Referat Resusitasi Cairan Blok Gadar.docx

  • Uploaded by: sekar
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Resusitasi Cairan Blok Gadar.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,564
  • Pages: 19
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Terapi cairan merupakan terapi yang sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan pasien kritis. Selain dapat mengganti cairan yang hilang, terapi cairan dapat dilakukan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi kebutuhan per hari, mengatasi syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi lain. Administrasi terapi cairan melalui intravena adalah salah satu rute terapi yang paling umum dan penting dalam pengobatan pasien bedah, medis dan sakit kritis (IDSAI, 010). Pasien dengan penyakit kritis yang di rawat di ruang terapi intensif sering menerima resusitasi dengan cairan berjumlah besar seperti cairan intravena kristaloid, koloid atau produk darah untuk mengkoreksi situasi aliran darah yang rendah akibat timbulnya proses mengancam nyawa seperti trauma, perdarahan dan infeksi. Pemberian cairan intravena merupakan salah satu langkah utama yang dilakukan pada resusitasi pasien pada kondisi kritis yang mengalami gangguan perfusi organ (Hahn, 2012). Pemilihan pemberian terapi cairan untuk perbaikan dan perawatan stabilitas hemodinamik pada tubuh cukup sulit. Karena pemilihannya tergantung pada jenis dan komposisi elektrolit dari cairan yang hilang. Meskipun kesalahan terapi cairan jarang dilaporkan, namun disebutkan satu dari lima pasien dengan terapi cairan dan elektrolit intravena menderita komplikasi atau morbiditas karena pemberian terapi cairan yang tidak tepat. Maka dari itu pemilihan terapi cairan yang tepat sangatlah diperlukan untuk memperoleh keberhasilan terapi (Hahn, 2012).

B. Tujuan 1. Mahasiswa mampu memahami tentang terapi cairan pada pasien dengan penyakit kritis

1

2. Mahasiswa mampu memahami jenis cairan dan indikasinya 3. Mahasiswa mampu memahami penggunaan cairan 4. Mahasiswa mampu memahami jalur pemberian terapi cairan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Terapi Cairan pada Pasien dengan Penyakit Kritis Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan

penanganan

pasien

kritis.

Dalam

langkah-langkah

penyelamatan, pemberian cairan merupakan langkah penting yang dilakukan secara simultan dengan langkah-langkah lainnya. Tindakan ini seringkali merupakan langkah “life saving” pada pasien yang menderita kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi karena muntah mencret dan syok (Levy, 2018). Fase dinamik pemberian cairan pada pasien syok meliputi resussitasi, optimalisasi, stabilisasi dan evakuasi (ROSE) diikuti dengan potensial hipoperfusi. Konsep Rose pada fase penyakit kritis menurut Malbrain, (2014); Levy, (2018) meliputi : 1. Fase Resussitasi (R) Terjadi dalam beberapa menit karena cedera tubuh parah seperti sepsis, luka bakar, pankreatitis, atau trauma. Pada fase ini cairan harus diberikan pada kecepatan 1 mL/kgBB/jam dalam kombinasi dengan cairan pengganti jika perlu. Pemantauan sangat penting sebelum pemberian cairan. Penggunaan monitor cardiac output non-invasif atau minimal invasif dianjurkan untuk menilai respons cairan. Pertolongan dengan cairan yang diberikan secepatnya dalam bentuk bolus (4 mL/kgBB selama 10–15 menit). Tujuannya adalah manajemen cairan dini yang adekuat, keseimbangan cairan harus positif, dan target resusitasi adalah MAP > 65 mmHg, cardiac index

