang terlarang yang harus dijawab ialah: Apakah akibat itu, dengan mengingat semua keadaankeadaan obyektif yang ada pada saat sesudahnya terjadi akibat, dapat diramalkan akan timbul dari kelakuan itu. Dengan demikian, jadi dengan peninjauan post faktum itu dapat dikatakan pula, bahwa teori Rumelin ini tergolong teori yang meng-individualisir, sehingga perbedaan antara hari ini dengan teori yang saya ajukan di atas ialah mengena: Ukuran apakah yang dipakai untuk meramalkan akan timbulnya akibat dari kelakuan yang tertentu. ALASAN PEMBENAR ,PEMAAF DAN ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN. Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Title ke-3 dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang menghapuskan pidana. Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi : 1. Alasan pembenar: yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. 2. Alasan pemaaf : yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak bisa dipidana karna tidak ada kesalahan. 3. Alasan penghapus penuntutan : dalam hal ini tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaafjadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. TENTANG DAYA PAKSA ( OVERMACHT ). Dalam pasal 48 berbunyi : barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. Kata dayapaksa ini adalah salinan kata belanda “overmacht” yang artinya kekuatan atau daya yang lebih besar. Engelbrecht menyalin pasal tersebut seperti berikut : tidak boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan karena terdorong oleh berat lawan.

20

Dalam dayapaksa yang sempit inisiatif untuk berbuat kearah perbuatan yang tertentu ada pada orang yang memberi tekanan. Sedangkan dalam keadaan darurat orang yang terkena bebas untuk memilih perbuatan mana yang dilakukan, inisiatif ada padanya sendiri. Apakah dayapaksa merupakan alasan pembenar atau pemaaf ? menurut Van hattum dalam pasal 48 hanya ada alasan pemaaf perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum tetapi kesalahannya bisa di maafkan karena pengaruh dayapaksa tadi. Dalam dayapaksa yang sempit orang yang melakukan perbuatan tidak dapat bebas menentukan kehendaknya akibat adanya tekanan psychis dari orang lain tapi ada kalanya juga karena keadaan.

PEMBELAAN TERPAKSA ( NOODWEER ). Pasal 49 ayat 1 berbunyi barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan ( eerbaarheid ) atau harta benda sendiri maupun orang lain tidak dipidana. Kalimat ini masih dapat disingkat sebagai berikut : barang siapa terpaksa melakukan pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri, kehormatan kesusilaan atau harta benda baik kepunyaan sendiri maupun orang lain tidak dipidana. Yang menjadi soal pertama adalah perbuatan yang dimaksud dalam pasal 49 ayat 1 KUHP harus berupa pembelaan artinya lebih dahulu harus ada hal-hal memaksa terdakwa melakukan perbuatannya. Hal-hal iyu dalam pasal tadi di rumuskan sebagai adanya serangan atau ancaman serangan. Ukuran yang pokok harus diambilkan dari kata “ terpaksa “ yaitu pembelaannya harus bersifat terpaksa artinya tidak ada jalan lain bagi yang terkena untuk pada saat-saat itu menghalaukan serangan. Jika demikian maka dalam kata “ terpaksa melakukan pembelaan “ ada 3 pengertian yaitu : 1. Harus ada serangan atau ancama serangan. 2. Harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan pada saat itu. 3. Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan ancaman serangan. TENTANG MELAKSANAKAN UNDANG-UNDANG DAN PERINTAH JABATAN. Dalam pasal 50 : Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana. Pasal 51 ayat 1 : barangsiapa melaukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wewnang tidak dipidana. Dalam kedua hal itu ada alasan pembenar sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa benar dan sudah semestinya. Pasal 51 ayat 2 : perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. Mengenai isi ayat 2 pasal 51 yang pertama-tama harus ditonjolkan ialah bahwa disitu meskipun tidak secara terang-terangan tersimpul gagasan penting yaitu bahwa tidak tiap-tiap pelaksanaan perintah jabatan melepas orang yang diperintah dari tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Dengan kata lain disitu termasuk dari apa yang

