Refarat Related Mustajir.docx

  • Uploaded by: Irma Sihotang
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refarat Related Mustajir.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,002
  • Pages: 26
BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) ialah penyakit saluran napas kronik yang diketahui memiliki hubungan dengan masalah jantung dikemudian hari. Inflamasi kronik yang terjadi pada PPOK ternyata tidak hanya mengakibatkan gangguan pada sistem pernapasan, tetapi juga membawa dampak sistemik yang bermakna sebagai penanda bahwa sudah terdapat kondisi komorbid pada penderitanya.1 Penurunan fungsi jantung pada pasien PPOK tidak dapat disangkal sebab telah diketahui jelas bahwa PPOK memiliki faktor risiko yang sama seperti merokok, usia tua serta gaya hidup yang buruk. Selain memiliki faktor risiko yang sama untuk penyakit kardiovaskular, perjalanan penyakit ini sendiri juga dapat menimbulkan komplikasi kardiovaskular. Begitu pula sebaliknya, adanya kelainan kardiovaskular tidak diragukan lagi sebagai kontributor morbiditas dan mortalitas pada PPOK.2 Beberapa penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa hipertensi pulmonal juga dapat menentukan prognosis pada pasien dengan PPOK. Komplikasi aritmia juga sering dijumpai pada populasi PPOK terutama Atrial fibrillation (AF) dengan prevalensi mencapai 4.7% hingga 15% pada PPOK stabil.3 Pemeriksaan EKG merupakan modalitas pemeriksaan yang paling mudah, sederhana dan memiliki korelasi yang tinggi dengan derajat PPOK. Pemeriksaan EKG juga dapat digunakan untuk menunjukkan derajat keparahan penyakit.4 Berbagai Manifestasi dapat ditemukan dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), diantaranya perubahan pada ritme, arah axis dan gangguan konduksi listrik. Keseluruhan perubahan EKG yang disebabkan oleh PPOK seperti telah disebutkan dapat

1

menggambarkan perubahan struktur jantung yang terjadi dan menetukan prognosis pasien.5 Dengan penilaian EKG pada pasien PPOK, diharapkan dapat membantu pemilihan dan pemberian terapi yang tepat, penilaian prognosis pasien serta dapat membantu penentuan rencana pencegahan sekunder untuk memperbaiki kualitas hidup pasien. 1.2

Tujuan Adapun tujuan dibuatnya tulisan ini adalah sebagai landasan teori serta penjelasan terhadap mekanisme perubahan EKG yang dijumpai pada pasien PPOK. Selain itu tulisan ini dibuat untuk melengkapi persyaratan ilmiah dan menjadi acuan Penelitian yang akan dilakukan selanjutnya mengenai karakteristik perubahan EKG pada pasien PPOK dan keterkaitannya dengan derajat keparahan PPOK.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penyakit Paru Obstruktif Kronik

2.1.1

Definisi Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

karakteristik keterbatasan aliran udara yang persisten dan bersifat progresif, yang berhubungan dengan respons inflamasi kronik berlebihan pada saluran napas dan parenkim paru.1 Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD) mengestimasikan bahwa penyakit ini akan meningkat posisinya dari urutan ke-6 menjadi urutan ke-3 penyebab kematian di seluruh dunia pada tahun 2020. Hal ini dapat terjadi dengan meningkatnya jumlah perokok, perkembangan industrialisasi dan polusi udara.6 Panduan GOLD pada tahun 2017 mendefinisikan PPOK sebagai penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang menetap (persistent) yang biasanya progresif dan disertai peningkatan respon inflamasi yang kronik pada paru dan saluran pernapasan terhadap gas atau partikel yang berbahaya. Eksaserbasi dan kondisi komorbiditas mengakibatkan progresivitas keparahan pada penderita PPOK.6 2.1.2

Epidemiologi Laporan dari Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) menyebutkan bahwa pada tahun 2010 sebanyak 384 juta orang atau sekitar 11,7% penduduk dunia merupakan penderita PPOK dengan angka kematian mencapai tiga juta orang tiap tahunnya.6 World Health Organization (WHO) sendiri menyebutkan bahwa pada tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab kematian tertinggi ketiga di seluruh dunia. Di Asia Pasifik sendiri, tercatat bahwa pada tahun 2015, sedikitnya 6,2% populasi Asia Pasifik mengalami PPOK dimana 19,1% diantaranya merupakan PPOK berat.7,8 Data dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyebutkan bahwa pada tahun 2015, sedikitnya 4,5 – 5,5 % penduduk Indonesia 3

merupakan penderita PPOK, dan angka ini bisa meningkat mencapai 7,2% di daerah pedesaan.1 Pada tahun 2013, PPOK merupakan penyebab kematian ketujuh di Indonesia yang mencapai 3,1% kematian, akan tetapi angka ini diprediksikan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi perokok di Indonesia, dimana tercatat lebih dari 2/3 pria di Indonesia (67%) adalah perokok yang juga merupakan salah satu faktor resiko penyakit kardiovaskular.9 2.1.3

Faktor Risiko PPOK dan penyakit kardiovaskular memiliki banyak kesamaan dalam

faktor resiko seperti usia dan merokok. Hubungan patofisiologi antara keduanya sangat kompleks dan belum diketahui dengan jelas. Kedua kondisi ini melibatkan proses peradangan sistemik kronik yang dicurigai merupakan faktor utama dari hubungan keduanya.10 Penelitan epidemiologi menunjukkan penurunan fungsi paru pada subjek PPOK terkait dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian. Penelitian Lung Health menemukan bahwa dengan penurunan 10% fungsi paru (FEV1) pada pasien PPOK dapat meningkatan risiko kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular sebesar 30% yang terdiri dari aritmia, gagal jantung dan stroke serta penyakit kardiopulmoner seperti penyakit tromboemboli (termasuk risiko emboli paru dan trombosis vena dalam (DVT)) serta kematian mendadak.11 Banyak studi yang menyatakan kebiasaan merokok merupakan faktor resiko terjadinya PPOK, tetapi pada non-perokok juga dijumpai bukti adanya penyempitan saluran nafas. Faktor resiko pada PPOK merupakan sesuatu yang kompleks. Faktor genetik, jenis kelamin, interaksi lingkungan, pengaruh lingkungan, jenis pekerjaan dan status sosio-ekonomi memiliki peran dalam berkembangnya penyakit ini. Berikut merupakan faktor risiko PPOK yang umum dijumpai.6,12 

Genetik Faktor genetik yang berperan yang telah diteliti adalah defisiensi berat

herediter -1 anti-tripsin, inhibitor sirkulasi mayor serin protease. Meskipun 4

defisiensi -1 anti-tripsin relevan terhadap sebagian kecil populasi di dunia, hal tersebut menggambarkan hubungan antara gen dan lingkungan yang mengarah kepada PPOK. 

