Referat Pembahasan Kaus Mds.docx

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Pembahasan Kaus Mds.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,343
  • Pages: 17
BAB II PEMBAHASAN Sseorang wanita usia 76 tahun datang ke RSDK dengan keluhan utama lemas. Lemas dirasakan semakin memberat sehingga membuat pasien menjadi cepat lelah saat beraktivitas dan memilih untuk beristirahat dengan berbaring. Pasien juga mengeluhkan pusing, mata berkunang-kunang, demam, batuk dan berat badan dirasa menurun. Pasien memiliki riwayat tranfusi darah merah dan trombosit sebanyak 4 kantong PRC dan 8 kantong trombosit. Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva palpebra pucat (+/+) dan ekimosis pada ekstremitas superior kanan dan kiri seusai diambil darah. Didapatkan stem fremitus menurun pada basal paru kanan, pekak setinggi SIC 6 kebawah paru kanan, suara dasar vasicular menurun pada basal paru kanan dan ronkhi basar kasar pada paru kanan setinggi SIC III- IV. Pada pemeriksaan penunjang darah rutin dan didapatkan hasil sebagai berikut: hemoglobin 8,64 gr/dL (↓), hematokrit 24,6 % (↓), eritrosit 2,71 x 106/μL (↓), MCH 31,9 pg, MCV 90,8 pg, leukosit 2x103/μL (↓), ANC 788/ μL, trombosit 40x103/ μL (↓), RDW 16,0% (↑), dan Albumin 2.4 g/dL (↓), Retikulosit 2,04 % (↑) . Pada pemeriksaan penunjang EKG didapatkan kesan sinus ritme dengan IVCD, X- Foto thoraks didapatkan kesan suspek cardiomegali, gambaran bronkopneumonia dan efusi pleura kanan. Hasil BMP didapatkan kesimpulan sumsum tulang hiposeluler, gambaran displasia triliniage dengan eritroid hiperplasia sedang , M : E ratio = 0,87 : 1. Kesan : Gambaran Hypoplastic Mielodysplatic Syndrome (MDS). 2.1

Myelodysplastic Syndrome (MDS) Pada pasien ini, seorang wanita 76 tahun dengan keluhan utama lemas.

Lemas dirasakan semakin memberat sehingga membuat pasien menjadi cepat lelah saat beraktivitas dan memilih untuk beristirahat dengan berbaring. Pasien juga mengeluhkan mata berkunang-kunang. Pasien memiliki riwayat tranfusi darah merah dan trombosit sebanyak 4 kantong PRC dan 8 kantong trombosit. Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva palpebra pucat (+/+) dan ekimosis pada ekstremitas superior kanan dan kiri seusai diambil darah.

Dari anamnesis, ditemukan keluhan-keluhan yang mengarah kepada gejala umum anemia atau yang biasa disebut dengan sindrom anemia. Sindrom anemia dapat terjadi karena adanya iskemia pada organ target serta akibat dari mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul bila kadar hemoglobin <7 g/dL. Sindrom ini meliputi lemah, mudah lelah, lesu, tinitus, mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas serta dispepsia. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan pasien tampak pucat yang mudah dilihat dari konjungtiva palpebra, mukosa oral, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.1 Untuk dapat menegakkan diagnosis anemia diperlukan pemeriksaan penunjang, maka pada tanggal 21 Februari 2019 dilakukan pemeriksaan darah rutin dan didapatkan hasil sebagai berikut: hemoglobin 8,64 gr/dL (↓), hematokrit 24,6 % (↓), eritrosit 2,71 x 106/μL (↓), MCH 31,9 pg, MCV 90,8 pg, leukosit 2x103/μL (↓), ANC 788/ μL, trombosit 40x103/ μL (↓), RDW 16,0% (↑). Berdasarkan kriteria WHO derajat anemia pada pasien ini merupakan anemia sedang, sedangkan berdasarkan morfologinya merupakan anemia normokromik normositik. Tabel 1. Kadar Hemoglobin untuk Mendiagnosis Anemia Menurut WHO2 Non-

Anemia

Anemia

Ringan

Sedang

Berat

Anak usia 6 – 59 bulan

≥ 11.0

10.0 – 10.9

7.0 – 9.9

< 7.0

Anak 5 – 11 tahun

≥ 11.5

11.0 – 11.4

8.0 – 10.9

< 8.0

Anak 12 – 14 tahun

≥ 12.0

11.0 – 11.9

8.0 – 10.9

< 8.0

Wanita tidak hamil (usia ≥ 15

≥ 12.0

11.0 – 11.9

8.0 – 10.9

< 8.0

Wanita hamil

≥ 11.0

10.0 – 10.9

7.0 – 9.9

< 7.0

Pria (usia ≥ 15 tahun)

