Refrat Fisiologi.docx

  • Uploaded by: Hanif Faried
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refrat Fisiologi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,777
  • Pages: 6
REFRAT FISIOLOGI TOXIC BOTULISM

Nama : Hanif Omar Faried NIM : G0016101

ACC

Mas Albin

TOXIC BOTULISM Toxic Botulism adalah penyakit paralisis dengan potensi letal yang disebabkan oleh neurotoxin botulinum. Ada tujuh serotipe dari neurotoxin botulinum (A-G). Neurotoxin botulinum diproduksi oleh bakteri Clostridium botulinum, Clostridium butyricum, dan Clostridium baratii, pada manusia kebanyakan kasus toxic botulism disebabkan Clostridium botulinum. Strain Clostridium botilinum diklasifikasikan menjadi 4 grup berdasarkan karakteristik fenotip dan homologi DNA, yaitu grup I (organisme proteolitik dan memproduksi toksin serotipe A,B,F), grup II (organisme nonproteolitik dan memproduksi toksin serotipe B,E,F), grup III (organisme yang memproduksi racun serotipe C,D), grup IV (organisme yang memproduksi racun serotipe G). Clostridia lain yaitu Clostridium butyricum dan Clostridium baratii juga memproduksi neurotoxin serotipe E dan F. Kebanyakan toxic botulism pada manusia disebabkan karena Clostridium botulinum grup I dan II, sedangkan kebanyakan toxic botulism pada hewan disebabkan oleh grup III, namun pengecualian bisa terjadi. Organisme grup I dan II berbeda fenotip secara cukup signifikan. Organisme grup I lebih sering hidup di lingkungan darat dan iklim hangat, sedangkan organisme grup II lebih sering hidup di lingkungan air dan iklim dingin. Toxic botulism pada manusia paling umum berkaitan dengan neurotoxin botulism serotipe A,B dan E. Serotipe F jarang menyebabkan toxic botulism pada manusia, sedangkan serotipe G sangat jarang menyebabkan toxic botulism pada manusia. Serotipe C dan D cukup jarang mengenai manusia dan lebih sering mengenai hewan ternak, walau begitu serotipe C memiliki efek tahan lama pada manusia seperti serotipe A. Toxic botulism dimulai dengan neurotoxin botulinum bisa memasuki tubuh manusia melalui gastrointestinal tract, membran mukosa, mata dan traktus respiratorius. Produksi racun juga bisa dihasilkan secara in vivo. Neurotoxin botulinum mengandung 2 komponen, yaitu komponen neurotoxin dan komponen nontoxic, komponen neurotoxin menyebabkan toxic botulism sedangkan komponen nontoxic melindungi neurotoxin dari stress environmental dan meningkatkan absorbsi racun ke dalam tubuh. Setelah masuk ke dalam tubuh, racun akan mengalir melalui darah dan pembuluh limfe, yang akan mencapai ujung saraf dan masuk melalui endositosis, di dalam ujung saraf, neurotoxin botulinum akan bekerja sebagai zinc-dependent endoprotease dan memotong secara spesifik SNARE (soluble N-ethylmaleimide-sensitive factor attachment protein receptor) protein, sehingga sekresi asetilkolin terhambat dan menyebabkan neuroparalysis. Potensi maksimum neurotoxin botulinum tercapai setelah aktivasi enzim pada molekul toxin. Neuroparalisis ini bisa menyebabkan kelumpuhan lembek, gangguan pernafasan atau kematian. Bahkan pasien yang berhasil selamat dari racun tetap harus ditangani dengan rawat inap menggunakan alat bantu pernafasan. Toxic botulism merupakan ancaman serius terhadap keamanan masyarakat karena potensi toksiksitasnya dan mudahnya produksi toxin, sehingga neurotoxin botulism mudah dikembangkan sebagai senjata biologis, akibatnya neurotoxin botulism masuk ke dalam daftar 6 agen beresiko tertinggi yang bisa digunakan

untuk bioterorisme (agen kelas A) menurut Center for Disease Control and Prevention. Toxic botulism bisa didapat melalui berbagai jalur yaitu : -