Usia dan jenis kelamin Studi epidemiologi telah membuktikan PPOK lebih sering diderita oleh

lansia, namun belum jelas apakah proses

penuaan (ageing) akan

mengakibatkan PPOK atau usia merefleksikan jumlah paparan kumulatif kehidupan. Kebanyakan studi menunjukkan prevalensi dan mortalitas lebih besar pada laki-laki dibanding wanita yang mungkin menggambarkan perubahan pola merokok. 

Paparan partikel berbahaya Paparan partikel ini dapat diperoleh dari merokok, paparan pekerjaan

maupun polusi udara. Perokok memiliki prevalensi yang tinggi menimbulkan gejala respirasi dan abnormalitas fungsi paru. Penurunan fungsi FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1 Second) yang tinggi setiap tahun, angka mortalitas PPOK juga dijumpai lebih tinggi dibandingkan non-perokok. Paparan pekerjaan termasuk debu organik-inorganik, agen kimia dan asap merupakan faktor resiko yang lebih kecil. 

Status sosio-ekonomi Kemiskinan merupakan faktor resiko yang jelas untuk PPOK tetapi

komponen kemiskinan yang berperan masih belum jelas. Ditemukannya bukti yang kuat bahwa resiko perkembangan PPOK berbanding terbalik dengan status sosioekonomi. 

Penyakit Saluran Napas Obstruksi Lainnya Dalam suatu laporan kohort longitudinal dari Tucson Epidemiological

Study of Airway Obstructive Disease, orang dewasa menderita asma memiliki kecenderungan 12 kali lipat untuk menderita PPOK dan adanya bronkitis kronis berhubungan dengan meningkatnya kecenderungan PPOK.

5

2.1.4

Patofisiologi PPOK Inflamasi saluran napas pada pasien PPOK merupakan amplifikasi dari

respons inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme terjadinya amplifikasi ini belum sepenuhnya dimengerti dan diduga ikut dipengaruhi oleh faktor genetik. Inflamasi paru diperberat oleh stress oksidatif dan kelebihan enzim proteinase, yang mana kesemua abnormalitas ini menyebabkan terjadinya perubahan patologis pada PPOK.1 Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema). Inflamasi kronis menyebabkan gangguan struktur saluran nafas kecil. Destruksi parenkim paru juga dapat terjadi akibat proses inflamasi sehingga menyebabkan gangguan perlekatan alveoli pada saluran nafas kecil dan penurunan kemampuan recoil elastik paru. Pada kondisi ini aliran udara akan terganggu karena hilangnya kemampuannya saluran napas untuk tetap terbuka. Penyempitan saluran nafas ini dapat diukur dengan menggunakan spirometri yang merupakan modalitas pemeriksaan fungsi paru terstandar dengan kemampuan reproduksi yang tinggi.6 Selama ini telah diketahui dengan jelas bahwa mekanisme yang paling bertanggung jawab dalam patogenesis PPOK ialah peradangan kronik. Berbagai studi menemukan bahwa respon inflamasi paru terhadap pajanan gas atau asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi, dan adanya stress oksidatif yang disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau yang diaktifkan oleh sel inflamasi itu sendiri. Peningkatan jumlah limfosit T yang didomisasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada kelenjar limfe paratrakeal.13 Makrofag yang diaktifkan asap rokok dan zat iritan lainnya akan melepaskan neutrofil, IL8 dan TNF- yang kembali menstimulasi makrofag dan neutrofil untuk mengeluarkan zat-zat protease seperti neutrofil elastase, capthesin dan Matriks Metalo Protease (MMP) yang merusak dinding alveoli, jaringan penunjang pada parenkhim paru dan juga menstimulasi terjadinya

6

hipersekresi mukus. Asap rokok ini juga mengaktifkan sel epitel di saluran pernapasan sehingga menghasilkan banyak T limfosit CD8+ aktif yang dapat langsung membuat kerusakan pada dinding alveoli serta mensekresikan mediator peradangan seperti TNF-.14 Sel epitel yang terpajan asap rokok akan menyebabkan peningkatan aktivitas fibroblas sehingga menyebabkan terjadinya fibrosis. Fibroblas akan diaktivasi oleh faktor pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan oleh makrofag dan sel epitel. Enzim-enzim ini pada kondisi normal akan diatasi oleh protease inhibitor, termasuk alpha 1 antitripsin, SLPI dan Tissue Inhibitor Metalo-Protease (TIMP). Ketidakseimbangan proteinase-antiproteinase yang dijumpai pada pasien PPOK menyebabkan aktivitas enzim tersebut menjadi sangat destruktif dan mengakibatkan perubahan pada parenkim paru.6,15

Gambar 2.1 Patogenesis Terjadinya PPOK.16 Kesemua sel-sel inflamasi yang telah disebutkan di atas akan mensekresikan mediator inflamasi yang menyebabkan aktivitas inflamasi di saluran napas dan parenkim paru menjadi sangat tinggi 7

Respon inflamasi kronik ini tidak hanya mengenai saluran napas dan parenkim paru, namun juga melibatkan perubahan pada vaskular paru, merubah struktur jaringan pembuluh darah, disfungsi endotel, hilangnya elastisitas dan fungsi pembuluh kapiler paru yang pada akhirnya akan menyebabkan hipertensi pulmonal. Tingkat peradangan, fibrosis dan volume eksudat di dalam lumen bronkiolus berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio perbandingan FEV1 dengan Force Vital Capacity (FEV1/FVC). Penurunan FEV1 merupakan tanda khas pada PPOK akibat terperangkapnya udara dan hiperinflasi paru. Obstruksi jalan napas perifer menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi sehingga pada akhirnya mengakibatkan retensi karbon dioksida.16,17