≥ 13.0

11.0 – 12.9

8.0 – 10.9

< 8.0

Populasi

tahun)

Tabel 2. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi1 Anemia Hipokromik

Anemia Normokromik

Mikrositik

Normositik

MCV < 80 fl

MCV 80 – 95 fl

MCH < 27 pg

MCH 27 – 34 pg

Anemia Makrositer

MCV > 95 fl

1. Anemia

1. Anemia pasca

defisiensi besi 2. Thalasemia mayor

perdarahan akut 2. Anemia aplastik – hipoplastik

3. Anemia akibat penyakit kronik 4. Anemia

3. Anemia akibat penyakit kronik 4. Anemia hemolitik di

sideroblastik

dapat 5. Anemia pada sindrom mielodisplastik 6. Anemia pada keganasan hematologi

1. Bentuk Megaloblastik - Anemia defisiensi asam folat - Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa 2. Bentuk Non Megaloblastik - Anemia pada penyakit hati kronik - Anemia pada hipotiroidisme - Anemia pada sindrom mielodisplastik

Berdasarkan morfologinya merupakan anemia normokromik normositik. Pendekatan anemia normokromik dapat dilihat pada algoritma berikut :

Gambar 1. Pendekatan Anemia Normokromik3

Pada pasien ini sudah dilakukan pemeriksaan retikulosit pada tanggal 24 Februari 2019 dan didapatkan hasil 2.04 % yang artinya jumlah retikulosit pasien ini tergolong tinggi. Berdasarkan algoritma di atas apabila kadar retikulosit tinggi dicari riwayat kuning, pembesaran lien, abnormalitas gambaran darah tepi, kenaikan bilirubin atau laktat. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini adalah ureum dan kreatinin. Dari pemeriksaan tidak didapatkan riwayat kuning, splenomegali, pemeriksaan GDP di dapatkan Retikulosit 2,04 % (↑), pemeriksaan HbsAg dan Anti HCV didaptkan hasil Negatif. Sedangkan kadar ureum pasien 26 mg/dL dan kadar kreatininnya 0.9 mg/dL, masih dalam batas normal, tidak dilakukan pemeriksaan bilirubin. Dari hasil pemeriksaan belum dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gangguan pada sistem hepar maupun ginjalnya. Pada algoritma di atas, belum dapat disimpulkan sebagai anemia karena perdarahan atau hemolitik, namun pada pasien tidak di dapatkan tanda-tanda perdarahan. Pada pasien ini ditemukan pensitopenia yaitu hemoglobin 8,64 gr/dL (↓), eritrosit 2,71 x 106/μL (↓), leukosit 2x103/μL (↓), ANC 788/ μL, trombosit 40x103/ μL (↓). Jika ditemukan gejala anemia dan kelainan hematologi dapat dilakukan tatalaksana berdasarkan alur penegakan diagnosis di bawah ini:

Gambar 2. Algoritma Pendekatan Diagnosis Anemia dengan Kelainan Hematologi3 Dari algoritma diatas penegakan diagnosis dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan pungsi sumsum tulang. Pada pasien ini telah dilakukan BMP dan

