My Destiny Oleh : Irma Novi Damayanti
Langit kota ini tampak menghitam. Semilir angin membuat udara dingin terasa menusuk kulit. Rintik air hujan mulai turun mengenai pohon-pohon tinggi di sekitarku, untuk kemudian jatuh menghantam tubuhku. Aku mendongak, menatap tidak mengerti keadaan sekitar. Pohon tinggi dengan ranting-ranting besar tanpa daun. Tumbuhan-tumbuhan aneh berukuran raksasa, juga hewan-hewan unik yang tidak pernah aku bayangkan akan ada sebelumnya. Belum lagi burung elang raksasa berwarna hitam yang setiap sepuluh menit sekali terbang mengudara mengintai kami. Membuat diriku dan Riley harus jatuh bangun berlari sembunyi. “Ra, kita tidak bisa seperti ini terus.” Lirih Riley di sampingku bertanya. Aku menoleh menatapnya, mendengus kesal. Aku tahu itu. Hanya saja mencari jalan keluar dari semua ini sama seperti memaksakan dua garis sejajar untuk saling bertemu. Sulit dan hampir tidak mungkin. Tempat ini asing. Bahkan, dalam mimpiku sekali pun tidak pernah terpikirkan olehku. Kalian pernah menonton film Snow White and The Huntsmen? Seperti itulah mungkin. Jadi, jangankan berpikir mencari jalan keluar. Melihat banyaknya tumbuhan aneh di sekelilingku ditambah dengan keluhan Riley yang seperti kaset rusak ini sudah membuatku frustasi. Menyebalkan. “Ra….” “Aku tidak tahu, Ey. Berhentilah bertanya!” Aku menatap Riley tajam, berteriak keras. Membuat wajah kusut Riley dengan tubuh penuh luka lebam itu menunduk lesu. Situasi ini benar-benar menyebalkan. Satu hari yang lalu semuanya masih baik-baik saja. Kami berdua masih remaja berusia enam belas tahun pada umumnya. Tinggal di dunia yang sama, bersekolah. Hingga tiga jam yang lalu, saat kami berdua mengerjakan tugas di perpustakaan sekolah. Aku yang bosan manatap tumpukan buku pelajaran memutuskan berkeliling. Tidak ada yang menarik, sebelum akhirnya sebuah buku jatuh mengenai kakiku. Sebuah buku yang membawaku dan Riley ada dalam masalah ini. Aku mendongak, kembali menatap langit yang masih menghitam. Mengingat semua itu membuat pikiranku buyar. Andai saja aku tidak membuka buku itu. Tidak tertarik mencoba mantra bodoh yang ada. Dan memilih pergi saat portal aneh tiba-tiba muncul, semua ini pasti tidak akan terjadi. Aku dan Riley pasti masih berada di dunia kami, bukan di dunia antah berantah ini. Sepuluh menit berlalu, burung elang raksasa itu kembali melakukan patroli. Terlihat gagah mengudara di atas kami. Kedua sayapnya mengepak indah berwarna pu… tih. Tunggu dulu. Aku memicingkan kedua mataku, melihat lebih jelas. Itu bukan burung elang raksasa, melainkan burung merpati berwarna putih yang sama besarnya. Ada seorang laki-laki yang menaikinya. Tidak jelas wajah laki-laki itu, tapi yang pasti merpati itu terbang merendah. Itu berarti kami adalah sasarannya. “Kita harus pergi, Ey!” Aku berseru keras, menunjuk ke atas. Riley yang mendengar suaraku ikut melihat ke atas. Kemudian, tanpa disuruh dua kali bergegas mengejarku yang sudah lebih dulu menjauh. “Apa yang harus kita lakukan, Ra?” tanya Riley khawatir setelah berhasil mengejarku. Aku menggeleng, “Lari sejauh mungkin, Ey!” jawabku cepat. Sial, setelah dua jam yang lalu kucing hutan seukuran kambing jantan dewasa mengejar kami, kemudian tumbuhan hidup yang tiba-tiba melilit-meskipun lebih mudah diatasi karena Riley ternyata mempunyai kakuatan untuk