2.1.5

Proses Peradangan Sistemik pada Penderita PPOK PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati, tetapi dapat

menyebabkan efek ekstrapulmonal yang signifikan. Terjadinya efek ekstrapulmonal ini merupakan efek dari proses inflamasi sistemik. PPOK telah terbukti memberikan dampak inflamasi sistemik terhadap berbagai organ tubuh. Banyak teori yang mencoba menjelaskan mekanisme terjadinya peradangan sistemik pada PPOK ini, meskipun sampai saat ini belum ada mekanisme yang benar-benar disepakati untuk dapat menjelaskan terjadinya proses peradangan sistemik ini. Mekanisme pertama adalah bahwa inflamasi yang terjadi di jalan napas dan parenkim paru mengalami spill-over (tumpah) dan beredar secara sistemik melalui sirkulasi darah sehingga mengakibatkan peradangan diberbagai jaringan lain. Akan tetapi teori ini tidak didukung dengan fakta bahwa ternyata jumlah neutrofil sputum tidak berbanding lurus dengan jumlah neutrofil darah. Selain itu konsentrasi sitokin pro-inflamasi paru seperti TNF- dan IL-8 tidak menunjukkan korelasi yang sebanding dengan konsentrasi sitokin proinflamasi tersebut di dalam darah.13 Mekanisme lainnya menyebutkan bahwa proses inflamasi sistemik ini terjadi karena efek merokok dan paparan asap itu sendiri. Teori ini cukup 8

masuk akal karena merokok telah terbukti mencetuskan inflamasi dan berkaitan dengan aterosklerosis. Bahkan pada perokok pasif sekalipun, terjadi peningkatan penanda stres oksidatif dan disfungsi endotel pembuluh darah. Namun ternyata pada pasien yang sudah berhenti merokok, tetap terjadi proses inflamasi. Artinya teori ini hanya mampu menjelaskan awal mula terjadinya inflamasi, tetapi tidak menjelaskan mengapa proses inflamasi tersebut tetap bertahan.13 Selain disebabkan oleh dua mekanisme di atas, terjadinya inflamasi sistemik ini juga diduga disebabkan oleh keadaan hipoksemia dan hiperinflasi paru yang terjadi pada pasien PPOK. Pendapat ini didukung dengan temuan hasil penelitian bahwa derajat hipoksemia ternyata berbanding lurus dengan kadar IL-6 dan TNF-. Studi lain menyebutkan bahwa keadaan hiperinflasi dinamis terjadi seiring dengan peningkatan kadar TNF-, IL-8, IL-6 dan IL1b.18 Inflamasi sistemik yang terjadi pada pasien PPOK akan semakin memberat saat terjadi eksaserbasi. Studi telah menunjukkan bahwa kadar sitokin pro-inflamasi mengalami peningkatan signifikan selama periode eksaserbasi, diantaranya CRP, IL-8, TNF-, leptin, endothelin-1, IL-6, dan lain lain. Efek sistemik yang ditimbulkan oleh eksaserbasi ini dicetuskan oleh adanya infeksi mikroba yang menginduksi migrasi sel inflamasi akibat adanya Toll-Like Receptor (TLR). Sebagai akibatnya, leukosit akan mengalami adhesi ke endotel vaskular kemudian beredar secara sistemik.19 Inflamasi sistemik yang terjadi pada penderita PPOK diperantarai oleh berbagai mediator, termasuk sel-sel inflamasi, sitokin pro-inflamasi, stress oksidatif dan faktor pertumbuhan. Sel neutrofil terbukti mengalami gangguan fungsi pada orang penderita PPOK dimana neutrofil akan menghasilkan lebih banyak spesies oksigen reaktif yang berakibat pada peningkatan respons kemotaktik, peningkatan kemampuan penghancuran jaringan ikat, dan peningkatan ekspresi molekul adhesi di pemukaan sel. Selain itu pada perokok yang mengalami PPOK, masa hidup makrofag yang harusnya berkisar beberapa bulan menjadi jauh lebih panjang hingga lebih dari 2 tahun. Selain

9

itu, terjadi peningkatan kadar IL-6 pada pasien PPOK yang mana kadarnya akan semakin meningkat dalam keadaan eksaserbasi. IL-6 akan mengaktivasi protein fase akut dari hepar seperti CRP yang semakin memperberat keadaan inflamasi.18

Gambar 2.2 Manifestasi Peradangan sistemik pada PPOK.13 Beberapa sistem organ dapat mengalami dampak buruk karena proses peradangan sistemik yang terjadi pada PPOK. Sistem kardiovaskular merupakan salah satu sistem organ yang diketahui terpengaruhi oleh proses Inflamasi sistemik yang terjadi akibat PPOK. Hal ini dapat memicu terjadinya disfungsi endotel, kondisi protrombotik dan menjadi faktor resiko untuk terjadinya aterosklerosis. Beberapa penelitian epidemiologi berkaitan dengan peradangan sistemik terkait dengan luasnya aterosklerosis, penyakit jantung iskemik, stroke dan kematian koroner.20 Beberapa manifestasi Peradangan sistemik pada sistem organ dapat berupa keganasan paru yang disebabkan peradangan kronik lokal, gangguan metabolisme tilang seperti osteoporosis, masalah metabolik seperti diabetes

10

mellitus, ataupun penurunanan kemampuan aktifitas fisik yang berujung pada disfungsi otot dan penurunan berat badan.18 2.1.6

Penegakan Diagnosis dan Klasifikasi Diagnosa klinis harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan

sesak nafas, batuk kronis atau produksi sputum, dan atau riwayat paparan terhadap faktor resiko penyakit. Spirometri adalah suatu teknik pemeriksaan untuk mengetahui fungsi/faal paru. Spirometri adalah pemeriksaan yang digunakan untuk menilai keterbatasan saluran nafas yang objektif. Pengukuran aliran puncak ekspirasi memiliki sensitifitas yang bagus walaupun kurang spesifik.6 Pada spirometri terdapat dua macam kapasitas vital paru berdasarkan cara pengukurannya, yaitu vital capacity (VC) dengan subjek tidak perlu melakukan aktivitas pernapasan dengan kekuatan penuh dan forced vital capacity (FVC), subjek melakukan aktivitas pernapasan dengan kekuatan maksimal. Pada orang normal tidak ada perbedaan antara FVC dan VC, sedangkan pada kelainan obstruksi terdapat perbedaan antara VC dan FVC. Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1) merupakan besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi pertama pada orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai VC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan pada nilai absolutnya tetapi pada perbandingan nilai FEV1 dengan FVC. Nilai batas rasio FEV1/FVC (cut off point) 0.7 dan dievaluasi dengan nilai referensi sesuai usia, tinggi, seks, dan ras. Spirometri dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis dalam konteks klinis; dengan hasil pasca pemberian bronkodilator FEV1/FVC <0.70 diyakini terdapat penyempitan saluran nafas yang persisten dan PPOK.6 Kriteria tersebut sangat simpel, independen terhadap nilai yang telah ditentukan, dan digunakan dalam banyak studi. Penggunaan spirometri paska 11

pemberian bronkodilator dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa dan penilaian derajat PPOK, tingkat kekambuhan dan keterbatasan saluran nafas. Pengukuran FEV1 sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator atau kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan. Berdasarkan panduan dari GOLD tahun 2017 tingkat keparahan PPOK berdasarkan penilaian spirometri diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK Berdasarkan Spirometri.6