21

dinamakan disiplin bangkai. Pemerintah kita mengutuk orang yang secara membuta tanpa dipikir-pikir lebih dahulu menjalankan begitu saja perintah dari atasannya. Untuk dapat melepas orang yang diperintah dari tanggungjawab atas perbuatannya menurut ayat tersebut ada 2 syarat : 1. Yang subyektif yaitu dalam batin orang yang diperintah harus mengira bahwa perintahnya adalah sah baik dilihat dari segi pejabat yang mengeluarkan perintah maupun dari segi macamnya perintah. Tetapi meskipun terdakwa mengatakan dia mengira bahwa perintah adalah sah tetapi kalau hal itu dengan wajar tidak dapat disimpulkan dari fakta-fakta yang ada maka disitu unsure dengan itikad baik tidak ada. 2. Jika terdakwa mengira bahwa perintah adalah sah atau berwenang maka apa yang diperintahkan itu secara obyektif yaitu dalam kenyataannya harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya. Bahwa perbuatan yang dilakukan karena perintah tanpa wewenang tetap bersifat keliru atau melawan hukum sehingga tidak mungkin merupakan alasan pembenar. Karenanya kebanyakan kali dikatakan disitu ada alasan pemaaf. PERTANGGUNG JAWABAN DALAM HUKUM PIDANA. Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het meteriele feit ( fait materielle ). Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H.R. 1916 nederland hal itu ditiadakan. Juga bagi delik-delik jenis overtredingen, berlaku asas tanpa kesalahan tak mungkin dipidana. Menurut Simons kesalahan adalah adanya adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Untuk adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana : a. Adanya keadaan psychis ( batin ) yang tertentu. b. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan. kesengajaan adalah kesalahan yang besar, sedangkan kealpaan kesalahan yang kecil. Karenanya dalam KUHP sistemnya ialah bahwa delik-delik dolus diancam dengan pidana yang jauh lebih besar daripada ancaman bagi yang culpa, contoh pasal 338 (pembunuhan (dolus ) 15 tahun, pasal 359 menyebabkan mati karna kealpaan 1 tahun penjara, pasal 354 penganiyaan berat 8 tahun, pasal 360 menyebabkan dengan luka berat 8 bulan penjara. ( mengenai pasal-pasal ini diadakan perubahan dalam tahun 1860 diancam pidana dijadikan 5 tahun ). Dengan demikian untuk adanya kesalahan terdakwa harus : a. Melakukan perbuatan pidana. b. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab. c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan. d. Tidak adanya alasan pemaaf. KEMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB

22

Dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggun jawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal, yang sehat. Dalam KUHP kita tidak ada, keuntungan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang berhubungan dengan ituialah pasal 44: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Kalau tidak dapat dipertanggung jawabkan itu disebabkan karena hal lain, misalnya jiwanya tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, pasal tersebut tidak daoat dipakai. Dari ucapan-ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada: 1. Kemampuan untuk mebeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hokum dan yang melawan hukum. 2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur (elemen) kesalahan.Karenanya mestinya untuk membuktikan adanya kesalahan, unsur tadi harus dibuktikan pula.Ini sangat sukar, karena pada umumnya orangorang adalah normal batinnya, diam selalu ada, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. KESENGAJAAN Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. de op verwerkelijking der wettelijke omschrijving gerichte wil, sedangkan menurut yang lain, kesengajaan adalah kehendak utnuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlakukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bj voorstelling van de tot de wettelijke omsch). Munurut teori inkauf nehmen untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat: A. Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang merupakan delik. B. Sikapnya terhadap kemungkinan itu andai kata sungguh timbul, ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan berani pukul resikonya KESENGAJAAN ATAU KEALPAAN MENGENAI SESUATU UNSUR DELIK YANG TERTENTU, PRO PARTE DOLUS, PRO PARTE CULPA, KESENGAJAAN BERWARNA. Kesengajaan atau kealpaan terhadap suatu unsur delik yang tertentu yang masing-masing merupakan delik dolus dan delik culpa dengan ancaman pidana yang berbeda-beda, dalah KUHP dijumpai juga rumusan delik dimana terhadap suatu unsur yang tertentu berlaku berbareng kesengajaan atau kealpaan, dengan ancaman pidana yang sama. Contohnya, dalam pasal 480 disebutkan disebutkan bahwa untuk adanya penadahan, benda yang dibeli, disewa dan sebagainya, oleh terdakwa, harus diketahui atau sepatutnya harus diduga (redelijkerwijs moeten vermoeden) bahwa berasal dari kejahatan, bukan saja disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup juga ada kealpaan terhadapnya. Bagaimana tentang hubungan batin anatara terdakwa dan sifat melawan hukumnya perbuatan?