mengendalikan tanaman, dan sekarang burung merpati raksasa. Lengkap dengan pengemudinya pula. Ayolah, apa di dunia aneh ini tidak ada yang lebih menarik, hingga harus kami berdua yang menjadi buronan? Sementara itu, burung merpati raksasa sudah semakin dekat. “Sebentar, Ra. Kita harus menghambat gerakannya.” Riley menghentikan langkahnya, berbalik arah. Aku ikut berhenti, menepuk dahiku pelan. Astaga, bagaimana caranya mengahambat merpati raksasa yang sedang terbang? Namun, sebelum kalimat keluhanku tersampaikan, Riley sudah bertindak. Tangannya terulur ke depan dengan mata yang terpejam. Kemudian dari ke dua tangannya keluar sulur-sulur tanaman. Terlihat merambat, saling melintang. Terhubung antara satu pohon dengan pohon lainnya. Mengagumkan. Itu teknik pemblokade yang sempurna. Dengan jalan yang dipenuhi sulur tanaman akan memperlambat gerakan merpati itu mengejar kami. “Kamu hebat, Ey.” Aku berkata riang, mengacungkan dua jempol kepadanya. Riley tersenyum, menunjuk ke depan, “Kurasa tidak,” jawabnya kemudian nyengir lebar. Aku memicingkan mataku, ikut menatap ke depan. Riley benar. Jangankan menghambat, bahkan merasa terganggu pun tidak. Pengemudi merpati itu dengan mudah menyingkirkan sulur-sulur tanaman. Hanya dengan mengacungkan sebuah tongkat yang dibawanya kemudian_. Duummmm. Sebuah cahaya seperti sambaran petir keluar, membabat habis blokade yang kami buat. Merpati itu kembali melenggang dengan leluasa. Aku dan Riley saling tatap, tersenyum tipis. Satu kesepakatan kecil telah kami buat. Mungkin, dua puluh empat jam yang lalu kami memang remaja berusia enam belas tahun biasa. Tapi hari ini, sejak tiga jam yang lalu kami tahu, takdir kami lain. Jadi, kami memutuskan untuk melawan. Kami berdua fokus menatap ke depan. Nafasku menderu dengan tangan mengepal erat. Atmosfer pertarungan mulai terasa. Burung merpati itu sudah semakin dekat. Aku tersenyum, “Sekarang, Ey!” teriakku memberi aba-aba. Tanpa disuruh dua kali Riley maju ke depan. Tangannya kembali terulur, dan dalam sekejap sulursulur tanaman itu kembali keluar. Merambat, membentuk seperti jaring laba-laba berukuran raksasa. Aku masih menatap fokus ke depan, mencari celah. Dan saat pengemudi merpati itu mengarahkan tongkatnya ke depan, saat fokusnya tertuju pada jaring laba-laba buatan itu, tubuhku melesat cepat. Melenting dan mendarat tepat di belakang merpati raksasa. Kemudian dengan gerakan cepat tanganku bergerak ke depan. Ctar. Satu larik cahaya muncul dari tanganku. Seperti petir yang menyambar, cepat, mengarah tepat menuju laki-laki itu. Sebuah ledakan pun terjadi dengan asap hitam mengepul membuat pandangan radius dua meter di sekitar ledakan tidak terlihat jelas. Aku tersenyum, semuanya sudah berakhir. Dan tentang bagaimana aku bisa bergerak secepat itu, aku tidak tahu. Aku hanya bergerak mengikuti naluriku. Yang pasti kami sudah berhasil. “Tidak secepat itu, Gadis Kecil.” Sebuah suara terdengar dari belakang. Menggelegar diantara keoulan asap. Aku berbali. Seorang laki-laki dengan pakaian serba putih dengan sebuah tongkat berdiri di depanku. Tidak, lebih tepatnya mengambang tiga meter di depanku. Bibirnya tersenyum dengan bola mata berwarna biru yang sangat indah. Ada sebuah tanda aneh di lengan kirinya. Dan dari tongkat yang
