Refrat Fix Total Intravena Anestesi.docx

  • Uploaded by: Anindya Paramita
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refrat Fix Total Intravena Anestesi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,032
  • Pages: 20
REFERAT BLOK KEGAWATDARURATAN KELOMPOK 2 “TOTAL INTRAVENA ANASTESI”

Pengampu: dr. Orisa Sativa

Disusun Oleh : Deby Wicaksono Septiandaru 1513010023 Lintang Suroya 1513010039

BLOK KEGAWATDARURATAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER PROGRAM SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2019

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i BAB I ...................................................................................................................... 1 BAB II ..................................................................................................................... 3 BAB III ................................................................................................................. 17 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pada setiap pembedahan diperlukan upaya untuk menghilangkan nyeri. Keadaam itu disebut anestesia. Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut juga perlu dihilangkan untuk mencptakan kondisi optimal. Kondisi optimal ini mencakup tiga unsur dasar yakni menghilangkan nyeri (anestesia), menghilnagkan kesadaran (hipnotik), dan relaksasi otot.(1) Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi (70-75%) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi lokal/regional. (2) Anestesi umum adalah tahapan yang sangat penting dan mempunyai risiko jauh lebih besar dari prosedur pembedahan itu sendiri, karena anestesi yang dalam akan mengancam nyawa pasien. Guna mencegah dua kejadian yang ekstrim tersebut, harus dilakukan pemilihan anestetikum yang memenuhi kriteria ideal, yaitu anestetikum yang menghasilkan sedasi, analgesi, relaksasi, ketidaksadaran, dan aman untuk sitem vital, serta mudah diaplikasikan. (2) Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan. Metode anestesi umum dapat dilakukan dengan 3 cara: antara lain secara parenteral melalui intravena dan intramuskular, perrektal (biasanya untuk anak-anak) dan inhalasi. (2) Anestesi umum yang dinyatakan cukup aman dan sering digunakan untuk anjing adalah anestesi inhalasi, tetapi anestesi inhalasi memerlukan perangkat yang rumit, mahal, dan tidak praktis untuk menangani kasus pembedahan di lapangan. Mengatasi kelemahan anestesi inhalasi dan untuk mengatasi permasalahan penggunaaan anestesi di lapangan, digunakan 1

metode anestesi intravena total (total intraveous anesthesia, TIVA). Anestesi intravena total menggunakan anestetika secara intravena (IV) untuk induksi dan pemeliharaan anestesi. (2) Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intraven. (3) Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat

segera sesudah pemberian

dihentikan. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal sehingga pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting dan membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari pasien dan faktor pembedahan yang akan dilaksanakan. (3) Anestesi umum intravena ini penting untuk kita ketahui karena selain dapat

digunakan

dalam

pembedahan

dikamar

operasi,

juga

dapat

menenangkan pasien dalam keadaan gawat darurat. Oleh karena itu sebagai dokter umum, sebaiknya kita mengetahu tentang anestessi umum intravena. (3)

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anestesi Umum Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani “an-" yang berarti “tidak, tanpa" dan aesthētos, yang berarti "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh akibat pemberian obat anestesi. Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. (4) Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotikanalgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (4) Rees dan Gray membagi anestesi menjadi 3 (tiga) komponen yaitu : 1. Hipnotika : pasien kehilangan kesadaran 2. Anestesia : pasien bebas nyeri 3. Relaksasi : pasien mengalami kelumpuhan otot rangka Teknik anestesi umum : (5) 1. Anestesi umum intravena 2. Anestesi umum inhalasi 3. Anestesi imbang

3

Tahapan tindakan yang dilakukan untuk anestesi umum intravena antara lain: 1. penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, klasifikasi status fisik, masukan oral, dan premedikasi. 2. induksi obat anestesi intravena beserta maintainace. Obat anestesi intravena setelah berada di dalam vena, obat-obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik. (5)

Obat anestesi yang ideal memiliki sifat: 1. hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan; 2. analgetik; 3. amnesia; 4. memiliki antagonis; 5. cepat dieliminasi; 6. depresi kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal; 7. farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi organ.(6)