2.2

Kelainan Jantung Akibat PPOK Saat ini PPOK diketahui sebagai salah satu kondisi yang memiliki peran dalam memperburuk fungsi jantung. Hal ini tidak dapat disangkal sejak penyakit ini diketahui memiliki faktor risiko yang sama seperti merokok, usia tua serta gaya hidup yang buruk. Selain memiliki faktor risiko yang sama untuk penyakit kardiovaskular, perjalanan penyakit ini sendiri juga dapat menimbulkan komplikasi kardiovaskular. Begitu pula sebaliknya, adanya kelainan kardiovaskular tidak diragukan lagi sebagai kontributor morbiditas dan mortalitas pada PPOK.21 Beberapa kejadian kardiovaskular dapat dijumpai dan berhubungan dengan PPOK, seperti gangguan fungsi dan struktur jantung kanan, penyakit jantung iskemik, gangguan irama jantung dan dapat berujung pada gagal jantung.

2.2.1

Disfungsi Ventrikel Kanan dan Hipertensi Pulmonal Disfungsi ventrikel kanan merupakan salah satu komplikasi penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK). Gangguan fungsi ventrikel kanan sangat berkaitan dengan keterbatasan kemampuan kerja pasien serta prognosis yang buruk. Gangguan fungsi dan struktural ventrikel kanan yang disebabkan PPOK dapat

12

terjadi dalam kondisi akut maupun kronik atau yang sering dikenal dengan istilah Cor Pulmonale Chronicum (CPC).22 Dalam patogenesisnya, hipoksemia kronik pada PPOK dapat memicu terjadinya mekanisme respon kompensasi dari ventrikel kanan yang bertujuan untuk mempertahankan curah sekuncup ventrikel kanan. Seiring dengan meningkatnya tekanan ventrikel kanan yang terus berlanjut pada kondisi PPOK maka akan memicu terjadinya hipertensi arteri pulmonal (PAH). Peningkatan tekanan yang berlebih pada struktur arteri pulmonalis dapat mengakibatkan miokardium gagal untuk mengimbangi tekanan tersebut sehingga jantung kanan gagal untuk mempertahankan volume curah sekuncup (Gagal Jantung Kanan). Pada kondisi normal idealnya volume curah sekuncup pada ventrikel kanan adalah sama dengan volume ventrikel kiri. Saat kondisi PAH terjadi maka struktur ventrikel kanan tidak mampu untuk mengimbangi tekanan yang tinggi sehingga ventrikel kanan akan cenderung melebar untuk meningkatkan curah sekuncup melalui mekanisme Frank-Starling. Saat mekanisme tersebut tidak mampu meningkatkan tekanan melebihi tekanan sirkulasi paru maka terjadi kegagalan fungsi jantung kanan. Jika proses peningkatan tekanan sirkulasi paru terjadi secara kronik dan bertahap, maka struktur ventrikel kanan dapat melakukan adaptasi serupa dengan ventrikel kiri yaitu hipertrofi. Pada kondisi hipertrofi ventrikel kanan, maka perfusi oksigen miokardium hanya terjadi saat fase sistolik sehingga leih rentan untuk terjadinya iskemia miokardium.23 Progresifitas kondisi PPOK, dapat meningkatkan probabilitas komplikasi hipertensi Pulmonal, hal ini akan tergambarkan pada masing-masing derajat PPOK. Prevalensi hipertensi pulmonal dilaporkan terjadi pada 20% hingga 90% pasien PPOK dan didapati peningkatan tekanan arteri pulmonal rata-rata 0.4 - 0.6 mmHg per tahunnya.24,25 Beberapa penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa hipertensi pulmonal dapat menentukan prognosis pasien PPOK. Salah satunya adalah studi yang dilakukan Oswald-Mammosser et.al. pada tahun 1995 telah 13

berhasil membuktikan angka ketahanan hidup dalam 5 tahun pasien PPOK dengan hipertensi pulmonal ringan (20-30 mmHg) mencapai 50%, sedangkan untuk hipertensi pulmonal sedang (30-50 mmHg) hanya mencapai 30% dan 0% untuk hipertensi pulmonal berat (>50 mmHg).26 2.2.2

Penyakit Jantung Iskemik Penyakit Jantung Iskemik (IHD/Ischaemic Heart Disease) atau Penyakit

Jantung Koroner (PJK), termasuk kedalamnya adalah angina pektoris stabil dan sindrom koroner akut. Sindroma koroner akut menurut definisi terbagi menjadi angina pectoris tidak stabil (UAP), non-ST-elevasi infark miokard (NSTEMI) dan infark miokard ST-elevasi (STEMI).27 Penyakit jantung iskemik adalah penyebab umum gagal jantung, terutama di dunia barat.28 Penyakit jantung iskemik dapat bersifat akut maupun kronis. IHD kronis ditandai dengan gejala angina yang stabil selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hal ini bisa menjadi gejala awal dari IHD, atau bisa merupakan bagian dari gejala sisa setelah kejadian serangan koroner akut. Nyeri jantung iskemik, yang dikenal sebagai angina pektoris, adalah gejala yang paling umum terkait dengan IHD. Angina pectoris adalah hasil dari episode iskemia miokardium yang sementara. Ini biasanya disebabkan oleh adanya kalsifikasi maupun stenosis arteri yang mengurangi suplai oksigen di jantung sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen di tingkatan miokardium.29 Gejala iskemia miokardium sering dijumpai terlambat, tetapi iskemia miokardium juga bisa terjadi tanpa disertai dengan rasa sakit, atau sering dikenal dengan istilah "silent ischemia". Pada sebagian kecil kasus gangguan aliran darah koroner juga dapat berkurang karena terjadi konstriksi vasospastik yang bersifat sementara.29 Penyebab lain angina stabil mungkin berupa kardiomiopati iskemik. Faktor Resiko yang penting dalam terjadinya angina pektoris stabil diantaranya merokok, kegemukan, hipertensi, dislipidemia dan diabetes.30 Dimana faktor resiko ini merupakan faktor serupa yang mendasari terjadinya PPOK.