23

Dalam menguraikan unsur-unsur perbuatan pidana diambil sebagai pendiri bahwa, meskipun biasanya unsur melawan hukum tidak disebut dalam rumusan delik, namun sifat itu merupakan syarat mutlak baginya, sehingga manakala tidak disebut dengan nyata-nyata dalam rumusan, sifat melawan hukum tersebut dianggap dengan diamdiam selalu ada. Sebab justru karena adanya sifat itulah maka perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana. ERROR IN PERSONA DAN ABERATIO ICTUS Error in persona adalah suatu dwaling ,suatu paham atau kekeliruan dari pihak terdakwa terhadap orang yang akan dituju .jadi salah paham tentang objeknya perbuatan,umpamanya: Apabila yang akan dibunuh itu A ,padahal sesungguhnya yang dianggap A itu adalah B. Dalam keadaan semacam itu dikatakan bahwa terdakwa tidak mempunyai kesengajaan untuk membunuh B. Kalau begitu,apakah terdakwa tidak dapat dipidana? Tentu saja dapat,tergantung dari bunyi dakwaan.Jika dakwaan tidak dipidana maka memang tidak ada kesengajaan.Yang ada adalah membunuh.

VOORBEDACHTE READ (DOLUS PRAEMEDITATUS) Unsur ini sering diterjemahkan dengan rencana lebih dahulu,kita jumpai dalam pasal 340 KUHP,yaitu yang menentukan bahwa doodslag (pembunuhan) yang dilakukan oleh voorbedachte raad dinamakan moord dan diancam dengan pidana lebih berat daripada pembunuhan biasa dalam pasal338.Dalam pembunuhan biasa itu adalah 15 tahun.Tetapi ,jika direncanakan terlebih dahulu maka bisa seumur hidup.Menurut M.v.T.(Simons II hlm .460)voorbedachte raad yaitu pertumbuhan kehendah untuk membunuh itu secara demikian tadi(tiba-tiba) , tetapi melakukan perbuatannya in koelen bloede (dengan hati-hati). Menurut Jonkers unsur voorbedacthte raad biasanya dirumuskan dalam tuduhan sebagai melakukan perbuatan sebagai direncanakan dengan pertimbangan yang tenang.Karena hal yang melakukan perbuatan sebagi direncanakan dengan hati tenang sangat susah sekali untuk dibuktikan. KEALPAAN Pada umumnya kejahatan terjadi karena kesengajaan ,tetapi ada kalanya seandainya pidana itu terjadi karena kealpaan atau sebuah kelalaian. Dalam kaalpaan dalam pidana ini bukan semata-mata menentang larangan tersebut dengan justru melakukan yang dilarang itu. Tetapi subjek hukum tidak mengindahkan larangan. Ini ternyata dalam perbuatannya alpa,lalai ,teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Jika subjek hukum tadi mengindahkan larangan tadi waktu bmelakukan perbuatan itu kausal menimbulkan hal yang dilarang ,dia tentu tidak alpa atau kurang berhati-hati agar jangan sampai mengakibatkan hal yang dilarang tadi.Oleh karena itu kesalahan ini termasuk rumusan delik,maka juga harus dibuktikan . KEALPAAN YANG DISADARI DAN YANG TIDAK DISADARI Pada waktu W.v.S ., dibentuk maka bewuste schuld adalah corak yang lebih berat daripada kealpaan yang tidak disadari.Hal ini ternyata dalam ucapan Modderman yang mengatakan :”Corak kealpaan yang paling enteng ialah bahwa orang melakukan pelanggaran hukum dengan tidak diinsafi sama sekali”. Dia tidak tahu tidak berpikir lebih panjang atau tidak bijaksana. Tetapi corak kealpaan yang lebih berat adalah yang dinamakan bewuste schuld,yaitu kalau pada waktu berbuat kemungkinan menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsafi,tetapi 24