B. ANESTESI UMUM INTRAVENA/ TOTAL INTRAVENA ANASTESI (TIVA) TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obatobat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. TIVA digunakan buat mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yang menurut Woodbridge (1957) yaitu blok mental, refleks, sensoris dan motorik. Atau trias A (3A) dalam anestesi yaitu : (8) 1. Amnesia 2. Arefleksia otonomik 3. Analgesik 4. +/- relaksasi otot

4

Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita membutuhkan kombinasi dari obat-obatan intravena yang dapat melengkapi keempat komponen tersebut. Kebanyakan obatanestesi intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen di atas kecuali ketamin yang mempunyai efek 3A menjadikan ketamin sebagai agen anestesi intravena yang paling lengkap. (8)(9) Indikasi anestesi intravena antara lain untuk: 1) induksi pada anestesi umum; 2) anestesi tunggal pada pembedahan singkat; 3) sebagai tambahan untuk anestesi inhalasi yang kurang kuat; 4) obat tambahan pada anestesi regional; 5) menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan susunan saraf pusat. (6) Cara pemberian dapat berupa : 1) suntikan intravena tunggal untuk induksi anestesi atau pada operasi-operasi singkat hanya obat ini saja yang dipakai; 2) suntikan berulang untuk prosedur yang tidak memerlukan anestesi inhalasi dengan dosis ulangan lebih kecil dari dosis permulaan, 3) Melalui infus, untuk menambah daya anestesi inhalasi. (7) Tingkat pemberian obat tiap ndividu sangat bervariasi dalam respon mereka terhadap dosis obat yang diberikan atau konsentrasi, dan oleh karena itu penting untuk titrasi untuk tingkat obat yang memadai untuk setiap pasien. Obat konsentrasi yang diperlukan untuk memberikan anestesi yang memadai juga bervariasi sesuai dengan jenis operasi (misalnya, permukaan bedah dibandingkan

pembedahan

perut

bagian

atas).

Akhir

pembedahan

membutuhkan kadar obat yang lebih rendah, dan karenanya titrasi sering melibatkan penurunan bijaksana laju infus menjelang akhir operasi untuk memfasilitasi pemulihan yang cepat. (6)(7) Setelah dosis muatan, tingkat infus awalnya tinggi untuk menjelaskan redistribusi harus digunakan dan kemudian dititrasi dengan tingkat infus terendah yang akan mempertahankan anestesi yang memadai atau sedasi. Bila menggunakan opiat sebagai bagian dari teknik nitrous-narkotika atau anestesi jantung, skema dosis yang tercantum di bawah anestesi yang digunakan. Ketika candu tersebut digabungkan sebagai bagian dari anestesi seimbang, dosis yang tercantum untuk analgesia diperlukan. (6)(7)

5

Jika laju infus terbukti tidak mencukupi untuk mempertahankan anestesi yang memadai, baik suntikan tambahan (bolus) dosis dan peningkatan infus diperlukan untuk secara cepat untuk meningkatkan konsentrasi obat. Berbagai intervensi juga membutuhkan konsentrasi obat yang lebih besar, biasanya untuk periode singkat (misalnya, laringoskopi, intubasi endotrakeal, sayatan kulit) Oleh karena itu, skema infus harus disesuaikan untuk memberikan konsentrasi puncaknya selama periode singkat stimulasi intens. Tingkat obat yang memadai untuk intubasi endotrakeal sering dicapai dengan dosis pemberian awal, tapi untuk prosedur seperti sayatan kulit, dosis bolus lanjut mungkin diperlukan. (6)(7)

C. OBAT-OBAT ANESTESI INTRAVENA Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat yang terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat, eugenol, dan steroid; 2.) obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat keadaan seperti pada neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin), sedative (contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena, hanya beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan diazepam. (7)

1. PROPOFOL

Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol

6

dikemas dalam cairan emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg).(12)

Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat dan sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan oleh ginjal. Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan hanya 2% diekskresikan dalam tinja. (6)(10)(12) Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat.(5) Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat. (11)(12)

Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang kemudian diekskresi melalui urin(6). Eliminasi propofol sensitif terhadap perubahan aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh ikatan protein ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.(10)(11)(12) Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen

7

otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.(7)(13)(11) Sistem

kardiovaskuler.