didapatkan kesimpulan sumsum tulang hiposeluler, gambaran displasia triliniage dengan eritroid hiperplasia sedang , M : E ratio = 0,87 : 1. Kesan : Gambaran Hypoplastic Mielodysplatic Syndrome (MDS). Myelodysplastic syndromes (MDS) adalah kelompok keganasan myeloid yang sangat heterogen yang berakibat pada kegagalan sumsum tulang dan sitopenia pada darah tepi.3 Myelodysplastic Syndrome (MDS) adalah kelainan sel stem hemopoietik klonal heterogen yang secara klinis bermanifestasi sebagai hematopoiesis yang tidak efektif, sitopenia perifer, gangguan kualitatif sel darah dan prekursornya, dan predileksi menjadi acute myelogenous leukemia(AML). Etiologi MDS diduga karena paparan senyawa benzen, radiasi, proses ionisasi, dan agen kemoterapi. Keterlibatan proses sistem autoimun ditunjukkan dengan sel T yang meregulasi baik proliferasi maupun diferensiasi sel hemopoiesis. Respons hematologi berupa pansitopenia pada pasien MDS terhadap antithymocyte globulin (ATG), antibodi poliklonal dengan limfotoksisitas langsung ataupun tidak langsung memunculkan hipotesis bahwa pansitopenia pada MDS merupakan proses yang dimediasi oleh limfosit.4 Presentasi Klinis Myelodysplastic syndrome pada sebagian besar pasien tidak spesifik. Dicurigai berdasarkan adanya satu atau lebih sitopenia pada darah perifer. Kita bisa mendiagnosis pasien dengan MDS karena anemia simptomatik, perdarahan, atau demam neutropenik yang kritis. Dikatakan, gejala anemia, trombositopenia, demam, gejala konstitusional lainnya, atau proses infeksi yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dapat mengarah pada diagnosis MDS.3 Diagnosis banding MDS sangat luas, maka dari itu harus dikonfirmasi dengan melakukan tes diagnostik yang mencakup evaluasi morfologi spesimen dari sumsum tulang. Riwayat alami pasien dengan MDS belum diteliti secara rinci. Pada fase-fase awal penyakit ini, ada kemungkinan bahwa sebagian besar komplikasi berasal dari anemia persisten, trombositopenia, dan neutropenia. Juga, sebagian kecil dari pasien akan berkembang menjadi MDS berisiko tinggi atau AML.3

MDS diklasifikasikan menjadi 10 katagori sebagai berikut :

Gambar 3 . Klasifikasi MDS menurut WHO3

Dalam istilah praktis, terapi untuk pasien dengan MDS dibagi menjadi beberapa pendekatan untuk pasien dengan penyakit berisiko rendah dan pasien dengan penyakit berisiko tinggi. Meskipun dapat menggunakan kriteria yang berbeda, dapat diterima bahwa penyakit berisiko rendah mencakup pasien dengan penyakit rendah dan int-1 dan mereka dengan penyakit berisiko tinggi, int-2 atau tinggi, berdasarkan dari skor IPSS. Di AS, dokter menggunakan pedoman yang ditetapkan oleh NCCN untuk pengambilan keputusan saat memilih terapi. Untuk terapi pasien MDS dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan pasien MDS3 Pada pasien ini mendapatkan terapi tranfusi sebanyak 2 kantong PRC + 4 kantong TC dan mendapatkan obat immunosuppresan Siklosporin 50 mg/ 12 jam.

Prognosis pada pasien ini berdasarkan skor IPPS ( Tabel 3) adalah termasuk dalam katagori intermediet -1. Berdasarkan algoritma penatalaksanaan MDS, pasien ini termasuk ke dalam penatalaksanaan MDS risiko rendah. Sebagian besar dokter percaya bahwa peran terapi dalam MDS risiko rendah harus fokus pada perbaikan gejala dan meminimalkan kebutuhan transfusi, sedangkan dampak potensial pada kelangsungan hidup masih belum terbukti. Perlu dilakukan pengembangan pendekatan kuratif untuk pasien dengan MDS risiko rendah dalam konteks uji klinis.3

Prognosis pasien dapat di tentukan melalui skor IPSS

Tabel 3 . Skor IPSS3

Selain memperhatikan derajat anemia pada pasien ini, perlu diperhatikan juga kadar trombosit pasien tersebut. Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 21 Februari 2019, kadar trombosit pasien ini sebesar 40x103/ μL (↓) dan kadar trombosit pasien post tranfusi pada tanggal 26 Februari 2019 sebesar 114x103/ μL (↓), ini mencerminkan nilai trombosit yang rendah. Normalnya jumlah trombosit dalam darah berkisar antara 150.000 – 450.000/μL. Kadar trombosit yang rendah atau trombositopenia dapat diakibatkan karena penurunan produksi oleh sumsum tulang; sekuestrasi, biasanya pada pembesaran lien; dan peningkatan jumlah trombosit yang mengalami destruksi.5 Trombositopenia dapat diklasifikasikan berdasarkan hasil hitung trombosit. Trombositopenia ringan bila hasil hitung trombosit antara 70-150 x 103/μL dan berat apabila < 20 x 103/μL.6 Manifestasi klinis pada trombositopenia adalah gejala perdarahan, paling sering timbul dalam bentuk perdarahan kulit seperti petechie, purpura, echymosis maupun hematom. Perdarahan mukosa dapat berupa epistaksis, perdarahan subkonjungtiva,

hematemesis, melena dan pada wanita dapat terjadi menorhagia.7 Pada kasus ini pasien mengalami echymosis pada etremitas superior dextra et sinistra.