karena kepandainnya atau diadakannya tindakan –tindakan yang mencegahnya kemungkinan itu diharapkan tidak akan timbul (Smidt I,88) .Pandangan ini pada waktu sekarang sudah dilepaskan karena: 1) Tidak mempunyai guna yang praktis dalam masyarakat. 2) Belum tentu kalau kealpaan yang tidak disadari adalah kesalahan yang lebih enteng daripada yang disadari (van Hattum.286) DELICT

CULPOOS

YANG

SESUNGGUHNYA

DAN

DELICT

CULPOOS

YANG

TIDAK

SESUNGGUHNYA Dalam rumusan kejahatan dalam KUHP kesalahan yang berbentuk kealpaan dinyatakan dengan istilah “aan zijn schuld te wijten” atau “ten gevolge van onavhtzaamheid” (yaitu pasal –pasal 188,344,360,231 (4),232(2) ). Dalam pasal-pasal tersebut dilihat berupa menimbulkan akibat yang tertentu jadi delik-delik tersebut dirumuskan secara materiil.Ini bisa dinamakan delich culpoos yang tidak sesungguhnya,yaitu doles yang salah satu unsurnya diculpakan ,misal Pasal 287:”di luar perkawinan bersetubuh dengan perempuan yang dia tahu kalau selayaknya harus menduga bahwa umurnya belum cukup 15 tahun atau jika umurnya ternyata , belum dewasa untuk bersetubuh. Di dalamnya ada dua bentuk kesalahan: 1)

Bersetubuh dengan yang diketahui belum berumur 15 tahun (delict doleus biasa) Bersetubuh dengan seseorang yang diduga selayaknya belum 15 tahun .Di sini ialah salah satu unsur delik tersebut diculpakan. Ada istilah lain dalam delict culpoos yang tidak sesungguhnya ,yaitu “moeten verwachten” (seharusnya

mengira) yang dipakai dalam Pasal-pasal 483 dan 484 KUHP yang mengatur pertanggung jawab penerbit dan pencetak. Perkecualian pertanggungjawaban ini tidak berlaku jka pada waktu dirterbitkan si pengarang tidak dapat dituntut atau telah menetap diluar indonesia . Dalam hal itu berlaku pasal 483 dan 484,dimana dinyatakan bahwa “kalau penerbit tahu atau seharusnya mengira ,bahwa perbuatannya pada saat penerbitan tidak dapat dituntut atau telah menetap diluar indonesia ,dia sendiri yang bertanggung jawab .Dengan contoh di atas maka tidak perlu apakah terdakwa betul-betulnya ada memikirkan akan kemungkinan bahwa pengarang tidak dapat dituntut atau telah menetap di luar negeri. CULPA HAPUS KARENA KEALPAAN (KESALAHAN) ORANG LAIN Pernah ada perkara yang tersebut dalam T.deel 149 kaca 707,putusan politie – rechter Medan tahun 1938,dimana pengendara oto pada malam hari menabrak dari belakang dari belakang satu cikar sapi yang sedang berjalan dalam jurusan yang sama ,sedang cikar itu tidak memakai lampu sebagaimana diharuskan ,pengendara cikar mendapat luka-luka berat. Pertimbangan politie –rechter adalah “ bahwa pada umumnya adanya kealpaan pada pihak lain tidak begitu saja lalu menghapuskan kesalahan terdakwa.Dan dalam hal ini bukanlah tidak penting hal terdakwa melihat cikar itu sesudah terjadi tabrakan ,sehingga dapat diragukan apakah terdakwa melihat cikar itu pada saat yang yepat andaikata cikar memakai lampu.Lebih-lebih sebagaimana umum diketahui bahwa penerangan cikar adalag sangat jelek “. 25