Induksi

bolus

2-2,5

mg/kg

dapat

menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan spontan (dibanding

nafas

kendali)

serta

pemberian

drip

melalui

infus

(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung. (10)(11)(12)

Sistem pernafasan. Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol dibanding obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30 detik, namun dapat memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi dengan propofol. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal. Efek ini biasanya bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan respiratory depressants. (10)(11)(12) Dosis. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. (5) Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1

mg/menit/kgBB.(10)

Dosis

yang

dianjurkan

yang

dapat

menimbulkan sedasi adalah 0.1-0.15 mg/kgBB sebagai dosis inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075 mg/menit/kgBB dan untuk

8

pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.020.06 mg/menit/kgBB. (10)

Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur singkat, hasil dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan pengembalian sebelumnya fungsi psikomotor dibandingkan dengan thiopental atau methohexital, terlepas dari anestesi yang digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan muntah saat propofol digunakan untuk induksi juga nyata kurang dari setelah penggunaan anestesi IV lainnya,

mungkin

karena

sifat

antiemetik

propofol.(13)

Propofol

mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. (10)(11) Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 12mg/kgBB intravena(8). Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa antecubiti. (11). Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan. Resiko konvulsi dan onset yang melambat ditemujan pada pemberian propofol pada pasien epilepsi. (10)(11)(12)

2. TIOPENTAL

9

Tiopental (pentotal, tiopenton) dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2.5% (1 ml= 25 mg). Thiopental hanya boleh digunakan untuk intravena. Penyuntikan dilakukan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.(8) Keuntungan thiopental antara lain: 1.) Induksi mudah dan cepat; 2.) tidak ada delirium; 3.) kesadaran cepat pulih; 4.) tidak ada iritasi mukosa jalan nafas. Sedangkan kekurangan dari penggunaan thiopental antara lain: 1.) depresi pernafasan; 2.) depresi kardiovaskular; 3.) kecendurangan tejradinya spasme laring; 4.) relaksasi otot perut kurang; 5.) tidak memiliki efek analgesik.(6)(11) Farmakokinetik. Waktu paruh thiopental berkisar antara 3-6 jam dengan onset berkisar antara 30-60 detik dan durasi kerja obat 20-30 menit.(7) Thiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah, dosis rendah harus dikurangi. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan, thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnotik, anesthesia, atau depresi nafas. .(6)(11) Metabolisme thiopental terutama terjadi di hepar dengan sebagian kecil thiopental keluar lewat urin tanpa mengalami perubahan. 10-15% thiopental dalam tubuh akan dimetabolisme tiap jam. Pulih sadar yang cepat setelah thiopental disebabkan oleh pemecahan dalam hepar yang cepat. Dilusi dalam darah dan redistribusi ke jaringan tubuh yang lain. Oleh karena itu thiopental termasuk dalam obat dengan daya kerja sangat singkat (ultra short acting barbiturate) Thiopental dalam jumlah kecil masih dapat ditemukan dalam darah 24 jam setelah pemberian. Oleh karena itu dapat membahayakan bagi pasien one day care yang masih harus mengendarai mobil setelah sadar dari efek thiopental. (7)(10) Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Seperti barbiturat yang lain, thiopental menimbulkan sedasi, hipnosis, atau tertidur dan depresi pernafasan tergantung dosis dan kecepatan pemberian. Efek analgetik sedikit dan terhadap SSP terlihat adanya depresi dan kesadarannya