Gambar 5. Algoritma Evaluasi Trombositopenia5 Dalam melakukan evaluasi trombositopenia hasil pemeriksaan darah rutin / lengkap sangat penting untuk diketahui. Kadar hemoglobin pada pasien ini sebesar 8,64 g/dL dengan jumlah sel darah putih 2x103/μL yang artinya nilai tersebut dalam keadaan abnormal. Berdasarkan algoritma di atas, apabila nilai trombosit < 150.000 / μL diikuti dengan nilai hemoglobin dan sel darah putih yang abnormal maka dilanjutkan dengan pemeriksaan sumsum tulang. Pada pemeriksaan aspirat sumsum tulang (BMP) sel megakariosit tampak dan trombosit berkurang sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi trombositopenia yang dialami oleh pasien bisa diakibatkan karena penurunan produksi oleh sumsum tulang.

2.2

Community Acquired Pneumonia(CAP) Pada anamnesis pasien ini didapatkan anamnesis keluhan batuk sejak 1

bulan yang lalu. Batuk dirasakan hilang timbul dan semakin lama semakin memberat. Batuk kering, tidak mengeluarkan dahak, tidak ada darah saat batuk, terkadang terasa nyeri jika batuk terus-menerus. Pasien juga mengeluhkan demam nglemeng sepanjang hari yang hilang dengan obat penurun panas sejak 1 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan stem fremitus yang menurun pada basal paru kanan, perkusi pekak setinggi SIC VI kebawah paru pada kanan, terdapat suara tambahan paru ronki basah kasar di SIC IV-V pada paru kanan. Pada pemeriksaan

penunjang

X-Foto

thoraks

menunjukkan

gambaran

bronkopneumonia. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien ini dapat didiagnosis mengalami Community-Acquired Pneumonia. Definisi CAP berdasarkan IDSA adalah infeksi akut dari parenkim paru dengan gejalagejala infeksi akut, ditambah dengan adanya infiltrat pada pemeriksaan radiografi atau suara paru abnormal pada pemeriksaan auskultasi pada pasien yang tidak sedang dalam perawatan rumah sakit ataupun panti perawatan dalam kurun waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala.8 Kriteria diagnosis CAP yaitu:9 a.

Anamnesis Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

b.

Pemeriksaan fisik Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian bisa menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

c.

Pemeriksaan Penunjang  Gambaran radiologis

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa new infiltrat sampai konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.  Pemeriksaan labolatorium Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Pada pasien ini tidak didapatkan kenaikan leukosit namun didapatkan penurunan sebesar 2.000 μL.

Derajat keparahan pneumonia menjadi penentu pemilihan terapi dan memprediksi risiko mortalitas pada pasien. Skoring salah satunya dapat dilakukan menggunakan CURB-65. Model skor ini direkomendasikan oleh British Thoracic Society (BTS) berdasar pada lima gambaran klinik utama yang sangat praktis, mudah diingat dan dinilai. Skor Prediksi CURB-65: Table 4. Skor prediksi CURB-6510

Gambar 6. Aplikasi skor CURB-65 dalam penatalaksanaan CAP9,10

Pada pasien ini total score adalah 1, dimana tidak didapatkan adanya penurunan kesadaran, urea nitrogen 12,14 per dL, laju pernapasan 20 x per menit, tekanan darah normal dan pasien berusia 76 tahun. Dengan skore tersebut pasien

tergolong ke dalam derajat rendah, dimana pasien ditatalaksana dengan rawat jalan dengan pilihan pemberian terapi antibiotik betalactam + makrolide .9,10 Assesment pada pasien ini adalah untuk mengetahui etiologi dari CAP tersebut, dengan pemeriksaan sputum (pengecatan BTA, gram, jamur) dan kultur sputum. Pada pasien ini baru diusulkan pemeriksaan penunjang. Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pilihan antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu:11 1) Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa 2) Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia. 3) Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu. Pada pasien ini dahaknya tidak keluar, sehingga pemeriksaan sputum dan etiologi kuman untuk penatalaksanaan terapi tidak dapat dilakukan. Maka pada penderita pneumonia ini dapat diberikan terapi secara empiris dan disesuaikan dengan pilihan obat di rumah sakit yang bersangkutan. Ada beberapa golongan pasien berdasarkan tipe perawatan, yaitu:12 I.