-

-

-

Food-borne botulism : makanan merupakan agen penyebaran neurotoxin botulism yang paling klasik, bila makanan yang dikonsumsi mengandung neurotoxin botulism maka bisa menyebakan toxic botulism. Tergantung dosis racunnya, periode inkubasi neurotoxin bisa dari 12 jam hingga 72 jam. Selain gejala umum toxic botulism, food-borne botulism juga menyebabkan gejala mual, muntah, konstipasi. Penanganan food-borne botulism terutama berupa penanganan intensif simptomatik pasien, menggunakan alat bantu pernafasan. Penggunaan antitoxin juga digunakan untuk menetralisir racun, namun keberhasilan neurotoxin bergantung pada waktu pemberiannya, bila neurotoxin sudah mencapai ujung saraf maka pemberian antitoxin tidak relevan. Selain itu, antitoxin ini memiliki resiko besar alergi parah, sehingga tidak digunakan lagi di beberapa negara. Infant botulism : Berbeda dengan food-borne botulism di mana neurotoxin botulism masuk ke tubuh melalui makanan, di infant botulism yang biasanya menyerang bayi berusia kurang dari 1 tahun, neurotoxin diproduksi oleh bakteri Clostridium botulium yang menginfeksi. Pada infant botulism, biasanya spora Clostridium botulium grup I menginfeksi gastrointestinal tract bayi, spora ini bisa tumbuh menjadi bakteri dan memproduksi neurotoksin karena flora mikroba pada traktus gastrointestinal bayi masih sangat kurang berkembang, ditambah dengan temperatur yang optimum untuk pertumbuhan bakteri. Gejala dari infant botulism beragam, bisa asimptomatik hingga kematian mendadak. Gejala infant botulism sering diawali dengan konstipasi yang berlangsung beberapa hari, diikuti paralisis, ptosis dan rasa lemah, bila tidak ditangani bayi bisa mengalami kematian. Penanganan infant botulism meliputi perawatan suportif kualitas tinggi, dengan perhatian khusus pada nutrisi dan respirasi bayi. Penggunaan antitoxin sering tidak dibutuhkan. Makanan yang biasanya mengandung spora Clostridium botulinum penyebab infant botulism adalah madu dan susu bubuk bayi. Wound botulism : Wound botulism merupakan toxic botulism yang langka terjadi, namun frekuensinya bertambah pada pengguna narkotika karena penggunaan jarum suntik tidak steril dan penggunaan heroin tidak murni. Wound botulism terjadi bila spora Clostridium botulinum tumbuh pada luka atau abses yang memberikan lingkungan anaerobik yang tepat. Gejala klinisnya serupa dengan food-borne botulism namun tidak disertai gangguan gastrointestinal. Wound botulism sering disertai dengan infeksi campuran karena terdapat lebih dari satu bakteri yang memproduksi serotipe neurotoxin berbeda. Rata-rata periode inkubasinya adalah 7 hari. Pada wound botulism, selain alat bantu pernafasan, penanganannya meliputi bedah untuk menghilangkan zat asing pada luka, antibiotik dan pemberian antitoksin. Infectious botulism pada orang dewasa : jenis toxic botulism ini langka dan mirip infant botulism dalam hal patogenesis dan gejala klinik. Infectious botulism pada orang dewasa terjadi karena kolonisasi bakteri

-

Clostridium botulium pada gastrointestinal tract karena flora usus yang berubah/tidak normal, disebabkan bedah abdomen, terapi antibiotik jangka panjang, luka/abses pada gastrointestinal tract. Toxic botulism jenis lain : contohnya inhalation botulism yang terjadi karena terhirupnya neurotoxin melalui udara.