10

menurun secara progresif. Kontak dengan lingkungan, gerakan-gerakan, dan kemampuan menjawab pertanyaan pelan-pelan menghilang.(13)(10) Kecepatan kerja dari thiopental bergantung pada penetrasi obat ke SSP yang dipengaruhi oleh kadar obat dalam plasma dan ikatannya dengan protein plasma. Akibat perbedaan konsentrasi, konsentrasi obat yang lebih tinggi di plasma akan menyebabkan difusi ke SSP dalam jumlah besar. 70% thiopental terikat albumin, sedangkan hanya thiopental bebas yang dapat menembus blood brain barrier karena itu ikatan dengan protein plasma dan kecepatan onset obat berbanding terbalik.(11) Tiopental menurukan kebutuhan oksigen otak sehingga perfusi ke otak juga berkurang yang ditandai dengan peningkatan resistensi vaskular otak, penurunan aliran darah ke otak dan penurunan tekanan intrakranial. (11) Sistem kardiovaskuler. Thiopental mendepresi pusat vasomotor dan kontraktilitas miokard yang mengakibatkan vasodilatasi, sehingga dapat menurunkan curah jantung dan tekanan darah. Efek ini tergantung dosis dan lebih nyata pada pasien dengan penyakit kardiovaskular atau yang menerima pengobatan yang mempengaruhi simpatis. .(6)(10)(11) Sistem pernafasan. Efek utama ialah depresi pernafasan karena efek langsung ke pusat pernafasan dan penurunan sensitivitas terhadap kadar CO2 sehingga PCO2 akan meningkat dan pH darah akan naik. Efek ini akan bertambah jelas apabila sebelumnya diberikan opioid atau obat depresan yang lain.(8) Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi yang lambat 26mg/kgBB, sedangkan untuk induksi yang cepat 3-4 mg/kgBB dibagi dalam 2-4 dosis. Untuk pasien bedah saraf dengan peningkatan tekanan intracranial 1.5-3.5 mg/kgBB dengan ventilator mekanik yang mendukung dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dengan GFR kurang dari 10ml/menit dapat diberikan 75% dari dosis normal dengan interval yang sama dengan dosis normal.(10)(11) Tiopental dapat digunakan untuk: 1.) induksi pada anestesi umum; 2.) operasi atau tindakan yang singkat, contohnya: reposisi fraktur, insisi, jahit luka, tindakan ginekologi keci seperti curettage; 3.) sedasi pada

11

analgesi regional; 4.) mengatasi kejang-kejang pada eklampsia, tetanus, epilepsi, dan lain-lain.(13) Efek samping. Larutan ini sangat alkalis dengan PH 10-11, sehingga suntikan keluar vena akan menimbulkan rasa sakit, bengkak, kemerah-merahan, dapat terjadi nekrosis. Untuk menghindari efek ini sebaiknya memakai larutan 2.5%. sedangkan injeksi intraarteri akan menyebabkan rasa terbakar, terjadi spasme arteri dan kemungkinan thrombosis. .(6)(11)

3. KETAMIN

Ketamin adalah suatu “rapid acting non-barbiturate general anesthetic”. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino and Carsen pada tahun 1965.(7) Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.(8) Blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik. .(6)(10) Farmakokinetik. Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena adalah 30 detik sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan waktu 3-4 menit, tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada pemberian intravena (5-10 menit) dibandingkan pemberian intramuskular (12-25 menit). .(6)(10)

12

Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis namun 30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian mengalami konjugasi oleh glukoronida menjadi senyawa larut air untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin.(11) Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek analgetik yang kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia disosiasi. Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Pada pasien yang diberikan ketamin juga mengalami amnesia anterograde. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan intrakranial. .(6)(11) Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali. .(6)(11) Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang terjadi. .(6)(10)

13

Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara, kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai premedikasi. Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan. .(6)(11) Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan melalui infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak terdapat banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB sedangkan menurut Harriet Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan.(11) Untuk sedasi dan analgesik dosis yang dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena.(11) Ketamin dapat diberikan bersama dengan diazepam atau midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi salvias dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.(13) Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi; 4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi tidak ada; 7.) pasien asma. .(6)(11) Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg; 2.) Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis. Penggunaan ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-operasi pada daerah faring karena reflex masih baik.