14

Keterkaitan patofisiologi antara PPOK dan penyakit kardiovaskular merupakan sesuatu yang kompleks dan sebagian besar tidak diketahui. Kedua kondisi tersebut sama-sama melibatkan komponen inflamasi dan peradangan sistemik. Hal ini diduga memiliki keterkaitan satu sama lain.31 Pada kondisi PPOK, peradangan saluran napas lokal dapat bercampur dengan aliran sistemik sehingga menciptakan peradangan sistemik yang melibatkan berbagai macam mediator inflamasi seperti TNF- dan IL-6, yang kemudian dapat memicu terjadi proses atherosclerosis dan penyakit jantung koroner.10 Proses lokal di paru yang melibatkan MMP akan merusak struktur elastin pada jaringan paru Hal ini juga telah dipercaya mempengaruhi sirkulasi sistemik sehingga menyebabkan proses inflamasi sistemik dan menyebabkan degradasi elastin pada dinding arteri. Hal ini akan menyebabkan kekakuan arteri dinding arteri. 2.2.3

Gangguan Irama Jantung, Komplikasi kardiovaskular PPOK tersering adalah gangguan irama

jantung, salah satunya fibrilasi atrium (AF). Hipoksemia, asidosis, Cor Pulmonale dan penyakit jantung iskemik merupakan beberapa penyebab timbulnya AF pada PPOK.32 Risiko aritmia pada PPOK dipengaruhi oleh kondisi penyakit, aritmia lebih sering timbul pada saat eksaserbasi.3 Angka mortalitas pasien PPOK yang masuk rumah sakit dengan aritmia adalah 31% sedangkan pasien PPOK tanpa aritmia sekitar 8%. Hudson et.al. mendapatkan 47% pasien (8,6% adalah AF) yang masuk rumah sakit dengan PPOK eksaserbasi mengalami aritmia jantung. Shih et.al. menemukan 7,2% pasien PPOK mengalami AF sedangkan Tukek et.al. mendapatkan 35% pasien PPOK mengalami AF.33,34 Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang terbanyak ditemui pada praktik klinis, penyebab tersering stroke dan meningkatkan mortalitas sampai 2 kali lipat.35 Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikel, ditandai dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi dengan konsekuensi menurunnya fungsi mekanik atrium.

15

Pada elektrokardiogram AF ditandai dengan hilangnya gelombang P, digantikan dengan gelombang fibrilasi yang bergetar cepat dan bervariasi pada amplitudo, bentuk serta waktu sehingga menyebabkan respons ventrikel yang cepat apabila konduksi atrioventrikular (AV) intak. Respons ventrikel terhadap AF tergantung dari elektrofisiologi nodus AV dan jalur konduksi lainnya, tonus simpatis dan vagal, ada atau tidaknya jalur konduksi tambahan dan obat-obatan. Irama jantung yang reguler dapat terjadi apabila terdapat blok di nodus AV atau pada takikardia ventrikel.36 Perubahan yang tersering pada AF adalah fibrosis atrium dan hilangnya massa otot atrium. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan bercak fibrosis yang menyebabkan konduksi nonhomogen. Nodus sinoatrial (SA) dan AV juga dapat terlibat dan menyebabkan sindrom sick sinus atau blok AV. Biopsi yang dilakukan pada pasien yang menjalani bedah jantung menunjukkan terjadi perubahan struktur miosit atrium dengan fibrosis interstisial, hilangnya miofibril, akumulasi granul glikogen dan gangguan penyatuan sel pada gap junctions. Peningkatan glikoprotein yang mengikat membran dan mengatur interaksi antar sel dan antar sel dengan matriks (disintegrin dan metalloproteinase) saat timbulnya AF makin menyebabkan dilatasi atrium pada pasien dengan AF persisten.36 2.3 Peranan Eletrokardiografi pada PPOK Pemeriksaan EKG merupakan modalitas pemeriksaan yang paling mudah, sederhana dan dapat dilakukan secara langsung pada pasien. Melalui pemeriksaan EKG dijumpai korelasi yang tinggi antara perubahan EKG pada setiap derajat PPOK dan hal ini menunjukkan derajat keparahan penyakit.4 Dari studi yang dilakukan Agarwal et.al. pada tahun 2007 diketahui bahwa pemeriksaan EKG memiliki sensitifitas sebesar 35,7% dan spesifisitas yang tinggi yaitu 95,6% untuk mendiagnosis COPD pada pasien yang memiliki masalah pernapasan. Hal ini berarti pemeriksaan EKG cukup baik untuk mendeteksi PPOK walaupun dapat menyebabkan false negatif.37 Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Jatav et.al. pada tahun 2017 ditemukan proporsi perubahan EKG yang dijumpai pada kondisi PPOK sangat 16

bergantung pada derajat keparahan PPOK dengan nilai tertinggi mencapai 90% pada PPOK GOLD 4.4 2.3.1

Mekanisme Patofisiologi Manifestasi yang dapat ditemukan dari pemeriksaan elektrokardiografi

(EKG) pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) telah banyak diteliti selama 4 periode terakhir.

Perubahan pada ritme, arah axis dan

gangguan konduksi listrik telah banyak diketahui sedangkan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perubahan EKG masih kontroversial.38 Berdasarkan literatur yang ada, mekanisme yang mungkin mendasari perubahan EKG pada pasien PPOK meliputi:38 1. Perubahan posisi anatomis jantung didalam rongga thoraks yang disebabkan karena struktur diafragma yang mendatar dan peningkatan volume udara bebas di daerah retrosternal. 2. Pelebaran (dilatasi) atau hipertrofi dari ruang jantung kanan 3. Konduksi listrik yang abnormal di ventrikel kanan (RV) 4. Hipoksia kronis menyebabkan Neuropati autonomik sehingga mengganggu repolarisasi ventrikel 39 5. Iskemia Miokardium yang disebabkan oleh proses atheroslerosis yang terjadi karena proses inflamasi sistemik pada PPOK 31 Perubahan EKG yang sering dijumpai pada pasien PPOK merupakan hasil dari kombinasi dari 2 faktor, yaitu hipertensi pulmonal dan perubahan struktur anatomis. Hipertensi pulmonal akan menyebabkan munculnya gambaran hipertrofi dan gangguan konduksi pada ventrikel kanan. Pada tahap lanjut, hiperinflasi paru akan menyebabkan pergeseran posisi jantung didalam rongga thoraks. Gangguan konduksi dapat terjadi setelah derajat hipertrofi ventrikel kanan dapat menghasilkan resultan ekektrik yang melampaui ventrikel kiri. Hal ini akan menyebabkan pergeseran axis jantung ke arah kanan searah perputaran jarum jam.