2

(CI) > 2,5 L/mnt/m2, pulse pressure variation (PPV) < 12%, left enddiastolic area index (LVEDAI) > 8 cm/m. 2. Fase Optimalisasi (O) Fase ini terjadi dalam beberapa jam ditandai dengan terjadinya proses iskemia dan reperfusi. Akumulasi cairan selama fase ini dilihat sebagai penanda tingkat keparahan penyakit.15 pada fase ini pasien masih dalam kondisi tidak stabil, namun syok terkompensasi dan membutuhkan titrasi cairan untuk cardiac outputnya. Targetnya adalah MAP > 65 mmHg, CI > 2,5 L/mnt/m2, PPV <14%, LVEDAI 8-12/cm/m2, IAP (intraabdominal pressure) dipantau <15 mmHg, abdominal perfusion pressure (APP) dihitung >55 mmHg. Preload dioptimalkan dengan global end-diastolic volume index (GEDVI) 640–800 mL/m. 3. Fase Stabilisasi (S) Fase ini berkembang selama berberapa hari. Pemberian terapi cairan diperlukan untuk pemeliharaan dan penggantian kehilangan cairan normal. Pada fase ini tidak ada syok atau ancaman syok. Pantau berat badan harian, keseimbangan cairan, dan fungsi organ. Cairan untuk pemeliharaan dan penggantian harian untuk mendukung fungsi organ. Target yang perlu dicapai adalah keseimbangan cairan netral atau negatif; EVLWI <10-12 mL/kgBB predicted body weight (PBW), pulmonary vascular permeability index (PIVI) <2,5, IAP <15 mmHg, APP> 55 mmHg, colloid osmotic pressure (COP) > 16-18 mmHg, dan CLI (capillary leak index) <60. 4. Fase Evakuasi (E) Setelah tiga tahap pertama (‘ROS’), ada dua hal yang dapat terjadi yaitu pasien akan pulih dan memasuki fase flow secara spontan dengan evakuasi kelebihan cairan yang telah diberikan sebelumnya. Namun, beberapa pasien tidak mengalami transisi dari fase ebb ke fase flow dan menuju ke arah GIPS dengan akumulasi cairan yang terus berlangsung karena kebocoran kapiler. Administrasi cairan lebih lanjut pada tahap

3

ini menjadi berbahaya. Karena cairan yang berlebih menyebabkan gagal fungsi organ. Fase ini membutuhkan pengeluaran cairan secara aktif dari pasien selama beberapa hari hingga berminggu-minggu untuk menyokong pemulihan organ. Tujuannya adalah untuk menjadikan keseimbangan cairan negatif dengan memobilisasi cairan yang terakumulasi dengan late goal directed fuid removal (LGFR), juga disebut sebagai deresusitasi. Namun pengeluaran cairan yang berlebihan harus dihindari untuk mencegah hipovilemia. B. Jenis Cairan dan Indikasinya Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan koloid. 1. Cairan Kristaloid Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida). Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam ruang intravascular dengan waktu paruh kristaloid di

intravascular

adalah

20-30

menit.

Beberapa

peneliti

merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi intravena prehospital. Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi elektrolit yang dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid menurut Butterworth (2013), diantaranya: a) Isotonis. Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia memiliki konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik, konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi perpindahan yang signifikan antara cairan di dalam intravascular dan sel. Dengan demikian, hampir tidak ada atau minimal osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah

4

murah, mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera dipakai untuk mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan dapat digunakan sebagai fluid challenge test. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada jumlah pemberian yang besarContoh larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% in ¼ NS. b) Hipertonis Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik, konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan cairan tersebut akan menarik cairan dari sel ke ruang intravascular. Efek larutan garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah jantung bukan hanya karena perbaikan preload, tetapi peningkatan curah jantung tersebut mungkin sekunder karena efek inotropik positif pada miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral. Kedua keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital. Efek samping dari pemberian larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam RL. c) Hipotonis Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan kurang terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik, konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari intravascular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline. 2. Cairan Koloid

5

Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk menggantikan plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka baker, operasi, Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match (Stoelting, 2015). Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari: a) Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5% dan 25%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor fragments) terdapat dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler (Butterworth, 2013).

b) Koloid Sintetik 1) Dextran Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang besar. Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan berat molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di dalam ruang

6

intravaskular. Namun, obat ini jarang digunakan karena efek samping terkait yang meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada cross-matching darah. Tersedia dalam bentuk Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 (IDSAI, 2010). 2) Hydroxylethyl Starch (Hetastarch) Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam waktu 8 hari. Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan adanya

reaksi

anafilaktoid.

Low

molecular

weight

Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan jumlah besar (Hahn, 2010). 3) Gelatin Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin, biasanya berasal dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi. Larutan gelatin adalah urea atau modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Berat molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan dengan koloid lain. Pengangkut berisi NaCl 110 mmol/l. Efek ekspansi plasma segera dari gelatin adalah 80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi

7

normovolemik. Efek ekspansi plasma akan bertahan 1-2 jam. Tidak ada batasan dosis maksimum untuk gelatin. Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering daripada larutan HES. Meskipun produk mentahnya bersumer dari sapi, gelatin dipercaya bebas dari resiko penyebaran infeksi. Kebanyakan gelatin dieskskresi melalui ginjal, dan tidak ada akumulasi jaringan (Niemi, 2010).  Tabel 1. Perbandingan Kristaloid dan Koloid.