Rawat jalan tanpa penyakit jantung paru

II.

Raat jalan dengan penyakit jantung paru

III.

Rawat inap RS a. Di luar ICU, dengan penyakit jantung paru b. Di luar ICU, tanpa penyakit jantung paru

IV.

Rawat inap RS di ICU

Berdasarkan skor CURB-65 pasien seharusnya di rawat jalan, karena pasien memiliki penyakit lain yaitu Pansitopenia, efusi pleura loculated yang membutuhkan tatalaksana lanjut membuat pasien dirawat inap. Pasien ini termasuk golongan IIIa, dengan kelainan yang kemungkinan dapat mengganggu hemodinamiknya. Sesuai panduan pengobatan diberikan antibiotik laktam IV, yaitu Injeksi ampicilin sulbactam 1,5 gr/ 8 jam untuk bakteri gram (+) dan gram (-). Selain itu terapi supportif berupa N-asetil sistein 200 mg/8 jam per oral.

Setelah diterapi dengan ampicillin-sulbactam pasien mengalami perbaikan, ditandai dengan hilangnya ronkhi basah kasar pada paru kanannya yang berarti pasien respon terhadap terapi.

2.3

Efusi Pleura Loculated Pada pasien ini, didapatkan dari anamnesis mengeluh batuk kering sudah

seajak 1 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan stem fremitus menurun pada basal paru kanan, pada perkusi di dapatkan suara pekak pada basal paru kanan setinggi SIC 6 kebawah, dan auskultasi didapatkan suara dasar vasicular basal paru kanan menurun. Telah dilakukan pemeriksaan penunjang X-foto toraks, didapatkan kesan efusi pleura loculated kanan. Diagnosis efusi pleura ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada penatalaksanaan pasien ini rencana dilakukan pungsi efusi pleura untuk mengetahui etiologi dan jenis cairan efusi pleura apakah cairan eksudat/transudat, namun saat dilakukan USG toraks tidak ditemukan adanya cairan efusi pleura sehingga pungsi efusi pleura tidak dilakukan. Karena tidak dilakukan pungsi cairan efusi pleura maka etiologinya tidak dapat diketahui. Pasien menderita pneumonia dan sudah ditatalaksana dengan baik. Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi cairan berlebih dalam rongga pleura.13 Selain cairan dapat juga terjadi penumpukkan pus atau darah. Efusi pleura bukanlah suatu penyakit melainkan manifestasi dari berbagai macam penyakit. Dalam keadaan normal cairan masuk ke dalam rongga pleura dari kapiler–kapiler di pleura parietal dan diserap melalui pembuluh limfe yang berada di pleura viseral. Cairan juga bisa masuk ke rongga pleura melalui rongga intersisial paru melalui pleura viseral atau dari rongga peritonium melalui celah sempit yang ada di diafragma. Berdasarkan jenis cairannya efusi pleura dibagi menjadi efusi pleura transudat dan efusi pleura eksudat. Efusi pleura transudat terjadi apabila faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan, sedangkan efusi pleura eksudat terjadi apabila faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan. Dari keduanya, efusi pleura eksudat lebih sering ditemukan, dan penyebab utama efusi pleura eksudat adalah infeksi bakteri, infeksi jamur, infeksi virus, keganasan dan emboli paru.

Efusi pleura pneumonia dapat terjadi pada fase eksudat, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler pleura akibat respon inflamasi. Hal ini menyebabkan transfer cairan intersisial melewati pleura visceral. Sitokin proinflamasi termasuk interleukin (IL) 6, IL 8 dan tumor necrosis factor (TNF) ά menyebabkan perubahan bentuk anatomi sel mesotelial pleura yang membuat gaps interselular yang selanjutnya merubah permeabilitas dan menambah akumulasi cairan pleura. Efusi pleura pada pneumonia mempunyai karakteristik cairan pleura dengan glukosa >40 mg/dL dan pH >7,2, dan tanpa ditemukan bakteri pada pemeriksaan mikrobiologi, fase ini juga disebut sebagai simple parapneumonia efusi.14