17

Perlambatan aktivasi konduksi ventrikel kanan juga berhubungan dengan gangguan repolarisasi dengan arah repolarisasi dari endokardium ke epikardium. Hal ini akan menyebabkan abnormalitas pada struktur ST segmen dan gelombang T pada area sadapan yang setentang dengan ventrikek kanan. Gangguan repolarisasi juga dapat disebabkan oleh proses hipoksia kronik dan akibat dari perberatan proses atherosklerosis. Manifestasi yang dapat dijumpai pada pemeriksaan EKG dapat berupa pemajangan interval QT (atau QTc).40 Beberapa kriteria EKG yang dapat berguna dalam penegakkan diagnosis PPOK, diantaranya:40 1. Sindroma S1 S2 S3 dengan R/S rasio < 1 pada sadapan ekstremitas I, II dan III 2. "P-Pulmonal" dengan durasi gelombang P ≥ 2,5mm pada sadapan ekstremitas II, III atau aVF 3. Rerata axis gelombang P ≥ 80 derajat dari frontal 4. "Penanda sadapan I" dengan gelombang P sejejar garis isoelektris, amplitudo QRS < 1,5mm dan amplitudo gelombang T < 0,5 mm 5. Rerata axis Gelombang QRS ≥ 90 derajat 6. Kriteria "low voltage" dengan amplitudo QRS ≤ 5mm pada sadapan ekstremitas 7. Amplitudo QRS ≤ 5 mm pada sadapan V5 dan/atau V6, atau tinggi gelombang R ≤ 7mm di sadapan V5 atau ≤ 5mm disadapan V6. 8. nilai perbandingan R/S < 1 pada sadapan V5 dan/atau V6. Pada tahap lanjut, perjalanan PPOK akan menyebabkan terjadinya kondisi “cor-pulmonale” atau dikenal juga dengan penyakit jantung karena hipertensi pulmonal. Hal ini menunjukkan telah terjadinya perbesaran dari ruang ventrikel kanan karena proses hipertrofi, dilatasi atau gabungan keduanya.38 Banyak pasien dengan PPOK Stabil telah menderita Cor pulmonale kronik. Perubahan Akut yang terjadi pada kondisi Cor pulmonale perlu dikenali dan mungkin akan bertumpang tindih dengan presentasi Cor Pulmonale kronik pada pasien dengan PPOK Stabil. Hal ini akan berkaitan langsung dengan alur penanganan dan manajemen pengobatan. Pemeriksaan EKG merupakan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk menilai kondisi akut Cor Pulmonale. Biasanya kondisi Cor Pulmonale akut dapat terjadi karena

18

hipoksemia akut, kegagalan fungsi ventilasi pernapasan atau hambatan vascular paru oleh thromboemboli. Karakteristik yang paling sering dijumpai sebagai gambaran akut diantaranya munculnya gelombang Q pada Sadapan III ekstremitas dan aVF; gambaran S yang dalam pada sadapan I yang disebabkan karena pergeseran axis yang berlebihan kearah kanan dan inversi gelombang T pada sadapan III (Atau lebih sering dikenal dengan S1,Q3,T3).38 Gambaran lainnya yang menujukkan terjadinya Cor Pulmonale akut tetapi kurang spesifik termasuk 1. Sinus takikardia 2. Kontraksi Atrial Prematur 3. Munculnya letupan ektopik atrial 4. Terbentuknya gelombang Q, Elevasi segmen ST atau inversi gelombang T pada sadapan pre-kordial kanan yang mengindikasikan terjadi dilatasi ventrikel kanan dan terkadang menggambarkan telah terjadi peningkatan tekanan pulmoner melebihi tekanan sistemik 5. Dijumpai gambaran RBBB komplit atau inkomplit pada sadapan V1, terkadang disertai dengan tinggi R’ > 15mm 6. Gelombang S yang lebuh dalam dan menukik pada sadapan V1 dan V2 7. Gambaran gelombang P abnormal yang baru (P-Pulmonale) 8. Pergeseran Axis ke kanan > 30 yang erat kaitannya dengan penanda strain jantung kanan akut. Berdasarkan studi yang dilakukan Larssen et.al. pada Tahun 2017, dari analisis terhadap pemeriksaan EKG pada kondisi PPOK dikaetahui bahwa perubahan EKG terjadi karena efek terhadap kondisi emfisema, hambatan saluran napas dan peningkatan afterload ventrikel kanan.41 Pada kondisi PPOK yang didominasi oleh obstruksi saluran napas dan peningkatan afterload RV maka perubahan EKG yang sering dijumpai ialah peningkatan Index Sokolow-Lyon Index untuk RVH dan pergeseran sumbu Axis jantung kearah kanan sedangkan pada kondisi lebih sering dijumpai sinus takikardia dengan penurunan amplitudo QRS.

19

2.3.2

Gangguan Repolarisasi pada PPOK Perubahan EKG lainnya yang dapat diumpai pada kondisi PPOK ialah

karakteristik EKG Iskemia miokardium. Mekanisme patofisiologi yang mendasari perubahan EKG yang sesuai dengan karakteristik EKG iskemik diantaranya adalah perubahan polarisasi serabut otot jantung, pergeseran arah repolarisasi dan nekrosis miokard.42 Beberapa penelitian telah membahas hubungan patofisiologis antara interval

pemanangan

interval

QT

dan

PPOK.