14

Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian. Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau benzodiazepine sebagai premedikasi. .(6)(11)

4. OPIOID Obat anestesi golongan opioid atau dikenal sebagai narkotik. Biasanya digunakan sebagai analgesia atau penghilang nyeri. Kelompok obat ini dalam dosis yang tinggi dapat mengurangi kecemasan dan menyebabkan penurunan kesadaran. Efek yang dihasilkan dari pemakaian obat golongan opioid adalah analgesia, sedasi, dan depresi respirasi. Efek ini juga berhubungan erat dengan besarnya dosis, yang berarti semakin banyak konsentrasi obat yang diberikan, semakin besar pula efek yang didapatkan. Namun dosis harus tetap di batasi sesuai kebutuhan untuk tetap menjaga pasien tidak mengalami efek yang berlebihan. (14) Keuntungan dari pemakaian obat golongan opioid dalam anestesi adalah obat golongan opioid tidak secara langsung memberikan efek depresi pada fungsi jantung. Dengan demikian, obat golongan opioid sangat berguna untuk anestesi pada pasien dengan kelainan jantung. (15) Efek samping dari obat golongan opioid adalah mual dan muntah, kekakuan dinding dada, seizure dan supresi dari motilitas gastrointestinal. Pada pasien dengan hipovolemia, narkotik dapat memberikan manfaat dengan menimbulkan efek vasodilatasi (pada penggunaan morfin). Narkotik juga dapat menyebabkan bradikardi melalui stimulasi vagal secara langsung. Pada pasien yang normal, bradikardi ini tidak berefek menurunkan tekanan darah karena terjadi peningkatan stroke volume dari jantung. (15) Mekanisme kerja dari opioid adalah interaksi dengan reseptor opioid dalam otak (amygdala) dan medula spinalis. Beberapa tipe reseptor yang berbeda sudah dapat diidentifikasi. Reseptor Mu melayani efek analgesia, depresi respirasi, euphoria dan ketergantungan fisik. Reseptor Kappa melayani efek analgesia pada level medula spinalis, sedasi dan

15

miosis. Reseptor yang lain bertanggung jawab untuk efek minor dan efek negatif dari opioid. (15) Contoh dari kelompok obat ini adalah morfin, meperidine (demerol), fentanyl (efk 1000 kali lebih kuat dari petidin), sufentanil, alfentanil dan remifentanil. Kesemuanya ini berbeda dalam potensi, durasi kerja.

16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Anestesi umum adalah suatu tindakan meniadakan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible yang terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi. TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena, hanya beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan diazepam. Sebelum

dilakukan anestesi

umum,

harus

dilakukan

penilaian

pada pasien yang mencakup beberapa hal yaitu status kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta menentukan klasifikasi status fisik menurut The American Society of Anaesthesiologist (ASA). Selama proses anestesi, dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu dan perdarahan. jika terdapat kesulitan selama melaksanakan anestesi umum, seperti jalan nafas dan intubasi, harus ditangani dengan benar.

17

DAFTAR PUSTAKA 1. Syamsuhidayat, R., Jong, W.D. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC. 2. Miller, Ronald D. 2010. Anesthesia. Fifth ed. Churchill Livingstone. Elsevier: Espana 3. Latief et al., 2010. Petunjuk Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.Jakarta: FKUI. 4. Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC. 5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Patient monitors. In : Lange Medical Books Clinical Anesthesiology. 4th eds. New York 6. Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan, tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012; 210-218. 7. Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71 8. Said A. Latif dkk, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian Anestesiologidan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002. 9. “Intravenous Anesthetics” didapat dari http://www.metrohealthanesthesia. com/edu.htm 10. Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208 11. Miller, Ronald D. MD, et. al. Miller’s anesthesia. Elseveir 2010. CDROOM. Accessed on 4 Maret 2013. 12. Propofol. Available at: http://reference.medscape.com/drug/diprivanpropofol-343100#0. Accessed on 3 Maret 2013 13. Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81 14. Hurford, William E, et all. 2002. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital 6th edition. Massachusetts General Hospital Dept. Of Anesthesia and Critical Care. Lippincott williams & Wilkins Publishers. 15. Ting, H. Paul. Intravenous Anesthetic. Available at : http://anesthesiologyinfo.com/articles/01072002.php. Accesed : 06 June 2013

18

Related Documents


More Documents from ""