2.4

Hipoalbumin (2.4 g/dL) Pada pasien ini didapatkan adanya kondisi nafsu makan menurun,

kemungkinan terjadi akibat low protein intake. Sebab lain dari hipoalbumin adalah protein loss, pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan fungsi hepar dan fungsi ginjal sehingga kemingkinan protein loss belum dapat disingkirkan. Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia, yaitu sekitar 55-60% dan total kadar protein serum normal adalah 3,85,0 g/dl. Berdasarkan fungsi dan fisiologis, secara umum albumin di dalam tubuh mempertahankan tekanan onkotik plasma, peranan albumin terhadap tekanan onkotik plasma rnencapai 80% yaitu 25 mmHg. Sumber albumin pada hewan didapat dalam daging sapi, ikan, ayam, telur dan susu. Pada tanaman seperti kacang – kacangan dan sayuran , kadar albuminnya rendah. Dua faktor yang mempengaruhi pengaturan sintesis albumin adalah asupan nutrisi khususnya konsumsi protein dan penyakit. Pengurangan konsumsi protein memperlambat sintesa mRNA albumin dan menyebabkan kadar serum yang rendah. Refeeding dengan asam amino atau protein nmenginduksi peningkatan sintesa albumin dengan cepat . Kadar albumin juga dapat turun pada pasien dengan gangguan inflamasi dan sakit yang lain. Hipoalbuminemia dapat terjadi akibat produksi albumin yang tidak adekuat (malnutrisi, luka bakar, infeksi

dan pada

bedah mayor), katabolisme yang

berlebihan (luka bakar, bedah mayor, dan pankreatitis), kehilangan albumin dari tubuh, hemoragik, eksresi ginjal yang berlebihan, redistribusi dalam tubuh (bedah mayor dan kondisi inflamasi). Hipoalbuminemia bukan suatu indikasi untuk pemberian albumin karena hipoalbuminemia tidak berhubungan langsung dengan plasma dan volume cairan lainnya, tetapi disebabkan kelebihan dan defisit cairan di intravaskular yang disebabkan dilusi, penyakit dan faktor distribusi .

1.

Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 2575–81.

2.

WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. Vitam Miner Nutr Inf Syst. 2011;1–6.

3.

Means RT, Jr. BG. Disorders of Red Cells. In: Wintrobe’s Clinical Hematology. 13th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2014. p. 587–614.

4.

Jacobus DJ. Proses Autoimun Terkait Myelodysplastic Syndrome. 2016;43(5):387– 9.

5.

Konkle BA. Disorders of Platelets and Vessel Wall. In: Harrison’s Principle of Internal Medicine. 19th ed. New York: Mc Graw Hill Education; 2015. p. 725–32.

6.

Gauer RL. Trombocytopenia. Am Fam Physician. 2012;85(6):612–22.

7.

Bakta P dr. IM. Anemia karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2006. p. 97–112.

8.

Setiati S, Alwi I, W.sudoyoA, Simadibrata M, SetiyohadiB F. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Setiati S, AlwiI, W.sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B FA, editor. Jakarta: Interna Publishing; 2015. 1873 p.

9.

Wiersinga WJ, Bonten MJ, Boersma WG, Jonkers RE, Aleva RM, Kullberg BJ. Management of community-acquired pneumonia in adults : 2016 guideline update from the Dutch Working Party on Antibiotic Policy ( SWAB ) and Dutch Association of Chest Physicians ( NVALT ). 2018;(1):4–13.

10.

Ebell, Mark H, MD M. Outpatient vs. Inpatient Treatment of Community Acquired Pneumonia. Fam Pract Manag [Internet]. 2006;6. Available from: https://www.aafp.org/fpm/2006/0400/p41.html

11.

Quintana JM, Areitio I, Gorordo I, Capelastegui A, Espan PP, Egurrola M, et al. Validation of a predictive rule for the management of community-acquired pneumonia ˜. 2006;151–7.

12.

PAPDI. Pulmonologi. In: Sudoyo AW, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV. Jakarta: FKUI; 2006. p. 964–70.

13.

Alwi I, salim S, Hidayat R dkk. Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam, Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Internal Publising; 2015. 754-758 p.

14.

Light R. Pleural Effusions Related to Metastatic Malignancies. In: Pleural Diseaases. 5th ed. 2007. p. p.134-6.

Related Documents

Kaus Atut Fiks.docx
May 2020 25
Pembahasan
August 2019 65
Pembahasan
July 2020 39
Referat
May 2020 53
Pembahasan Iodoform.docx
December 2019 31