Memang culpa tidak hapus begitu saja karena kealpaan atau kesalahan dari orang ketiga (orang lain) van Hattum (hlm .300) ada menciteer pula putusan HR 14 Nopember 1921: yakni mengenai pelanggaran kereta api,di mana dua orang stasiun dan tukang langsir,masing-masing terlepas satu sama lain,telah berbuat bertentangan instruksi-instruksi.Karena pembarengan dari kelakuan yang culpoos ini timbullah kecelakaan itu,sehingga “dalam hal-hal demikian kedua-duanya bertanggung jawab atas akibat dari kesalahan itu,karena justru oleh karena perbuatan mereka bersama-sama itulah kecelakaan terjadi.

26

PERBANDINGAN Bambang Purnomo S.H

Prof. Moeljatno S.H

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum Definisi Hukum Pidana Diambil dari isi pokok dari definisi hkum pidana, yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasarkiranya dapat disimpulkan bahwa hukum pidana adalah: dasar dan aturan-aturan untuk: a. Hukum positif 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang b. Hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana bagi pelanggaranya dan menentukan tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan tentang kesalahan bagi si pelanggarnya disertai ancaman atau sanksi yang berupa (substansi hukumpidana) c. Hukum acara yang menentukan pelaksanaan pidana tertentu bagi barang siapa melaranggar substansi hukum pidana (hukum acara pidana) larangan tersebut. Tidak ada kesatuan pendapat mengenai apa definisi *kriminologi itu, karena masing-masing definisi 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa dipengaruhi oleh ruang lingkupnya bahan yang dicakup kepada mereka yang telah melanggar oleh terminologi. Pada dasarnya kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sebablarangan-larangan itu dapat dikenakan atau sebab kejahatan sebagai gejala fisik atau psikis. dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan

dengan

cara

bagaimana

pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. *Membedakan hukum pidana militer, umum dan fiskal Asas-Asas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana strafuitsluitingsgronden adalah pernyataan untuk dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging), sedangkan pada vervolgingsuitsluitingsgronden adalah pernyataan tuntutan tidak dapat diterima oleh badan penuntut Daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan, suatu tekanan yang tidak dapat dielakkan. Pembagian secara tradisionil bentuk-bentuk daya paksa, terdiri atas: 1. Overmacht yang absolute atau physiekedwang (vis absoluta) 2. Overmacht yang relative (vis compulsiva) 3. Overmacht dalam arti sempit atau psychische drang, dan 4. Noodtoestand.

27

Lebih banyak menggunakan teori: Teori Conditio Sine Qua Non Ada aliran yang mengatakan bahwa tidak mungkin ditetapkan secara positif apa yang menjadi musabab dari suatu akibat. Teori Yang Menggeneralisasi ialah, bahwa mereka dalam mencari batasan antara syarat dan musabab, berpikir secara abstrak dan umum, sehingga dengan demikian sesungguhnya telah melepaskan diri dari perkara yang konkret, yang tertentu, dan yang penyelesaiannya justru diharapkan dari penentuan batas tersebut. Teori Yang Mengindividualisir Keberatan yang diajukan terhadap teori ini ialah bagaimana dapatnya mengukur kekuatan sesuatu syarat untuk menentukan nama yang paling kuat, yang paling banyak membantu pada timbulnya akibat.

Related Documents


More Documents from ""