Hal

yang

diduga

bertanggungawab atas terjadinya perubahan ini adalah neuropati Autonomik yang terkait dengan hipoksia kronik pada penyakit paru-paru. Kondisi ini mempengaruhi durasi repolarisasi jantung, yang direfleksikan dengan pemajangan interval QT.43 Pemanjangan interval QT juga diketahui secara luas dapat meningkatkan resiko kematian karena henti jantung mendadak (SCD) yang disebabkan oleh aritmia ventrikel.40 Disfungsi autonomik yang terjadi pada PPOK juga bertanggung jawab terhadap munculnya masalah kardiovaskular lainnya seperti peningkatan laju denyut jantung saat istirahat, peningkatan resiko arritmia, gangguan konduksi dan munculnya denyut jantung ektopik.44 Tingginya variasi laju denyut jantung dapat dijumpai pada kondisi disfungsi autonomik, dan pada populasi usia

tua

kondisi

ini

akan

meningkatkan

resiko

kematian

karena

Kardiovaskular.45 Dari penelitian yang dilakukan Jegan et.al. pada tahun 2017, didapati insidens hipoksia dan pemanjangan durasi QTc memiliki korelasi yang kuat terutama pada PPOK dengan severitas berat dan sangat berat (GOLD 3 & 4). Dari penelitian ini diketahui bahwa hipoksia dapat menggangu repolarisasi miokardium yang akan menghasilkan pemanjangan waktu aktivasi ventrikel. Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa pemanjangan nilai QTc diatas 450ms dijumpai lebih dari 50 populasi PPOK GOLD 2. Nilai QTc melebihi 500ms dapat menyebabkan arritmia fatal yang dapat menyebabkan kematian mendadak (SCD).40

20

BAB III KESIMPULAN

PPOK adalah penyakit saluran napas yang memiliki karakteristik keterbatasan aliran udara persisten dan bersifat progresif. PPOK sangat berhubungan dengan respons inflamasi kronik berlebihan pada saluran napas dan parenkim paru. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki prevalensi tinggi kejadian PPOK dengan angka kejadian yang lebih tinggi pada daerah pedesaan. Hal ini sangat berkaitan dengan tingginya angka perokok di Indonesia yang secara langsung merupakan faktor resiko untuk penyakit Kardiovaskular. Hubungan patofisiologi antara kedua penyakit ini sangat kompleks dan proses inflamasi sistemik merupakan hal yang paling berperan diantara kejadian keduanya. Dari beberapa studi yang telah dilakukan, diketahui juga bahwa

PPOK

berbagi

faktor

resiko

yang

sama

dengan

penyakit

kardiovaskular. Penegakkan diagnosis PPOK berdasarkan hasil pemeriksaan faal saluran napas yaitu spirometri. Klasifikasi derajat keparahan PPOK berdasarkan penilaian FEV1/FVC yang sama-sama didapatkan dari spirometri. Beberapa kelainan kardiovaskular yang dapat dijumpai diantaranya disfungsi ventrikel kanan, hipertensi pulmonal, kelainan irama jantung dan kelainan jantung iskemik. Temuan kelainan EKG yang dapat dijumpai terjadi karena adanya pengaruh langsung berupa perubahan anatomis atau secara tidak langsung dari peningkatan resistensi pulmonal. Pada tahap lanjut dapat dijumpai perubahan EKG penanda iskemik jika proses peradangan sistemik terus berlangsung dan faktor resiko kardiovaskular dijumpai lebih banyak sehingga meningkatkan kejadian aterosklerosis. Pemeriksaan EKG dapat digunakan untuk menilai derajat keparahan PPOK berdasarkan kelainan Kardiovaskular telah terjadi.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI. PPOK: Diagnosis dan Penatalaksanaan. (M. Amin, Ed.). Jakarta: UI Press.2016. 2. Roversi S, Fabbri LM, Sin DD, et.al. Chronic obstructive pulmonary disease

and

cardiac

disease.

Am

J

Respir

Crit

Care

Med.

2016;194(11):1319-1336. 3. Buch P, Friberg J, Scharling H, et.al. Reduced lung function and risk of atrial fibrillation in the Copenhagen City Heart Study. Eur Respir J. 2003;21:1012–1016. 4. Jatav VS, et.al. Electrocardiographic characteristics of patients with chronic obstructive pulmonary disease and its correlation with disease severity. Int J Adv Med. 2017;4(2):514-518 5. Larssen MS, et.al. Mechanisms of ECG signs in chronic obstructive pulmonary disease. Open Heart. 2017;4:e000552. doi:10.1136/openhrt2016-000552 6. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for the diagnosis, management and prevention of COPD. 2017 [accessed 2018 June 7]. Available from: http://www.goldcopd.org/ 7. WHO | Burden of COPD. 2017. Retrieved January 28, 2017, from http://www.who.int/respiratory/copd/burden/en/ 8. Lim, S., Lam, D. C.-L., Muttalif, A. R., Yunus, F., Wongtim, S., Lan, L. T. T.,de Guia, T. Impact of chronic obstructive pulmonary disease (COPD) in the Asia-Pacific region: the EPIC Asia population-based survey. Asia Pacific Family Medicine, 2015. 14, 4.https://doi.org/10.1186/s12930-0150020-9 9. WHO. Global Health Obseravtory: Indonesia.2015. World Health Organization. Retrieved from :who.int/gho/mortality_burden_disease/en 10. Ukena C, Mahfoud F, Kindermann M, Kindermann I, Bals R, Voors AA, et al. The cardiopulmonary continuum systemic inflammation as 'common soil' of heart and lung disease. Int J Cardiol. 2010;145(2):1726.

22

11. Sin DD, Wu L, Man SF. The relationship between reduced lung function and cardiovascular mortality: a population-based study and a systematic review of the literature. Chest 2005;127:1952-9. 12. Mannino D, Buist AS. Global burden of COPD: risk factors, prevalence and future trends. Lancet. 2007;370:765-773. 13. Agustí, A. Systemic Effects of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proceedings of the American Thoracic Society. 2007: 4(7), 522–525. https://doi.org/10.1513/pats.200701-004FM 14. Barnes, P. J., Shapiro, S. D., & Pauwels, R. A. (2003). Chronic obstructive pulmonary disease: molecular and cellular mechanisms. The European Respiratory Journal. 2003: 22(4), 672–688. 15. Tarigan, A. P. Hubungan Polimorfisme Gen TNFα Pada Posisi -308 Dan 238 Dengan Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Universitas Sumatera Utara. 2013 Retrieved from http://repository.usu.ac.id/handle/ 123456789/35075 16. MacNee W, Maclay J, McAllister D. Cardiovascular Injury and Repair in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac Soc. 2008. 5: 824–833. 17. Spurzem JR, Rennard SI. Pathogenesis of COPD. Semin Respir Crit Care Med. 2005;26(2):142-153 18. Bailey, K. L., Goraya, J., & Rennard, S. L. The Role of Systemic Inflammation in COPD. In L. Nici & R. ZuWallack (Eds.), Chronic Obstructive

Pulmonary

Disease:

Co-Morbidities

and

Systemic

Consequences (pp. 15–32). Springer Science & Business Media.2011. 19. Wouters, E. F. M., Groenewegen, K. H., Dentener, M. A., & Vernooy, J. H. J. Systemic Inflammation in Chronic Obstructive Pulmonary Disease: The Role of Exacerbations. Proceedings of the American Thoracic Society. 2007:4(8), 626–634. https://doi.org/10.1513/pats.200706-071TH 20. Sin DD, Eden SF,. Chronic obstructive pulmonary disease: a chronic systemic inflammatory disease. Respiration 2008;75:224-38

23

21. Roversi S, Fabbri LM, Sin DD, et.al. Chronic obstructive pulmonary disease

and

cardiac

disease.