Sifat Berat molekul Distribusi

Kristaloid Lebih kecil Lebih cepat: 20-30 menit

Koloid Lebih besar Lebih lama dalam sirkulasi (3-6 jam)

Faal hemostasis Penggunaan Koreksi perdarahan

Tidak ada pengaruh Dehidrasi Diberikan 2-3x jumlah perdarahan

Mengganggu Perdarahan masif Sesuai jumlah perdarahan

C. Penggunaan Cairan Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu: 1. Cairan Pemeliharaan Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan IV cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan rute enteral, namun sebaliknya baik dalam hal keseimbangan cairan dan elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang pada dasarnya euvolemik tanpa signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal yang sedang berlangsung atau masalah redistribusi internal yang kompleks). Tujuan saat memberikan cairan perawatan rutin adalah untuk menyediakan cukup cairan dan elektrolit

untuk

memenuhi

insensible

losses

(500-1000

ml),

mempertahankan status normal tubuh kompartemen cairan dan

8

memungkinkan ekskresi ginjal dari produk-produk limbah (500-1500 ml.). Jenis cairan rumatan yang dapat digunakan adalah : NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, ringer laktat/asetat, NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang tinggi kandungan NaCl dari saluran cerna ataupun ginjal, glukosa 5% atau glukosa salin (Floss, 2011). Jumlah kehilangan air tubuh berbeda sesuai dengan umur, yaitu: Dewasa

1,5-2 ml/kg/jam

Anak-anak

2-4 ml/kg/jam

Bayi

4-6 ml/kg/jam

Neonatus

3 ml/kg/jam

Kebutuhan cairan rumatan adalah 25-30 ml/kg/hari. Kebutuhan K, Na dan Cl kurang lebih 1mmol/kg/hari. Kebutuhan glukosa 50-100 g/hari. Setelah cairan pemeliharaan intravena diberikan, monitor dan lakukan penilaian ulang pada pasien. Hentikan cairan intravena jika tidak ada indikasi yang tepat. Cairan nasogastrium atau makanan enteral lebih dipilih untuk kebutuhan pemeliharaan lebih dari 3 hari (Hines, 2013). 2. Cairan Pengganti

Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan spesifik untuk menutupi penggantian dari deficit cairan atau kehilangan cairan atau elektrolit serta permasalahan redistribusi cairan internal yang sedang berlangsung, sehingga harus dihitung untuk pemilihan cairan intravena yang optimal. Cairan dan elektrolit intravena pengganti dibutuhkan untuk mengangani deficit yang ada atau kehilangan yang tidak normal yang sedang berlangsung, biasanya dari saluran pencernaan (contoh: ileostomy, fistula, drainase nasogastrium, dan drainase bedah) atau saluran kencing (contoh: saat pemulihan dari gagal ginjal akut). Secara umum, terapi cairan intravena untuk penggantian harus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari

9

cairan dan elektrolit seperti kebutuhan pemeliharaan, sehingga homeostasis dapat kembali dan terjaga (Agro, 2013). Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Cari defisit, kehilangan yang sedang berlangsung, distribusi yang tidak normal atau permasalahan kompleks lainnya. Periksa kehilangan yang sedang berlangsung dan perkirakan jumlahnya dengan mengecek untuk muntah dan kehilangan NG tube, diare, kehilangan darah yang berlangsung. Periksa redistribusi dan masalah kompleks lainnya dengan memeriksa pembengkakan, sepsis berat, dan lainnya. Berikan tambahan cairan dari kebutuhan pemeliharaan rutin, mengatur sumber-sumber cairan dan elektrolit yang lain. Monitor dan periksa ulang pasien setelah meresepkan (Hines, 2013). 3. Cairan untuk Tujuan Khusus Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus terhadap gangguan keseimbangan elektrolit (Agro, 2013). 4. Cairan Nutrisi Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidaak mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral. Jenis cairan nutrisi parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk parenteral parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu. Adapun syarat pemberian nutrisi parenteral yaitu berupa: 1) Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokunateus, atresia intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus. 2) Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat, status preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis arteri mesenterika, diare berulang.