Toxic botulism harus didiagnosis secara cepat karena bila telat ditangani, bisa menyebabkan kematian. Selain mengamati gejala klinis dan riwayat pasien, diagnosis didasarkan pada tes laboratorium. Metode standardnya berupa deteksi toksin pada serum atau feses pasien. Kadang-kadang adanya beragam serotipe neurotoxin botulinum mempersulit diagnosis. Pada beberapa kasus seperti infant botulism, adanya Clostridium botulinum pada feses bayi sudah cukup bisa dijadikan diagnosis walau belum ada neurotoxinnya. Namun, pada kasus lain perlu pemeriksaan lebih lanjut seperti pemeriksaan epidemiologi pasien, hal ini mencangkup isolasi Clostridium botulinum dari tubuh pasien, pengecekan neurotoxin pada makanan serta pengecekan spora. Berikut ini merupakan beberapa cara diagnosis laboratorium untuk toxic botulism . Deteksi neurotoxin botulinum standardnya saat ini berupa mouse lethality assay. Tes assay paling mutakhir bisa dilakukan secepat 20 menit, dengan sensitivitas melebihi mouse lethality assay. Komponen yang dites sepeti darah, pus, dan feses bisa menunjukkan hasil yang berbeda pada reaksi, dan konsentrasi tinggi mikroba kompetitif in banyak sampel material bisa mengganggu pertumbuhan dan produksi toksin Clostridium botulinum. Selain itu fecal proteinase bisa mendegradasi neurotoxin botulinum, sehingga menyebabkan hasil negatif palsu. Sehingga perlu validasi sistematis pada tes deteksi neurotoxin botulinum pada makanan dan sampel klinis material. Berikut ini adalah cara-cara deteksi neurotoxin botulinum : - Mouse lethality assay : prosedut standard deteksi neurotoxin botulinum. Tes ini dilakukan dengan injeksi intraperitoneal sampel yang dilarutkan pada buffer fosfat pada tikus lab. Bila sampel menyebabkan tikus menunjukkan gejala toxic botulism, pada tikus yaitu otot lemah, kegagalan respirasi dan fuzzy hair maka sampel positif neurotoxin botulinum. Simpton ini biasanya terjadi pada hari penyuntikan sampel, namun bisa terjadi beberapa hari setelah penyuntikan sampel. Serotipe neurotoksinnya ditentukan dengan injeksi antitoxin serotipe tertentu, namun terlebih dahulu tikus disuntikkan sampel positif neurotoxin, bila tikus kemudian diinjeksikan dengan antitoxin suatu serotipe dan tidak menampakkan gejala toxic botulism, maka sudah jelas serotipe neurotoxin mana dari ketujuh serotipe yang menyebabkan toxic botulism. Mouse lethality assay sangat sensitif, namun assay ini kelemahannya cukup lama dilakukan, cukup mahal, dan kurang praktis, selain itu ada alasan etis karena menggunakan hewan percobaan. - Nonlethal mouse assay : Mouse assay tipe lain, tetapi sampel disuntikkan secara subkutan, bila tes positif maka akan mengakibatkan paralisis otot lokal yang tidak sampai membunuh tikus. Nonlethal mouse assay sama dengan mouse lethality assay dalam hal spesifitas dan sensitivitas namun