dibawanya aku tahu dia siapa. Pengemudi mepati raksasa itu. Aku mengepalkan tangaku erat, kemudian melesat cepat dan mendarat di samping Riley. Di saat seperti ini, terus bersama adalah pilihan terbaik. “Dua orang remaja dengan kemampuan bertarung yang lumayan. Satu sebagai pengendali tumbuhan, dan yang satu pengendali elemen petir dan teknik kinetik yang baik. Ramalan itu ternyata benar. Cukup menarik.” Laki-laki itu berkata. Suaranya terdengar amat berwibawa. Kedua mata birunya tajam mengamati kami bergantian dan berhenti saat menatapku. “Raline, kami di sini sudah menunggumu. Ikutlah denganku,” pungkas laki-laki itu, tersenyum penuh arti padaku. Untuk sesaat membuat mataku terpaku padanya. “Siapa kamu? Bagaimana kamu bisa tahu nama Raline?” tanya Riley lantang membuatku tersadar. Laki-laki itu masih tersenyum menatap kami berdua. Tubuhnya masih mengambang tiga meter di depan kami. “Namaku Les. Panglima perang Kerajaan Otsneba. Aku di sini bermaksud baik,” ucapnya santun. Aku dan Riley terdiam. Tidak tertarik untuk menanggapi. Mata kami masih awas, bersiap jika terjadi serangan mendadak. Seseorang yang mengaku dirinya Les itu tertawa, “Baiklah, akan kujelaskan. Saat ini kalian sedang berada di wilayah Kerajaan Otsneba. Di mana hal-hal yang hanya ada dalam mimpi kalian ada di sini. Cahaya adalah sumber utama kekuatan kami. Itu sebabnya rentang waktu siang lebih lama daripada malam. Namun, saat ini kerajaan sedang ada masalah besar cahaya matahari selalu tertutup mendung. Dan hanya kalian yang bisa menyelamatkannya. Khususnya kamu Raline. Seorang gadis remaja keturan murni Kerajaan Otsneba,” lembut suara itu terdengar di telingaku. Aku terdiam. Otakku sulit untuk mencerna penjelasan laki-laki itu. Apa tadi dia bilang? Keturuan murni? Ayolah, baru empat jam yang lalu aku tiba di sini dan dia sudah seenaknya menyebutku sebagai keturunan murni? Omong kosong. Aku menatap laki-laki itu tajam, “Aku tidak percaya!” desisku dingin, kemudian dengan gerakan cepat tubuhku melesat dua meter ke depan sambil mengeluarkan kekuatan petir miliku. Ctar. Ledakan kecil terjadi lagi. Namun sayang. Sama seperti serangan sebelumnya, laki-laki itu menghilang dan mengambang anggun lima meter ke belakang. Serangan itu hanya mengenai udara kosong. Tapi, kami belum selesai. Riley yang sedari tadi diam mengamati pertarungan meluncurkan serangan lanjutan. Sulur-sulur tanaman keluar dari tangannya. Bergerak cepat, dengan laki-laki itu sebagai targetnya. Lima belas menit berlalu, kami belum bisa mengalahkannya. Laki-laki itu dengan mudah berkelit dari serangan Riley. Juga dengan mudah menetralkan petir yang kukirim dengan tongkatnya. Dengan kondisi seperti ini, laki-laki itu dengan mudah menyerang kami. Tubuhnya menghilang, untuk sekejap sudah ada di depan kami. Dan dengan gerakan cepat, tangannya sudah berhasil menyentuh leherku dan juga Riley. Kami berdua terjatuh. Teknik totok itu berhasil membuat tubuh kami lemas. Namun, telingaku masih bisa mendengar kalimat terakhir dari laki-laki itu, sebelum akhirnya semunya menjadi gelap. “Maafkan aku. Aku tidak berniat menyerang kalian. Namun, waktu kita sedikit. Terimalah takdir kalian sebagai petarung Kerajaan Otsneba.” Yogyakarta, 23 Februari 2019