10

3) Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-obstruksi dan skleroderma. 4) Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti pada gangguan makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemesis gravidarum. (Braga, 2009)

D. Jalur Pemberian Terapi Cairan Secara umum telah disepakati bahwa pemberian terapi cairan dilakukan melalui jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi tertutup atau terbuka dengan seksi vena (Weimann, 2006). 1. Kanulasi Vena Perifer Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di daerah ekstremitas atas berikutnya dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Hindari vena di daerah kepala karena sangat tidak efektif fiksasinya, sehingga mudah terjadi hematom. Pada bayi baru lahir, vena umbilikalis bisa digunakan untuk kanulasi terutama dalam keadaan darurat. Tujuan dilakukannya kanulasi vena perifer ini adalah untuk: a) Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari tiga hari, harus pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula. b) Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti kehilangan cairan tubuh atau perdarahan akut. c) Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau berulang Kanulasi dengan penggunaan jangka panjang, misalnya untuk nutrisi parenteral total, kanulasi dikalukan melalui vena subklavikula atau vena jugularis interna. Sedangkan untuk jangka pendek, dilakukan melalui vena-vena di atas ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka

11

dengan vena seksi. Tujuan dari kanulasi vena sentral ini tersendiri adalah : a) Terapi cairan dan nutrisi pareterla jangka panjang. Terutama untuk cairan nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk mencegah iritasi pada vena. b) Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya cardio vascular, vena perifer sulit diidentifikasi c) Untuk pemasanganan alat pemacu jantung (Braga, 2009) E. Terapi Cairan Perioperatif Terapi cairan perioperatif mencakup penggantian kehilangan cairan atau defisiensi cairan yang ada sebelumnya, dan kehilangan darah pada tindakan bedah seperti pada sebelum tindakan pembedahan, selama, dan F.

pasca pembedahan. Menurut National Confidential Enquiry into Patient Outcome and Death menyatakan bahwa pasien dengan hipovolemik yang mendapatkan terapi cairan perioperative dengan jumlah tidak adekuat mengalami peningkatan angka mortalitas 20,5% dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi cairan dengan jumlah yang adekuat (Brugnolli, 2017). 1. Terapi Cairan Prabedah Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk mengganti cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah: a) Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan b) Untuk koreksi defisist puasa atau dehidrasi diberikan cairan kristaloid c) Perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan koloid atau transfusi (Voldby, 2016)

12

2. Terapi Cairan selama Operasi Tujuan dari pemberian cairan selama operasi adalah sebagai koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti peredarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui organ eksresi. Idealnya, perdarahan seharusnya diatasi dengan penggantian cairan dengan kristaloid

atau

koloid

untuk

menjaga

volum

intravascular

(normovolemia) sehingga resiko terjadinya anemia dapat diatasi. Namun jika terjadi anemia berat pada pasien dapat diatasi dengan pemberian transfusi darah. Untuk menentukan jumlah transfusi yang akan diberikan dapat ditentukan dari hematokrit dan dengan menghitung estimated blood volume (Butterworth, 2013). Hal yang terpenting juga berdasarkan dari kondisi klinis pasien dan prosedur operasi yang akan pasien jalani. Jumlah kehilangan darah dapat dihitung dengan beberapa cara diantaranya: a) Menghitung Estimated Blood Volume = 65ml/kg dikalikan dengan berat badan pasien. b) Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit preoperatif (RBCV preop) c) Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit 30% (RBCV 30%) d) Hitung jumlah kehilangan volume sel darah merah (RBCV lost); RBCV lost = RBCV preop – RBCV 30% . e) Hitung Allowable Blood Loss = EBV x (Hct preop – Hct 30%). (Hahn, 2012) Tabel 2. Rata – rata Volume Darah

13

Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan: a) Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung atau tabung suction b) Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1 ml darah ) c) Ditambah dengan factor koreksi sebesar 25% kali jumlah yang terukur ditambah terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup lapangan operasi). (Butterworth, 2013) 3. Terapi Cairan Pasca Bedah Pemberian cairan pasca bedah digunakan tergantung dengan masalah yang dijumpai, bisa mempergunakan cairan pemeliharaan, cairan pengganti atau cairan nutrisi. Prinsip dari pemberian cairan pasca bedah menurut IDSAI (2010) adalah: a) Dewasa: Pasien yang diperbolehkan makan/minum pasca bedah, diberikan cairan pemeliharaan Apabila pasien puasa dan diperkirakan < 3 hari diberikan cairan nutrisi dasar yang mengandung air, eletrolit, karbohidrat, dan asam amino esensial. Sedangkan apabila diperkirakan puasa > 3