-

-

-

tidak mengakibatkan penderitaan dan kerusakan permanen pada tubuh tikus. Namun assay ini kurang bisa digunakan untuk sampel seperti pus, darah dan feses, hanya bisa digunakan untuk sampel neurotoxin botulinum yang sudah dimurnikan. ELISA : tes immunologi paling umum untuk deteksi neurotoksin botulinum. Dibandingkan mouse lethality test, ELISA lebih cepat dan lebih mudah dilakukan serta diintrepetasikan. ELISA secara ekstensif digunakan untuk deteksi neurotoxin murni serta neurotoxin pada foodborne botulism. Namun ELISA perlu diamplifikasi supaya meningkatkan sensitivitasnya, ELISA konvensional yang tidak diamplifikasi sensitivitasnya 10-100 kali lebih lemah dari mouse assay. Jenis makanan juga mempengaruhi hasil tes ELISA, mengurangi sensitifitasnya, tapi tes ini sukses dilakukan pada daging kalengan, fillet ikan, jamur, dsb. ELISA tidak cocok dilakukan untuk sampel feses karena feses mempengaruhi ELISA sehingga sensitivitasnya menjadi sangat kecil PCR assay pada gen ntnh : gen non toxic nonhemmagluttinin (ntnh) terdapat pada semua cluster gen neurotoxin botulinum. Dengan menggunakan PCR, gen ntnh bisa dideteksi sehingga bisa diagnosis neurotoxin. PCR juga bisa digunakan untuk deteksi serotipe neurotoxin karena terdapat perbedaan pada gen. Endopeptidase assay : endopeptidase assay didasarkan pada cleavage spesifik protein SNARE pada serotipe neurotoksin botulinum yang berbeda-beda, dikombinasikan dengan deteksi imunologi pada peptida yang terpotong atau deteksi flouresken yang dikeluarkan saat terpotongnya peptida yang ditandai dengan chromophore yang dipadamkan. Endopeptidase assay sudah ada untuk neurotoksin tipe A,B,D,E, F, namun untuk saat ini endopeptidase assay hanya ada untuk neurotoxin serotipe tipe A yang ada secara komersialn. Endopeptide assay memiliki potensi untuk menggantikan mouse lethality assay karena hanya mendeteksi neurotoksin yang aktif secara biologis dan lebih sensitif dari mouse lethality assay. Deteksi peptida yang terpotong dengan spektometri massal meningkatkan sensitivitasnya lebih jauh, namun saat ini biaya diagnosis dengan metode endopeptide assay masih terlalu mahal untuk digunakan disetiap laboratorium. Walau begitu sensitivitas endopeptide assay bisa mencapai duaratus kali lipat dibandingkan sensitivitas mouse lethality assay. Endopeptidase assay sangat spesifik, tidak terpengaruh oleh zat lain yang ada pada sampel seperti zat makanan, maupun toksin tetanus.

Selain deteksi neurotoksin, bisa pula dideteksi adanya Clostridium botulinum dengan metode kultur atau deteksi molekuler, namun cukup susah karena bakteri ini tumbuh dalam keadaan anaerobik, sampel yang positif mengandung neurotoxin botulinum diambil untuk dicoba ditumbuhkan Clostridium botulinum. Media yang cukup sering digunakan adalah agar darah dan agar kuning telur. Bila Clostridium botulinum tumbuh maka bisa diamati jenis grupnya, atau malah bisa Clostridium butyricum dan Clostridium baratii yang tumbuh sehingga penanganan toxic botulismnya disesuaikan dengan jenis Clostridiumnya dan serotipenya.

Daftar Pustaka : 1. Charles, H. D., Williamson,Adam J. Vazquez, Karen Hill, Theresa J. Smith, Roxanne Nottingham,Nathan E. Stone, Colin J. Sobek, Jill H. Cocking, Rafael A. Fernández, Patricia A. Caballero, Owen P. Leiser, Paul Keim, and Jason W. Sahl. 2017. Differentiating Botulinum NeurotoxinProducing Clostridia with a Simple, Multiplex PCR Assay. Applied and Environmental Microbiology 83, 18. 2. Jenko, Kathy L., Lou, Jianlong., Marks, James D., Varnum, Susan M., Yanfeng Zhang. 2012. Simultaneous and Sensitive Detection of Six Serotypes of Botulinum Neurotoxin Using Enzyme-linked Immunosorbent Assay-based Protein Antibody Microarrays. Analitycal Biochemistry 430, 185-192. 3. Johnson, Eric A., Lin, Guangyun., Tepp., William H. 2012. Purification and Characterization of a Novel Subtype A3 Botulinum Neurotoxin. Applied and Environmental Microbiology 78(9), 3108-3113. 4. Lindstrom, Mia et. Korkealla, Hannu. 2008. Laboratory Diagnosis of Botulism. Clinical Microbiology Review 19(2), 298-314.

Related Documents

Refrat Fisiologi.docx
December 2019 46
Refrat Caca.docx
June 2020 28
Refrat Paru.docx
May 2020 24
Refrat Delirium
May 2020 23
Refrat Paru.docx
May 2020 25
Leptospirosis Refrat
May 2020 35

More Documents from "ginong pratitdya"

Laptut Psi 1.docx
December 2019 38
Refrat Fisiologi.docx
December 2019 46
1.1.docx
December 2019 28
11.1.docx
December 2019 24
The Hook 1
June 2020 21