Am

J

Respir

Crit

Care

Med.

2016;194(11):1319-1336. 22. Bigatello Luca M, Leissner Kay B . Critical Care Secrets. 5th Edition. Elsevier-Mosby: Missouri.2013: Chapter 23- Cor Pulmonale: 157-164. 23. Hancock

EW,

Deal

BJ,

Mirvis

DM,

et.al.

AHA/ACCF/HRS

Recommendations for the Standardization and Interpretation of the Electrocardiogram. Part V: Electrocardiogram Changes Associated With Cardiac Chamber Hypertrophy. A Scientific Statement From the American Heart Association Electrocardiography and Arrhythmias Committee, Circulation. 2009;119:e251-e261. 24. Thabut G, Dauriat G, Stern JB, et.al. Pulmonary haemodynamics in advanced COPD candidates for lung volume reduction surgery or lung transplantation. Chest. 2005;127:1531-1536. 25. Kessler R, Faller M, Weitzenblum E, et.al. Natural history of pulmonary hypertension in a series of 131 patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 2001;164:219-224. 26. Oswald-Mammosser M, Weitzenblum E, Quoix

E, et.al. Prognostic

factors in COPD patients receiving long-term oxygen therapy. Chest. 1995;107:1193-1198. 27. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD, et al. Third universal definition of myocardial infarction. Circulation. 2012;126(16):2020-35. 28. Remme WJ. Overview of the relationship between ischemia and congestive heart failure. Clin Cardiol. 2000;23(7 Suppl 4):IV4-8. 29. Montalescot G, Sechtem U, Achenbach S, Andreotti F, Arden C, et al. ESC guidelines on the management of stable coronary artery disease: the Task Force on the management of stable coronary artery disease of the European

Society

of

Cardiology.

European

heart

journal.

2013;34(38):2949-3003. 30. Yusuf S, Hawken S, Ounpuu S, Dans T, Avezum A, Lanas F, et al. Effect of potentially modifiable risk factors associated with myocardial infarction

24

in 52 countries (the INTERHEART study): case-control study. Lancet. 2004;364(9438):937-52. 31. Sin DD, Man SF. Why are patients with chronic obstructive pulmonary disease at increased risk of cardiovascular diseases? The potential role of systemic inflammation in chronic obstructive pulmonary disease. Circulation. 2003;107(11):1514-9. 32. Incalzi RA, Pistelli R, Fuso L, Cocchi A, Bonnetti MG, Giordano A. Cardiac arrhythmias and left ventricular function in respiratory failure from chronic obstructive pulmonary disease. Chest 1990; 97:1092-7. 33. Hudson LD, Kurt TL, Petty TL, Genton E. Arrhythmias associated with acute respiratory failure in patients with chronic airway obstruction. Chest 1973; 63:661-5 34. Tukek T, Yildiz P, Akkaya V, Karan MA, Atilgan D, Yilmaz V, et al. Factors associated with the development of atrial fibrillation in COPD patients: the role of P-wave dispersion. Ann Noninvasive Electrocardiol 2002; 7:222-7. 35. Aviles RJ, Martin DO, Apperson-Hansen C, Houghtaling PL, Rautaharju P, Kronmal RA, et al. Inflammation as a risk factor for atrial fibrillation. Circulation. 2003; 108:3006-10. 36. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, Crijns HJ, Curtis AB, Ellenbogen KA, et al. Guidelines for the management of patients with atrial fibrillation. ACC/AHA/ESC 2006. 37. Agarwal RL, Kumar D, Gurpreet, Agarwal DK, Chabra GS. Diagnostic values of electrocardiogram in chronic Obstructive pulmonary disease (copd). Lung India. 2008;25 : 78-81 38. Rodman DM, Lowenstein SR, Rodman T. The Electrocardiogram in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. The Journal of Emergency Medicine. 1990;8:607-15 39. Stewart AG, Waterhouse JC, Howard P. The QTc interval, autonomic neuropathy and mortality in hypoxaemic COPD. Respiratory Medicine. 1995; 89: 79-84

25

40. Jegan G,Kumar BP. Correlation of QTc Prolongation &COPD Severity. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences. 2017;16(4) 51-54 41. Larssen MS, et.al. Mechanisms of ECG signs in chronic obstructive pulmonary disease. Open Heart. 2017;4:e000552. doi:10.1136/openhrt2016-000552 42. Camm J, Lüscher TF, Serruys PW. The ESC textbook of cardiovascular medicine. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press; 2009 43. Oekelen OV, et.al. significance of prolonged QTc in acute exacerbations of COPD requiring hospitalization. International Journal of COPD. 2018;13:1937–47 44. Engstrom G, Wollmer P, Hedblad B, Juul-Moller S, Valind S, Janzon L. Occurrence and prognostic signifi cance of ventricular arrhythmia is related to pulmonary function: a study from “men born in 1914,” Malmo, Sweden. Circulation. 2001; 103(25):3086–3091. 45. de Bruyne MC, Kors JA, Hoes AW, Klootwijk P, Dekker JM, Hofman A, et al. Both decreased and increased heart rate variability on the standard 10-second electrocardiogram predict cardiac mortality in the elderly: the Rotterdam Study. Am J Epidemiol 1999; 150(12):1282–1288.

26

Related Documents

Refarat Insomnia.docx
November 2019 23
Refarat Hifema.docx
May 2020 21
Related)
May 2020 21
Related
December 2019 26
Refarat Oa.docx
April 2020 27

More Documents from "Gerard"