14

hari bisa diberikan cairan nutrisi yang sama dan pada hari ke lima ditambahkan dengan emulsi lemak Pada keadaan tertentu, misalnya pada status nutrisi pra bedah yang buruk segera diberikan nutrisi parenteral total b) Bayi dan anak, memiliki prinsip pemberian cairan yang sama, hanya komposisinya berbeda, misalnya dari kandungan elektrolitnya, jumlah karbohidrat dan lain – lain. c) Pada keadaan tertentu misalnya pada penderita syok atau anemia, penatalaksanaanya disesuaikan dengan etiologinya. Satu atau lebih komplikasi yang terjadi pasca operasi memberikan dampak buruk dalam jangka waktu pendek atau panjang. Pencegahan angka morbiditas pada pasca operasi adalah kunci untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas (Braga, 2009).

15

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Air merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia. Persentase cairan tubuh tergantung pada usia, jenis kelamin, dan derajat status gizi seseorang. Seluruh cairan tubuh tersebut secara garis besar terbagi ke dalam 2 kompartemen, yaitu intraselular dan ekstraselular. Apabila terjadi deficit atau kekurangan cairan pada tubuh maka perlu segera diberikan penanganan atau pencegahan untuk mencegah terjadinya masalah kekurangan cairan. Terapi cairan secara garis besar dibagi menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid merupakan larutan berbasis air yang mengandung elektrolit atau gula yang paling sering dan paling pertama digunakan sebagai cairan resusitasi. Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, sedangkan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler dan baik untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik. Berdasarkan penggunaannya dibagi menjadi cairan pemeliharaan, pengganti, nutrisi, dan untuk tujuan khusus. Jalur pemberian cairan dapat melalu kanulasi vena sentral dan perifer dimana masing memiliki indikasi tersendiri. Pemberian cairan perioperative juga diperlukan pada saat sebelum, selama, dan setelah atau pasca operasi. Pemantauan kehilangan darah pada pasien perioperative juga menentukan jenis terapi cairan yang akan diberikan. B. Saran

16

Mahasiswa sebaiknya mempelajari dan memahami tentang resusitasi cairan pada pasien dengan kondisi kritis dengan baik.

17

DAFTAR PUSTAKA Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From Physiology to Therapy. Verlag Italia: Springer. 2013. Braga M, Ljungqvist O, Soeters P, et al: ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition: surgery. Clin Nutr 2009;28:378. Brugnolli, A, RN, MSN, Canzan F, RN, MSN, PhD. 2017. Fluid Therapy Management in Hospitalized Patients: Results From a Cross-sectional Study Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed. New York: Mc-Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40. Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous fluids principles of treatment. Clinical Pharmacist Vol.3. 2011. Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the Perioperative Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 : h. 1– 10. Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders. Dalam Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th ed. Philadelphia: Elsevier Inc. 2013; 18: h.216 – 230. Levy MM, Evans LE, Rhodes A. The surviving sepsis campaign bundle: 2018 update. Intensive Care Med. 2018;44(6):925–8. Malbrain MLNG, Marik PE, Witters I, Cordemans C, Kirkpatrick AW, Roberts DJ, et al. Fluid overload, de-resuscitation, and outcomes in critically ill or injured patients: A systematic review with suggestions for clinical practice. Anestezjol Intens Ter [Internet]. 2014;46(5):361–80. Available from: http://czasopisma.viamedica.pl/ait/article/view/40299 Niemi TT, Miyasitha R, Yamakage M. Colloid solutions: a clinical update. Japanese Society of Anesthesiologist. 2010. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi Indonesia. 2010. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. PP IDSAI, 108-142. Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and Electrolytes. Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice 3rd ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 2015; 17 : h. 341 – 49. Voldby AW, Branstrup B. Fluid Therapy in the Perioperative Setting. Journal of Intensive Care. 2016; 4 : h.27 – 39. Weimann A, Braga M, Harsanyi L, et al: ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition: surgery including organ transplantation. Clin Nutr 2006;25:224.

18

19

Related Documents


More Documents from "Bimantara Cakra Aditama"